Claim Missing Document
Check
Articles

Found 30 Documents
Search

SUBSEQUENTLY AQCUIRED ASSETS AS FIDUCIARY SECURITY ON BANK LOANS Usanti, Trisadini Prasastinah
Jurnal Dinamika Hukum Vol 16, No 2 (2016)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Jenderal Soedirman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20884/1.jdh.2016.16.2.581

Abstract

Collateral in terms of subsequently acquired assets namely subsequently acquired credit might be charged with fiduciary security. This collateral is not considered ideal regarding the high risk a bank must take. To minimize the risks, the bank analyzes the credit thoroughly, impose fiduciary security officials perfectly and performs monitoring of credits regularly to avoid misconduct committed by the debtor. If a default occurs, the bank will take over the assets. Nevertheless, the problems of execution on the subsequently acquired credits might arise due to debtor's default and bad debts to the third party. Consequently, subsequently acquired assets as collateral provides as additional collateral.Keywords: bank, subsequently acquired objects, fiduciary, security, loans.
KONSEP UTANG DALAM AKAD PEMBIAYAAN MUDHARABAH PADA BANK SYARIAH Trisadini Prasastinah Usanti
Jurnal ADIL Vol 4, No 2 (2013): DESEMBER 2013
Publisher : Lembaga Penelitian Universitas YARSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (349.408 KB) | DOI: 10.33476/ajl.v4i2.804

Abstract

Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan dalam bentuk kerja sama antarabank syariah sebagai shahibul maal yang menyediakan seluruh modal dannasabah sebagai mudharib yang mengelola dana. Keuntungan usaha sesuaidengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad. akan tetapi apabila terjadikerugian maka akan ditanggung oleh bank syariah apabila kerugian tersebutbukan karena kesengajaan dari nasabah, sedangkan nasabah rugi waktu, tenagadan pikiran. Apabila kerugian disebabkan oleh kelalaian dari nasabah makanasabah harus menanggung kerugian tersebut. Akan tetapi, pada pembiayaanmudharabah pada salah satu bank syariah belum menunjukkan karakter daripembiayaan mudharabah secara utuh karena muncul konsep utang dalamakadnya.
PENGELOLAAN RISIKO PEMBIAYAAN DI BANK SYARIAH Trisadini Prasastinah Usanti
Jurnal ADIL Vol 3, No 2 (2012): DESEMBER 2012
Publisher : Lembaga Penelitian Universitas YARSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (301.24 KB) | DOI: 10.33476/ajl.v3i2.817

Abstract

Pembiayaan adalah sumber pendapatan bank syariah yang terbesar, namunsekaligus merupakan sumber risiko operasi bisnis yang terbesar, yaitu timbulnya Pembiayaan bermasalah, karena dengan adanya pembiayaan bermasalah bukansaja menurunkan pendapatan bagi bank syariah tetapi juga akan berdampak padakesehatan bank syariah dan pada akhirnya akan merugikan nasabah penyimpan.Oleh karena itu, diperlukan manajemen risiko untuk mengidentifikasi, mengukur,memantau dan mengendalikan risiko yang sesuai dengan kegiatan usahaperbankan syariah. Langkah-langkah tersebut dilakukan dalam rangka memitigasirisiko dengan mempertimbangkan kesesuaian dengan Prinsip Syariah.
PENGELOLAAN RISIKO PEMBIAYAAN DI BANK SYARIAH Trisadini Prasastinah Usanti
Jurnal ADIL Vol 3, No 2 (2012): ADIL : Jurnal Hukum Desember 2012 Vol 3 No 2
Publisher : Lembaga Penelitian Universitas YARSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (301.24 KB) | DOI: 10.33476/ajl.v3i2.63

Abstract

AbstractFor Syariah banks, financing is the largest proceeds on one hand, yet—on the other hand—it poses the biggest risk due to its non-performing loans since they prone to not only decrease the banks’ total income but also put the banks’ CAR (capital adequacy ratio) at risk, which might eventually jeopardize the customers. With respect to this, it is essential that risk management be present in Syariah banks in order to identify, measure, monitor, and control risk level tolerable in their business activities. Embracing this risk management will mitigate risks by putting compatibility to Syariah principles into consideration.Keywords : Risk Management, Financing, Syariah BankAbstrakPembiayaan adalah sumber pendapatan bank syariah yang terbesar, namun sekaligus merupakan sumber risiko operasi bisnis yang terbesar, yaitu timbulnya Pembiayaan bermasalah, karena dengan adanya pembiayaan bermasalah bukan saja menurunkan pendapatan bagi bank syariah tetapi juga akan berdampak pada kesehatan bank syariah dan pada akhirnya akan merugikan nasabah penyimpan. Oleh karena itu, diperlukan manajemen risiko untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang sesuai dengan kegiatan usaha perbankan syariah. Langkah-langkah tersebut dilakukan dalam rangka memitigasi risiko dengan mempertimbangkan kesesuaian dengan Prinsip Syariah.Kata kunci : Manajemen, Risiko, Pembiayaan, Bank Syariah
Standard Contract in Financing at Sharia' Bank Trisadini Prasastinah Usanti; Ari Kurniawan
Rechtsidee Vol 4 No 1 (2017): December
Publisher : Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21070/jihr.v4i1.292

