cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota malang,
Jawa timur
INDONESIA
Arena Hukum
Published by Universitas Brawijaya
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol. 13 No. 3 (2020)" : 10 Documents clear
PENOLAKAN PEMBERIAN BANTUAN KEMANUSIAAN DARI PBB OLEH MYANMAR DALAM PRESPEKTIF HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL Fransiska Ayulistya Susanto
Arena Hukum Vol. 13 No. 3 (2020)
Publisher : Arena Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.arenahukum.2020.01303.10

Abstract

Abstract The rejection from Myanmar over the United Nation humanitarian aids leads to unnecessary suffering for Rohingya in Myanmar. The rejection are not only for the foods but all kind of aids from the United Nation. The aid rejection violates a number of human rights such as right to life, right to food, and right to health. Although the Myanmar government could decline aids under their rights of sovereignty state, the state must first give sufficient aids to Rohingya. The state could not just cut or decline the humanitarian aids if the state is unwilling and unable to provide the humanitarian aids to the citizen. This paper investigates whether those actions of the Myanmar Government violates the human rights of Rohinya by analyzing the international human rights law instrument with the fact.   Abstract Penolakan Negara Myanmar terhadap bantuan kemanusiaan Perserikatan Bangsa-bangsa telah membuat penderitaan yang tidak diperlukan bagi warga Rohingya di Myanmar. Penolakan tidak hanya terhadap bantuan makanan saja namun juga seluruh jenis bantuan yang berasal dari PBB ditolah oleh Pemerintah Myanmar. Tindakan penolakan bantuan kemanusiaan tersebut telah melanggar hak hidup, hak untuk memperoleh pangan dan hak untuk mendapatkan kesehatan. Meskipun pemerintah Myanmar dapat menolak bantuan kemanusiaan dibawah hak berdaulat suatu Negara, tapi Negara harus memberikan bantuan kemanusiaan secara memadahi kepada Rohingya dulu. Negara tidak dapat memotong atau bahkan menolak bantuan kemanusiaan jika Negara tersebut tidak mau ataupun tidak mampu untuk memenuhi bantuan kemanusiaan untuk warganya. Tulisan ini menganalisis apakah tindakan pemerintah Myanmar tersebut melanggar HAM penduduk Rohingya dengan melakukan analisis terhadap instrument hukum hak asasi manusia internasional dengan fakta-fakta yang terjadi di lapang. 
TELAAH KRITIS STATUS BADAN HUKUM DAN KONSEP DASAR BADAN USAHA MILIK DESA Detania Sukarja; Mahmul Siregar; Tri Murti Lubis
Arena Hukum Vol. 13 No. 3 (2020)
Publisher : Arena Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.arenahukum.2020.01303.9

Abstract

Abstract Law No. 6 of 2014 on Villages (Village Law) appears to construct Village-Owned Enterprise or Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) as a new form of business entity within the Indonesian legal sphere. BUM Desa is considered to be different from other variants of business entities in Indonesia. There are multiple interpretations regarding the status of BUM Desa, debating whether they are legal entities or not. This normative legal research discusses the legal aspects of BUM Desa following the promulgation of the Village Law. It concludes that: (1) theoretically BUM Desa meets the criteria as a public legal entity. The issuance of Law No.11 of 2020 on Job Creation confirms the status of BUM Desa as a legal entity; (2) BUM Desa is a public business entity with a unique character to villages different from other forms of business entity with private ownership such as limited companies and cooperatives. However, legal provisions on BUM Desa still contain logical inconsistencies regarding the basic conception of BUM Desa and Law 12/2011 does not yet include Perdes as statutory regulation. The confirmation of the status of BUM Desa legal entities needs to be complemented by synchronization with Law 12/2011 to strengthen the position of Perdes as the legal basis for the establishment of BUM Desa along with various other sectoral regulations   Abstrak   Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (“UU Desa”) terkesan mengkonstruksikan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) sebagai suatu bentuk badan usaha baru dalam ranah hukum Indonesia. BUM Desa dianggap tidak sama dengan varian badan usaha lain yang ada di Indonesia. Timbul multitafsir mengenai status BUM Desa, apakah berbadan hukum atau tidak berbadan hukum. Penelian hukum normative ini membahas aspek hukum BUM Desa pasca diundangkannya UU Desa. Hasilnya (1) secara teoritis BUM Desa memenuhi kriteria sebagai badan hukum public. Lahirnya UU Cipta Kerja menegaskan status BUM Desa sebagai badan hukum; (2) BUM Desa adalah badan usaha publik bercirikan Desa yang berbeda dengan bentuk-bentuk badan usaha lainnya dimana terdapat kepemilikan privat seperti PT dan koperasi. Namun, ketentuan terkait BUM Desa masih memuat inkonsistensi nalar mengenai konsepsi dasar BUM Desa dan UU 12/2011 tidak mencantumkan Perdes dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Penegasan status badan hukum BUM Desa perlu dilengkapi dengan sinkronisasi dengan UU 12/2011 untuk memperkuat kedudukan Perdes sebagai dasar hukum pendirian BUM Desa dan juga dengan berbagai peraturan sektoral lainnya.
PEMBANGUNAN TATA KELOLA KELAUTAN INDONESIA: PERAN HUKUM INTERNATIONAL MEMBENTUK ETIKA BISNIS KELAUTAN Yohanes Hermanto Sirait; Ai Permanasari
Arena Hukum Vol. 13 No. 3 (2020)
Publisher : Arena Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.arenahukum.2020.01303.2

