Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Ketersediaan dan profitabilitas pengusahaan traktor di Jawa Barat, Sumatera Utara dan Lampung Victor T. Manurung; Budiman Hutabarat; nFN Supriyati; Sri Hery Susilowati
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 9, No 2-1 (1992): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v9n2-1.1992.21-29

Abstract

IndonesianKetersediaan traktor di daerah penelitian meningkat terus. Walaupun demikian, ketersediaan traktor belum memenuhi kebutuhan. Peningkatan jumlah traktor itu merupakan tuntutan kebutuhan tenaga kerja, bukan menggeser tenaga kerja manusia sehingga keluar dari pertanian. Penggunaan traktor sudah bersifat umum di kalangan petani dengan mobilitas antar daerah yang relatif tinggi. Kepadatan dan intensitas penggunaan traktor di Jawa Barat lebih tinggi dibandingkan dengan di kedua daerah penelitian lainnya. Diduga hal itu berkaitan erat dengan ketersediaan kesempatan kerja, lamanya traktor dikenal oleh petani dan kondisi pertanian di daerah yang bersangkutan. Aspek-aspek itu lebih mendorong penggunaan traktor yang lebih intensif di Jawa Barat dibandingkan dengan di kedua daerah lainnya. Perkembangan pemilikan traktor tidak hanya untuk digunakan dalam usahatani sendiri, tetapi juga untuk disewakan kepada petani lain. Secara finansial pengusahaan jasa traktor menguntungkan para pelakunya. Dampak positif pengusahaan traktor tidak hanya bagi usahatani dan pengusaha jasa traktor, tetapi juga membangkitkan kesempatan kerja baru di pedesaan. Upaya traktorisasi perlu digalakkan untuk mengembangkan pertanian dan hal itu perlu didukung oleh kebijakan pemerintah.
Industri dan Perdagangan Gula di Indonesia: Pembelajaran dari Kebijakan Zaman Penjajahan – Sekarang Sri Wahyuni; nFN Supriyati; Julia Forcina sinuraya
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 27, No 2 (2009): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v27n2.2009.133-149

Abstract

EnglishSugarcane industry and trade (SIT) in Indonesia is significantly influenced by the government policies. This paper reviewed SIT policies from colonial period up to now to obtain valuable lessons for future development of SIT.  Lessons learned include: (1) During the colonial era, the peak triumph was achieved through farmers’ sacrifice; (2) High financial support for research institutions to produce super varieties, such as POJ 2838 and 3016 with productivity as high as 18 ton/ha of crystal; (3) In the beginning of independence, Indonesia’s institutions and manpower were not exclusively ready to optimally develop SIT; (4) There were no comprehensive policies and several of the existing one were conflicting. Based on these lessons, a comprehensive policy issued by related institutions are strongly required for future development of SIT.IndonesianIndustri dan Perdagangan Gula Indonesia sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Tulisan ini bertujuan untuk mereview kebijakan IPG sejak zaman penjajahan sampai sekarang, untuk dijadikan pembelajaran dalam pengembangan IPG ke depan. Pembelajaran yang dapat dipetik antara lain: (1) Kejayaan gula pada zaman penjajahan dicapai dengan mengorbankan petani; (2) Dukungan dana yang kuat, sehingga lembaga penelitian mampu menghasilkan varietas ajaib POJ 2838 dan 3016 dengan produktivitas sebesar 18 ton hablur/ha; (3) Pada awal kemerdekaan, kelembagaan dan sumberdaya manusia Indonesia belum siap untuk mengembangkan pergulaan secara optimal; (4) Kebijakan kurang komprehensif dan kadang-kadang saling bertentangan. Berdasarkan pembelajaran ini, untuk pengembangan pergulaan ke depan diperlukan kebijakan yang komprehensif dari semua pihak yang terkait.
Lumbung Pangan Masyarakat: Keberadaan dan Perannya dalam Penanggulangan Kerawanan Pangan Muchjidin Rachmat; Gelar Satya Budhi; nFN Supriyati; Wahyuning Kusuma Sejati
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 29, No 1 (2011): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v29n1.2011.43-53

