Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

Persepsi Aparat dalam Menerapkan Sanksi Kebiri Pelaku Kekerasan Terhadap Anak di Sumatera Barat Efren Nova
Simbur Cahaya VOLUME 29 NOMOR 1, JUNI 2022
Publisher : Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (334.385 KB) | DOI: 10.28946/sc.v29i1.1909

Abstract

Akhir-akhir ini tindak pidana kekerasan terhadap anak  meningkat setiap tahun di Indonesia, yang banyak dilakukan oleh orang-orang  terdekat ( ayah,paman, kakak , kakek ), kekerasan seksual terhadap anak merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia . Untuk mengantisipasinya pemerintah  mengeluarkan Perppu  Nomor 1 tahun 2016  tentang perubahan kedua Undang-Undang 23 Tahun 2002 Perlindungan Anak. Perppu ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 mengatur tentang pemberatan sanksi terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksaul terhadap anak. Perppu tersebut mengatur adanya sanksi pidana dan tindakan yang merupaka ide double track systim , tindakan dimaksud dalam Perppu tersebut berupa pelasaknaan kebiri kimia, pemasangan alat pendekteksi eletronik, rehabilitasi. Kemudian pemerintah juga sudah mngeluarkan Peraturan pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang tata cara pelaksanana sanksi kebiri. Sebagai hal baru keberadaan  sanksi kebiri tersebut dalam sistim hukum pidana tidak lepas dari pandangna pro dan kontra .  Sejak tahun 2016 sampai tahun 2021 baru 1 (satu)  putusan Pengadilan Negeri Mojokerto yang menjatuhkan sanksi kebiri kimia yaitu putusan PN Mojokerto Nomor 69/Pid.Sus/2019/PN.Mjk telah memvonis pelaku pemerkosa 9 orang anak dengan pidana penjara 12 Tahun, dan denda 100 Juta serta pidana tambahan berupa kebiri kimia.  Penelitian ini fokus masalahnya adalah bagaimana persepsi aparat penegak hukum terhadap penerapan saksi kebiri bagi pelaku tindak kekerasan terhadap anak serta apa kendala aparat penegak hukum apabila sanksi kebiri diterapkan di Sumatera Barat. Metode yang digunakan Yuridis sosiologis dengan melakukan  wawancara dengan aparat penegak hukum ( lokasi penelitian di 3( tiga) Kabupaten / Kota di Sumatera Barat . Berdasarkan hasil penelitian   persepsi aparat penegak hukum ( polisi, Jaksa dan Hakim) dalam penerapan sanksi Tindakan kebiri kimia pada pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak yang dilakukan di 3 ( tiga) Kabupaten/Kota di Sumatera barat :Pertama semua aparat penegak hukum setuju dengan adanya sanksi kebiri bagi pelaku kekerasan  seksual terhadap anak, karena dapat memberikan efek jera pada pelaku. Walaupun demikian aparat penegak hukum juga berpendapat tergantung kepada kasus posisi . Sedangkan aparat  penegak hukum yang tidak setuju menyatakan tindakan kebiri kimia melanggar HAM, pelaku karena bertentangan dengan konsep sanksi tindakan yang salah satu tujuanya pemulihan keadaan. Aparat penegak hukum berpendapat bahwa sanksi tindakan kebiri kimia sebagai pidana tambahan dapat memberikan perlindungan kepada korban dan dapat mengurangi angka kekerasan seksual terhadap anak .Dari 3 (tiga) jaksa penuntut umum diantara nya berpendapat  sanksi yang tepat  adalah pidana penjara, pidana denda yang diperberat .Kedua , kendala yang dihadapi oleh aparat penegak hukum apabila apabila sansi kebiri kimia dilaksanakan di Sumatera Barat: bertentangan dengan fatwa majelis kehormatan kode etik kedokteran No 1 tahun 2016, belum adanya sumber dana yang jelas dalam PP No 70 Tahun 2020, terpidana terlalu lama menunggu pelaksanaan kebiri kimia, belum adanya petunjuk  teknis pelaksanaan kebiri kimia.
MODEL PERLINDUNGAN OLEH PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK ( P2TP2A ) TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN TINDAK KEKERASAN DI SUMATERA EFREN NOVA
Riau Law Journal Vol 6, No 2 (2022): Riau Law Journal
Publisher : Faculty of Law, Universitas Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30652/rlj.v6i2.7946