Abstract

AbstractIssues related to marine governance still need some improvement in Indonesia, where issues on determination of the maritime boundaries between Indonesia and other states are unsettled, the inadequate utilization and development of coastal areas and small islands to the large number of business activities that pollute the sea. This is due to unethical business practices and neglect of marine sustainability. This study aims to examine the development of marine governance from the perspective of international law. The development of governance can begin with the dissemination of business ethics which is an important part of marine governance. This normative juridical study, collected through literature study is analyzed using a qualitative deductive method. The results shows that international law contributes to upholding ethical standards of business and disseminating it to other states. Therefore, Indonesia needs to promote an appropriate business ethics oriented to environmental sustainability. It can begin by spreading the ethic from the international to the national level.  AbstrakPermasalahan tata kelola laut masih butuh perbaikan di Indonesia, dimana belum beresnya penetapan batas-batas laut Indonesia dengan negara lain, belum optimalnya pemanfaatan dan pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sampai pada banyaknya kegiatan bisnis yang mencemari laut. Hal ini dikarenakan praktik kegiatan bisnis yang kurang beretika dan mengabaikan kelestarian laut. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana pembangunan tata kelola kelautan dapat dibangun dari perspektif Hukum Internasional. Pembangunan tata kelola dapat dimulai dengan penyebaran etika bisnis sebagai bagian penting dalam tata kelola kelautan. Penelitian yuridis normative ini dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan dianalisis dengan metode deduktif kualitatif. Hasilnya hukum internasional berkontribusi dalam mengukuhkan standar etika bisnis dan menyebarluaskannya ke banyak negara. Untuk itu, keaktifan negara dalam mendorong etika bisnis yang berorientasi pada kelestarian lingkungan sangat dibutuhkan. Hal ini dapat dimulai dengan membudayakan etika tersebut dari level internasional ke nasional.
PERLINDUNGAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL INDONESIA DALAM SISTEM YANG SUI GENERIS Yenny Eta Widyanti
Arena Hukum Vol. 13 No. 3 (2020)
Publisher : Arena Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.arenahukum.2020.01303.1

Abstract

AbstractThis Paper aims to analyze the importance of Indonesian traditional cultural expressionsgoverned by sui generis. To obtain these objectives, this legal research uses statutory approachwith a systematic interpretation. Based on the results, it can be concluded that the regulationof Indonesian traditional cultural expression in Law Number 28 of 2014 about Copyright still cannot realize the protection of Traditional Cultural Expressions due to differences in charateristic between copyright with Traditional Cultural Expression. AbstrakTulisan ini bertujuan untuk menganalisis pentingnya ekspresi budaya tradisional Indonesia diatur secara sui generis. Untuk memperoleh tujuan tersebut, penelitian hukum ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dengan penafsiran sistematis. Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa pengaturan ekspresi budaya tradisional Indonesia dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta masih belum dapat mewujudkan perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional karena adanya perbedaan karakteristik antara hak cipta dengan ekspresi budaya tradisional.
REFORMULASI PENGATURAN MENGENAI FINANCIAL TECHNOLOGY DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA Nurul Ula Ulya; Fazal Akmal Musyarri
Arena Hukum Vol. 13 No. 3 (2020)
Publisher : Arena Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.arenahukum.2020.01303.5

