Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search
Journal : Forum Penelitian Agro Ekonomi

Upaya Perbaikan Kualitas Bahan Olah Karet Rakyat A. Husni Malian; Aman Djauhari
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 17, No 2 (1999): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v17n2.1999.43-50

Abstract

EnglishNowadays, free trade mechanism will be continously implemented. Regarding those conditions, the increasing export of manufacture rubber comodities can be reach, only if they have a comparative and a competitive advantage than other exporting countries. These efforts must begin with the improvement quality of rubber raw materials at farm level by removing five main inhibiting factors such as: (1) farmers group doesn't play a role as a bussiness unit (2) the demand of quality materials of crumb rubber industry is very low; (3) the dominant of trades in the marketing of raw rubber materials; (4) there is no advantageous partnership pattern, and, (5) the mechanism of attractive differential price for better quality not available for unsmoked sheet and slice slap. IndonesianDalam era perdagangan bebas yang akan terus bergulir, peningkatan ekspor produk karet olahan hanya dapat ditempuh bila memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dari negara pesaing. Upaya kearah itu harus dimulai dari perbaikan kualitas bokar di tingkat petani, dengan menghilangkan lima faktor penghambat utama yaitu: (1) belum berperannya kelompok tani sebagai unit bisnis, (2) permintaan bahan baku inustri karet remah yang masih berorientasi kepada bokar berkualitas rendah, (3) dominasi pedagang dalam pemasaran bokar, dan (4) belum adanya pola kemitraan yang saling menguntungkan, (5) belum terlaksananya penentuan harga sesuai kualitas yang menarik bagi produk sheet angin dan slab giling.
Daya Saing Usahatani Tebu di Jawa Timur A. Husni Malian; Amiruddin Syam
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 14, No 1 (1996): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v14n1.1996.1-11

Abstract

IndonesianProvinsi Jawa Timur merupakan daerah penghasil gula terbesar di Indonesia. Dalam lima tahun terakhir produksi gula terus meningkat dan memberikan kontribusi lebih dari 50 persen produksi gula nasional. Sebagai komoditas yang kegiatannya banyak melibatkan masyarakat, industri gula telah memberikan  pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Dalam kaitan ini pemerintah daerah mengeluarkan berbagai kebijaksanaan untuk mengatur pelaku pasar yang terlihat dalam sistem agribisnis gula. Dua kebijaksanaan yang ditujukan kepada petani tebu adalah penetapan pola glebagan yang menentukan batasan areal tebu seluas 30 persen dari luas wilayah, serta penetapan wilayah kerja pabrik gula. Kedua kebijaksanaan itu telah menghilangkan kesempatan petani untuk memilih komoditas yang ingin diusahakan serta memperoleh penerimaan usahatani yang lebih tinggi. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran areal pertanaman tebu rakyat dari lahan sawah ke lahan kering. Hal ini disebabkan oleh penerimaan usahatani tebu pada lahan sawah lebih rendah dibandingkan dengan komoditas alternatif. Sedangkan untuk tebu yang diusahakan pada lahan kering, tingkat penerimaan yang diperolh pada sebagian besar lokasi penelitian lebih tinggi. Untuk mempertahankan pertanaman tebu pada lahan sawah diperlukan perhatian terhadap faktor utama yang menentukan daya saing, yaitu produktivitas hablur serta perbandingan harga provenue gula dan harga dasar gabah. Dalam kaitan ini berbagai program hendaknya diarahkan untuk meningkatkan produktivitas tanaman tebu, serta perbaikan efisiensi dan kinerja pabrik gula.
Peran Pertanian Pinggiran Perkotaan dalam Penyediaan Kesempatan Kerja dan Pendapatan Keluarga A. Husni Malian; Masdjidin Siregar
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 18, No 1-2 (2000): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v18n1-2.2000.65-76

