Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

PROBLEMATIKA UPAYA PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA DALAM TATA HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA Ghansham Anand; Fiska Silvia Raden Roro
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 1 (2015): Januari-Juni 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (446.294 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v1i1.9

Abstract

Terhadap putusan yang dijatuhkan dalam tingkat akhir dan putusan yang dijatuhkan di luar kehadiran tergugat (verstek) dan tidak lagi ada upaya untuk mengajukan perlawanan, dalam hukum acara perdata Indonesia dapat dilakukan upaya Peninjauan Kembali atas permohonan pihak yang pernah menjadi salah satu pihak di dalam perkara yang telah di putus dan dimintakan peninjauan kembali. Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan dan dapat dicabut selama belum diputus serta hanya dapat dilakukan satu kali saja. Di dalam praktek beracara di pengadilan,sekalipun ditentukan bahwa upaya peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali namun ternyata pihak yang merasa dirugikan atau belum puas terhadap putusan peninjauan kembali yang telah dia ajukan seringkali kembali mengajukan upaya peninjauan kembali yang kedua kali (peninjauan kembali kedua kali) atau pihak yang merasa dirugikan atas putusan peninjauan kembali, melakukan peninjauan kembali atas peninjauan kembali. Terkait peninjauan kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2009 tentang Peninjauan Kembali, di mana pada surat edaran tersebut mengandung dua hal pokok. Pertama, apabila suatu perkara diajukan peninjauan kembali yang kedua dan seterusnya, maka Ketua Pengadilan Tingkat Pertama menyatakan tidak dapat menerima dan berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung. Kedua, apabila suatu obyek perkara terdapat 2 dua atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu sama lain baik dalam perkara perdata maupun pidana, dan di antaranya ada yang diajukan permohonan peninjauan kembali, agar permohonan peninjauan kembali tersebut diterima dan berkas perkaranya tetap dikirimkan ke Mahkamah Agung. Kata kunci: hukum acara perdata, putusan, peninjauan kembali.
PROBLEMATIKA UPAYA PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA DALAM TATA HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA Ghansham Anand; Fiska Silvia Raden Roro
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 1 (2015): Januari-Juni 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v1i1.9

Abstract

Terhadap putusan yang dijatuhkan dalam tingkat akhir dan putusan yang dijatuhkan di luar kehadiran tergugat (verstek) dan tidak lagi ada upaya untuk mengajukan perlawanan, dalam hukum acara perdata Indonesia dapat dilakukan upaya Peninjauan Kembali atas permohonan pihak yang pernah menjadi salah satu pihak di dalam perkara yang telah di putus dan dimintakan peninjauan kembali. Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan dan dapat dicabut selama belum diputus serta hanya dapat dilakukan satu kali saja. Di dalam praktek beracara di pengadilan,sekalipun ditentukan bahwa upaya peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali namun ternyata pihak yang merasa dirugikan atau belum puas terhadap putusan peninjauan kembali yang telah dia ajukan seringkali kembali mengajukan upaya peninjauan kembali yang kedua kali (peninjauan kembali kedua kali) atau pihak yang merasa dirugikan atas putusan peninjauan kembali, melakukan peninjauan kembali atas peninjauan kembali. Terkait peninjauan kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2009 tentang Peninjauan Kembali, di mana pada surat edaran tersebut mengandung dua hal pokok. Pertama, apabila suatu perkara diajukan peninjauan kembali yang kedua dan seterusnya, maka Ketua Pengadilan Tingkat Pertama menyatakan tidak dapat menerima dan berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung. Kedua, apabila suatu obyek perkara terdapat 2 dua atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu sama lain baik dalam perkara perdata maupun pidana, dan di antaranya ada yang diajukan permohonan peninjauan kembali, agar permohonan peninjauan kembali tersebut diterima dan berkas perkaranya tetap dikirimkan ke Mahkamah Agung. Kata kunci: hukum acara perdata, putusan, peninjauan kembali.
DISPUTE RESOLUTION OF FOREIGN DIRECT INVESTMENT IN CHINA Fiska Silvia Raden Roro
Perspektif Vol 17, No 3 (2012): Edisi September
Publisher : Institute for Research and Community Services (LPPM) of Wijaya Kusuma Surabaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (739.001 KB) | DOI: 10.30742/perspektif.v17i3.102

