Claim Missing Document
Check
Articles

Found 18 Documents
Search

Optimalisasi Proses Asesmen terhadap Penyalah Guna Narkotika dalam Rangka Efektivitas Rehabilitasi Medis dan Sosial Bagi Pecandu Narkotika Riki Afrizal; Upita Anggunsuri
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 19, No 3 (2019): Edisi September
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (528.27 KB) | DOI: 10.30641/dejure.2019.V19.259-268

Abstract

Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mengatur bahwa pecandu narkotika dan korban penyalah guna narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Selanjutnya pasal 127 ayat (3) undang-undang tersebut menyatakan bahwa dalam hal penyalah guna dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalah guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pengaturan tersebut membuka peluang bagi orang yang sedang dalam proses hukum terkait kasus narkotika untuk mengajukan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Dapat atau tidaknya menjalani proses rehabilitasi pada tahap penyidikan dan penuntutan akan tergantung kepada proses asesmen yang dilakukan. Proses asesmen ini berperan penting dalam menentukan rehabilitasi terhadap penyalah guna narkotika. Rumusan masalah yang akan dibahas, yaitu: 1) Bagaimanakah proses asesmen terhadap pecandu narkotika pada tahap penyidikan dan penuntutan, 2) Bagaimanakah koordinasi penyidik dan penuntut umum dengan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis sosiologis. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terhadap penyalah guna narkotika yang menjalani proses hukum pada tahap penyidikan atau penuntutan dapat menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial setelah melalui proses asesmen. Proses asesmen dilaksanakan oleh Tim Asesmen Terpadu yang terdiri dari Tim Hukum dan Tim Dokter. Melalui Tim Asesmen Terpadu akan ditentukan apakah seorang tersangka atau terdakwa penyalah guna narkotika sebagai pengedar atau pecandu narkotika serta melalui Tim Medis akan diuji kandungan serta tingkat keparahan pengguna narkotika. Apabila berdasarkan pemeriksaan Tim Asesmen Terpadu diputuskan dapat menjalani rehabilitasi medis, maka tersangka atau terdakwa penyalah guna narkotika akan diserahkan ke lembaga rehabilitasi. Koordinasi antara penyidik atau penuntut umum dengan lembaga rehabilitasi medis dapat dilihat dari awal penyerahan, pelaksanaan, hingga penyerahan kembali kepada penyidik atau penuntut umum. Khusus untuk rehabilitasi yang dilaksanakan dengan rawat jalan, kewenangan menghadirkan tersangka atau terdakwa yang direhabilitasi ada pada lembaga yang menyerahkan (penyidik atau penuntut umum).
Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika melalui Pengusutan Tindak Pidana Pencucian Uang Terhadap Pengedar Narkotika Riki Afrizal
Simbur Cahaya VOLUME 27 NOMOR 1, JUNI 2020
Publisher : Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (684.31 KB) | DOI: 10.28946/sc.v27i1.416

Abstract

Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika merupakan kejahatan yang sangat luar biasa. Dampak kerugian yang besar dari tindak pidana narkotika justru sebaliknya bagi pelaku memperoleh keuntungan. Keuntungan yang diperoleh oleh pengedar atau bandar narkotika ini sangat besar mengingat angka ketergantungan pengguna dan penyalahguna barang haram ini setiap tahunnya sangat tinggi. Keuntungan yang didapat oleh pengedar atau bandar tersebut diketahui dari penelusuran terhadap harta kekayaan atau aset yang dimilikinya. Pengungkapan kasus narkotika ini semakin meningkat seiring dengan tingkat kasus peredaran dan penyalahgunaannya. Sebagai kejahatan yang luar biasa, maka pengusutan harta kekayaan yang didapat dari peredaran gelap narkotika melalui pengusutan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sangat mungkin untuk dilakukan oleh penyidik. Penyidik tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sebagai predicate crime berwenang melakukan penyidikan terhadap TPPU nya. Pada kasus peredaran gelap narkotika perlu dilakukan penelusuran aset dan harta kekayaan serta keterkaitan dengan tindak pidana narkotika yang sedang diusut meskipun pada kenyataannya pelaku terutama bandar peredaran gelap narkotika sangat rapi dalam mengatur dan menyembunyikan transaksi keungannya. Penerapan pasal TPPU dalam kasus peredaran gelap narkotika perlu dioptimalkan sebagai salah satu cara untuk memutus rantai peredaran narkotika.
Gugatan Keperdataan Oleh Jaksa Pengacara Negara Sebagai Upaya Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Karena Korupsi Iwan Kurniawan; Riki Afrizal
Nagari Law Review Vol 5 No 1 (2021): Nagari Law Review
Publisher : Faculty of Law, Andalas University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/nalrev.v.5.i.1.p.103-115.2021

