Claim Missing Document
Check
Articles

Found 17 Documents
Search

Analisis usaha pembenihan udang rakyat di Jawa Barat: Studi kasus di Pangandaran, Ciamis nFN Saptana; Muchjidin Rachmat; nFN Hermanto
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 11, No 2 (1993): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v11n2.1993.68-79

Abstract

IndonesianPosisi udang sebagai komoditi ekspor primadona non-migas dewasa ini mengalami kegoyahan sebagai akibat dari: (1) persaingan dengan negara eksportir lain seperti Taiwan, Thailand dan India, (2) merosotnya harga udang di pasar internasional, dan (3) resiko kegagalan tambak udang di tingkat petani yang semakin besar. Seberapa jauh keadaan tersebut berpengaruh pada usaha pembenihan udang rakyat yang akan diungkap. Hasil  analisis biaya dan keuntungan per meter kubik dari berbagai skala usaha menunjukkan usaha pembenihan udang masih menguntungkan. Skala kecil memperoleh keuntungan sebesar Rp 96.024/meter kubik, skala sedang memperoleh keuntungan sebesar Rp 113.018/ meter kubik dan skala besar memperoleh keuntungan sebesar Rp 130.480/meter kubik atas biaya total periode. Dilihat dari efisiensi pemanfaatan modal adri ketiga skala yang diteliti, menunjukkan bahwa skala kecil memperoleh nilai R/C ratio 1.70, skala sedang 1.98 dan skala besar 2.38. Hasil analisis margin menunjukkan bahwa besarnya margin tataniaga benur udang Rp 8,5/ekor, yang terdiri dari biaya tataniaga sebesar Rp 5,40/ekor (64 persen) dan keuntungan lembaga niaga sebesar Rp 3,10/ekor (36 persen) dari total margin tataniaga.
Tingkat penerapan diversifikasi usahatani dan pengaruhnya terhadap pendapatan dan penyerapan tenaga kerja Muchjidin Rachmat; Budiman Hutabarat
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 6, No 2 (1988): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v6n2.1988.23-32

Abstract

IndonesianTulisan ini ingin melihat tingkat diversifikasi usahatani pada lahan sawah beririgasi dan pengaruhnya terhadap pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Penelitian dilakukan di Kabupaten Ngawi dan Kabupaten Nganjuk Provinsi Jawa Timur tahun 1987/1988, pada lahan sawah dengan melihat perbedaan sumber irigasi. Di tingkat petani aktivitas diversifikasi usahatani pada lahan sawah telah berjalan baik. Intensitas tanaman rata-arta sebesar 282,94 persen menunjukkan pemanfaatan lahan cukup intensif. Dalam pendayagunaan lahan masih terlihat kecenderungan petani untuk menanam padi. Beberapa faktor seperti nilai tambah dan prasarana yang lebih baik serta resiko yang relatif kecil mendukung kecenderungan tersebut. Peranan padi dalam pemanfaatan lahan sebesar 60,74 persen, sedangkan peranan padi terhadap pendapatan usahatani sebesar 62,41 persen atau 35,2 persen terhadap pendapatan rumahtangga total. Dalam penyerapan tenaga kerja, usahatani padi relatif lebih intensif dibanding palawija. Dengan dominannya peranan padi tersebut, maka di tingkat petani tingginya tingkat diversifikasi usahatani tidak berperan besar dalam peningkatan penyerapan tenaga kerja dan pendapatan petani. Hal ini berarti pada lahan beririgasi, diversifikasi usahatani tidak banyak diharapkan berperan besar dalam peningkatan penyerapan tenaga kerja dan pendapatan tersebut, kecuali apabila diciptakan terobosan teknologi produksi yang mampu meningkatkan produktivitas (palawija) dan yang dapat menekan resiko produksi.
Kombinasi tingkat penggunaan masukan yang memaksimumkan keuntungan usahatani bawang merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Adreng Purwoto; Muchjidin Rachmat
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 8, No 1-2 (1990): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v8n1-2.1990.23-28