Abstract

Praktek korupsi di zaman modern ini masih melukai upaya penyelesaian sengketa penanaman modal asing di Indonesia. Namun sebenarnya pada saat ini Indonesia sedang menjadi negara tujuan menarik bagi kegiatan penanaman modal asing, terutama bagi produsen barang-barang manufaktur, hal ini tidak lain disebabkan karena sumber daya alam Indonesia yang mendukung kegiatan perekonomian. Dalam tulisan ini ditujukan agar dapat memacu pengembangan sistem hukum di Indonesia terutama dalam hal penanaman modal asing dan untuk membahas mengenai bagaimana penyelesaian sengketa pada penanaman modal asing dalam kaitannya dengan Chinese Regime dan pengaruh akan budaya Cina pada metode negosiasi, mediasi, arbitrasi. Dalam penulisan ini juga dibahas mengenai upaya penyelesaian sengketa melalui litigasi, penegakan hukum dari putusan arbitrase asing serta penegakan hukum terhadap hasil keputusan pengadilan asing, dalam kaitannya dengan Chinese Regime.Corruption activity in this modern era keeps hurting the implementation of foreign investment in Indonesia, especially for the dispute settlement aspect. Unfortunately, today, Indonesia is one of the interesting place for foreign investment destination, especially for consumer goods manufacturers. This situation happened because of Indonesia’s great resources which is totally supportive to business development activity. This article was intended to spur the development of Indonesia’s legal system, especially about foreign investment, and also to explain how the dispute resolution on foreign investment in Chinese Regime perspective, including considerations of how Chinese culture and settlement in foreign investment, methods of negotiation, mediation, arbitration. It will also be discussed how the practice of the settlement of disputes through litigation also the enforcement of foreign arbitral awards and the enforcement of a foreign court related to Chinese Regime.
PEMBERDAYAAN PENGUSAHA KECIL DAN MENENGAH MELALUI KEPEMILIKAN SERTIFIKAT MEREK Agung Sujatmiko; Fiska Silvia RR
Jurnal Layanan Masyarakat (Journal of Public Services) Vol. 4 No. 1 (2020): JURNAL LAYANAN MASYARAKAT
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/jlm.v4i1.2020.8-12

Abstract

The legal protection for trademark in Indonesia is regulated in Law Number 20 Year 2016. According to the legal system which has adopted, this Act requires that legal protection of trademark available to be obtained through the registration, on the other words that there is an obligation for the owners to register their own trademarks. In fact, several small and medium entrepreneurs (SMEs) in Kediri still do not have awarnesse to register their own trademark yet, due to lack of the literation about the legal system of trademark, the procedure and its application. Unfortunately, it is common for the SMEs in Kediri used to use the other parties' trademark without any permission. The application of the trademark without permission is a violation in the perspective of intellectual property law. This situation will be facing the dispute among the parties, especially the claim from the genuine trademark owner who have registered their trademark first. The dispute will spend the time, energy and alot of money. For this reason, it is necessary to do a community service as assistance or accompaniment action, namely assist the SMEs in Tofu Industries in order to register the trademark which apply at Kediri Regency. The main goal of this community service is the SMEs will have legal awareness about the ownership of trademark certificate.AbstrakPerlindungan hukum atas merek di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016. Berdasar sistem konstitutif yang dianut, undang-undang itu mensyaratkan bahwa perlindungan hukum atas merek bisa diperoleh melalui pendaftaran, artinya ada kewajiban bagi pemilik merek untuk mendaftarkan mereknya. Banyak pengusaha kecil dan menengah di Kediri belum memiliki merek sendiri, sehingga tidak jarang menggunakan merek pihak lain tanpa izin. Penggunaan merek tanpa izin merupakan pelanggaran. Untuk itu itu perlu dilakukan pendampingan pendaftaran merek bagi pengusaha kecil dan menengah di bidang Tahu di Kabupaten Kediri. Penggunaan merek sendiri akan menunjang pendapatan pelaku usaha kecil dan menenngah. Hal itu didapat dari penggunaan merek yang aman dan bebas dari gugatan pihak lain yang sangat menyita waktu, tenaga dan uang. Atas dasar itu, penganbdian masyarakat ini dilakukan dengan menggunakan metode sosialisasi tentang fungsi pendaftaran merek dan manfaat sertifikat merek. Selain sosialisasi dilakukan juga pendampingan pengurusan sertifikat merek. Tujuannya agar para pengusaha kecil dan menengah memiliki kesadaran hukum tentang pentingnya kepemilikan sertifikat merek.
Method Determining the Contents of the Contract Agus Yudha Hernoko; Ghansham Anand; Fiska Silvia Raden Roro
Hasanuddin Law Review VOLUME 3 ISSUE 1, APRIL 2017
Publisher : Faculty of Law, Hasanuddin University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (493.02 KB) | DOI: 10.20956/halrev.v3i1.947