Abstract

EnglishThis paper presents the dwindling role of peri urban agriculture due to the urban development policy that has been bias towards manufacturing and service sectors. The policy and the economic crisis have different effects on the farmers of leafy vegetable, orchids, and ornamental plants. The increase in prices of fertilizers and wage rates and the decreasing demand for orchids and ornamental plants in 1999 have reduced the farmers' income. On the other hand, the increasing demand for leafy vegetables has encouraged a more intensive use of land without taking care of health problems and the environment. It is necessary therefore, that the development of peri urban agriculture be directed towards promotion, partnerships, and environmental sanitation. IndonesianTulisan ini menyajikan peran pertanian pinggiran perkotaan yang makin berkurang, sebagai akibat dari kebijakan pembangunan perkotaan yang lebih berorientasi kepada industri manufaktur dan jasa. Perubahan struktural pertanian perkotaan tersebut memberikan efek yang berbeda terhadap petani yang mengusahakan sayuran, anggrek dan tanaman hias. kenaikan harga pupuk dan upah tenaga kerja yang diikuti dengan penurunan permintaan anggrek dan tanaman hias selama tahun 1999 telah menurunkan pendapatan petani. Sebaliknya, kenaikan permintaan terhadap sayuran telah mendorong pengelolaan lahan secara lebih instensif serta mengabaikan aspek kesehatan dan lingkungan. dalam kaitan ini perlu di kembangkan pola pembinaan pertanian perkotaan yang lebih diarahkan pada teknologi hemat lahan, serta upaya promosi, kemitraan dan sanitasi lingkungan.
Pemasaran Cabai dan Bawang Merah (sebuah studi di daerah sistem sorjan) Aman Djauhari; A. Husni Malian
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 1, No 1 (1982): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v1n1.1982.55-64

Abstract

IndonesianPemasaran kerap kali menjadi masalah utama dalam pengembangan produk pertanian terutama komoditi yang tidak tahan lama seperti sayuran. Oleh karenanya dalam rangka pengembangan pola tanam di mana sayuran akan menjadi salah satu komponennya penelitian pemasaran dipandang perlu diadakan sebagai suplemen terhadap penelitian teknis agronomis dan usahatani. Dengan metoda survey kasus pemasaran cabai dan bawang merah di daerah sorjan ini diteliti. Data dianalisa dalam lingkup saluran tataniaga, fungsi tataniaga dan marjin pemasaran. Saluran utama pemasaran cabai bermula dari petani menjual produk ini ke pedagang pengumpul, diteruskan ke pedagang lokal kecamatan dan akhirnya kepada pedagang besar di Yogyakarta, Bandung dan Jakarta dan konsumen di kota-kota tersebut setelah melalui pengecer. Cabang utama lain dari pedagang kecamatan meneruskan ke pengusaha pengeringan di Kutoarjo. Melalui perantara dari pengusaha pengeringan diteruskan ke eksportir di Semarang. Saluran utama pemasaran bawang merah lebih sederhana: petani, pedagang pengumpul desa, pedagang lokal kecamatan, pedagang besar di Yogya, Bandung, Jakarta, Purwokerto dan konsumen di kota-kota tersebut setelah melalui pengecer. Tidak ada cabang ke saluran ekspor. Dari analisis fungsi pemasaran komoditi cabai maka fungsi tukar menukar berjalan lancar, ditandai dengan lebih dari 70 persen selalu tunai Artinya maksimum 30 persen kasus dibayar kemudian. Hal ini karena didukung oleh 68 persen modal adalah milik sendiri dan kurang lebih 30 persen modal berasal dari pinjaman dari candak-kulak atau pedagang. Kegiatan fungsi fisik lainnya belum berarti kecuali pada lembaga pemasaran yang telah jauh dari lokasi produksi dan makin besar volume komoditi yang dipasarkan seperti pengeringan di Kutoarjo. Dari komoditi bawang merah maka gradasi kualitas telah ada dalam transaksi terutama antara petani kepada pedagang pengumpul desa. Faktor kualitas dan kepada siapa bawang akan dijual kemudian oleh pedagang pengumpul menentukan fungsi tukar menukar. Kualitas bawang kering tak berdaun merupakan yang paling baik sehingga menyebabkan pedagang dengan senang hati melakukan transaksi tunai (lebih 90 persen) tanpa banyak terpengaruh oleh rantai selanjutnya. Tetapi untuk bawang kering berdaun dan basah berdaun pedagang pengumpul desa yang menjual ke pedagang lokal kecamatan hanya membayar dulu 50 dan 37 persennya. Sedangkan untuk pedagang pengumpul yang akan menjual di Purworejo untuk kedua kualitas tersebut membayar dulu 70 dan 50 persen. Faktor kualitas juga sangat mempengaruhi distribusi spasial komoditi bawang merah. Analisis marjin memberikan gambaran bahwa untuk komoditi cabai besar dengan tingkat harga eceran di Yogyakarta petani memperoleh 77 persennya sedang untuk cabai kecil hanya 58 persen. Untuk komoditi bawang merah kering tak berdaun dengan tingkat harga eceran di Yogyakarta juga petani mendapat 71 persen. Kelihatannya komoditi bawang merah dengan kualitas yang tepat (kering tanpa daun) dan cabai besar sudah memperoleh saluran pemasaran yang balk.
Dampak Deregulasi Gula Terhadap Penerimaan Petani Tebu A. Husni Malian
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 16, No 2 (1998): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v16n2.1998.30-38

