cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Perspektif : Review Penelitian Tanaman Industri
Published by Kementerian Pertanian
ISSN : 14128004     EISSN : 25408240     DOI : -
Core Subject : Education,
Majalah Perspektif Review Penelitian Tanaman Industri diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan yang memuat makalah tinjauan (review) fokus pada Penelitian dan kebijakan dengan ruang lingkup (scope) komoditas Tanaman Industri/perkebunan, antara lain : nilam, kelapa sawit, kakao, tembakau, kopi, karet, kapas, cengkeh, lada, tanaman obat, rempah, kelapa, palma, sagu, pinang, temu-temuan, aren, jarak pagar, jarak kepyar, dan tebu.
Arjuna Subject : -
Articles 5 Documents
Search results for , issue "Vol 7, No 1 (2008): Juni 2008" : 5 Documents clear
Konservasi Musuh Alami Serangga Hama sebagai Kunci Keberhasilan PHT Kapas NURINDAH NURINDAH; DWI ADI SUNARTO
Perspektif Vol 7, No 1 (2008): Juni 2008
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v7n1.2008.%p

Abstract

RINGKASANSejak   awal   pengembangan   kapas   di   Indonesia, serangga hama merupakan salah satu aspek penting dalam  budidaya  kapas,  sehingga  ditetapkan  sistem pengendalian dengan penyemprotan insektisida kimia sintetik  secara  berjadwal  sebanyak 7  kali  selama semusim dengan jumlah insektisida hingga 12 l/ha. Pengembangan  PHT  kapas  ditekankan  pada  sistem pengendalian   non-kimiawi   dengan   memanfaatkan secara optimal faktor-faktor mortalitas biotik serangga hama utama, yaitu wereng kapas Amrasca biguttulla (Ishida)   dan   penggerek   buah   Helicoverpa   armigera (Hubner).  Optimalisasi musuh alami serangga hama kapas dilakukan melalui tindakan konservasi, yaitu memberikan lingkungan yang mendukung terhadap musuh  alami  untuk  dapat  berperan  sebagai  faktor mortalitas biotik, sehingga populasi serangga hama dapat dijaga untuk selalu berada pada tingkat yang rendah.  Tindakan konservasi musuh alami dilakukan dengan   memperbaiki   bahan   tanaman   dan   teknik budidaya   yang   dapat   mendukung   perkembangan musuh alami, yaitu penggunaan varietas kapas yang tahan   terhadap   wereng   kapas,   sistem   tanam tumpangsari  dengan  palawija,  penggunaan  mulsa, penerapan    konsep    ambang    kendali    dengan mempertimbangkan  keberadaan  musuh  alami  dan aplikasi insektisida botani, jika diperlukan.  Penerapan PHT kapas dengan mengutamakan konservasi musuh alami, berhasil mengendalikan populasi hama tanpa melakukan    penyemprotan    insektisida    dengan produksi   kapas   berbiji   yang   tidak   berbeda   dari produksi budidaya kapas dengan sistem pengendalian hama    menggunakan    penyemprotan    insektisida, sehingga menghemat biaya input dan meningkatkan pendapatan petani.  Konservasi musuh alami melalui penerapan    komponen    PHT    sebenarnya    dapat dilakukan petani dengan mudah, karena komponen PHT  tersebut  pada  umumnya  merupakan  praktek budidaya kapas yang sudah biasa dilakukan petani.Kata  kunci:  Kapas,  Gossypium  hirsutum,  Helicoverpa armigera,   Amrasca   biguttulla,   ambang kendali, musuh alami, PHT.  ABSTRACKConservation of natural enemies is the key for successful IPM on cottonSince early development of cotton in Indonesia, insect pests  were  the  most  important  aspect  of  the  crop cultivation, so that the scheduled sprays of insecticides were applied.  The frequency of sprays were 7 times using 12 l/ha of insecticides per season. The development of IPM on cotton is emphasized on non-chemical control methods by optimizing the role of natural enemies of the key pests, i.e., cotton jassid Amrasca   biguttulla  (Ishida)   and   cotton   bollworm Helicoverpa  armigera  (Hubner).  Conservation  of  the natural enemies provides the suitable environment for them to be an effective mortality factor so that the pests could   be   maintained   always   in   low   population. Conservation  of  the  natural  enemies  was  done  by improving the plant material and cultural techniques. These include the use of resistant cotton variety to jassid,  intercropping  with  secondary  food  crops, applying mulch, and adopting the action threshold concept which considers the natural enemies presence, and   using   botanical   insecticide   if   necessary. Conservation of natural enemies on IPM successfully controlled  the  cotton  pests  without  any  pesticide sprays  and  the  production  of  cotton  seed  did  not significantly different with that use insecticide sprays. This leads to reduction of cost production and increase the farmers’ income. Conservation of natural enemies  by applying IPM components should be no difficulty to be applied, as the components are mostly those that usually practice by the farmers.Key words: Cotton, Gossypium hirsutum,Helicoverpa armigera, Amrasca  biguttulla,  action threshold, natural enemies, IPM.
Tembakau Cerutu Besuki-NO : Pengembangan Areal dan Permasalahannya di Jember Selatan DJAJADI DJAJADI
Perspektif Vol 7, No 1 (2008): Juni 2008
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v7n1.2008.%p