Abstract

The contents of the contract are primarily determined by what the real mutually agreed upon by the parties. By interpreting some certain statements, in this case to determine its meaning, to be clear based on what the parties committed themselves. Why is the interpretation required? In facts, on the many cases provided a valuable lesson, how many commercial disputes arise when the performance of the contract. The dispute begins when the parties have a different understanding of the statement that they use in the contract. Indeed, businesses are very familiar with the business processes that they do, but at the time of the business process are set forth in the contract language and designed by those who do not understand the legal aspects of the contract, the contract can be ascertained open possibility for disputes. The power of contract binding (the contents of the agreement) toward to the characteristic and the wide spectrum of the rights and obligations contractually, basically a contract represents the power of performance among others in order implementing the rights and obligations of the parties. As an instrument to understand the contract, the method of determining the content of the contract (e.g., through interpretation, autonomous and heteronomous factors), further can be used to assess the reciprocation of rights and obligations in a meaningful and proportional contractual relationship.
Karakteristik Sharia Compliance dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia Fiska Silvia Raden Roro
Jurnal Hukum Ekonomi Islam Vol. 1 No. 1 (2017): Jurnal Hukum Ekonomi Islam (JHEI)
Publisher : Asosiasi Pengajar dan Peneliti Hukum Ekonomi Islam Indonesia (APPHEISI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (472.844 KB)