Abstract

Standard contract is a contract which is merely made by one of the parties and other parties agree to a contract. In practice Indonesia sharia bank, all financing contracts are made by Islamic bank in the form of Islamic standard contract. As a result, there is no negotiation between the parties. Therefore, this research will analyze standard contract in financing at sharia bank X and sharia bank Y in Indonesia. This research employs statute approach, conceptual approach and contractual approach. The outcome of this research is Islamic standard contract of financing at Sharia’ Bank are not contrary to Islamic principles throughout the contract meets the validity of contract, there is no element of which is prohibited according to the Shariah, namely gharar, maysir, usury and does not violate the principles of sharia agreement. Islamic standard contract at sharia bank X and sharia bank Y in Indonesia had described the characteristic of each Islamic financing and has met the minimum requirements accordance with the fatwa of Sharia’ supervisory board (DSN-MUI) which is regulated by the regulations of Bank Indonesia.
HAK JAMINAN ATAS RESI GUDANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM JAMINAN Trisadini Prasastinah Usanti
Perspektif Vol 19, No 3 (2014): Edisi September
Publisher : Institute for Research and Community Services (LPPM) of Wijaya Kusuma Surabaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1094.284 KB) | DOI: 10.30742/perspektif.v19i3.19

Abstract

Undang-Undang Resi Gudang telah menciptakan lembaga jaminan baru, yaitu Hak Jaminan atas Resi Gudang. Hak Jaminan atas Resi Gudang belum menampakkan karakter dari lembaga jaminan kebendaan yang utuh sebagaimana lembaga jaminan kebendaan, karena tidak adanya asas droit de suite dan penentuan lahirnya hak kebendaan, sehingga ditafsirkan bahwa lahirnya hak kebendaan, yaitu pada saat kreditor memberitahukan kepada Pusat Registrasi dan pengelola gudang. Lahirnya hak kebendaan pada jaminan kebendaan merupakan hal yang sangat penting karena untuk menjamin kepastian hukum atas kedudukan kreditor sebagai kreditor preferen.The Warehouse Receipt Act has created a new guarantee institution, namely The Rights Guarantee of Receipt Warehouse. The Rights Guarantee of Receipt Warehouse has not yet revealed the character of property security institution fully as property security institution, because the absence of droit de suite principle and the determination of the property right, so that it is interpreted that the outward of the property right, is when the creditor notified The Registration Center and warehouse manager. The outward of property right in the property guarantee is a very important thing to ensure legal certainty over the position of creditor as prefered creditor.
LAHIRNYA HAK KEBENDAAN Trisadini Prasastinah Usanti
Perspektif Vol 17, No 1 (2012): Edisi Januari
Publisher : Institute for Research and Community Services (LPPM) of Wijaya Kusuma Surabaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (451.888 KB) | DOI: 10.30742/perspektif.v17i1.93

Abstract

Hak kebendaan ialah hak mutlak atas suatu benda, dan merupakan hak perdata. Hak ini memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapa pun juga. Hak kebendaan mempunyai sifat-sifat tertentu dan ciri-ciri unggulan bila dibandingkan dengan hak perorangan. Perbedaan antara hak kebendaan dan hak perorangan terlihat sangat jelas. Hak kebendaan dalam Burgerlijk Wetboek dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hak kebendaan yang sifatnya memberikan jaminan (zakelijk zakenheidsrecht) antara lain gadai, hipotek, hak tanggungan, fidusia, dan hak kebendaan yang sifatnya memberikan kenikmatan (zakelijk genotrecht) antara lain bezit dan hak milik. Lahirnya hak kebendaan yang bersifat memberikan kenikmatan ada bermacam-macam cara perolehannya, bergantung pada macam atau jenis bendanya. Sedangkan lahirnya hak kebendaan pada hak kebendaan yang sifatnya memberikan jaminan, bergantung kepada asas publisitas, yaitu dengan cara mendaftarkan ke Kantor Pendaftaran. Sedangkan lahirnya hak kebendaan pada lembaga jaminan gadai tidak ada ketentuan tentang pendaftaran dan hak kebendaan pada lembaga jaminan gadai lahir pada saat benda diserahkan kepada pihak ketiga.Property rights is a right based on private law, and is an absolute right over a thing. Property rights gives direct control over an object and can be defended against anyone. Property rights has it own superior characteristics. There are major differences between property rights and individual rights, because property rights has a superior differences compared with individual rights. Based on Burgerlijk Wetboek property rights divided into two kind, first is property rights which it’s character is giving a guarantee (zakelijk zakenheidsrevht) such as pawn, fiducia or mortgage, and it born based on publicity principle which is done by registering to the registration office, pawn is an exception, it has no provision about publicity because the rights born when the property has been transfered. The second one is property rights which it’s character is giving a pleasure, such as bezit and ownership, this kind of property rights born based on the property type and kind.
RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENANGANAN PEMBIAYAAN BERMASALAH Trisadini Prasastinah Usanti
Perspektif Vol 11, No 3 (2006): Edisi Juli
Publisher : Institute for Research and Community Services (LPPM) of Wijaya Kusuma Surabaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (229.715 KB) | DOI: 10.30742/perspektif.v11i3.279