Abstract

Stollen assets recovery is one of the main purpose of eradicating corruption policy in Indonesia. Private lawsuit is one of the mechanisms that can be used to achieve this purpose. This mechanism has been regulated in Law Number. 31 of 1999 as amended by Law Number. 20 of 2001 Concerning the Eradication of Crimes of Corruption. This article analyses the extent to which private lawsuits mechanism in that Law can normatively accommodate the efforts to recover state financial losses due to corruption and the problems faced by State Attorneys in implementing these rules. This study uses both normative and empirical legal research methods. Primary data in this research was carried out by purposive sampling method in several District Attorney offices in West Sumatra. From what has been done, it can be said that the rules regarding private lawsuits in Law no. 31 of 1999 and Law No. 20 of 2001 concerning The Eradication of Crime of Corruption has opened a fairly flexible space for state attorneys to submit private action to recover state financial losses. However, the space provided by these laws and regulations has not been fully utilized by the Attorney General's Office, especially the District Attorney's Office in West Sumatra. There are several problems, both juridical and non-juridical in nature, such as: the problem of proof in the civil case, the misunderstanding of the attorney officer about the rules of private lawsuits in that Law, the problem of tracking assets, and the problem concerning the benefits or profits. In fact, the profits obtained from this private lawsuit do not have a significant impact on efforts to recover state losses.
PENGUATAN SISTEM PERADILAN PIDANA MELALUI KEWAJIBAN PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN DIMULAINYA PENYIDIKAN Riki Afrizal
Jurnal Yudisial Vol 13, No 3 (2020): DOCUMENTARY EVIDENCE
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v13i3.386

Abstract

ABSTRAKPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang menguji Pasal 109 ayat (1) KUHAP tentang kewajiban penyampaian surat pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh penyidik kepada penuntut umum, terlapor, korban/pelapor dalam jangka waktu tujuh hari. Putusan ini menegaskan bahwa pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh penyidik kepada penuntut umum yang sebelumnya tanpa kepastian, sehingga sering terjadi surat pemberitahuan dimulainya penyidikan disampaikan secara bersamaan dengan berkas perkara dan koordinasi antara kedua lembaga penegak hukum baru terlihat pada saat itu. Permasalahan pada penulisan ini adalah bagaimanakah pertimbangan hakim konstitusi berkaitan dengan kepastian hukum dalam sistem peradilan pidana serta bagaimanakah implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terhadap sistem peradilan pidana terpadu. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan hakim konstitusi dalam putusannya menjelaskan bahwa Pasal 109 ayat (1) KUHAP terdapat ketidakpastian mengenai koordinasi antara penyidik kepolisian dan penuntut umum. Ketidakpastian akan berpengaruh kepada mekanisme checks and balances dalam proses peradilan pidana. Putusan Mahkamah Konstitusi khsususnya terhadap pengujian Pasal 109 ayat (1) KUHAP memberikan kejelasan dan kepastian hukum mengenai kewajiban penyidik untuk menyampaikan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan dalam jangka waktu tujuh hari kepada penuntut umum. Putusan Mahkamah Konstitusi berimplikasi semakin diperkuatnya keterpaduan dalam sistem peradilan pidana antara subsistem kepolisian dengan subsistem kejaksaan.Kata kunci: sistem peradilan pidana terpadu; penyidikan; surat pemberitahuan dimulainya penyidikan. ABSTRACT Constitutional Court Decision Number 130/PUU-XIII/2015 examines Article 109 paragraph (1) of the Criminal Code Procedure concerning the obligation to submit notification of the investigator's commencement by investigators to the public prosecutor, reported, victim/reporter within seven days. This decision confirms that the notification of the investigator's commencement to the public prosecutor was previously uncertain. It often happened that the notification of the investigator's commencement was delivered simultaneously with the case les, and coordination between the two law enforcement agencies was only visible at that time. This writing problem is how the constitutional judge considerations are related to legal certainty in the criminal justice system and the Constitutional Court Decision's implications on the integrated criminal justice system. The research method used is normative legal research with a case study approach. The results showed that the constitutional judge consideration in their decisions explained that the uncertainty was in Article 109 paragraph (1) of the Criminal Code Procedure regarding the coordination between police investigators and public prosecutors. Uncertainty will affect the checks and balances mechanism in the criminal justice process. The Constitutional Court's Decision regarding the review of Article 109 paragraph (1) of the Criminal Code Procedure provides clarity and legal certainty regarding investigators' obligation to submit a notification letter for the commencement of investigation within seven days to the public prosecutor. The Constitutional Court's Decision has implications for strengthening integration in the criminal justice system between the police subsystem and the prosecutors' subsystem. Keywords: integrated criminal justice system; investigation; notification of the investigator's commencement.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK (Suatu Kajian Yuridis Normatif) Terhadap Implementasi Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistim Peradilan Pidana Anak di Sumatera Barat Efren Nova; Riki Afrizal
UNES Journal of Swara Justisia Vol 6 No 4 (2023): UNES Journal of Swara Justisia (Januari 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v6i4.298

