Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

EFEKTIVITAS PENEMPATAN PENGUNGSI LUAR NEGERI DALAM PERATURAN PRESIDEN NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI Eddy Asnawi; Bahrun Azmi; Sefrika Marni
PROSIDING SEMINAR NASIONAL CENDEKIAWAN PROSIDING SEMINAR NASIONAL CENDEKIAWAN 2019 BUKU II
Publisher : Lembaga Penelitian Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25105/semnas.v0i0.5871

Abstract

Hingga saat ini, satu-satunya pengaturan tentang pengungsi luar negeri di Indonesia, hanya diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri (P2LN 2016). Oleh karena itu, para pengungsi tersebut ditampung tanpa payung hukum yang jelas/memadai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas penempatan pengungsi luar negeri dan idealnya penanganan pengungsi di Indonesia. Jenis penelitian ini tergolong ke dalam Penelitian Hukum Normatif dengan menggunakan dua jenis pendekatan, yaitu conceptual approach dan statute approach. Efektivitas penempatan pengungsi luar negeri dalam P2LN 2016 adalah tidak tercapainya tujuan dalam bentuk pemerintah daerah kabupaten/kota menentukan tempat penampungan bagi mereka. Idealnya penanganan pengungsi tersebut adalah pemerintah daerah kabupaten/kota menentukan tempat penampungan bagi pengungsi. Selain itu, dibentuk aturan dalam bentuk undang-undang. Selanjutnya, terdapat sanksi bagi pemerintahan di daerah yang melanggarnya. Realitas pada hari ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota yang tidak menentukan tempat penampungan, tidak dikenakan sanksi apapun. Oleh karena itu, hendaknya negara membentuk kebijakan tertulis (undang-undang) yang secara khusus mengatur masalah pengungsi yang berasal dari luar negeri. Dengan demikian, para pengungsi dari luar negeri ditampung dengan dasar hukum yang jelas/memadai seperti batas waktu bagi para pengungsi tersebut berada di Indonesia. 
PENEGAKAN HUKUM ATAS SANKSI PELANGGARAN BATAS KECEPATAN BERKENDARA MAKSIMAL DI JALAN BEBAS HAMBATAN Muhammad Adi Makayasa; Eddy Asnawi; Bahrum Azmi
EKSEKUSI Vol 4, No 2 (2022): Eksekusi : Journal Of Law
Publisher : Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/je.v4i2.14395

Abstract

Pasal 106 ayat (4) huruf g Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Jo. Pasal 23 ayat (4) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah menetapkan batas kecepatan maksimal berkendara di jalan bebas hambatan yaitu 100 km/ jam. Kemudian atas pelanggaran pasal tersebut dpat dikenakan sanksi denda tilang dan pidana kurungan sebagaimana diatur dalam Pasal 287 ayat (5) Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Namun pelanggaran tetap terjadi yang berimbas pada laka lantas selain itu penerapan sanksi pelanggarannya tidak sesuai. Penelitian ini bertujuan mengetahui pelaksanaan regulasi tersebut dan faktor – faktor penghambatnya. Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif. Pendekatan adalah pendekatan kasus dan pendekatan konseptual dengan metode analisis kualitatif. Hasil penelitian diketahui bahwa regulasi tersebut belum dilaksanakan sebagaimana mestinya, penegakan hukumnya lemah yaitu hanya diberikan sanksi denda tilang tanpa diberikan sanksi kurungan pidana. Faktor penyebabnya adalah rendahnya kesadaran hukum masyarakat padahal rambu batas kecepatan maksimal sudah dipasang; Kurangnya sarana dan prasarana yaitu minimnya jumlah speed gun dan terbatasnya jumlah mobil patroli untuk petugas PJR; Faktor aparat penegak hukum terkait jumlah petugas kepolisian yang terbatas dan kurang tegasnya petugas dalam peneranpan sanksi. Dengan demikian diharapkan adanya ketegasan aparat penegak hukum agar sanksi dapat diterapkan sebagaimana mestinya serta adanya kesadaran hukum masyarakat yang untuk taat hukum sehingga pelanggaran tersebut tidak terjadi kembali.Kata Kunci:Penegakan, Batas Kecepatan Maksimal, Jalan Bebas Hambatan
Tinjauan Yuridis Tentang Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/Puu-Xvi/2018 Terhadap Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Perjanjian Internasional Bery Juana Putra; Eddy Asnawi; Bagio Kadaryanto
Jurnal Ilmu Hukum Vol 11, No 1 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30652/jih.v11i1.8185