Abstract

ABSTRAKDalam  makalah  ini  diulas  tentang  pengembangan tembakau  besuki  NO  di  daerah  Jember  Selatan, permasalahan  pengembangan  di  daerah  baru,  dan perlunya   teknologi   yang   sesuai   dengan   kondisi agroekologi di wilayah pengembangan baru.  Semula sentra produksi tembakau cerutu Besuki NO adalah Jember   Utara.   Daerah   ini   merupakan   penghasil tembakau mutu pengisi cerutu (filler) yang aromatik. Dengan semakin merosotnya produksi akibat semakin menurunnya kesuburan lahan dan serangan penyakit, maka  penanaman  tembakau  besuki  berpindah  ke Jember  Selatan.  Daerah  Jember  Selatan  merupakan areal  penghasil  tembakau  mutu  pembungkus  dan pembalut  cerutu (dek-omblad)  yang  harganya  lebih tinggi  daripada  mutu  filler.  Kondisi  topografi  dan curah hujan di Jember Selatan berbeda dengan daerah Jember Utara. Daerah Jember Selatan relatif lebih datar, dan tanahnya berkadar partikel liat lebih tinggi, serta curah  hujan  lebih   tinggi   daripada   Jember   Utara, sehingga ketersediaan air bagi pertumbuhan tembakau juga lebih banyak.  Perbedaan ini yang memungkinkan produktivitas tembakau besuki di Jember Selatan (1555 kg/ha) lebih tinggi daripada produktivitas tembakau di Jember   Utara (hanya 791   kg/ha).   Berbedanya karakteristik    wilayah    tersebut    mungkin    juga mempengaruhi karakteristik agroekologi yang sesuai bagi pertumbuhan tembakau untuk berproduksi dan bermutu  tinggi.  Namun  demikian  belum  terdapat informasi   tentang   korelasi   antara   faktor-faktor agroekologi (kesuburan fisik, kimia dan biologi tanah, serta suhu, kelembaban, dan intensitas sinar matahari) dengan   produksi   dan   mutu   tembakau   besuki. Akibatnya adalah teknologi budidaya yang tersedia belum efektif untuk meningkatkan produksi dan mutu tembakau besuki di Jember Selatan.  Diperlukan kajian tentang    faktor-faktor    agroekologi    yang    sangat menentukan produksi dan mutu tembakau, sehingga strategi  peningkatan  produksi  dan  mutu  tembakau akan berbasis pada karakteristik agroekologi daerah Jember Selatan.Kata  kunci  :  Tembakau  Cerutu,  Nicotiana  tabacum, besuki, pengembangan, permasalahan, Jember Selatan. ABSTRACTBesuki Tobacco Cigar: Crop Area Extension and Its Contrainst in South JemberThis paper described crop area extension of tobacco cigar in South Jember and its constraints, and the need of   crop   technologies   based   on   agro   ecology characteristics of South Jember.  In the early of area extension, North Jember had been chosen as a centre of besuki cigar tobacco area to produce cured leaf tobacco used as a good quality filler of cigar.  However, due to declining  of  tobacco  production  and  increasing  of tobacco disease in this area, besuki cigar tobacco area centre   have   been   established   in   new   area   crop extension, South Jember.  The cigar tobacco produced in South Jember is used as wrapper and binder of cigar which the quality prices are more expensive than the quality of filler.  Topography of South Jember is flat with rainfall is higher than North Jember, so that the tobacco yield in South Jember is higher than tobacco yield of North Jember.  The difference of characteristic area  between  South  and  North  Jember  may  also influence the characteristics of agroecology of the two areas. The  characteristics  of  agro  ecology  have important roles in determining yield and quality of tobacco.  Unfortunately, there is no information about the correlation between agro ecology and yield and quality of cigar tobacco in South Jember. Consequently, crop  technologies  available have  not significantly  increased  yield  and  quality  of  cigar tobacco.    The  study  of  correlation  between  agro ecology and yield and quality of cigar tobacco in South Jember is important as a basis of strategy to increase yield and quality of cigar tobacco in South Jember.Key word: Tobacco, Nicotiana tabacum, Na Ogst, besuki, development, South Jember.
Biofumigan untuk Pengendalian Patogen Tular Tanah Penyebab Penyakit Tanaman yang Ramah Lingkungan TITIEK YULIANTI; SUPRIADI SUPRIADI
Perspektif Vol 7, No 1 (2008): Juni 2008
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v7n1.2008.%p