Abstract

 ABSTRACTFinancial Technology, one of the disruptive innovations that restructures aspects of the financial industry and influences people's lifestyles, needs to be balanced with the fulfillment of accommodative legal development. Efforts to develop Financial Technology has caused the technical and service problems. These problems can be minimized by the construction of a legal component both in terms of substance which to date has been deemed inadequate, as well as the institutional aspect of authority, namely the OJK which is considered to be incapable in accommodating the legal aspects of Financial Technology. As a normative juridical research using legislation and conceptual approaches, the focus of the author here is to annotate legal buildings that cannot guarantee legal protection in the development of Financial Technology in an ideal manner. What needs to be underlined is that the development of Financial Technology should require Technology Ethics considerations that can affect Indonesia's readiness in facing the Disruptive Era. This is where the idea of Technology Ethics needs to be penetrated in legal convergence to create a more ideal legal order. ABSTRAKFinancial Technology, salah satu inovasi disruptif yang merestrukturisasi aspek industri keuangan dan mempengaruhi gaya hidup masyarakat, perlu diimbangi dengan pemenuhan pembangunan hukum yang akomodatif. Upaya pengembangan Financial Technology menghadapi problematika teknis maupun layanan. Hal tersebut dapat diminimalisasi dengan konstruksi komponen hukum baik dari segi substansi yang belum memadai, maupun segi kelembagaan yang berwenang yaitu OJK yang dianggap belum kapabel dalam mengakomodir aspek hukum Financial Technology. Sebagai penelitian yuridis normatif dan pendekatan perundang-undangan serta konseptual, fokus penulis disini adalah memberi anotasi terhadap bangunan hukum yang belum dapat memberi jaminan perlindungan hukum dalam pengembangan Financial Technology secara ideal. Perlu digarisbawahi bahwa pengembangan Financial Technology seharusnya memerlukan pertimbangan Etika Teknologi yang dapat mempengaruhi kesiapan Indonesia dalam menyongsong Disruptive Era. Disinilah gagasan Etika Teknologi dipenetrasikan dalam konvergensi hukum sehingga diharapkan dapat menciptakan tatanan hukum yang lebih ideal.
PERTANGGUNGJAWABAN INDIVIDU ATAS GANTI RUGI DISGORGEMENT YANG MELIBATKAN EMITEN Nikmah Mentari
Arena Hukum Vol. 13 No. 3 (2020)
Publisher : Arena Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.arenahukum.2020.01303.6

Abstract

AbstractThe Financial Services Authority (OJK) launched a discourse by issuing an RPOJK regarding the Disgorgement and Disgorgement Fund. The parties that can be subject to disgorgement are the perpetrators of the violations themselves, including the Issuer as a public limited liability company. However, if the Issuer commits a violation, it is reasonable for the order to be addressed to the in persona (private individual), considering the Issuer is an artificial person who has no will and cannot have a will without the party carrying out behind the scenes. Directors, Commissioners and major shareholders (controllers) are parties who are allowed to commit violations and at the same time enjoy illegal profits from the violation. However, affiliated parties may commit violations involving the Issuer, so if there is an illegal profit, those who enjoy the benefit should be obliged to compensate the disgorgement. The issuer as a public limited liability company has also received administrative sanctions by both the OJK and the stock exchange. It is very unfair for the Issuer to be responsible for paying disgorgement compensation.AbstrakOtoritas Jasa Keuangan (OJK) meluncurkan wacana dengan mengeluarkan RPOJK tentang Disgorgement dan Disgorgement Fund. Para pihak yang dapat dikenakan disgorgement adalah pelaku pelanggaran itu sendiri, termasuk Emiten selaku perseroan terbatas terbuka. Akan tetapi, apabila Emiten melakukan pelanggaran, sewajarnya perintah tersebut ditujukan pada pelaku in persona (individu pribadi), mengingat Emiten sebagai artificial person yang tidak memiliki kehendak dan tidak dapat berkehendak tanpa pihak yang menjalankan di balik layar. Direksi, Komisaris dan pemegang saham utama (pengendali) merupakan pihak yang mungkin melakukan pelanggaran sekaligus menikmati keuntungan ilegal dari pelanggaran tersebut. Namun, pihak terafiliasi mungkin melakukan pelanggaran yang melibatkan Emiten, sehingga apabila terdapat keuntugan ilegal, seharusnya yang menikmati keuntungan tersebut yang diwajibkan mengganti rugi disgorgement. Emiten sebagai perseroan terbatas terbuka juga telah menerima sanksi administratif baik oleh OJK maupun bursa efek. Sangat tidak adil bagi Emiten bila harus bertanggung jawab membayar ganti rugi disgorgement. 
MEREFLEKSIKAN KEADILAN BAGI KONSUMEN TERKAIT KEPATUTAN PROMOSI TRANSAKSI NON-TUNAI Winda wijayanti
Arena Hukum Vol. 13 No. 3 (2020)
Publisher : Arena Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.arenahukum.2020.01303.3