Abstract

Financing given by syaria banking always has potensial risk of repayment failure which causes non performing financing. Attemps from syaria banking to resolve non performing financing are principally the same with conventional banking. Those attemps are such as: financing restructure, collateral execution, through litigation, through board of arbitration national syaria, write off and hair cut.
AKAD BAKU PADA PEMBIAYAAN MURABAHAH DI BANK SYARIAH Trisadini Prasastinah Usanti
Perspektif Vol 18, No 1 (2013): Edisi Januari
Publisher : Institute for Research and Community Services (LPPM) of Wijaya Kusuma Surabaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (519.313 KB) | DOI: 10.30742/perspektif.v18i1.113

Abstract

Pemberlakuan kontrak baku memang sudah menjadi suatu keniscayaan bisnis yang dapat diterima keberadaannya oleh masyarakat dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Istilah kontrak baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standard contract. Kontrak baku merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Penggunaan kontrak baku adalah perwujudan dari efisiensi bisnis oleh para pelaku usaha. Dalam praktik perbankan syariah, pembiayaan murabahah dituangkan dalam bentuk akad baku, bahwa nasabah penerima fasilitas pembiayaan tidak diberikan kesempatan untuk bernegosiasi tentang klausula yang ada dalam akad pembiayaan murabahah. Adanya klausula baku pada pembiayaan murabahah di bank syariah tidaklah bertentangan dengan prinsip syariah. Kontrak baku pada pembiayaan murabahah di beberapa bank syariah telah memuat klasula yang sesuai dengan karakteristik dari pembiayaan murabahah tersebut dan telah memuat syarat minimum yang harus ada dalam akad sebagaimana ditentukan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional yang dirumuskan dalam Peraturan Bank Indonesia.The implementation of standard contract has become a business necessity which is acceptable by the community with all its pros and cons. Terms of kontrak baku is derived from the translation of Standard Contract in English language. Standard contract is an agreement which has been determined and manifested in a form. The use of standard contract is a manifestation of the businessman’s business efficiency. In the practice of Islamic banking, murabahah financing contract set forth in the form of raw materials, the customer who received the financing facilities would not be given the opportunity to negotiate the murabahah financing contract substations. The existence of standard contract in murabahah financing in Islamic banks is not contrary to Islamic principles. The substance of standard contract in murabahah financing in some Islamic banks has loaded articles that match with the characteristics of murabahah financing and has also contained minimum requirements that must be present in the contract as specified in the Fatwa of National Sharia Council which are formulated in Bank Indonesia Regulation.
Analisis Perubahan Politik Hukum Dispensasi Perkawinan Pasca Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Trisadini Prasastinah Usanti; Xavier Nugraha; Dita Elvia Kusuma Putri
Notaire Vol. 4 No. 3 (2021): NOTAIRE
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/ntr.v4i3.29915

Abstract

In Article 7 paragraph (2) of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage it is stated that in the event of a deviation from the minimal age of marriage, a marriage dispensation may be requested from the court or other official appointed by both male and female parents. However, there are no indicators related to the conditions for marriage dispensation to be proposed in Law Number 1 of 1974 making the legal politics of granting marriage dispensations focus on judges. In its development, was born Law Number 16 of 2019 replaced Law Number 1 of 1974. This article is a legal article with a statutory approach, a conceptual approach, and a case approach. Through this article, it was found that there was a political change in the marriage dispensation law in Law Number 16 Year 2019, where the politics of marriage dispensation law was stricter than Law Number 1 of 1974 and had the spirit not to easily provide marriage dispensation. This can be seen from the existence of two conditions for filing a dispensation in Law Number 16 of 2019, namely (1) having urgent reasons and (2) Having sufficient supporting evidence.Keywords: Marriage Dispensation; Marriage Law; Politics Of Law.Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan, bahwa dalam hal terjadi penyimpangan batas usia minimal perkawinan, maka dapat dimintakan dispensasi perkawinan kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Namun, tidak ada indikator terkait kondisi dapat diajukannya dispensasi perkawinan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 membuat politik hukum pemberian dispensasi perkawinan, benar-benar menitikberatkan pada hakim. Dalam perkembangannya, lahir Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Artikel ini merupakan artikel hukum dengan pendekatan peraturan perundang-Undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). Melalui artikel ini, ditemukan bahwa terjadi perubahan politik hukum dispensasi perkawinan di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 , dimana politik hukum dispensasi perkawinan bersifat lebih ketat daripada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan memiliki semangat untuk tidak dengan mudah memberikan dispensasi perkawinan. Hal ini dapat terlihat dari adanya dua syarat diajukannya dispensasi di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, yaitu (1) memiliki alasan mendesak dan (2) Memiliki bukti-bukti pendukung yang cukup.Kata Kunci: Dispensasi Perkawinan; Perkawinan; Politik Hukum.