ELA YULAELIAH
Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

The Jaipongan Drumming Strokes in Lagu Gedé in Sundanese Gamelan Saepudin, Asep; Yulaeliah, Ela
Harmonia: Journal of Arts Research and Education Vol 21, No 1 (2021): June 2021
Publisher : Department of Drama, Dance and Music, FBS, Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/harmonia.v21i1.28206

Abstract

This paper aims to describe the Jaipongan drumming strokes in Lagu Gedé. Lagu Gedé is a type of song in Sundanese Karawitan that has a large embat (rhythm). This song includes a dish of drums vocals accompanied by gamelan pelog-salendro with characteristics that have tone, barrel, surupan, embat, gending, slow tempo, embat opat wilet, and bound by the standard rules. Observations were made by appreciating Jaipongan’s performances in Bandung and Karawang. Besides, the author conducts interviews with several primary informants who are directly involved in the arrangement of Jaipongan. Gedé’s point here is to look at it with a smooth, soft, slow serving. The Kiliningan genre has a specific punch motif name for Gede’s song.  The name of this variation is called tepak melem. Melem has a delicious or gentle meaning. Tepak melem to accompany Sekar Gending songs in Kiliningan genre. The phenomenon that happens that Lagu Gede is served in Kiliningan dish and used to attend Jaipongan dance. When Jaipongan’s work uses Gedé’s song, it generates innovations. Gedé’s song is no longer presented with a glued drum but with a tepak diteunggeul. Diteunggeul contains the meaning of being hit hard, powerful, dynamic, and fast. This research concluded that jaipongan drumming strokes in Lagu Gedé is realized that drummers and dancers must explore many spaces because it has the freedom to work. After all, they present it in an embat opat wilet (big rhythm). This affects the widening of the number of beats, the position of kenongan, pancer, and gongan. Artists have the freedom to do creativity in working on Gede’s songs.  The space of artists in their work can ultimately foster new creativity that impacts the growth and development of Sundanese karawitan.
Tepak Kendang Jaipong dalam Kesenian Campursari Saepudin, Asep Saepudin; Yulaeliah, Ela
PANGGUNG Vol 31, No 2 (2021): Estetika Dalam Keberagaman Fungsi, Makna, dan Nilai Seni
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (757.331 KB) | DOI: 10.26742/panggung.v31i2.1544

Abstract

This paper aims to determine the causes of changes in the Jaipong kendang motifs and analyze its motifs in Campursari. This writing uses the method of descriptive analysis. The entry of the Jaipong kendang in Campursari led to various changes from the original kendang. The conclusions obtained were changes in the multiple motifs of Jaipong kendang as a result of adjusting the Jaipong kendang to the Campursari performance. The Campursari players, who are predominantly Javanese and have traditional values, cannot be separated when they play the Jaipong kendang. The sense of tradition of the artists in playing the Javanese kendang, of course, indirectly channeled in the Jaipong kendang. The result is that new motifs of Jaipong kendang are the result of the artists’ creativity. Jaipong kendang motifs contained in Campursari, in general, are mincid motifs. It is found in almost every song accompanied by the Jaipong kendang. The other motifs are in the form of codes or accents made by artists as a unique feature in every Campursari song. Keywords: tepak, jaipong, mincid, campursari  ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui penyebab terjadi perubahan motif kendang jaipong serta menganalisis motif-motif kendang jaipong dalam Campursari. Metode deskriptif analisis digunakan dalam penulisan ini. Masuknya kendang jaipong dalam Campursari, menimbulkan berbagai perubahan dari kendang aslinya. Hasil kesimpulan diperoleh bahwa terjadinya perubahan beragam motif kendang jaipong sebagai akibat disesuaikannya kendang jaipong dengan sajian Campursari. Pemain Campursari yang mayoritas orang Jawa dan telah memiliki nilai tradisi, tidak lepas begitu saja ketika mereka memainkan kendang jaipong. Rasa tradisi para seniman dalam bermain kendang Jawa, tentunya secara tidak langsung tersalurkan di dalam kendang jaipong. Hasilnya adalah motif-motif baru kendang jaipong hasil kreativitas para seniman. Motif-motif kendang jaipong yang terdapat di dalam Campursari secara umum adalah motif mincid. Motif mincid ini terdapat hampir di setiap lagu yang diiringi kendang jaipong. Adapun motif lainnya adalah berupa kode atau aksen-aksen hasil karya seniman sebagai ciri khusus dalam setiap lagu Campursari.   Kata kunci: tepak, jaipong, mincid, campursari
KONTRUKSI IDENTITAS BUDAYA SUNDA MASYARAKAT JAWA BARAT DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Ela Yulaeliah
SELONDING Vol 16, No 2 (2020): SEPTEMBER 2020
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/sl.v16i2.5054