Abstract

ABSTRAKMetil  bromida  adalah  pestisida  berspektrum  luas untuk   mengendalikan   serangga,   nematoda,   dan patogen,   baik   dalam   tanah   maupun   di   gudang. Senyawa ini sudah dilarang penggunaannya di dunia berdasarkan  kesepakatan  Montreal  Protocol  tahun 2000, bahkan harus dimusnahkan di seluruh dunia pada tahun 2015.  Di beberapa negara maju sudah gencar dilakukan penelitian untuk mencari senyawa biofumigan sebagai alternatif pengganti metil bromida. Tulisan ini menguraikan salah satu sumber biofumigan  yang  cukup  prospektif  dan  cukup  banyak  diteliti, yaitu, glukosinolat (GSL), termasuk beberapa aspek berkaitan dengan biosintesis dan hidrolisis senyawa tersebut dan produk yang dihasilkan, sumber tanaman penghasil   GSL,   pengaruh   biofumigan   terhadap patogen tular tanah dan mikroorganisme lainnya, serta prospek  dan  kendala  pemanfaatan  biofumigan  di Indonesia.  GSL  berasal  dari  tanaman  famili  kubis-kubisan (Brassicaceae).  Ada sekitar 350 genera dan 2500   spesies   famili   Brassicaceae   yang   diketahui mengandung senyawa GSL. GSL merupakan senyawa yang   mengandung   nitrogen   dan   belerang   hasil metabolit sekunder tanaman.  GSL akan dihidrolisis apabila   terjadi   kontak   dengan   enzim   mirosinase, biasanya melalui pelukaan jaringan tanaman.  Hasil hidrolisis adalah beberapa senyawa, baik yang bersifat volatil maupun tidak, misalnya isotiosianat (ITS), ion tiosianat (SCN-),  nitril,  epitionitril,  indolil  alkohol, amin, sianid organik dan oksazolidinetion. Senyawa yang dihasilkan dari proses hidrolisis tergantung pada suhu, pH, dan jenis tanah.  Meskipun sudah banyak bukti  bahwa  senyawa  ITS  mampu  mengendalikan patogen-patogen    tular    tanah,    namun    untuk penerapannya  di  Indonesia  masih  perlu  penelitian supaya diperoleh hasil yang efektif, seperti eksplorasi jenis-jenis Brassicaceae    lokal    sebagai    sumber biofumigan, teknik aplikasi di lapangan (pola tanam, rotasi, tumpangsari,  tanaman penutup tanah), dan faktor-faktor   abiotik   yang   berpengaruh   terhadap biosintesis maupun hidrolisis GSL di dalam tanah.Kata   kunci:   Brassicaceae,   biofumigan,   hidrolisis, sumber   tanaman,   prospek   pengem-bangan di Indonesia ABSTRACTBiofumigant as an environmentally friendly method to control soilborne plant pathogensMethyl bromide (MBr) is a broad spectrum pesticide used to control insects, nematodes, and pathogens both in soils and storages.  Under the Montreal Protocol 2000, MBr has been banned excempted for critical use and it is scheduled to be eliminated completely as of 2015. Several  developed  countries  are  intensively seeking for biofumigants as an alternative substances to substitute MBr. This paper discuses glucosinolate (GSL),   one  of  the  most  prospective  biofumigant, including its biosynthesis, hydrolisis process and their products, effect on soilborne pathogen and other soil microorganisms, as well as its prospect and constrains of  the  development  of  biofumigant  in  agricultural system in Indonesia.  There are about 350 genus and 2500 spesies of Brassicaceae plants known to contain GSLs. The GSLs are secondary metabolites that contain sulfur, nitrogen and a group of glucose.  The GSL is only hydrolysed when it is contacted with myrosinase enzym in the presence of water, commonly occured when plant tissue is damaged.  Various hydrolysis products of volatile and non volatile compounds are known such as isothiocyanates (ITCs), ion thiocyanates (SCN-), nitrile, epithionitrile, indolyl alcohol, amine, organic   cyanide   and   oxazolidinethion.   Type   of hydrolised products depends on soil temperature, pH, and soil types.  Ample evidences support the use of ITCs to control soilborne pathogens and yet to obtain effective control in a large scale application, especially in Indonesia, needs more comprehensive studies, such as exploration of biofumigant sources from indigenous or local species of Brassicaceae, application methods (cropping  system,  rotation,  intercropping,  or  cover crop) and other abiotic factors affecting the hydrolysis process of GSL in soil.Keyword: Brassicaceae, biofumigant, hydrolisis, plant source, prospect, Indonesia.
Kontaminasi Cendawan dan Mikotoksin pada Tumbuhan Obat RITA NOVERIZA
Perspektif Vol 7, No 1 (2008): Juni 2008
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v7n1.2008.%p

