cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Etika Respons
ISSN : 08528639     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 79 Documents
Redaksional Jurnal Etika Sosial ResponS
Respons: Jurnal Etika Sosial Vol 19, No 01 (2014): ResponS Juli 2014
Publisher : Respons: Jurnal Etika Sosial

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (246.318 KB)

Abstract

CoverSusunan RedaksiDaftar IsiEditorial
Masa Depan Filsafat dalam Era Positivisme Logis Alexander Seran
Respons: Jurnal Etika Sosial Vol 19, No 01 (2014): ResponS Juli 2014
Publisher : Respons: Jurnal Etika Sosial

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (294.625 KB)

Abstract

Apabila  filsafat ingin dipertahankan sebagai ilmu pengetahuan maka pembicaraan tentang filsafat harus bertolak dari pengalaman dan dipertimbangkan secara kritis melalui pertimbangan  yang logis. Dengan kata lain, sikap dogmatis tidak dapat dipertahankan dalam mengklaim ilmu pengetahuan pada filsafat di era ilmu pengetahuan empiris. Kendati demikian, filsafat tidak sama dengan ilmu pengetahuan karena tugas filsafat bukan hanya mengkonfirmasi fakta melainkan mempertanyakan secara kritis dan reflektif apa yang diketahui, bagaimana bertindak berdasarkan pengetahuan, dan harapan mengenai kehidupan seperti apa yang diharapkan dari pengetahuan yang benar dan tindakan yang sesuai dengan kebenaran pengetahuan tersebut. Positivisme mematok kebenaran pada fakta sebaliknya  filsafat melampaui klaim kebenaran positivistis itu dengan menekankan sikap kritis bahwa fakta tidak berbicara tentang dirinya sendiri kecuali diartikan. Tidak ada pengetahuan yang bebas nilai karena pengetahuan apa pun adalah ungkapan sebuah nilai.
Kekerasan Dalam Pendidikan Sebuah Survei atas Praktek Pendidikan di Flores NTT Adi, Rianto
Jurnal Etika Respons Vol 14, No 02 (2009): Jurnal Etika Respons
Publisher : Jurnal Etika Respons

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Violence is a real fact that can be described into many forms: physical, emotional, sexual. This article describes the way the people of Flores think about it and justify it into educational action. The survey considers that although violence can be tolerated, the people of Flores implicitly refused violence for the sake of their future generation.
Aspek Hukum dalam Penelitian Rianto Adi
Respons: Jurnal Etika Sosial Vol 19, No 01 (2014): ResponS Juli 2014
Publisher : Respons: Jurnal Etika Sosial

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (209.256 KB)

Abstract

Melalui artikel ini penulis membahas aspek hukum dalam kegiatan penelitian. Indonesia memiliki undang­undang nasional tentang penelitian: “Undang­Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang “Sistem Nasional tentang Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan & Teknologi”. Dalam kegiatan penelitian ­­ terutama penelitian yang berisiko tinggi dan berbahaya, peneliti harus tahu dan tidak bertentangan dengan etika penelitian dan/atau hukum penelitian. Peneliti bisa dihukum jika dia melawan hukum. Namun masalahnya, (1) etika penelitian berbeda dari satu tempat ke tempat lain atau satu disiplin ilmu ke disiplin lain; (2) belum semua etika penelitian menjadi peraturan (hukum); (3) jika organisasi sistem penelitian nasional tidak jelas, sulit bagi para peneliti mematuhi etika penelitian dan/atau  hukum penelitian. Di Indonesia, peraturan dalam penelitian kesehatan lebih jelas daripada bidang lain.
Bingkai-Bingkai Akal Budi Felix Lengkong
Respons: Jurnal Etika Sosial Vol 19, No 01 (2014): ResponS Juli 2014
Publisher : Respons: Jurnal Etika Sosial

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (131.584 KB)

Abstract

Tiga puluh dua tahun lalu, seorang professor dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, Howard Gardner menulis buku Frames of Mind:  The Theory of Multiple Intelligence (1983).  Saat itu hampir semua orang menyangka bahwa intelligensi sama dengan IQ. Padahal IQ merupakan singkatan dari Inteligence Quotient, suatu alat ukur yang mengukur inteligensi. Intelligensi itu sendiri disamakan dengan kecerdasan. Orang yang ber­IQ tinggi dipandang  sebagai orang yang mempunyai banyak kesempatan untuk berhasil. Sementara orang yang ber­IQ rendah adalah yang memiliki keterbatasan untuk berhasil.Buku  tersebut membuka mata  banyak orang  bahwa intelligensi itu bukanlah semata­mata  dan bukanlah hanya intelligensi  umum (logis­ matematis) sebagaimana diukur oleh Tes IQ. Tes IQ tidak secara secermat mengukur potensi­potensi diri seseorang. Lionel Messi (28 tahun) ­­ pesepakbola yang menjadi idola amat banyak anak sedunia – barangkali memiliki hasil Tes IQ yang rendah, namun dalam bidang yang digelutinya, sepak bola, ia digadang­gadang oleh para komentator dan ahli sepak bola sebagai seorang yang genius. Sampai saat ini belum ada pesepak bola yang menyamainya dalam gelar Pesepak  Bola Terbaik Sejagat. Messi sudah menggondol  gelar tersebut sebanyak empat kali. Kemungkinan  besar ia juga akan menggondolnya untuk yang kelima kali.
Memperkuat Tanggung Jawab Moral Peneliti Yeremias Jena
Respons: Jurnal Etika Sosial Vol 19, No 01 (2014): ResponS Juli 2014
Publisher : Respons: Jurnal Etika Sosial

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (127.654 KB)