Abstract

Anak merupakan amanah dari Tuh an Yang M aha Esa yang melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak perlu mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat.Sejak diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012,Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak , memiliki berbagai konsekuensi terhadap berbagai pihak dalam penanganan perkara anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam UUSPPA, dikenal lembaga baru seperti Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), RPKA (Ruang Pelayanan Khusus Anak dan LPKS (Lembaga Penyelenggaran Kesejahteraan Sosial). Implikasi lainnya dari UUSPPA adalah berkaitan dengan peraturan pelaksana dari Undang-Undang tersebut dimana Pemerintah diwajibkan untuk menetapkan 6 (enam) Peraturan Pemerintah dan 2 (dua) Peraturan Presiden.Anak merupakan amanah dari Tuh an Yang M aha Esa yang m elekat harkat dan m artabat sebagai manusia seutuhnya. Permasalahan dalam penelitian ini: Pertama, bagaimana implementasi Undang-Undang Sistim Peradilan Pidana anak di Sumatera Barat? Kedua Sejauhmana peran pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) menurut Undang-Undang No 11 tahun 2012 tentang Sistim Peradilan Pidana Anak di Sumatera Barat? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah socio legal approach yaitu yang bersifat kualitatif, berdasarkan data kepustakaan, dengan dua pendekatan yaitu; pendekatan sosial dan pendekatan yuridis normatif. Berdasarkan hasil penelitian Implementasi UU SPPA belum sesuai dengan apa yang diamanatkan UU SPPA seperti: 1) peraturan pendukung yang belum diselesaikan, dari 8 ( delapan ) baru 3 ( tiga ) yang terealisasi, 2). Kurangnya lembaga baru penganti tempat penangkapan dan penahanan yaitu, belum tersedianya disemua Propinsi LPKA,LPAS,RPKA dan LPKS, 3). Belum terrealisasinya ketentuan Pasal 105 UU SPPA terkait dengan pembangunan BAPAS di setiap Kabupaten.Kota termasuk di Sumatera Barat. Sedangkan upaya yang dilakukan pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap ABH adalah penerapan diversi menurut UU SPPA sesuai dengan yang diatur Pasal 6 dan 7. Pemerintah perlu mempercepat mengeluarkan peraturan pendukung UUSPPA dan melalui Kemenkumham perencanaan pembangunan LPKA,LPAS,LPKS dan RPKA serta BAPAS.
PENGUATAN ASPEK PERLINDUNGAN HAK TAHANAN MELALUI PENGATURAN FUNGSI PELAYANAN TAHANAN DALAM UNDANG-UNDANG PEMASYARAKATAN Tenofrimer Tenofrimer; Riki Afrizal
UNES Journal of Swara Justisia Vol 6 No 4 (2023): UNES Journal of Swara Justisia (Januari 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v6i4.292