Abstract

Kontruksi suatu budaya masyarakat pada sebuah wilayah, secara fungsional dapat diamati dari sejarah perkembangan nilai guna pada masa lalu, sekarang dan yang akan datang, seperti seni pertunjukan Sunda masyarakat Jawa Barat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Eksistensi seni pertunjukan sunda menjadi sebuah fenomena yang menarik, karena mampu memposisikan diri ditengah-tengah kemapanan budaya lokal.Perpindahan penduduk Jawa Barat ke Yogyakarta, menyebabkan hadirnya seni pertunjukan Sunda di Yogyakarta sehingga memberi dampak positif terhadap segi kehidupan masyarakat Jawa Barat. Orang Jawa Barat banyak saling mengenal karena sering bertemu dalam acara seni, misalnya dalam latihan membuat karya atau pementasan yang dilaksanakan secara kelompok baik di asrama kabupaten, instansi pemerintahan, Perguruan Tinggi, atau di sanggar-sanggar kesenian. Metode deskriptif analisis dengan pendekatan emik digunakan untuk melihat fenomena kebudayan yang ada di masyarakat berdasarkan pemilik budayanya. Penelitian menunjukkan bahwa kontruksi identitas budaya masyarakat Sunda melalui seni pertunjukan Sunda digunakan diawali dari fungsi sebagai sarana pendidikan, presentasi estetis, serta sebagai sarana komunikasi untuk mempererat hubungan antar sesama warga Jawa Barat. Seni pertunjukan Sunda di Yogyakata lebih berfungsi sebagai alat komunikasi, alat pemersatu etnis Sunda untuk mempererat tali silaturahim di antara warga Jawa Barat
TARAWANGSA DAN JENTRENG DALAM UPACARA NGALAKSA DI RANCAKALONG SUMEDANG JAWA BARAT (Sebagai Sarana Komunikasi Warga) Ela Yulaeliah
SELONDING Vol.3, No.1, 2006
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2311.056 KB) | DOI: 10.24821/selonding.v3i1.5

Abstract

Ngalaksa ceremony is an expression of thankfulness to the God for His gift allowing the the rice harvest. The ceremony is conducted by six villagers in district Rancakalong Sumedang regency and lasts six days and nights with the accompaniment of tarawangsa and jentreng music played countinously. This ceremony is held once in a year following the rice harvest and at the same time regarded as the preparation of the next plant season. Apart from the thankfulness expression, ngalaksa is also considered as an honour of people toward Dewi Sri (the rice Goddess) and as a meeting and communicating arena of the people. Ngalaksa is commenced with the making of laksa (a kind of porrage made of the rice flour, wrapped with congkok leaves {a sort of leaves similar to coconut leaves}, which have been steamed before). The certain people believe that if the number of laksa packages is more than those in the last year, the result of harvest in the next year would be better. There are usually hundreds o/laksa distributed to all participants of the ceremony. The process of making laksa spends four to five days. In the seventh day, regarded as the ultimate days, there is an activity to get the rice into the barn (lumbung) as a symbol of getting rice back to the higher place. At that time, the participants dance with spontaneous movement that is accompanied with tarawangsa am/jentreng music. They are sure that at the time, ancestor spirits including Dewi Sri get down to the earth and dance together with them.
Musik Pengiring dalam Upacara Ngalaksa Masyarakat Rancakalong Sumedang ELA YULAELIAH
Resital: Jurnal Seni Pertunjukan (Journal of Performing Arts) Vol 9, No 1 (2008): Juni 2008
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/resital.v9i1.447

