Claim Missing Document
Check
Articles

Found 27 Documents
Search

PENYITAAN HARTA KEKAYAAN PELAKU TINDAK PIDANA MONEY LAUNDERING DITINJAU DARI WAKTU TERJADINYA TINDAK PIDANA (TEMPUS DELICTI ) (Studi Putusan MARI No.1195/K/PIDSUS/ 2014) Elfirda Ade Putri; Alvi Syahrin; Muhammad Ekaputra; Chairul Bariah
USU LAW JOURNAL Vol 4, No 3 (2016)
Publisher : Universitas Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (574.267 KB)

Abstract

ABSTRACT The Verdict of the Jakarta Pusat District Court No. 38/pidsus/tpic/2013/Pn.Jkt.Pst indicted Luthfi Hasan Ishak for committing money laundering with 18 year-imprisonment. The result of the research showed that the confiscation of the property which came from money laundering criminal act that occurred before tempus delicti could be performed as it was stipulated in Chapter V, part 4 from 38 until Article 46 of the Penal Code, and some part of it stipulated in Chapter XIV on   Confiscation stipulated in Article 1, letter 16 of the Penal Code. The judge’s consideration in his verdict was not contrary to das solen and das sein. In this case, the defendant’s statement could not prove that his property was obtained from LHKPN so that the panel of judges concluded that his property came from corruption criminal act. Judges as part of law enforcement should improve their performance in their verdicts in upholding legal certainty, sense of justice, and benefit. Keywords: Confiscation of Property, Money Laundering, Tempus Delicti
DASAR HUKUM DAN KEDUDUKAN SERTA TUGAS MAUPUN WEWENANG KOMISI KEJAKSAAN DALAM BINGKAI SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA HUKUM Hotma P. Sibuea; Elfirda Ade Putri
Jurnal Hukum Sasana Vol. 6 No. 2 (2020): Jurnal Hukum Sasana
Publisher : Faculty of Law, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/sasana.v6i2.384

Abstract

Komisi Kejaksaan adalah organ negara penunjang yang dibentuk berdasarkan Perpres Nomor 18 Tahun 2011 untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan kinerja jaksa dan pegawai kejaksaan. Namun, dalam praktik, Komisi Kejaksaan mengalami hambatan dan kendala yang bersumber justru dari regulasi yang mengatur Komisi Kejaksaan.Masalah penelitian yang dapat ditetapkan adalah sebagai berikut. Pertama, apakah dasar hukum, kedudukan, tugas dan wewenang Komisi Kejaksaan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2011 dapat mendorong peningkatan kualitas kinerja jaksa dan pegawai Kejaksaan seperti dikehendaki Pasal 38 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan? Kedua, apakah dasar hukum, kedudukan, tugas dan wewenang Komisi Kejaksaan perlu diubah supaya dapat mendorong kualitas kinerja Kejaksaan sesuai dengan amanat Pasal 38 UU Nomor 16 Tahun 2004? Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian yuridis-normatif. Ada 2 (dua) simpulan yang dikemukakan yakni sebagai berikut. Pertama, dasar hukum, kedudukan, tugas dan wewenang Komisi Kejaksaan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2011 tidak dapat mendorong peningkatan kinerja jaksa dan pegawai Kejaksaan seperti dikehendaki Pasal 38 UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Kedua, dasar hukum, kedudukan, tugas dan wewenang Komisi Kejaksaan perlu diubah supaya organ negara penunjang tersebut dapat mendorong peningkatan kualitas kinerja Kejaksaan sesuai dengan amanat Pasal 38 UU Nomor 16 Tahun 2004. Dalam hubungan dengan kedua simpulan tersebut, saran-saran yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut. Pertama, Penpres Nomor 18 Tahun 2011 harus segera diamandemen berkenaan dengan dasar hukum, kedudukan, tugas dan wewenang Komisi Kejaksaan dan pasal yang menghambat pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Kejaksaan. Kedua, dasar hukum Komisi Kejaksaan perlu ditingkatkan menjadi undang-undang dan kedudukannya menjadi organ negara penunjang otonom (mandiri) yang disertai dengan wewenang yang bersifat menentukan hasil pelaksanaan tugasnya sebagai lembaga pengawas eksternal.
KONSTATIRING HAKIM DALAM PERKARA PERCERAIAN YANG DIPUTUS VERSTEK DI PENGADILAN NEGERI JAKARTA UTARA Elfirda Ade Putri
Jurnal Hukum Sasana Vol. 6 No. 2 (2020): Jurnal Hukum Sasana
Publisher : Faculty of Law, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/sasana.v6i2.386