Abstract

Undang-undang nomor 22 tahun 2022 tentang pemasyarakatan baru saja diundangkan menggantikan undang-undang pemasyarakatan sebelumnya. Salah satu fungsi pemasyarakatan adalah menyangkut pelayanan tahanan. Dengan demikian terdapat penegasan posisi pemasyarakatan sebagai sub sistem peradilan pidana yang tidak hanya berperan pada bagian akhir proses peradilan, tetapi juga pada saat berjalannya peradilan pidana melalui pelayanan tahanan. Pengaturan ini tentu memiliki korelasi terhadap perlindungan ham tahanan. Metode penelitian yang digunakan yuridis normatif dengan pedekatan konseptual dan pendekatan perundang-undangan. Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan pengaturan fungsi pelayanan tahanan dalam undang-undang pemasyarakatan, menunjukkan bahwa terdapat penegasan dan penguatan perlindungan ham terhadap tahanan atau tersangka. Hal ini juga sesuai dengan konsep pemasyarakatan yang menempatkan kedudukan pemasyarakatan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana. Disamping itu juga pengaturan ini sejalan dengan tujuan sistem pemasyarakatan berupa perlindungan terhadap hak tahanan.
Pemenuhan Hak Atas Pelayanan Kesehatan Yang Layak Bagi Narapidana Lanjut Usia Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas Ii A Padang Nelwitis Nelwitis; Riki Afrizal; Muhammad Rizki Noor
Pagaruyuang Law Journal Volume 6 Nomor 2, Januari 2023
Publisher : Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31869/plj.v0i0.4008

Abstract

Salah satu hak narapidana adalah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak. Hal ini diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan tidak hanya dihuni oleh mereka dengan usia muda tetapi juga oleh mereka dengan usia lanjut atau lansia. Berdasarkan Permenkumham Nomor 32 Tahun 2018 Tentang Perlakuan Bagi Tahanan Dan Narapidana Lanjut Usia menjelaskan bahwa narapidana yang berumur 60 tahun harus diberi perlakuan khusus termasuk pelayanan kesehatan dan makanan yang layak. Pada lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang terdapat 7 orang narapidana lanjut usia dan memerlukan pelayanan kesehatan dan makanan layak sesuai dengan hak nya. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis sosiologis dengan pendekatan deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sehingga secara normatif memiliki landasan hukum yang kuat agar hak tersebut dapat dipenuhi. Hal ini dilakukan juga dalam rangka mencapai tujuan dari sistem pemasyarakatan. Pemenuhan Hak mendapatkan pelayanan kesehatan bagi narapidana lanjut usia di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Padang belum terlaksana secara maksimal khususnya pelayanan promotif yaitu belum tersedianya sumber daya manusia yang cukup seperti psikolog, konseling, dan tenaga penyuluh kesehatan. Begitu juga dengan belum terlaksananya pemeriksaan kesehatan secara rutin karena keterbatasan dokter yang ditempatkan.
PEMBERDAYAAN PERADILAN ADAT DALAM MENYELESAIKAN PERKARA PIDANA MENURUT HUKUM ADAT SALINGKA NAGARI DI SUMATERA BARAT Nelwitis A; Riki Afrizal
UNES Journal of Swara Justisia Vol 7 No 2 (2023): UNES Journal of Swara Justisia (Juli 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v7i2.342

Abstract

Peradilan Adat adalah suatu peradilan yang menerapkan sistem hukum adat bagi masyarakat hukum adat pencari keadilan yang melalui mekanisme musyawarah. Eksistensi Peradilan Adat tidak terbatas pada penyelesaian sengketa adat, namun juga mencakup perkara pidana. Hal itu memunculkan tiga isu yang harus diulas, yakni bagaimana perumusan batasan dan bentuk-bentuk perkara pidana dalam Peraturan Nagari yang digunakan sebagai pedoman dalam penyelesaian perkara pidana melalui Peradilan Adat, bagaimana eksistensi Peradilan Adat sebagai lembaga yang berwenang menurut adat untuk memeriksa dan mengadili perkara pidana, serta bagaimana persepsi masyarakat umum tentang keberadaan Peradilan dalam menyelesaikan perkara pidana. Dengan menggunakan metode penelitian sosiologis dan normatif, kajian ini menyimpulkan bahwa batasan dan bentuk pelanggaran yang dirumuskan terbatas pada delik adat yang masuk dalam kategori delik aduan dan perkara pidana ringan. Kemudian eksistensi Peradilan Adat yang mencakup pidana ringan dilaksanakan melalui mekanisme bertingkat dengan melibatkan KAN. Sementara masyarakat umum memiliki persepsi yang menginginkan pemberdayaan Peradilan Adat secara optimal karena lebih mengedepankan musyawarah secara kekeluargaan yang merupakan prinsip komunal pada masyarakat hukum adat. Penelitian ini menyarankan agar adanya penyeragaman perkara pidana ringan yang dapat diselesaikan Peradilan Adat melalui Peraturan Nagari berdasarkan Hukum Adat Salingka Nagari di Sumatera Barat.
REHABILITASI MEDIS TERHADAP TERDAKWA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM PERSPEKTIF DAKWAAN DAN TUNTUTAN PENUNTUT UMUM Riki Afrizal; Iwan Kurniawan; Teno Frimer
UNES Journal of Swara Justisia Vol 7 No 2 (2023): UNES Journal of Swara Justisia (Juli 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v7i2.382