Abstract

DPR hadir sebagai perwakilan presentatif pemilik kedaulatan sebenarnya, yaitu rakyat di dalam pemerintahan terutama pada penyelenggaraan fungsi legislasi. Putusan MK No. 13/PUU-XVI/2018 tentang Perjanjian Internasional yang tidak mengabulkan permohonan pembatalan terhadap Pasal 2 Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dan merubah tafsir Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, telah merubah kewenangan DPR dalam melaksanakan fungsi legislasinya sehingga menimbulkan berbagai kritik dan permasalahan krusial bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Penelitian ini bertujuan menganalisis kedudukan DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia terhadap perjanjian Internasional dan menganalisis dampak Putusan MK tersebut terhadap kewenangan DPR dalam Perjanjian Internasional. Jenis penelitian yang digunakan adalah adalah penelitian hukum normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang – undangan dan pendekatan konseptual dengan menerapkan metode analisis kualitatif. Hasil penelitian diketahui bahwa: Pasca Putusan MK tersebut membuat kedudukan DPR dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia terhadap perjanjian Internasional tidak berada pada tempat yang seharusnya. Dampak Putusan MK tersebut terhadap kewenangan DPR dalam perjanjian Internasional meletakkan kewenangan DPR dalam pembuatan perjanjian Internasional hanya terbatas pada perjanjian dengan subyek hukum selain negara, sehingga kewenangan DPR melemah. Harapannya adalah dilakukan pembatalan terhadap Pasal 2 Undang – Undang Perjanjian Internasional serta mengembalikan tafsir Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 seperti sediakala sebelum Putusan MK tersebut, karena sejatinya pasal tersebut adalah pasal yang sudah jelas dan tidak butuh penafsiran baru hanya untuk melegalkan suatu kepentingan golongan tertentu.
Penerapan Larangan Berpoligami Bagi Anggota Polri Berdasarkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 Sudiyanto; Eddy Asnawi; Bahrun Azmi
UIR Law Review Vol. 6 No. 2 (2022): UIR Law Review
Publisher : UIR Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25299/uirlrev.2022.vol6(2).12011

Abstract

The disciplinary regulations for Polri members are a series of norms to foster, uphold discipline and maintain order in the life of Polri members. It is necessary to instill in every member of the Police the awareness that discipline is honor. Discipline of members of the Police is an honor as a member of the Police that shows credibility and commitment as a member of the Police. While the legal consequences if a police officer who carries out a polygamous marriage without permission is caught either by his wife or another party and reported to his superiors, the police officer will be subject to sanctions in accordance with the rules that apply to each member of the police as outlined in the police code of ethics. The purpose of this study is to analyze the Implementation of the Prohibition of Polygamy for Members of the Indonesian National Police Based on the Regulation of the Chief of Police Number 6 of 2018, and to analyze the Obstacles and Efforts in Implementing the Prohibition of Polygamy f Keywords: Application, Polygamy, Police
Penerapan Prinsip Kesetaraan Relasi Puskesmas Dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Berdasarkan Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nomor 7 Tahun 2019 Ardiansah; Eddy Asnawi; Dwi Agustina Fajarwati
Humantech : Jurnal Ilmiah Multidisiplin Indonesia Vol. 2 No. 2 (2022): Humantech : Jurnal Ilmiah Multidisiplin Indonesia
Publisher : Program Studi Akuntansi IKOPIN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32670/ht.v2i2.1345