Abstract

Penelitian ini berkaitan dengan konstatiring Hakim dalam Perkara Perceraian yang diputus Verstek di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan hukum pelaksanaan acara verstek pada ketidakhadiran tergugat dalam perkara perceraian. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah: (1) Apakah ketidakhadiran tergugat pada penjatuhan putusan verstek dalam Putusan Nomor 62/ Pdt.G/2017/PN Jkt. Utr telah sesuai dengan hukum yang berlaku; (2) Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam memutus cerai akibat perselisihan terus menerus. Metode penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis normatif dengan menggunakan pendekatakan deduktif dalam menganalisis data. Adapun hasil yang diperoleh melalui penelitian ini adalah: (1) Pelaksanaan putusan verstek dalam perkara perceraian dilaksanakan sesuai dengan alur perkara yang merupakan ketentuan dalam hukum acara perdata, sehingga putusan verstek dalam putusan tersebut sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku; (2) Dasar pertimbangan yang uraikan majelis hakim dalam putusannya telah sesuai dengan hukum acara perdata yang berlaku. Ketidakhadiran tergugat dianggap telah menerima gugatan penggugat dan penjatuhan putusan telah sesuai dengan Pasal 125HIR/Pasal 149RBg.
Perlindungan Hukum Terhadap Perceraian Akibat Perselisihan Terus Menerus Elfirda Ade Putri
Jurnal Hukum Sasana Vol. 7 No. 1 (2021): Jurnal Hukum Sasana
Publisher : Faculty of Law, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/sasana.v7i1.618

Abstract

Penelitian ini berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap perceraian akibat perselisihan terus menerus pada studi kasus putusan Pengadilan Negeri Nomor 62/Pdt.G/2017/PN Jakarta Utara. Adapun tujuan untuk mengetahui penerapan hukum pelaksanaan acara verstek pada ketidakhadiran tergugat dalam perkara perceraian. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah: (1) Apakah ketidakhadiran tergugat pada penjatuhan putusan verstek dalam Putusan Nomor 62/ Pdt.G/2017/PN Jkt. Utr telah sesuai dengan hukum yang berlaku; (2) Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam memutus cerai akibat perselisihan terus menerus. Metode penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis normatif dengan menggunakan pendekatakan deduktif dalam menganalisis data. Adapun hasil yang diperoleh melalui penelitian ini adalah: (1) Pelaksanaan putusan verstek dalam perkara perceraian dilaksanakan sesuai dengan alur perkara yang merupakan ketentuan dalam hukum acara perdata, sehingga putusan verstek dalam putusan tersebut sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku; (2) Dasar pertimbangan yang uraikan majelis hakim dalam putusannya telah sesuai dengan hukum acara perdata yang berlaku. Ketidakhadiran tergugat dianggap telah menerima gugatan penggugat dan penjatuhan putusan telah sesuai dengan Pasal 125HIR/Pasal 149RBg.
Telaah Kritis Pasal 7 Undang-Undang No.16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan Elfirda Ade Putri
Jurnal Hukum Sasana Vol. 7 No. 2 (2021): Jurnal Hukum Sasana
Publisher : Faculty of Law, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/sasana.v7i2.805