Abstract

Perlindungan terhadap perempuan dan anak saat ini menjadi isu yang berkembang di masyarakat diunia termasuk  di Indonesia. .Kekerasan terhadap Perempuan dan  Anak dapat terjadi dimana saja , bisa didalam rumah, bisa diluar rumah, bisa dijalan dan bisa di sekolah, berupa tindak kekerasan, eksploitasi, pencabulan , perkosaan, bullying, pelecehan seksual, trafiking dan kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan  data dari LSM Nurani Perempuan Sumatera  Barat, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sumatera  Barat dalam 4 (empat) tahun terakhir masih sangat tinggi : pada tahun 2013 setidaknya ada 88 kasus  kekerasan terhadap perempuan, tahun 2014, 81 kasus . Selanjutnya pada  tahun 2016  ada 109 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Rentanya  tingkat kekerasan terhadap perempuan dan anak diSumateran Barat yang menempatkan perempuan dan anak sebagai korban telah mengindikasikan bahwa perlindungan terhadap  perempuan dan anak di Sumatera Barat masih belum maksimal.. Hadirnya P2TP2A setidaknya memberikan gambaran sebagai lembaga yang dibentuk untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak. Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis sosiologis.   Permalasahan dalam penelitian ini adalah  : Pertama, Bagaimana model perlindungan oleh   P2TP2A terhadap perempuan dan anak korban tindak kekerasan  di Sumatera Barat ? Kedua,apa kendala-kendala P2TP2A dalam memberikan perlindungan  terhadap   perempuan dan anak korban tindak kekerasan  di Sumatera Barat ?. Berdasarkan hasil penelitian di Pusat Pelayanan Terpadu  Pemberdayaan Perempuan dan Anak  5 (Lima ) Kabupaten/Kota di Sumatera Barat : Model perlindungan oleh P2TP2A terhadap perempuan dan anak korban tindak kekerasan adalah melalui upaya Pencegahan dilakukan melalui sosialisasi keberadaan  P2TP2A, Penanganan adanya Layanan pengaduan, layanan rehabilitasi kesehatan, layanan rehbilitasi sosial, layanan bantuan hukum dan layanan administrasi data informasi) , Pemulihan dilakukan melalui pelatihan pelatihan agar korban dapat mendiri serta rehabilitasi ssosial agar korban dapat bersosialisasi kembali ke masyarakat. Adapun kendala-kendala yang dihadapi oleh P2TP2A 5 ( lima ) Kabupaten/Kota di Sumatera Barat dalam memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak korban tindak kekerasan  adalah : Anggaran tidak mencukupi  dana  yang tersedia dengan kasus yang ditangani, Sumber Daya Manusia  tetbatanya jumlah petugas dan kurangnya konselor hukum, tenaga psikolog, Sarana dan Prasarana. belum semua  P2TP2A di Sumatera Barat Tessa ( Telepon sabahat anak)  dan shelter / rumah aman.      
IMPLIKASI YURIDIS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2022 TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP KORBAN DALAM SISTIM PERADILAN PIDANA TERPADU YANG BERKEADILAN GENDER Efren Nova; Edita Elda
UNES Law Review Vol. 5 No. 2 (2022): UNES LAW REVIEW (Desember 2022)
Publisher : LPPM Universitas Ekasakti Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/unesrev.v5i2.361

Abstract

Sexual abuse is an act of violence and treatment that degrades human dignity, which is contrary to the values of God and humanity, and disturbs the security and tranquility of the social community. Handling victims of sexual abuse is very important, because the violence has caused various injuries to victims, such as fear, prolonged trauma, feelings of shame, evidentiary problems, repetitive questions by investigators, and the police investigations report process was not carried out properly so that it was difficult for the victim to recount the sexual abuse they experienced. If we look at many cases of violence against women and children, there are still no clear legal solutions. The promulgation of Law Number 12 of 2022 about sexual violence (UU TPKS), it is an effort to reform the law and overcome problems in legal protection of women and children from sexual abuse, namely as follows: preventing all forms of sexual violence, handling, protecting, and recovering victims, carry out law enforcement and rehabilitate perpetrators, create an environment where there is no sexual violence, and ensure non-repetition of sexual violence. Therefore, the problems statement in this research are: First, how are the regulation for the victims management of sexual violence based on Law Number 12 of 2022 about sexual violence (UU TPKS) and the Penal Code. Second, what are the juridical implications of the Law Number 12 of 2022 about sexual violence (UU TPKS) on victims in an Integrated Criminal Justice System that is gender-equitable. The problem approach in this study is a normative juridical, with data sources being the Criminal Procedure Code, the Penal Code, the Law Number 12 of 2022 about sexual violence (UU TPKS), Academic Papers on the Draft Law on the Elimination of Sexual Violence and other relevant sources. The results of the research show that the regulation of the Integrated Criminal Justice System in the UU TPKS regulated in Articles 20-64 is an effort to complement and strengthen the provisions on the rights of victims as regulated in existing laws and regulations. Meanwhile, the juridical implications of the UUTPKS for the Integrated Criminal Justice System are a guarantee of legal certainty, justice and the benefit of law in law enforcement of the Crime of Sexual Violence. A gender-just criminal justice system is one of the breakthroughs to change a non-gender-oriented legal system into a gender-oriented legal system. The system is expected to be able to respond to situations that are always experienced by women and children who are victims of gender-based sexual violence.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK (Suatu Kajian Yuridis Normatif) Terhadap Implementasi Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistim Peradilan Pidana Anak di Sumatera Barat Efren Nova; Riki Afrizal
UNES Journal of Swara Justisia Vol 6 No 4 (2023): UNES Journal of Swara Justisia (Januari 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v6i4.298