Abstract

IndonesianTulisan ini melihat tingkat penggunaan masukan dalam usahatani bawang merah di desa Larangan Kabupaten Brebes MT 1987. Hasil analisa menunjukkan tingkat penggunaan masukan ditingkat petani belum merupakan kombinasi optimal yang memberikan tingkat keuntungan maksimum. Untuk memperoleh tingkat keluaran/produksi bawang merah sebesar 5834,64 kg atau senilai Rp 1828,9 ribu, pada kondisi keuntungan masksimum, maka penggunaan pupuk kimia harus dikurangi dari 817,9 kg menjadi 719,5 kg, bibit dari 744,1 kg menjadi 650,7 kg, tenaga kerja dari 3616,6 jam kerja menjadi 3090,9 jam kerja dan pengeluaran obat dari Rp 170,8 ribu menjadi Rp 156,8 ribu. Alokasi optimal tersebut telah menurunkan biaya produksi per hektar atau meningkatkan pendapatan usahatani sebesar Rp 175 ribu per hektar.
Keragaan program supra insus padi, kasus di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur Muchjidin Rachmat; Rudy Sunarja Rivai; nFN Andriati
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 7, No 1 (1989): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v7n1.1989.1-12

Abstract

IndonesianTulisan ini menggambarkan pelaksanaan program Supra Insus padi pada awal pelaksanaan di kabupaten Nganjuk. Program ini telah meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani. Salah satu keberhasilan dari program Supra Insus ini terutama dalam menekan kecenderungan petani dalam pemakaian pupuk berlebihan menuju pemakaian yang lebih berimbang, Masih adanya variasi yang besar dalam pemakaian masukan dan produktivitas menunjukkan adanya peluang dalam perbaikan manajemen pengelolaan program. Perbaikan manajemen tersebut terutama ditekankan kepada sistem pengambilan keputusan berkelompok yang mengarah dalam memperbaiki adopsi teknologi dan keterpaduan usahatani. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk, selayaknya rekomendasi paket pemupukan didasarkan kepada analisa kesuburan tanah yang lebih teliti. Pemakaian pupuk yang seimbang dan mendekati.
Nilai Tukar Petani : Konsep, Pengukuran dan Relevansinya sebagai Indikator Kesejahteraan Petani Muchjidin Rachmat
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 31, No 2 (2013): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v31n2.2013.111-122

Abstract

EnglishThe purpose of development is improving welfare of the community such that in every stage of development the welfare of society is always prioritized. Indonesia as an agrarian country with a large population and the dominant proportion of rural farm households prioritizes farmers’ welfare as a strategic issue. One of the farmers’ welfare survey tools is Farmers’ Terms of Trade (FTT). FTT is the ratio of prices received by farmers to the price paid by farmers. This concept simply reflects the purchasing power of farmers’ income. However, the concept based on the computation of FTT fixed quantity (Laspeyres index) does not fully describe the indicator of the farmers’ welfare. The increase in product prices received by farmers is equal to an increase in farmers' income. The increase in prices received by farmers indicates the scarcity of agricultural production supply. FTT measurement also does not accommodate productivity growth, technological progress and development improvement. Thus, improvement for computing FTT is necessary by incorporating elements of quantity so that FTT value is income to expenditure ratio. The simplest way is computing the Agricultural Production and the Household Consumption indices for FTT. Another improvement is to refine the scope of agricultural farmers defined in the FTT computation. IndonesianTujuan pembangunan adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat,  sehingga dalam setiap tahapan pembangunan kesejahteraan masyarakat selalu menjadi tujuan utama. Sebagai Negara agraris dengan jumlah penduduk besar dan proporsi rumah tangga yang bekerja di pertanian dominan, maka perhatian terhadap kesejahteraan petani dinilai sangat strategis. Salah satu alat ukur kesejahteraan petani yang digunakan saat ini adalah Nilai Tukar Petani (NTP). NTP dihitung dari rasio harga yang diterima petani (HT) terhadap harga yang dibayar petani (HB). Konsep ini secara sederhana menggambarkan daya beli pendapatan petani.  Namun konsep penghitungan NTP yang didasarkan kepada kuantitas yang tetap (indeks Laspeyres) belum sepenuhnya merupakan  indikator kesejahteraan petani. Kenaikan harga produk yang diterima petani tidak identik dengan peningkatan pendapatan petani. Kenaikan harga yang diterima petani justru mengindikasikan kelangkaan suplai/produksi pertanian. Konsep pengukuran NTP juga tidak mengakomodasikan perkembangan produktivitas, kemajuan teknologi dan pembangunan. Dalam kaitan sebagai indikator kesejahteraan petani, penyempurnaan penghitungan NTP perlu dilakukan melalui pendekatan nilai yaitu dengan memasukkan unsur kuantitas  sehingga NTP merupakan rasio antara nilai pendapatan terhadap nilai pengeluaran. Cara paling sederhana adalah dihitungnya  Indeks Produksi Pertanian dan Indeks Konsumsi Rumah tangga petani dalam penghitungan NTP. Penyempurnaan lain adalah menyempurnakan cakupan petani sesuai definisi pertanian dalam perhitungan NTP.
Agribisnis Tembakau di Indonesia : Kontroversi dan Prospek Muchjidin Rachmat; Rizma Aldillah
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 28, No 1 (2010): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v28n1.2010.69-80