Abstract

 Abstract Although Law Number 8 of 1999 on Consumer Protection has been enforced for 20 years, there are regulations to protect consumer, and submissions to the Constitutional Court 3 times, the material of Consumer Protection Law has never been canceled and changed. This normative juridical study aims to analyze whether or not the Consumer Protection Lawneeds to be amended to fulfill the legal necessities of the community. Merchant (bank) with the  Central Bank of Indonesia policy compete to provide the best promotions so that customers are interested. The selection pay with electronic money causes the powerlessness of consumers to prefer buying goods/services cheaper with cards rather than cash without any promotion of the price of goods/services or pay normal prices as inappropriate to consumers that pay non-cash. Discrimination or different treatment of the price of goods or services that harm consumers who transact in cash result unfairness does not protect the dignity of consumers.AbstrakMeskipun terdapat Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang telah berlaku selama 20 tahun, beberapa Peraturan Pemerintah untuk perlindungan hukum bagi konsumen, dan pengajuan ke Mahkamah Konstitusi sebanyak 3 kali, namun materi UUPK belum pernah dibatalkan atau mengalami perubahan. Penelitian yuridis normatif ini bertujuan menganalisa perlu tidaknya merubah UUPK untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. Bank dengan dukungan kebijakan BI bersaing untuk memberikan promosi terbaik agar nasabah tertarik. Pilihan cara pembayaran dengan uang elektronik menyebabkan ketidakberdayaan konsumen untuk memilih membeli barang/jasa lebih murah dengan memakai kartu daripada membayar tunai tanpa promosi harga barang/jasa atau membayar harga normal sebagai ketidakpatutan promosi bagi konsumen transaksi non tunai. Diskriminasi/perbedaan perlakuan atas harga barang/layanan jasa yang merugikan konsumen yang bertransaksi secara tunai menyebabkan ketidakadilan konsumen membayar secara tunai dan tidak melindungi harkat dan martabat konsumen.
RECOVERY ASET DAERAH YANG DIJADIKAN AGUNAN OLEH PIHAK KETIGA DALAM PERJANJIAN KERJASAMA DENGAN BUMD Khairus Febryan Fitrahady; Ahmad Zuhairi; M. Riadhussyah
Arena Hukum Vol. 13 No. 3 (2020)
Publisher : Arena Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.arenahukum.2020.01303.8

Abstract

ABSTRACTThis paper examines the inability of local governments to recover land assets that have been included as capital for regional-owned enterprises (BUMD). The problem arises when the land is used as an object for collateral by a third party because BUMD is unable to fulfill the achievements in the agreement. This normative research uses a statutory, conceptual and case approach. As a result, the West Lombok Regional Government is still unable to recover regional assets that have been used as collateral by third parties on the basis of a cooperation agreement with BUMD. The land is the capital that is included by the Regional Government to BUMD. Land which becomes the object of capital participation does not automatically transfer to BUMD if the transfer mechanism is not passed and is considered permanent as a regional asset. However, if the Regional Government has approved the land pledge process to the Bank through the general meetings of shareholders (GMS) mechanism, the Government will be very powerless to carry out recovery. However, the regional government could be the losing party if at any time the BUMD cannot fulfill its achievements and the land is auctioned off by the Bank. ABSTRAKTulisan ini mengkaji  ketidakmampuan Pemerintah Daerah melakukan recovery aset tanah yang telah disertakan sebagai modal kepada BUMD. Permasalahan muncul ketika tanah tersebut dijadikan obyek agunan oleh pihak ketiga karena BUMD tidak mampu memenuhi prestasi dalam perjanjian. Penelitian normatif ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual dan pendekatan kasus. Hasilnya, Pemerintah Daerah Lombok barat hingga saat ini masih tidak mampu untuk melakukan recovery terhadap aset daerah yang sudah dijadikan agunan oleh Pihak ketiga dengan dasar perjanjian kerjasama dengan BUMD. Tanah tersebut merupakan modal yang disertakan oleh Pemerintah Daerah kepada BUMD. Tanah yang menjadi obyek penyertaan modal tersebut tidak otomatis beralih kepada BUMD jika mekanisme pengalihan tidak dilalui dan dianggap tetap sebagai aset daerah. Namun jika Pemerintah Daerah telah menyetujui proses pengagunan tanah tersebut kepada Bank melalui mekanisme RUPS, Pemerintah akan sangat tidak berdaya untuk melakukan recovery. Namun, pemerintah daerah dapat menjadi pihak yang dirugikan jika sewaktu-waktu BUMD tersebut tidak dapat memenuhi prestasi dan tanah tersebut dilelang oleh Bank.
KONSEP LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN PADA KOPERASI INDONESIA Agus Saiful Abib; B Rini Heryanti; Dhian Indah Astanti
Arena Hukum Vol. 13 No. 3 (2020)
Publisher : Arena Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.arenahukum.2020.01303.4