Abstract

Anak merupakan amanah dari Tuh an Yang M aha Esa yang melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak perlu mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat.Sejak diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012,Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak , memiliki berbagai konsekuensi terhadap berbagai pihak dalam penanganan perkara anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam UUSPPA, dikenal lembaga baru seperti Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), RPKA (Ruang Pelayanan Khusus Anak dan LPKS (Lembaga Penyelenggaran Kesejahteraan Sosial). Implikasi lainnya dari UUSPPA adalah berkaitan dengan peraturan pelaksana dari Undang-Undang tersebut dimana Pemerintah diwajibkan untuk menetapkan 6 (enam) Peraturan Pemerintah dan 2 (dua) Peraturan Presiden.Anak merupakan amanah dari Tuh an Yang M aha Esa yang m elekat harkat dan m artabat sebagai manusia seutuhnya. Permasalahan dalam penelitian ini: Pertama, bagaimana implementasi Undang-Undang Sistim Peradilan Pidana anak di Sumatera Barat? Kedua Sejauhmana peran pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) menurut Undang-Undang No 11 tahun 2012 tentang Sistim Peradilan Pidana Anak di Sumatera Barat? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah socio legal approach yaitu yang bersifat kualitatif, berdasarkan data kepustakaan, dengan dua pendekatan yaitu; pendekatan sosial dan pendekatan yuridis normatif. Berdasarkan hasil penelitian Implementasi UU SPPA belum sesuai dengan apa yang diamanatkan UU SPPA seperti: 1) peraturan pendukung yang belum diselesaikan, dari 8 ( delapan ) baru 3 ( tiga ) yang terealisasi, 2). Kurangnya lembaga baru penganti tempat penangkapan dan penahanan yaitu, belum tersedianya disemua Propinsi LPKA,LPAS,RPKA dan LPKS, 3). Belum terrealisasinya ketentuan Pasal 105 UU SPPA terkait dengan pembangunan BAPAS di setiap Kabupaten.Kota termasuk di Sumatera Barat. Sedangkan upaya yang dilakukan pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap ABH adalah penerapan diversi menurut UU SPPA sesuai dengan yang diatur Pasal 6 dan 7. Pemerintah perlu mempercepat mengeluarkan peraturan pendukung UUSPPA dan melalui Kemenkumham perencanaan pembangunan LPKA,LPAS,LPKS dan RPKA serta BAPAS.
PENERAPAN RESTORATIVE JUSTIVE DALAM PENYELESAIAN TINDAK KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK SEBAGAI PERWUJUDAN HAK ASAL USUL DI SUMATERA BARAT Efren Nova
UNES Journal of Swara Justisia Vol 7 No 2 (2023): UNES Journal of Swara Justisia (Juli 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v7i2.383