Abstract

EnglishFood barns are the food reserve institution commonly developed in rural areas and play roles in addressing community food insecurity. Food barns exist along with the rice culture and become a part of public food reserve system. The existence of food barns tend to decline due to some, namely: (a) the movement of green revolution which introduces improved rice varieties and agricultural modernization incompatible with the traditional food barn development; (b) the existence of Bulog that plays it role in stabilizing supply of food and rice price which is a disincentive to storing grain; (c) globalization leading to invention of various processed foods distributed to rural areas has changed people’s consumption pattern, and (d) inconsistent and project-oriented technical assistance. Food barns are generally established in the areas accustomed to food insecurity due to lack of access. Food barns may play role to cope with common food insecurity however not capable of dealing with unpredictable food insecurity, e.g. due to disaster. To deal with transient food insecurity it is necessary that the government establishes mobile food reserves such as conducted by Bulog. Food reserves institution is necessary in the autonomy regions along with decreased role of Bulog. Local government’s food reserve institution may be Local Government Enterprises (BUMD), private institution, or collaboration between those of local governments and Bulog. Food insecurity management is also poverty alleviation exertion. Therefore, addressing food security is not only related to food production and provision but it is also infrastructure improvement and human resource development. IndonesianLumbung pangan merupakan lembaga cadangan pangan di daerah perdesaan, berperan dalam mengatasi kerawanan pangan masyarakat. Lumbung pangan telah ada sejalan dengan budaya padi dan menjadi bagian dari sistem cadangan pangan masyarakat. Keberadaan lumbung pangan cenderung menurun karena beberapa sebab, yaitu: (a) penerapan revolusi hijau yang mengintroduksikan teknologi padi unggul, dan modernisasi pertanian dinilai tidak  sesuai dengan lumbung tradisional masyarakat, (b) keberadaan Bulog yang berperan dalam stabilisasi pasokan dan harga pangan (gabah) di setiap wilayah pada setiap waktu menyebabkan tidak ada insentif untuk menyimpan gabah, (c) globalisasi yang menyebabkan terbangunnya beragam pangan, termasuk pangan olahan sampai ke perdesaan, telah merubah pola konsumsi, dan (d) kegiatan pembinaan yang tidak konsisten dan cenderung orientasi proyek menyebabkan pembinaan yang dilakukan tidak efektif. Keberadaan lumbung pangan saat ini umumnya berada di daerah yang secara tradional telah mengembangkan lumbung pangan di daerah rawan pangan  dengan kendala aksesibilitas. Lumbung pangan berperan mengatasi kerawanan pangan masyarakat di daerah rawan pangan kronis, namun belum mampu untuk mengatasi kerawanan pangan transien akibat kondisi tak terduga seperti bencana. Untuk mengatasi kerawanan pangan transien dibutuhkan penyediaan cadangan pangan oleh pemerintah yang memungkinkan mobilitas cadangan pangan antar wilayah sebagaimana dilakukan oleh Bulog. Dengan menurunnya peran Bulog diperlukan pemikiran untuk mengembangkan kelembagaan cadangan pangan pada era otonomi daerah. Pengembangan kelembagaan cadangan pemerintah daerah tersebut dapat berupa BUMD, Lembaga Swasta atau kerjasama Pemda dengan Bulog dalam pengadaan cadangan pangan daerah. Penanganan kerawanan pangan juga sangat berkaitan erat dengan pengentasan kemiskinan. Untuk itu penanggulangan kerawanan pangan tidak hanya berkaitan dengan aspek produksi dan penyediaan bahan pangan. Perbaikan kondisi kerawanan pangan dapat dilakukan dengan perbaikan  infrastruktur dan pengembangan sumber daya manusia.
Peranan, Peluang dan Kendala Pengembangan Agroindustri di Indonesia nFN Supriyati; Erma Suryani
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 24, No 2 (2006): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v24n2.2006.92-106