Abstract

AbstractAccording to Article 1 point 12 of Law no. 21 of 2008 Law no. 21 of 2008 concerning Sharia Banking (The State Gazette of 2008 No. 94, Additional to the State Gazette of the Republic of Indonesia No. 4867) explains that Sharia Principles are the Principles of Islamic Law in banking activities based on Fatwas issued by institutions that have a rule of agreement under Islamic law between the Bank And other parties for the storage of funds and / or financing of business activities or other activities declared in accordance with sharia. In a business transaction, it is necessary that the principle of kafah itself is meaningful from the beginning of the contract signing until the end of its implementation then subject itself to sharia, as well as its dispute settlement instrument in case of a sharia economic dispute in the future. In the development of the world economy, in some countries begin to appear to the needs of the community of Islamic law (sharia) to contribute as a law that regulates a contract (making Islamic financial documents) to become the legal basis in the settlement of a sharia economic dispute.On the other hand, legal reform in the field of Islamic economic event law seems to be done in order to contribute the rule of law in some respects with a view to fix it. The parties who have contact with the shari'ah contract expect sharia compliance principles or submission to sharia compliance applied to the settlement of sharia dispute with detailed arrangement and shar'i (the appropriate legal rules according to Islamic sharia / syariah perspective).At the end of December, on December 22, 2016, the Chief Justice of the Supreme Court of the Republic of Indonesia signed the Supreme Court Regulation No. 14 of 2016 concerning Procedures for the Settlement of Disputes on Sharia Economics. Perma no. 14/2016 is still lack  from the expectations of the parties who have submitted themselves to the sharia law and want to settle the dispute according to shari'ah (shar'i) and kaffah, it  indicated Non Sharia Compliance. Therefore, this article will discuss the concept of sharia compliance on the settlement of sharia disputes, as well as will be discussed related to the still non-sharia compliance on the settlement of sharia disputes in Indonesia.AbstrakPengaturan terkait prinsip syariah di Indonesia, diatur pada Pasal 1 angka 12 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah (Tambahan Lembaran Negara Tahun 2008 No. 94, Tambahan Lembaran Negara No. 4867) menjelaskan bahwa Prinsip Syariah adalah Prinsip Hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan Fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah. Dalam suatu transaksi bisnis diperlukan prinsip kafah itu sendiri yang berarti sejak awal penandatanganan kontrak hingga akhir pelaksanaanya maka menundukkan diri pada syariah, termasuk pula instrumen penyelesaian sengketanya jika terjadi sengketa ekonomi syariah  di kemudian hari. Pada perkembangan ekonomi dunia, di beberapa negara mulai nampak akan kebutuhan masyarakat atas perangkat hukum Islam (syariah) untuk  berkontribusi sebagai hukum yang mengatur suatu kontrak (pembuatan dokumen keuangan syariah) hingga menjadi landasan hukum dalam penyelesaian suatu sengketa ekonomi syariah. Di sisi lain, reformasi hukum di bidang hukum acara ekonomi syariah nampaknya memang harus dilakukan dalam rangka menyumbangkan aturan  hukum dalam beberapa hal dengan maksud untuk memperbaikinya. Para pihak yang telah bermuamalah dengan akad syariah berharap prinsip kepatuhan sesuai syariah atau ketundukan pada syariah (sharia compliance) diterapkan pada penyelesaian sengketa syariah yang dilengkapi  pengaturan secara rinci dan syar’i  (aturan hukum yang sesuai menurut perspektif syariah/ hukum Islam). Pada akhir Desember lalu, tepatnya Tanggal 22 Desember 2016, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia menandatangani Peraturan Mahkamah Agung No. 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah. Jauh panggang dari api, Perma No. 14/2016 ini ternyata masih jauh dari harapan para pihak yang telah menundukkan diri pada akad syariah dan ingin menyelesaikan sengketa sesuai syariah (syar’i) dan kaffah, dikarenakan beberapa hal terindikasi Non Sharia Compliance. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas terkait konsep  sharia compliance  pada penyelesaian sengketa syariah, di samping juga akan membahas terkait dengan masih adanya  non sharia compliance pada penyelesaian sengketa syariah di Indonesia.
Perlindungan Konsumen Muslim atas Produk Halal Bambang Sugeng Ariadi Subagyono; Trisadini Prasastinah Usanti; Zahry Vandawati Chumaida; Fiska Silvia; Indira Retno Aryatie
Perspektif Hukum VOLUME 20 ISSUE 2
Publisher : Faculty of Law Hang Tuah University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30649/ph.v20i2.82

Abstract

Every religious adherent is guaranteed to choose and practice his religion, so the state is obliged to provide protection and guarantee regarding the halalness of the products used and used by the community. Whereas in society there are still many conclusions about various products that have not been guaranteed their halalness and regulations have not provided legal certainty and guarantees for Muslim communities. So to provide legal certainty the promulgation of Law number 33 of 2014 concerning Halal Product Guarantee. The guarantee for the implementation of Halal Products is aimed at providing comfort, safety, and certainty of information on Halal Products for the public in consuming and using Products, as well as increasing added value for Business Actors to produce and sell Halal Products. The halal certificate must be submitted by the business actor in writing to BPJPH while the determination of the halalness of the product is still carried out by MUI through the Halal Fatwa Session. This research is a normative legal research that uses a statute approach and a conceptual approach.
DEFAULT/BREACH OF CONTRACT CHARACTERISTICS OF MUDHARABAH FINANCING IN SHARIA BANKING Usanti, Trisadini Prasastinah; Raden Roro, Fiska Silvia
Journal of Islamic Law Studies Vol. 2, No. 3
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