Abstract

Accompanying Music in Ngalaksa Ceremony at Rancakalong Community of Sumedang. This researchis intended to study the important role of music accompanying Ngalaksa ceremony held by the society of Rancakalong,Sumedang District, West Java. Although this ceremony is recently oriented to be a tourist destination, butits original function as a thanksgiving ceremony and original form of ceremony is still kept in accordance with thecustom inherited from generation. One thing that can not be separated from Ngalaksa ceremony is the Tarawangsamusic performance and Kecapi played for seven days and seven nights. By using Etnomusicological approach, it canbe known that the music within Ngalaksa ceremony plays a very important role for generating religious situationand for accompanying spontaneous dances.
Kendang Sunda Di Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardja Desa Kembaran Bantul Yogyakarta Asep Saepudin; Ela Yulaeliah; Subuh Subuh
TAMUMATRA Vol 4, No 2 (2022)
Publisher : Universitas Hamzanwadi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29408/tmmt.v4i2.5787

Abstract

Tujuan penulisan ini untuk menelusuri bagimana perkembangan dan peranan kendang Sunda di Pusat Latihan Tari dalam iringan karawitan tari Bagong Kussudiardja. Seringnya digunakannya kendang Sunda dalam iringan tari karya Bagong Kussuadiardja merupakan hal yang sangat menarik untuk dikaji keberadaannya mengingat di Yogyakarta sudah memiliki kendang Jawa yang secara tradisi masih berlaku pada waktu itu. Metode sejarah digunakan dalam penelitian ini meliputi pencarian data lapangan dan pustaka (heuristik), kritik, interpretasi, dan histografi. Hasil kesimpulan menunjukkan bahwa keberadaan kendang Sunda di Pusat Tari Bagong Kussudiardja dimulai dengan minat Bagong pada seni Tjetje Somantri, yang memberinya inspirasi untuk menciptakan langkah-langkah baru, terutama dalam gerakan, variasi tepak kendang, dan masalah waktu. Para seniman pertama kali berkenalan dengan kendang Sunda dimulai pada tahun 1962 ketika ada pertunjukan seni di tiga wilayah: Yogya, Sunda dan Solo dengan misi untuk membawa pertunjukan di luar Indonesia, seperti RRC, Thailand, Korea, dan Filipina. Pengembangan kendang Sunda terdiri dari dua elemen yaitu dalam instrumen dan pola-pola musik. Kendang Sunda sebagai instrumen di PLT berkembang menjadi dua jenis yaitu kendang Sunda asli dan kendang Sunda dengan pengaruh Jawa. Adapun pengembangan pola-pola kendang Sunda meliputi tahap penghargaan, imitasi, pembelajaran, pencarian identitas, dan tahap kreativitas. Kendang Sunda memiliki pengaruh besar pada iringan musik (karawitan) pada masing-masing karya tari Bagong Kussudiardja, meliputi: Tari Wira Pertiwi, Tari Mulat Wani, Tari Nyai Ronggeng, Tari Lenggotbawa, Tari Satria Tangguh, Tari Tenun, dll. Meskipun banyak iringan karawitan dipengaruhi oleh kendang Sunda, namun masih digunakan dalam kapasitasnya sendiri, di mana kendang Sunda digunakan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan karya yang dibuat. Kendang Sunda berfungsi sebagai instrumen yang dapat dimainkan secara bebas, tidak digunakan sebagai instrumen etnis tertentu.
Akhir Zaman: Representasi Fenomena Alam dan Sosial melalui Komposisi Kacapi Ela Yulaeliah
Resital: Jurnal Seni Pertunjukan Vol 24, No 1 (2023): April 2023
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/resital.v24i1.8028