Abstract

Keadilan Restoratif menjadi wacana yang sangat populer di seluruh dunia termasuk Indonesia, ditengah ketidakpuasan masyarakat melihat hukum formal yang didominasi aliran pemikiran positivisme serta tidak optimal mengakomodir rasa keadilan masyarakat. Keadilan Restoratif membuka kesadaran baru bahwa penyelesaian perkara antara pihak-pihak dalam perkara pidana tidak harus dilandasi oleh semangat balas dendam tetapi dengan jalan perdamaian melalui musyawarah sehingga semua pihak memperoleh manfaat atas keputusan yang disepakati bersama serta untuk mewujudkan keseimbangan antara korban dan pelaku. Indonesia terdiri dari berbagai suku, etnis, adat dan budaya , hal tersebut menjadikan masyarakat Indonesia memiliki persekutuan- persekutuan yang disebut dengan masyarakat hukum adat. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberi peluang untuk menyelesaikan kasus tindak pidana ringan umumnya khususnya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui peradilan adat. Penelitian ini mengkaji mengenai penerapan keadilan restoratif dalam penyelesaian tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai perwujudan hak asal usul di Sumatera Barat serta model mediasi dalam penyelesaian tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai perwujudan hak asal usul di Sumatera Barat. Penelitian ini mengunakan metode Yuuridis sosiologis. Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1). hampir semua nagari menerapkan keadilan restoratif dalam penyelesaian tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak / tindak pidana ringan yang dilakukan dengan musyawarah dan mufakat antara,pelaku,korban dan keluarga ( orang tua, mamak) untuk mengembalikan ke bentuk semula/ perdamaian . Hal ini terungkap dalam pepatah : bulek aia dek pambuluah , bulek kato dek mufakat . Apabila kesepakatan sudah tercapai maka kedua belah pihak harus menaati dan melaksanakan kesepakatan tersebut dengan baik, terungkap dalam pepatah :kok bulek ala bisa digolongkan dan kok picak ala bisa dilayangkan. 2).Model mediasi yang diterapkan dalam penyelesaian tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak dari 8 ( delapan ) nagari yang menjadi lokasi peneltian : 1). dengan membuat surat perdamaian , saling memaafkan antara kedua belah pihak model ini terdapat di 5( limo ) nagari yaitu : Tigo Jangko, Pariangan, Kapau, Koto baru dan Cupak. Dinagari Situjuah Banda Dalam model mediasi adalah dengan surat perdamian kedua belah pihak dan di buang dari nagari,, di Nagari Gantung Ciri dengan surat perdamaian dan di buang sepanjang adat.. Selanjutnya di Nagari Situjuah Batuah terdiri 3 ( tiga ) sanksi adat yaitu : Karek pucuak dijatuhkan sanksi 1 ekor kambing, kubuang batang dengan sanksi 150 kg beras dan karek urek dijatuhkan sanksi 300 kg beras.
Penerapan PERMA Nomor 1 Tahun 2020 Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi : (Studi Kasus Putusan Nomor 33/Pid.Sus/TPK/2020/PN.Pdg) Divani Fajria Hadi; Efren Nova
Delicti : Jurnal Hukum Pidana Dan Kriminologi Vol. 1 No. 2 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/delicti.v.1.i.2.p.1-14.2023

Abstract

Based on data from Indonesia Corruption Watch, in the last 4 years corruption cases related to state’s financial losses are the most committed and increase significantly, oftentimes have disparities in punishment. To overcome this, PERMA No. 1 of 2020 concerning Article 2 and Article 3 of the Corruption Eradication Law was issued. The interesting thing is even though there is a guideline for sentencing related offenses, there are still court decisions that are not in accordance with the provisions of PERMA. One of them is Decision No. 33/Pid.Sus/TPK/2020/PN.Pdg. The issues that are tried to be discussed are: 1) How is the application of PERMA No. 1 of 2020 in Decision No. 33/Pid.Sus/TPK/2020/PN.Pdg; and 2) What is the basis for the judge's consideration in sentencing the defendant in Decision No. 33/Pid.Sus/TPK/2020/PN.Pdg. This research uses normative juridical methods through case approach and statue approach. The results show that: 1) The application of PERMA No. 1 of 2020 in Decision No. 33/Pid.Sus/TPK/2020/PN.Pdg, has not been perfectly applied by the panel of judges. In sentencing, the judge is less thorough so that the crime imposed on the defendant is lower than the level of guilt; and 2) The basis for the judge's consideration in sentencing the defendant in Decision No. 33/Pid.Sus/TPK/2020/PN.Pdg, considers the role of the defendant who, although as the driving force or mastermind of this crime, the defendant will not be able to carry it out if there is no cooperation with the authorized person. Therefore, the panel of judges imposed a lower sentence than the Prosecutor’s demand.
Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dari Kekerasan Seksual : Suatu Kajian Yuridis Empiris Implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Sumatera Barat Efren Nova; Edita Elda
UNES Journal of Swara Justisia Vol 7 No 4 (2024): UNES Journal of Swara Justisia (Januari 2024)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v7i4.444