Abstract

Perkawinan juga diatur dalam Pasal 28B Ayat 1 UUD 1945  menyatakan “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan sah”. Dalam Pasal 26 KUHPerdata,  memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata saja. Hal ini berarti bahwa Undang-undangnya mengakui perkawinan perdata ialah perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang memenuhi syarat-syarat atau ketentuan agama tidak terlalu diperhatikan ataupun disampingkan. Sedangkan, menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 menyatakan perkawinan ialah sebuah pernikahan, akad yang sangat kuat atau Miitsaaqan Gholiidhzan yang bertujuan untuk menaati perintah Allah dan menjalankan suatu ibadah. Berdasarkan data statistik dan kajian yang pernah dilakukan, pernikahan dini masih menjadi persoalan sosial di Indonesia. Data BAPPENAS menunjukkan 34.5% anak Indonesia menikah dini. Data ini dikuatkan dengan penelitian PLAN International yang menunjukkan 33,5% anak usia 13 ± 18 tahun menikah pada usia 15-16 tahun. Pernikahan dini menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak, baik secara biologis maupun psikologis. Pernikahan dini berdampak pada tercerabutnya hak anak-anak karena ia dipaksa memasuki dunia dewasa secara instan. Perkawinan usia dini di Indonesia dilatarbelakangi oleh banyak faktor, seperti rendahnya tingkat ekonomi keluarga, rendahnya pendidikan, kurangnya pengetahuan dan edukasi serta yang paling marak yaitu kehamilan di luar nikah.
Akibat Hukum Penetapan Hak Waris Dan Hak Asuh Anak Oleh Hakim Pengadilan Negeri: Studi Putusan Nomor 282/Pdt.G/2014/Pn.Tng Heru Siswanto; Elfirda Ade Putri
Jurnal Hukum Sasana Vol. 7 No. 2 (2021): Jurnal Hukum Sasana
Publisher : Faculty of Law, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/sasana.v7i2.867

Abstract

Perceraian menimbulkan berbagai masalah salah satunya adalah mengenai permasalahan penetapan hak asuh anak. Dalam hal mengenai penetapan hak asuh anak tidak adanya aturan yang pasti mengenai kemana anak akan berlabuh setelah terjadinya perceraian tersebut, karena di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak tidak mengatur kepada siapa anak nantinya akan di asuh baik itu kepada pihak ayah maupun ibu. Pada perkara hak asuh anak biasanya majelis hakim mengacu kepada Yurisprudensi dan Kompilasi Hukum Islam tetapi dalam salah satu perkara ada suatu hal yang unik dalam putusan majelis hakim yang lebih mengarah ke arah hukum adat sehingga mengesampingkan dua hal tersebut yang biasanya menjadi acuan dalam penetapan hak asuh anak. Sehingga hal ini sangatlah penting mengingat bahwa dalam suatu masalah penetapan hak asuh anak tidak berakhir setelah adanya putusan pengadilan tetapi bagaimana orang tua yang mendapatkan penetapan hak asuh anak tersebut dapat memenuhi khususnya masalah pemenuhan hak dan kewajiban terhadap anak itu sendiri. Karena dapat dilihat bahwa anak adalah sebagai korban dari suatu perceraian.
Penyelesaian Sengketa Harta Bersama setelah Perceraian dalam Hukum Positif di Indonesia Elfirda Ade Putri; Windy Sri Wahyuni
JURNAL MERCATORIA Vol 14, No 2 (2021): JURNAL MERCATORIA DESEMBER
Publisher : Universitas Medan Area

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31289/mercatoria.v14i2.5692

Abstract

Artikel ini bertujuan untuk mengetahui dan membahas tentang penyelesaian sengketa harta bersama setelah perceraian dalam hukum positif di Indonesia. Masalah difokuskan pada pembagian harta bersama setelah perceraian anatar suami istri. Guna mendekati masalah ini dipergunakan teori perlindungan hukum dan metode penelitian hukum normatif. Data-data dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan peraturan perundang-undanngan yang berlaku dan dianalisis secara kualitatif. Kajian ini menyimpulkan bahwa harta bersama setelah perceraian biasanya dibagi rata (50%) antara suami dan istri. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 128 KUHPerdata, Undang-undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, serta sejalan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 424.K/Sip.1959. Sementara itu, harta yang diwarisi dan diperoleh masing-masing pihak sebelum terjadinya perkawinan, menjadi milik pribadi mereka sendiri.
Penerapan Hukum Materil terhadap Pelaku Pembunuhan dengan Unsur Penyertaan (Studi Kasus Putusan Mari No. 966 k/pid/2014) Elfirda Ade Putri
JURNAL MERCATORIA Vol 13, No 1 (2020): JURNAL MERCATORIA JUNI
Publisher : Universitas Medan Area