Abstract

ABSTRACTThe End of Time: Representations of Natural and Social Phenomena through Kacapi Kawih Composition. The objective of this study is to analyze the results of a composition entitled End Times as a representation of natural and social phenomena. The method proposed by Alma W. Hawkins used in the process of creating this work include exploration, improvisation, and formation. The work entitled End Times is inspired by various natural and social phenomena that occur in society, such as volcanic eruption, flood, tsunami, and even covid-19 that boomed recently. Furthermore, the social order of society is increasingly uncertain due to war, assassination, and even oppression by the powerful over the weak. These are signs or characteristics of the end of time related to the involvement of mankind in nature. These various phenomena are the source of creativity and inspire the author to create a fresh work in the composition of the Sundanese kacapi kawih entitled "The End of Time". This composition attempts to construct an atmosphere of silence, emotion, comfort as well as anxiety through the Sundanese musical concepts and elements (rhythmic, melodic, ornamentation, dynamics, and other musical interweaving). In this study, the author used kacapi instruments, flutes, and song lyrics in which the song lyrics were carried through vocals. Since the lyrics are means of conveying moral messages to the public, they are considered as the prominent priority in this composition. The result indicates that the composition work entitled "The End of Time" has succeeded in conveying moral messages about the characteristics of the world’s end of time (apocalypse) to the public through the various phenomena reflected in performances and publications in online media. This art work is a wholesome reminder of moral values that have been eroded recently and encourages people to realize the true purpose of life.ABSTRAKTujuan penulisan ini untuk menganalisis hasil komposisi berjudul Akhir Zaman sebagai representasi dari fenomena alam dan sosial. Metode Alma W. Hawkins digunakan dalam proses penciptaan karya ini meliputi eksplorasi, improvisasi, dan pembentukan. Karya berjudul Akhir Zaman terinspirasi oleh berbagai fenomena alam dan sosial yang terjadi di masyarakat dunia. Dunia sudah dianggap tua dan rapuh, sehingga sering terjadi bencana di mana-mana, seperti gunung meletus, banjir, sunami, bahkan covid-19 yang terjadi bau-baru ini. Begitu pula tatanan sosial masyarakat dunia semakin tidak menentu dengan terjadi perang di mana-mana, pembunuhan, bahkan penindasan oleh orang yang berkuasa terhadap orang yang lemah. Inilah sebagai tanda atau ciri-ciri akhir zaman yang penuh gejolak dengan keterlibatan umat manusia beserta alam lingkungannya. Berbagai fenomena tersebut menjadi inspirasi pengkarya untuk membuat karya baru serta dijadikan sumber ide penciptaan dalam komposisi kacapi kawih Sunda berjudul “Akhir Zaman”. Komposisi ini mencoba membangun suasana hening, haru, hidmat namun was-was yang dibangun melalui konsep musikal Sunda dan unsur-unsurnya (ritmis, melodi, ornamentasi, dinamika, serta jalinan musikal lainnya) dengan instrumen kacapi, suling, dan lirik lagu. Lirik lagu melalui vokal bertujuan agar pesan moral dapat tersampaikan ke publik. Kekuatan lirik lagu merupakan prioritas utama dalam komposisi ini untuk menyampaikan pesan pengkarya. Hasil kesimpulan menunjukkan bahwa karya komposisi berjudul Akhir Zaman telah berhasil menyampaikan pesan moral tentang ciri-ciri akhir zaman (kiamat) kepada publik dengan berbagai fenomenanya yang disampaikan melalui pertunjukan serta publikasi di media online. Hasil karya ini bermanfaat bagi pengingat nilai-nilai moralitas yang sudah tergerus akhir-akhir ini untuk lebih menyadarkan tujuan hidup yang sebenarnya.
PERUBAHAN GENRANG PALILI’ DALAM RITUAL ADAT MAPPALILI’ DI KELURAHAN BONTOMATE’NE KECAMATAN SEGERI KABUPATEN PANGKAJE’NE DAN KEPULAUAN SULAWESI SELATAN Agim Gunawan; Ela Yulaeliah; Amir Razak
SELONDING Vol 19, No 2 (2023): September 2023
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/sl.v19i2.7743

Abstract

ABSTRAKGenrang palili’ merupakan ansambel musik yang memiliki peran penting dalam ritual adat Mappalili’ di Kelurahan Bontomate’ne, Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkaje’ne dan Kepulauan, Sulawesi Selatan. Ritual ini menyangkut keselamatan dan kemakmuran masyarakat Bontomate’ne, terutama agar terhindar dari penyakit, bencana, serta gangguan hama dari segi pertanian. Mappalili’ merupakan ritual adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Bontomate’ne, dengan tujuan mengarak alat kerajaan berkeliling kampung, dalam hal ini ialah rakkala (alat bajak). Seiring berjalannya waktu, terdapat perubahan-perubahan yang terjadi di dalam Mappalili’, baik itu perubahan secara musikal, maupun non musikal. Perubahan tersebut dibagi menjadi faktor eksternal, yaitu perubahan yang terjadi akibat masuknya teknologi dan globalisasi ke dalam masyarakat, dan faktor internal, yaitu perubahan karena pemilik kebudayaan itu sendiri.