Abstract

Perlindungan hukum terhadap perempuan dari tindak pidana kekerasan dan bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia merupakan hak semua warga negara yang merupakan hak kontitusional yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kekerasan seksual adalah isu penting dan rumit dari seluruh peta kekerasan terhadap perempuan karena adanya dimensi yang sangat khas dari perempuan, ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban adalah akar kekerasan seksual terhadap perempuan Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini (2017-2022) berdasarkan data dari Sistim Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) Kementerian PPPA terungkap bahwa sepanjang tahun 2022 terjadi sejumlah 25.050 kasus kekerasan terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan di Indonesia. Sedangkan di Sumatera Barat pada tahun 2020 sebanyak 94 kasus, tahun 2021 ada sebanyak 104 kasus dan tahun 2022 sebanyak 300 kasus. Dengan diundangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini merupakan upaya pembaharuan hukum serta mengatasi permasalahan dalam perlindungan hukum terhadap perempuan dari Tindak  Kekerasan Seksual  yaitu  sebagai  beriku: mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasaan seksual, dan menjamin ketidak berulangan kekerasan seksual. Hasil Penelitian menunjukan kebijakan yang telah dilakukan Pemerintah Daerah (DP3AP2KB) Propinsi Sumatera Barat dalam rangka perlindungan hukum terhadap perempuan pasca keluarnya UUTPKS adalah pembentukan Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) yang merupakan amanah dari UU TPKS, di Sumatera Barat baru terbentuk di 7 (tujuh) Kabupaten /Kota, 3 ( tiga) masih dalam proses akademis dan 7 (tujuh) masih belum terbentuk sama sekali, mengadakan sosialisasi UUTPKS dan aparat penegak hukum di Sumatera Barat belum mengimplementasikan UUTPKS dalam rangka perlindungan hukum terhadap perempuan dalam kasus kekerasan seksual dengan alasan ragu karena belum adanya aturan pelaksanaan dan tetap memakai aturan yang ada.
THE INFLUENCE OF PARENTING MODEL TOWARD JUVENILE DELINQUENCY AND ITS PREVENTION IN WEST SUMATERA Nova, Efren
Jurnal Hukum & Pembangunan
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This research was conducted with legal research methods that can be revealed how the law was perceived and implemented by the community through research Juridical Sociological including reviewing legal issue s as an integral part of the community or research approach which emphasizes the legal aspects with regard to the subject to be discussed, is associated with the fact in the field. The purpose of this study was to determine the extent of the influence and the role of parents in caring and educating children through parenting models that cause juvenile delinquency, as well as the effortsthe parents' role in the juvenile delinquency reduction. Object of this study includes elementary school students and junior high school students as well as High School of state or private school at four Regency or City in West Sumatra. The Results of research shows that the influence of parents' parenting models to juvenile delinquency is very influential. The role of parents is very necessary in the prevention of juvenile delinquency by changing the model of parenting applied
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK (Suatu Kajian Yuridis Normatif) Terhadap Implementasi Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistim Peradilan Pidana Anak di Sumatera Barat Efren Nova; Riki Afrizal
UNES Journal of Swara Justisia Vol 6 No 4 (2023): Unes Journal of Swara Justisia (Januari 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v6i4.298