Abstract

Health centers in the JKN/BPJS system have a major role in BPJS health participants. Quality services are services that must have basic requirements, namely, available and sustainable, easily accessible, easily accessible, acceptable and reasonable, and of good quality. The decline in the quality of FKTP can affect the calculation of capitation payments for FKTP. According to Article 4 of BPJS Regulation Number 7 of 2019 concerning Instructions for Implementation of Performance-Based Capitation Payments at first-level health facilities, the contact number is one indicator to see the utilization of the Puskesmas. If the quality of FKTP services decreases, it will certainly have an impact on the number of patient contacts with FKTP. Other impacts that arise are such as reduced capitation payments which have an effect on labor intensiveness in FKTP. This can cause a sense of injustice to the rights that should be obtained. This study aims to analyze the relationship between the Puskesmas and the Social Security Administering Body based on the Regulation of the Social Security Administering Body Article 4 Number 7 of 2019 and to find out the ideal concept of the relationship between the Puskesmas and the Social Security Administering Body based on Indonesian Positive Law. The research method used by the author is normative research which is carried out by finding the rule of law, legal principles, or legal doctrines, as well as searching literature using data bases to answer legal issues faced in writing. The application of the tariff applied by BPJS to Puskesmas is a capitation system, in which the payment of claims in advance every month at health facilities is based on the number of patients who register at the health facility without calculating the type and number of health services provided. This system is effective but pressures health facilities to serve with claims below the basic cost of health services so that health facilities are resistant and provide services that are meager and tend to be poor. Therefore, more effective policies are needed so that equality occurs in order to create good quality in health services. Policies related to the relationship between Puskesmas and BPJS must be based on the basis of the obligations of the State of Indonesia in guaranteeing the right of the people to obtain proper health services in accordance with Article 28 H and Article 34 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, as well as reviewing the responsibilities of the Government and the Government. Regions to provide health facilities that meet these standards and cooperate with BPJS Health in accordance with Articles 35 and 36 of Presidential Regulation Number 111 of 2013 concerning JKN.
Penegakan Hukum Bagi Pelaku Pelanggar Ketentuan Pengangkutan dan Niaga Bahan Bakar Minyak Bersubsidi di Kabupaten Rokan Hulu Rohim Kusuma Putra; Eddy Asnawi; Bagio Kadaryanto
Jurnal Niara Vol. 17 No. 1 (2024)
Publisher : FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS LANCANG KUNING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31849/niara.v17i1.18980

Abstract

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis penegakan hukum bagi pelaku pelanggar ketentuan pengangkutan dan niaga Bahan Bakar Minyak Bersubsidi di Kabupaten Rokan Hulu berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; serta merumuskan faktor penghambat dan upaya mengatasi hambatan.Tulisan ini merujuk pada Teori Negara Hukum, Teori Penegakan Hukum dan Teori Efektivitas Hukum. Populasi dan sampel berasal dari narasumber–narasumber yang relevan dengan penelitian. Sumber data yang digunakan adalah primer, sekunder dan tersier; teknik pengumpulan data: observasi, wawancara terstruktur dan studi dokumen (kepustakaan). Hasil penelitian diketahui bahwa Pasal 55 Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan dan/ atau Niaga Bahan Bakar Minyak yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp.60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah)” pada tahun 2022 dan 2023 belum dilaksanakan dengan baik terutama di di Kecamatan Ujung Batu, Tandun, Tambusai, Kabun dan Kunto Darusalam. Dikarenakan kendala tertentu yaitu belum tertangkapnya beberapa pelaku terutama pelaku utama dalam jaringan pengangkutan dan perniagaan BBM bersubsidi Minyak Solar (Gas Oil) tidak berizin, mengingat pelaku yang melakukan pengangkutan dan perniagaan dalam skala yang tidak begitu besar yang berhasil ditangkap sulit untuk membantu pihak kepolisian dalam mengungkap jaringan mereka. Kemudian penjatuhan vonis hukuman oleh Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian terhadap pelaku yang sudah tertangkap juga terlalu ringan dari tuntutan Jaksa dan batasan aturan pemidanaa dalam regulasi