Abstract

ABSTRAKTumbuhan obat seringkali terkontaminasi oleh berbagai cendawan, yang akan mengakibatkan pembusukan dan memproduksi mikotoksin. Beberapa tumbuhan obat yang dipakai sebagai bahan campuran jamu di Malaysia dan Indonesia (seperti jahe, kunyit, kencur,   kayu   rapat,   sambiloto,   dll),   dideteksi mengandung aflatoksin. Aspergillus flavus, A. Parasiticus dan A. ochraceus dijumpai pada buah Azadirachta indica, buah Jatropha curcas, akar Morinda lucida. Cendawan tersebut  memproduksi  aflatoksin  dan  okratoksin  A yang   sangat   berbahaya   bagi   kesehatan   manusia. Faktor-faktor penyebabnya adalah genetik tumbuhan,penanganan sebelum dan setelah panen. Kondisi yang tidak cukup bersih selama pengeringan, transportasi, dan penyimpanan dari bahan baku atau produk dapat menyebabkan   tumbuhnya   bakteri,   cendawan   dan mikotoksin.  Kesadaran tentang  pentingnya  mening-katkan metode penyiapan bahan baku  tumbuhan obatyang  bebas  kontaminasi  cendawan  dan  mikotoksin dari konsumen, peneliti, petani dan pedagang perlu ditingkatkan. Selain itu perlu dilakukan monitoring tentang distribusi dan tingkat kontaminasi aflatoksin pada produk atau bahan baku tumbuhan obat yang beredar   di   pasar.   Tulisan   ini   bertujuan   untuk memberikan informasi tentang cendawan kontaminan pada tumbuhan obat, serta faktor-faktor penyebabnya dan bahayanya untuk kesehatan manusia serta strategi atau upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengendalikan kontaminasi cendawan.Kata kunci : Cendawan kontaminan, mikotoksin, tumbuhan obat. ABSTRACTContamination  of  fungal  and  mycotoxins  on medicinal plantsMedicinal  plants  regularly  contaminated  by  fungi producing mycotoxin. Some medicinal plant used as ingredients in commercial traditional herbal medicines  (jamu) in  Malaysia  and  Indonesia (such  as  ginger, cekur,  turmeric,  kayu  rapat,  sambiloto,  etc.)  was detected  contained  aflatoxin.  Aspergillus  flavus,  A. parasiticus and A. ochraceus were found in Azadirachta indica and Jatropha curcas fruits also in Morinda lucida root. These fungi produce aflatoxins and ochratoxin A and very risky to human health. Fungal contamination on  those  plants  and  product was caused  by plant genetic,  preharvest (plant  cultivation,  environment stress) and post harvest treatments. Furthermore, the condition  of  raw  material  or  plant  product  was uncleaned during drying, transportation and storage causing   the   occurance   of   bacteria,   fungal   and mycotoxins.    Therefore,    the    awareness    among consumers, researches, farmers and traders regarding the importance in improving the processing methods (harvest, drying, transportation and storage) need to be more  concerned.  In  addition,  monitoring  covering distribution  and  contamination  level  of  molds  and mycotoxin on medicinal plant in the market need to be conducted. The purpose of this article is to provide the practical   information   on   fungal   contaminant   and mycotoxin levels in medicinal plants, which hazardous to human health; also the strategies in preventing and controlling fungal contamination.Key words : Fungal contaminant, mycotoxins, medicinal plant.
Peranan Morfologi Tanaman untuk Mengendalikan Pengisap Daun, Amrasca biguttula (Ishida) pada Tanaman Kapas INDRAYANI, I G.A.A.
Perspektif Vol 7, No 1 (2008): Juni 2008
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v7n1.2008.%p