Abstract

Anak merupakan amanah dari Tuh an Yang M aha Esa yang melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak perlu mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat.Sejak diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012,Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak , memiliki berbagai konsekuensi terhadap berbagai pihak dalam penanganan perkara anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam UUSPPA, dikenal lembaga baru seperti Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), RPKA (Ruang Pelayanan Khusus Anak dan LPKS (Lembaga Penyelenggaran Kesejahteraan Sosial). Implikasi lainnya dari UUSPPA adalah berkaitan dengan peraturan pelaksana dari Undang-Undang tersebut dimana Pemerintah diwajibkan untuk menetapkan 6 (enam) Peraturan Pemerintah dan 2 (dua) Peraturan Presiden.Anak merupakan amanah dari Tuh an Yang M aha Esa yang m elekat harkat dan m artabat sebagai manusia seutuhnya. Permasalahan dalam penelitian ini: Pertama, bagaimana implementasi Undang-Undang Sistim Peradilan Pidana anak di Sumatera Barat? Kedua Sejauhmana peran pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) menurut Undang-Undang No 11 tahun 2012 tentang Sistim Peradilan Pidana Anak di Sumatera Barat? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah socio legal approach yaitu yang bersifat kualitatif, berdasarkan data kepustakaan, dengan dua pendekatan yaitu; pendekatan sosial dan pendekatan yuridis normatif. Berdasarkan hasil penelitian Implementasi UU SPPA belum sesuai dengan apa yang diamanatkan UU SPPA seperti: 1) peraturan pendukung yang belum diselesaikan, dari 8 ( delapan ) baru 3 ( tiga ) yang terealisasi, 2). Kurangnya lembaga baru penganti tempat penangkapan dan penahanan yaitu, belum tersedianya disemua Propinsi LPKA,LPAS,RPKA dan LPKS, 3). Belum terrealisasinya ketentuan Pasal 105 UU SPPA terkait dengan pembangunan BAPAS di setiap Kabupaten.Kota termasuk di Sumatera Barat. Sedangkan upaya yang dilakukan pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap ABH adalah penerapan diversi menurut UU SPPA sesuai dengan yang diatur Pasal 6 dan 7. Pemerintah perlu mempercepat mengeluarkan peraturan pendukung UUSPPA dan melalui Kemenkumham perencanaan pembangunan LPKA,LPAS,LPKS dan RPKA serta BAPAS.
PENERAPAN RESTORATIVE JUSTIVE DALAM PENYELESAIAN TINDAK KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK SEBAGAI PERWUJUDAN HAK ASAL USUL DI SUMATERA BARAT Efren Nova
UNES Journal of Swara Justisia Vol 7 No 2 (2023): Unes Journal of Swara Justisia (Juli 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v7i2.383

Abstract

Keadilan Restoratif menjadi wacana yang sangat populer di seluruh dunia termasuk Indonesia, ditengah ketidakpuasan masyarakat melihat hukum formal yang didominasi aliran pemikiran positivisme serta tidak optimal mengakomodir rasa keadilan masyarakat. Keadilan Restoratif membuka kesadaran baru bahwa penyelesaian perkara antara pihak-pihak dalam perkara pidana tidak harus dilandasi oleh semangat balas dendam tetapi dengan jalan perdamaian melalui musyawarah sehingga semua pihak memperoleh manfaat atas keputusan yang disepakati bersama serta untuk mewujudkan keseimbangan antara korban dan pelaku. Indonesia terdiri dari berbagai suku, etnis, adat dan budaya , hal tersebut menjadikan masyarakat Indonesia memiliki persekutuan- persekutuan yang disebut dengan masyarakat hukum adat. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberi peluang untuk menyelesaikan kasus tindak pidana ringan umumnya khususnya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui peradilan adat. Penelitian ini mengkaji mengenai penerapan keadilan restoratif dalam penyelesaian tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai perwujudan hak asal usul di Sumatera Barat serta model mediasi dalam penyelesaian tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai perwujudan hak asal usul di Sumatera Barat. Penelitian ini mengunakan metode Yuuridis sosiologis. Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1). hampir semua nagari menerapkan keadilan restoratif dalam penyelesaian tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak / tindak pidana ringan yang dilakukan dengan musyawarah dan mufakat antara,pelaku,korban dan keluarga ( orang tua, mamak) untuk mengembalikan ke bentuk semula/ perdamaian . Hal ini terungkap dalam pepatah : bulek aia dek pambuluah , bulek kato dek mufakat . Apabila kesepakatan sudah tercapai maka kedua belah pihak harus menaati dan melaksanakan kesepakatan tersebut dengan baik, terungkap dalam pepatah :kok bulek ala bisa digolongkan dan kok picak ala bisa dilayangkan. 2).Model mediasi yang diterapkan dalam penyelesaian tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak dari 8 ( delapan ) nagari yang menjadi lokasi peneltian : 1). dengan membuat surat perdamaian , saling memaafkan antara kedua belah pihak model ini terdapat di 5( limo ) nagari yaitu : Tigo Jangko, Pariangan, Kapau, Koto baru dan Cupak. Dinagari Situjuah Banda Dalam model mediasi adalah dengan surat perdamian kedua belah pihak dan di buang dari nagari,, di Nagari Gantung Ciri dengan surat perdamaian dan di buang sepanjang adat.. Selanjutnya di Nagari Situjuah Batuah terdiri 3 ( tiga ) sanksi adat yaitu : Karek pucuak dijatuhkan sanksi 1 ekor kambing, kubuang batang dengan sanksi 150 kg beras dan karek urek dijatuhkan sanksi 300 kg beras.