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (885.748 KB) | DOI: 10.31289/mercatoria.v13i1.3124

Abstract

Murder accompanied by inclusion or carried out jointly is a special form of murder that incriminates the perpetrators. Basically, judges 'considerations in deciding cases, especially with murder cases, are sometimes not in accordance with applicable law, apart from that the sentence imposed is sometimes not in accordance with the perpetrators' actions, so that justice is not obtained, especially for the injured parties. There are differences in sentencing in each court, even though prior to sentencing, the judge has considered the same juridical considerations from each court level, whether it consists of indictments of the public prosecutor, defendant's statements, witness statements, witness statements, evidence and articles of law criminal. The application of material law by the Public Prosecutor in the Supreme Court Decision number 966 K / Pid / 2014 is not right. The public prosecutor uses the subsidair indictment using Article 338 paragraph (1) jo Article 55 of the Criminal Code. Public prosecutor did not ensnare the defendant Article Number 340 of the Indonesian Criminal Code, where the criminal act committed by the defendant contained an element of "planning".
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU PENCABULAN YANG MELANGGAR PASAL 76 UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DI WILAYAH PENGADILAN NEGERI BEKASI Elfirda Ade Putri
KRTHA BHAYANGKARA Vol. 13 No. 2 (2019): KRTHA BHAYANGKARA: DECEMBER 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/krtha.v13i2.8

Abstract

Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan tidak hanya terhadap orang dewasa saja, tetapi juga diterapkan terhadap anak pelaku tindak pidana pencabulan. Pengertian tentang anak dapat ditemukan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (disingkat UUPA). Pasal 1 angka 1 UUPA memberikan pengertian atas anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk yang masih berada dalam kandungan. Pencabulan kepada anak oleh anak dapat dijerat dengan Pasal 76 D dan E UU No.35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Anak yang belum berusia 12 tahun dan melakukan tindak pencabulan tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana. Anak yang telah berusia 12 tahun tetapi belum berusia 14 tahun tidak dapat dijatuhi sanksi pidana apabila mereka melakukan pencabulan, hanya dapat dikenai tindakan. Pertanggungjawaban apapun yang diterapkan kepada anak yang melakukan pencabulan harus memperhatikan harkat dan martabat anak serta memperhatikan kepentingan terbaik anak. Jangan sampai stigma atau label akibat pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada anak merusak masa depannya.
Analisis Legal Standing Penerbitan Surat Keterangan Nikah oleh Kepala Desa Pada Pernikahan Siri di Desa Banjarsari Bekasi Muhammad Faisal Hendriawan; Elfirda Ade Putri; Otih Handayani
KRTHA BHAYANGKARA Vol. 14 No. 2 (2020): KRTHA BHAYANGKARA: DECEMBER 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/krtha.v14i2.389

Abstract

Tujuan perkawinan adalah membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan sosialisasi peraturan perundang-undangan bagi masyarakat dan penegakan peraturan oleh pejabat Pemerintah yang berwenang. Peneliti ini bertujuan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum yang positif yang kemudian dihubungkan dengan pembahasan yang menjadi pokok pembahasan. penelitian hukum yuridis normatif dilakukan dengan cara mengkaji aturan hukum bersifat formil seperti undang-undang, peraturan serta literatur yang berisi konsep-konsep teoritis. Hasil penelitian mendeskripsikan berdasarkan Deskresi yang dimiliki Kepala Desa diterbitkan Surat Keterangan Pernikahan oleh Kepala Desa dan Perangkat Desa Banjarsari Bekasi kepada masyarakat Desa yang melakukan pernikahan secara siri/dibawah tangan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keringanan dalam memenuhi syarat administrasi untuk pembuatan dokumen penting. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Kepala Desa dan Perangkat Desa tidak memiliki legal standing untuk menerbitkan Surat Keterangan Nikah sehingga berpotensi melakukan pelanggaran Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang mengakibatkan Surat Keterangan Nikah tidak sah menurut hukum serta kepada Kepala Desa dapat dikenakan sanksi administrasi.