Abstract

EnglishThis article aimed to assessing the dynamics of the role of agroindustry, as well as assessing the threat and opportunity of the agroindustry development in Indonesia. Agroindustry was developed since mid of 1970’s. In the period of 1985-2000, the share of agroindustry in GDP increased from 3.7 percent to 12.73 percent. In the meantime, the role of agroindustry in labor absorption increased within the range of 0.2 percent to 8.53 percent. The increase in added value was not followed by the increase in labor absorption. Added value mostly came from large-scale industries which was relatively stagnant in the period of 1974-2003. About 90 percent the total home industries could only create around 6 percent of added value. This fact shows a huge gap between large-scale and small-scale/home industries. Opportunity to develop agroindustry is remain open, taking into account the availability of the raw materials and the increasing demand of the processed products. Agroindustry has a significant backward and forward linkages compared to the other sectors. The agroindustry development constraints, among others, are: (1) Assurance of quality and continuity of agricultural products; (2) Relatively poor human resources capacity; (3) Simple technology instead of modern technology used by most of the producers; and (4) Lack in partnership development among the large/medium-scale agroindustries and small-scale/home agroindustries.IndonesianTulisan ini bertujuan untuk menelaah dinamika peranan agroindustri, serta  kendala dan peluang pengembangannya di Indonesia. Agroindustri mulai dikembangkan sejak pertengahan tahun 1970an.  Dalam periode 1985-2000, peranan agroindustri dalam penciptaan PDB meningkat dari 3,7 persen menjadi 12,73 persen. Sementara itu, peranan agroindustri dalam penyerapan tenaga kerja meningkat dari 0,2 persen pada tahun 1985 menjadi 8,53 persen. Namun demikian, peningkatan peranan dalam penciptaan nilai tambah tidak diikuti oleh peningkatan penyerapan tenaga kerja. Peranan dalam penciptaan nilai tambah, sebagian besar berasal dari industri skala besar, dan tidak terjadi pergeseran yang signifikan dalam periode tahun 1974-2003. Sementara itu, industri rumah tangga yang jumlahnya sekitar 90 persen hanya mampu menciptakan nilai tambah sekitar 6 persen. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan yang sangat besar antara industri skala besar dan skala rumah tangga. Peluang pengembangan agroindustri masih terbuka, baik ditinjau dari ketersediaan bahan baku maupun dari sisi permintaan produk olahan. Disamping itu, agroindustri mempunyai keterkaitan ke belakang dan ke depan yang kuat dengan sektor lainnya. Kendala-kendala dalam pengembangan agroindustri, antara lain: (1) kualitas dan kontinyuitas produk pertanian kurang terjamin; (2) kemampuan SDM masih terbatas; (3) teknologi yang digunakan sebagian besar masih bersifat sederhana, sehingga menghasilkan produk yang berkualitas rendah; dan (4) belum berkembang secara luas kemitraan antara agroindustri skala besar/sedang dengan agroindustri skala kecil/rumah tangga.
Prospek Pengembangan Pola Tanam dan Diversifikasi Tanaman Pangan di Indonesia I Wayan Rusastra; Handewi Purwati Saliem; nFN Supriyati; nFN Saptana
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 22, No 1 (2004): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v22n1.2004.37-53

Abstract

EnglishAgricultural diversification policy has been developed since 1975 with the aim of strengthening food self-sufficiency program. This policy is followed up by research and development on cropping patterns in various agro-ecosystems with the target of providing know-how and locally specific technologies. In the future, it is necessary to evaluate potencies, impacts, constraints, and development prospect of the diversification program. Recommended cropping patterns in terms of higher production and income are not sustainable. Some required supporting policies are supply of seeds of secondary and vegetables crops, development program credit, labor-saving technology, coordinated supply of irrigation water, and extension improvement. At national level, it is necessary to develop physical infrastructure and agro-industry institution mainly for secondary and vegetable crops as the strategic precondition for agricultural diversification acceleration.IndonesianKebijakan diversifikasi usahatani telah dikembangkan sejak tahun 1975 dalam rangka memantapkan program swasembada pangan. Kebijakan ini ditindaklanjuti dengan penelitian dan pengembangan pola tanam pada berbagai agroekosistem, dengan sasaran penyediaan teknologi tepat guna spesifik lokasi. Pengembangan diversifikasi ini perlu dievaluasi potensi, dampak, kendala dan prospek pengembangannya di masa depan. Potensi pola tanam rekomendasi dalam bentuk tingkat produksi dan pendapatan yang lebih tinggi dalam pengembangannya ternyata tidak berkelanjutan. Beberapa kebijakan pendukung yang diperlukan adalah penyediaan bibit palawija dan sayuran, kredit program pengembangan, teknologi hemat tenaga kerja, koordinasi penyediaan air irigasi, dan peningkatan kinerja penyuluhan. Pada tataran makro dibutuhkan pengembangan infrastruktur fisik dan kelembagaan agroindustri (palawija dan sayuran) sebagai prakondisi strategis akselerasi diversifikasi pertanian.