Abstract

EnglishSugar deregulation carried out by the government through INPRES No. 5, 1998 has liberated farmers from compulsory of cane planting. Formerly, the input of sugar raw materials to the factory was assured by the compulsory cane rotation planting by the farmers. Following deregulation, the compulsory planting was abolished. To fulfill the raw material needs, the factory was urged to offer more advantageous sharing system pattern and price level to the farmers. Alternatively that could be done is through sugar agribusiness unit development with vertical coordination where sugar factory as the initiator, motivator and coordinator. By doing so, the role of the government is limited on the effort of preventing a monopsonistic practices that might take place. IndonesianDeregulasi gula yang dilakukan pemerintah melalui Inpres No. 5 tahun 1998 telah membebaskan petani dari kewajiban menanam tebu. Bila sebelum deregulasi pasokan bahan baku pabrik gula dijamin melalui kewajiban penanaman tebu secara bergilir oleh petani, maka setelah adanya deregulasi kewajiban tersebut di hapuskan. Untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya, pabrik gula saat ini dituntut menawarkan pola bagi hasil dan tingkat harga yang lebih menguntungkan petani di bandingkan pengusahaan tanaman pangan. Alternatif yang dapat ditempuh adalah pengembangan Unit Agribisnis Gula (UAG) dengan pola koordinasi vertikal, di mana pabrik gula bertindak sebagai inisiator, motifator dan koordinator. Di sini peran pemerintah dibatasi pada upaya untuk mencegah praktek-praktek monopsonistik yang mungkin terjadi
Penerapan Tarif Impor dan Implikasi Ekonominya dalam Perdagangan Beras di Indonesia A. Husni Malian; Chaerul Muslim; nFN Erwidodo
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 17, No 1 (1999): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v17n1.1999.27-37

Abstract

EnglishSince December 1, 1998 the government has taken discrete measures of abolishing fertilizer subsidy and liberalized rice and fertilizers trade. To compensate the rice producing farmers the government decided to increase the hulled dry rice floor price from Rp. 1,000.- to Rp. 1,400.- - Rp. 1,500.- per kg. To implement effectively the new floor price mentioned above the government of Indonesia has one choice only which is in accordance with GATT/WTO rules, i.e. to impose an import tariff. Results of the analyses indicate that the ad valorem tariff applicable as high as 40 percent is effective for the whole year or 30 percent if it is applied in January to June period only. The application of this rice import tariff is good for one or two years only in line with the restructured rice agribusiness system. IndonesianSejak tanggal 1 Desember 1998, pemerintah telah mengambil kebijakan berupa penghapusan subsidi pupuk dan membebaskan perdagangan serta tataniaga pupuk dan beras. Sebagai kompensasi kepada petani produsen padi, pemerintah juga mengamankan harga dasar yang baru tersebut, pemerintah Indonesia hanya memiliki satu pilihan yang sesuai dengan kesepakatan GATT/WTO yaitu menerapkan tarif impor beras. Hasil analisis menunjukkan bahwa tarif ad valorem yang dapat dikenakan adalah 40 persen bila diberlakukan sepanjang tahun, atau 30 persen bila hanya berlaku selama masa panen raya padi yang berlangsung antara bulan Januari sampai Juni. Penerapan tarif impor beras ini sebaiknya hanya ditempuh selama satu sampai dua tahun, seiring dengan penataan kembali sistem agribisnis beras yang berlangsung sekarang.
Profil Sosial Ekonomi Penerapan Padi Sebar Langsung di Indonesia A. Husni Malian
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 13, No 2 (1995): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v13n2.1995.55-69

Abstract

IndonesianKelangkaan tenaga kerja pertanian pada daerah penyangga industri di Jawa dan sentra produksi padi di luar Jawa merupakan salah satu penyebab pelandaian produksi padi di Indonesia. Salah satu alternatif jangka pendek yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah ini adalah pengembangan teknologi padi sebar langsung yang meningkatkan efisiensi tenaga kerja. Keunggulan komparatif padi sebar langsung dibandingkan dengan sistem tanam pindah adalah menurunkan curahan tenaga kerja, meningkatkan hasil dan kualitas gabah, menigkatkan penerimaan usahatani serta meningkatkan intensitas tanam. Sedangkan tingkat penerimaan yang diperoleh dari setiap pencurahan tenaga kerja memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan dengan upah di sektor industri. Untuk pengembangan teknologi ini prioritas hendaknya diberikan kepada daerah persawahan irigasi di Jawa denga upah tenaga kerja yang bersaing dengan sektor industri, serta daerah persawahan irigasi bukaan baru dan pasang surut di luar Jawa yang mengalami kelangkaan tenaga kerja.