Abstract

ABSTRAKVarietas  tahan  merupakan  salah  satu  komponen penting  dalam  pengendalian  hama  terpadu (PHT). Mekanisme   ketahanan   tanaman   terhadap   hama meliputi:    antibiosis,    antixenosis,    dan    toleran. Ketahanan  melalui  faktor  fisik/morfologi  tanaman merupakan  bagian  dari  ketahanan  antixenosis  dan digunakan untuk mendeterminasi tingkat ketahanan atau  kepekaan  varietas    kapas  terhadap  Amrasca biguttula.   Bulu   daun   sebagai   salah   satu   sifat fisik/morfologi tanaman kapas mempunyai hubungan erat   dengan   ketahanan   terhadap   A.   biguttula. Kerapatan   bulu   daun   berperan   penting   pada ketahanan kapas terhadap A. biguttula, terbukti adanya korelasi  negatif  antara  kerapatan  bulu  daun  dan tingkat   kerusakan   tanaman.   Varietas   kapas   yang berbulu cenderung lebih tahan terhadap serangan A. biguttula   dibanding   varietas   yang   tidak   berbulu. Penggunaan varietas kapas tahan terhadap A. biguttula dapat mengurangi penggunaan insektisida kimia dan berpotensi    meningkatkan    keanekaragam    hayati, sehingga mempertinggi peran musuh alami.Kata  kunci:    Kapas,  morfologi  tanaman,  Amrasca biguttula, pengendalian hama terpadu ABSTRACTRole of plant morphological characteristics for controlling sucking insect pest, amrasca biguttula (ishida) on cottonThe use of resistant variety is one of the important component  of  Integrated  Pest  Management (IPM). Plant resistance against insect pests consists of three different mechanisms, e.g. antibiosis, antixenosis, and tolerance.    Resistance  to  insect  pests  that  involves physical/morphological characters of plant, is part of antixenosis, which is used to determine the resistance or  susceptibility  of  cotton  varieties  against  sucking insect pest, Amrasca biguttula.  Leaf hairs (trichomes) as a  physical/morphological characters  of  cotton plant have  a  close  relationship  to  jassid  (A.   biguttula) resistance. Leaf hair density has an important role in the resistance of A. Biguttula. It is showed by negative correlation   between   leaf   hair   density   and   jassid damage.  The hairy variety of cotton is more resistant to A. biguttula than those of glabrous (smooth leaf). The use   of      resistant   varieties   lead   to   reduction   in insecticide application in pest control and increase the biodiversity in order to enhance the role of natural enemies.Key words: Cotton, morphological characters, Amrasca biguttula, integrated pest management

Page 1 of 1 | Total Record : 5