Abstract

AbstractBased on data from the Indonesia Ministry of Cooperatives and UMKM until 2015, the number of coorperatives in Indonesia reached 212.135 with the distribution of active cooperatives totaling 150,223 and inactive cooperatives reaching 61,912. These inactive cooperatives can have implications for members as creditors in the event of a aims to examine the arrangement of deposit insurance institutions in cooperatives as study state that regulation of deposit insurance institutions in cooperatives is not establishment of a guarantor institution for cooperatives in Indonesia is a necessity to Number 25 of 1992 concerning Cooperatives by including the deposit guarantor institution in the cooperatives  AbstrackBerdasarkan data Kementerian Koperasi dan UMKM RI hingga tahun 2015 jumlah koperasi di Indonesia mencapai 212.135 dengan persebaran koperasi aktif berjumlah 150.223 dan koperasi tidak aktif mencapai 61.912. Koperasi tidak aktif tersebut dapat berimplikasi kepada anggota sebagai kreditur dalam hal terjadi kemacetan dalam pencairan dana milik anggota koperasi. Penelitian ini bertujuan mengkaji pengaturan lembaga penjamin simpanan pada koperasi serta konsep lembaga penjamin simpanan pada koperasi. Hasil penelitian ini menyatakan pengaturan lembaga penjamin simpanan pada koperasi tidak diatur secara spesifik dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Pembentukan lembaga penjamin pada koperasi di Indonesia adalah suatu keniscayaan untuk segera mungkin dibentuk lembaga penjamin simpanan koperasi dengan melakukan revisi terhadap Undang-Undang tentang Perkoperasian dengan memasukan lembaga penjamin simpanan pada koperasi.
PELAYANAN PERIZINAN SECARA ELEKTRONIK SEBAGAI UPAYA MEMBERIKAN KEPASTIAN HUKUM DALAM MELAKUKAN INVESTASI ) Sentosa Sembiring
Arena Hukum Vol. 13 No. 3 (2020)
Publisher : Arena Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.arenahukum.2020.01303.7

Abstract

 ABSTRACTIn creating an investment climate to compete with other countries, various efforts have been made by the government, including simplifying the licensing process by issuing Government Regulation Number 24 of 2018 concerning Electronically Integrated Business Licensing Services (government regulation). The problem is whether the existence of these regulations can immediately solve licensing problems? This normative research using a statutory approach is collected through secondary data sources. As a result, the issuance of the government regulation is the first step in an effort to speed up the licensing process for investing. However, other efforts are needed so the presence of investors can increase, namely by equalizing the perceptions of all parties related to investment, so that the regulations issued do not conflict with each other. With synchronization, investors will get legal certainty and guarantees in carrying out their investments. ABSTRAK Dalam menciptakan iklim ivestasi agar bisa berdaya saing dengan negara lain, berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah, termasuk menyederhanakan proses perizinan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 Tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (PP No.24/2018). Permasalahannya apakah keberadaan peraturan tersebut dapat serta merta mengatasi persoalan perizinan? Penilitian normatif ini meggunakan pendekatan peraturan perundang-undan dengan menggunakan sumber data sekunder. Hasilnya, diterbitkannya PP No. 24/2018 merupakan langkah awal dalam upaya untuk mempercepat proses perizinan untuk melakukan investasi. Namun, diperlukan upaya lain agar kehadiran investor dapat semakin meningkat yakni dengan menyamakan persepsi dari semua pihak yang terkait investasi, sehingga peraturan yang diterbitkan tidak saling berbenturan. Dengan adanya sinkronisasi maka investor mendapat kepastian dan jaminan hukum dalam menjalankan investasi.

Page 1 of 1 | Total Record : 10