Abstract

Pendekatan positivistik dalam ilmu pengetahuan tidak pernah hilang sama sekali. Manifestasinya dalam penelitian ilmiah dapat berupa hasrat untuk memperoleh pengetahuan objektif tanpa dipengaruhi oleh otoritas eksternal di luar bidang kajian ilmiah. Dalam konteks penelitian ilmiah, muncul keinginan di kalangan para ilmuwan agar kontrol eksternal seperti yang dilakukan komisi etika penelitian harus dibatasi bahkan dihilangkan. Kalau pun muncul lagi dalam beberapa publikasi di jurnal ilmiah akhir­akhir ini, posisi ini sebenarnya telah kehilangan pamor, bahkan juga ditolak oleh para ilmuwan sendiri. Dalam tulisan ini, penulis membela posisi pemikiran yang mengatakan bahwa etika penelitian tetap dibutuhkan, dan itu dijalankan oleh komisi etika penelitian. Meskipun demikian, mengingat bahwa komisi etika penelitian tidak memiliki seluruh perangkat pengontrol yang dibutuhkan untuk mencegah peneliti melakukan penelitian dan publikasi yang tidak etis, penulis berpendapat bahwa pemerkuatan watak moral dalam diri peneliti dapat memainkan peran sebagai kontrol moral secara internal. Dengan begitu, komisi etika penelitian pada akhirnya hanya akan menjalankan kontrol minimal, karena ilmuwan sudah melakukan kontrol moral dalam dirinya untuk menjalankan penelitian yang tidak melanggar prinsip-­prinsip moral.
Kekerasan: Wujud Kehampaan Eksistensi Sebuah Tinjauan Etis atas Pemikiran Erich Fromm Sihotang, Kasdin
Jurnal Etika Respons Vol 14, No 02 (2009): Jurnal Etika Respons
Publisher : Jurnal Etika Respons

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Erich Fromm’s analysis of the root of violence in The Anatomy of Human Destructiveness can be seen as a starting point to understand the nature of violence. He contends that violence is not existential but exists as a result of a negative condition that prohibits someone to grow according to his own choice. According to this definition, human aggression is neutral. It can be identified as defensive if it is used to save life, and as destructive one if it destroys the life itself and against the human values. Fromm explains that the progress of technology and science are the main factors that cause modern man, that is called cybernetic man, to act destructively in their life.
Kejahatan yang Banal dan Kekerasan oleh Negara: Refleksi Hannah Arendt atas Pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem Jena, Yeremias
Jurnal Etika Respons Vol 14, No 02 (2009): Jurnal Etika Respons
Publisher : Jurnal Etika Respons

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Following the whole process of the trial of Eichmann in Jerusalem, Hannah Arendt realised that crimes and violence (evil) done by Eichmann and the Nazi were the clues of the absence of the thoughtfulness. The question arises as to why a thoughtless man like Eichmann did such a big crime and violence against the Jews? The absence of reflective and philosophical thoughts that expels a moral agent to justify his moral deeds has become the root cause why Eichmann failed to act according to some fundamental moral principles. The trial of Eichmann was really an exposure of the banality of evil against humanity. Could reason or reflective thoughts hinder a moral agent from evil deeds? How should we understand the banality of evil in political exercise? By reflecting the thoughts of Hannah Arendt on the banality of evil, this article discusses and tries to answer these questions.
Kearifan Lokal Masyarakat Desa Beji dalam Pemanfaatan Hutan Wonosadi Bernardus Wibowo Suliantoro
Respons: Jurnal Etika Sosial Vol 19, No 01 (2014): ResponS Juli 2014
Publisher : Respons: Jurnal Etika Sosial

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (196.752 KB)

Abstract

Hutan Wonosadi merupakan hutan yang dipandang keramat oleh masyarakat desa Beji kecamatan Ngawen Kabupaten Gunung  Kidul. Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tidak hanya bernilai tunai secara ekonomis  tetapi juga kaya akan mitos, cerita rakyat, memori kolektif sehingga membentuk ethos luhur masyarakat pada saat berelasi dengan sesama, alam dan para leluhurnya. Cara pandang masyarakat memberi pengaruh sugestif sehingga masyarakat lebih bersikap bijaksana pada saat memanfaatkan hasil hutan. Masyarakat memiliki ketrampilan mengelola konflik antara kepentingan ekonomi, ekologi maupun sosial­budaya ke dalam sistem pembagian yang lebih berkeadilan dengan cara memfungsikan hutan sebagai sarana pengembangan nilai­nilai humanisme integral. Pemenuhan kebutuhan ekonomi diperoleh dengan tanpa mengabaikan pengembangan aspek kultural maupun kelestarian lingkungan. Hutan dipandang  sebagai tempat bergantung berbagai makhluk, sehingga harmoni dalam keseimbangan dan kesinergisan antar aspek kehidupan ditempatkan sebagai landasan moral pengembangan etika lingkungan.
Memaknakan Pengalaman Traumatis Kekerasan: Hannah Arendt dan Viktor Frankl Lengkong, Felix
Jurnal Etika Respons Vol 14, No 02 (2009): Jurnal Etika Respons
Publisher : Jurnal Etika Respons

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Holocaust is such a traumatizing event, not only to those who had a direct contact with it such as Hannah Arendt and Viktor Frankl, but also to many people who have indirectly got to know about it through reading or watching Holocaust movies. Assuming that both Hannah Arendt and Viktor Frankl were somehow affected by such a traumatic experience, this article traces out such an effect in the works and writings of those celebrated thinkers. From the perspective personality psychopathological symptoms – traced in the life history of both – it concludes that there were no traces of posttraumatic stress in the life of both thinkers. Seemingly their positive cognitive processes took them from posttraumatic stress control. Instead of succumbing to despair, in line with Frankl’s theory – they found meaning in the suffering.