One of financings channeled by Sharia Bank is mudharabah. The contract of mudharabah is a mutual agreement between the first party (malik, shahibul maal, or Sharia Bank) which supports the whole capitals and the second party (‘amil, mudharib, or Customer) which acts upon fund endowment by sharing the profit in accordance with the agreement stated in the contract, while the loss is fully covered by Sharia Bank unless the customer (mudharib) makes an intentional mistake, in negligence or violates the agreement. Mudharib in the contract of mudharabah acts upon amin (the trusted one). The capital given is a mandate being held by mudharib. Mudharib is as the representative. The position of mudharib as the representative is trusted by shahibul maal in running the business and Mudharib as a partner in earning the profit. Mudharib will get the share of the profit from the business run. Mudharabah financing is a financing that shares the profit and loss, therefore if mudharib in fund endowment finds failure not under his intention and his failure does not cause profit share in accordance with the profit share ascribed, thus mudharib cannot be sentenced as being default/breach of contract of mudharabah as it is characterized in default/breach of contract. The criteria of default/breach of contract is when the customer does not follow the agreement or he does based on the agreement yet not as well as it is agreed or he follows what is agreed yet overdue or does something prohibited in the agreement
DISPUTE RESOLUTION OF FOREIGN DIRECT INVESTMENT IN CHINA Fiska Silvia Raden Roro
Perspektif Vol. 17 No. 3 (2012): Edisi September
Publisher : Institute for Research and Community Services (LPPM) of Wijaya Kusuma Surabaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30742/perspektif.v17i3.102

Abstract

Praktek korupsi di zaman modern ini masih melukai upaya penyelesaian sengketa penanaman modal asing di Indonesia. Namun sebenarnya pada saat ini Indonesia sedang menjadi negara tujuan menarik bagi kegiatan penanaman modal asing, terutama bagi produsen barang-barang manufaktur, hal ini tidak lain disebabkan karena sumber daya alam Indonesia yang mendukung kegiatan perekonomian. Dalam tulisan ini ditujukan agar dapat memacu pengembangan sistem hukum di Indonesia terutama dalam hal penanaman modal asing dan untuk membahas mengenai bagaimana penyelesaian sengketa pada penanaman modal asing dalam kaitannya dengan Chinese Regime dan pengaruh akan budaya Cina pada metode negosiasi, mediasi, arbitrasi. Dalam penulisan ini juga dibahas mengenai upaya penyelesaian sengketa melalui litigasi, penegakan hukum dari putusan arbitrase asing serta penegakan hukum terhadap hasil keputusan pengadilan asing, dalam kaitannya dengan Chinese Regime.Corruption activity in this modern era keeps hurting the implementation of foreign investment in Indonesia, especially for the dispute settlement aspect. Unfortunately, today, Indonesia is one of the interesting place for foreign investment destination, especially for consumer goods manufacturers. This situation happened because of Indonesia’s great resources which is totally supportive to business development activity. This article was intended to spur the development of Indonesia’s legal system, especially about foreign investment, and also to explain how the dispute resolution on foreign investment in Chinese Regime perspective, including considerations of how Chinese culture and settlement in foreign investment, methods of negotiation, mediation, arbitration. It will also be discussed how the practice of the settlement of disputes through litigation also the enforcement of foreign arbitral awards and the enforcement of a foreign court related to Chinese Regime.
MANAGING THE RISK FOR FINTECH LENDING AMID THE GLOBAL PANDEMIC CORONA VIRUS Usanti, Trisadini Prasastinah; Roro, Fiska Silvia Raden; Setiawati, Nur Utari
Jurnal Hukum & Pembangunan
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The coronavirus (covis-19) is impacting all sectors across the world. Moreover, the covid-19 pandemic will accelerate change in the world economy. That brings both opportunity and danger, says Henry Curr in The Economist. In dealing with global disaster which impacts to the finance and economy world, such as the pandemic of covid-19, fintech lending offers the fastestand the most easy lending service for people in the whole business world nowdays. However, the easy process can cause various problems such as late payment and default in payment. Fintech will suffer from those risks and it can jeopardise the business. Moreover, most of the platforms do not ask for collateral as a requirement. So, in this article, the authors will discuss how fintech should manage their risks in lending using statute and conceptual approach. The results show that fintech should adopt the 5Cs credit analysis (character, capital, capacity, collateral, condition) as a way to minimise their risks. The Financial Services Authority (OJK) has not regulated risk management for fintech. Thus, fintech should follow the existing model from banking institution to manage their risks.