Abstract

Rehabilitasi medis dapat dijatuhkan dalam putusan hakim terhadap terdakwa penyalahgunaan narkotika. Meskipun hal tersebut telah diatur dan diberi ruang dalam Undang - Undang Narkotika, namun terbatas dalam penerapannya. Hal itu tidak hanya tergantung hakim, Penuntut Umum untuk menempatkan rehabilitasi sebagai prioritas dalam dakwaan dan tuntutan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis sosiologis dan bersifat deskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk dan perumusan dakwaan dalam perkara penyalahgunaan narkotika tergantung kepada kualifikasi pelaku berdasarkan hasil penyidikan dan hasil asesmen terpadu. Dalam hal terdakwa merupakan pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika, maka dakwaan tunggal menjadi pilihan dengan tuntutan berupa rehabilitasi. Bentuk dakwaan yang sering digunakan dalam perkara ini adalah dakwaan subsider atau dakwaan alternatif. Dalam bentuk dakwaan ini rehabilitasi medis tidak ditempatkan pada pilihan utama sebagai dakwaan primer pada bentuk dakwaan subsider atau alternatif terakhir pada dakwaan alternatif. Hal tersebut menutup kemungkinan tuntutan rehabilitasi karena Penuntut Umum lebih mengejar pembuktian terhadap pasal dengan ancaman pidananya
Analisis Putusan Perkara Anak Pelaku Tindak Pidana Eksploitasi Secara Ekonomi Dan Seksual Terhadap Anak Secara Online (Studi Putusan No.6/Pid.Sus-Anak/2020/Pn.Pdg) Ivandro Elpasya; Nelwitis Nelwitis; Riki Afrizal
Lareh Law Review Vol. 1 No. 1 (2023): Lareh Law Review
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/llr.1.1.61-70.2023

Abstract

This paper is a case study with case number 6/Pid.Sus-Anak/2020/Pn.Pdg which has permanent legal force. In this decision, the child is the perpetrator of the crime of economic and sexual exploitation of children. Juridically in Article 70 of the SPPA Law, the personal circumstances of the child, or the circumstances at the time of the act or what happened later can be used as a basis for the judge's consideration not to impose imprisonment. However, in this decision the judge imposed a prison sentence on the child. The problem formulations discussed in this paper are: 1. How is the judge's consideration in imposing a criminal judgment against the child who is the perpetrator of the criminal offense of Economic and Sexual Exploitation of Children (Decision Number 6/Pid.Sus-Anak/2020/Pn.Pdg)? 2. Is the Judge's Decision Number 6/Pid.Sus-Anak/2020/Pn.Pdg. in accordance with the Purpose of Punishment of Children? The legal research method used is normative juridical with a problem approach, namely, case, statutory and conceptual approaches. This research is descriptive analytical, data collection techniques with document studies or literature studies. In the legal analysis of case settlement, according to the author, the child should not have been sentenced to imprisonment because first, the child had not previously committed a criminal offense, second, the child was cooperative and polite during the trial and the consequences of the incident hindered the child's growth and development. Judge Decision Number 2/Pid.Sus-Anak/2019/Pn.Pdg is not in accordance with the objectives of punishment in general, which are more precisely regulated in the SPPA Law because it emphasizes restitution to the original state rather than retaliation, and the use of imprisonment or detention as a last resort or as an ultimum remedium.