Abstract

EnglishTobacco is one of the important commodities in Indonesia. The tobacco industry contributes significantly to the Indonesian economy, especially tax and excise as a source of government income, employment opportunity, source of income and regional development. However, tobacco and cigarettes has a negative impact on health and the environment. Indonesian cigarette industry is in a dilemma situation. Increasing public awareness about health and anti-smoking cigarettes causes a decrease of tobacco demand in the world and Indonesia, and its negative impact in the demand for tobacco leaf. This condition must be anticipated at the early stage with directive program in the development of tobacco crop substitution. This substitution can be carried out through the development of high value alternative crops with the application of technology and market assurances. Among these high value commodities are horticultural crops, like vegetables and ornamental plants.  To ensure market and the application of technology for such crops, it is necessary to develop a partnership relation with the market actors.   With a large number of smokers and a hereditary culture, Indonesia is considered as a potential market for the tobacco industry. This condition should allow a greater negative impact and social costs for Indonesia. To encounter such situation, Indonesia need a cigarette consumption reduction policy which could be applied through: (a) high cigarette tax and price, (b)  strictly abandon promotion, advertisement and cigarette sponsorship in various events that involve young people, and (c) well-guarded stipulation on free smoking area.IndonesianTembakau merupakan salah satu komoditas penting di Indonesia. Industri tembakau memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian Indonesia, terutama cukai dan  devisa sebagai sumber penerimaan negara, lapangan kerja, sumber pendapatan dan pembangunan daerah. Namun, tembakau dan rokok memiliki dampak negatif terhadap kesehatan dan lingkungan. Industri rokok Indonesia berada dalam situasi dilema. Peningkatan kepedulian masyarakat tentang kesehatan dan gerakan anti-merokok menyebabkan penurunan permintaan dunia dan Indonesia pada rokok, dan berdampak kepada penurunan permintaan daun tembakau. Kondisi ini harus diantisipasi secara dini dan terprogram dalam bentuk pengembangan tanaman substitusi tembakau.  Upaya substitusi ini dapat dilakukan melalui pengembangan tanaman alternatif bernilai ekonomi tinggi dengan penerapan teknologi dan jaminan pasar. Beberapa komoditas bernilai tinggi tersebut terutama tanaman hortikultura, seperti sayuran dan tanaman hias. Untuk memberikan kepastian  pasar  dan penerapan  teknologi perlu dikembangkan pola kemitraan dengan  pelaku pasar. Dengan jumlah penduduk yang besar dan memiliki budaya merokok yang turun temurun, Indonesia dinilai merupakan pasar yang potensial bagi industri rokok.  Kondisi ini akan berakibat Indonesia  akan menerima lebih besar dampak negatif dan biaya sosial.  Untuk itu diperlukan kebijakan pengurangan konsumsi rokok melalui: (a) peningkatan  cukai dan harga rokok, (b) pengendalian/pelarangan iklan dan sponsor rokok dalam kegiatan yang melibatkan remaja, dan (c) penetapan kawasan bebas rokok.
Pengorganisasian Kelompok Tani Insus: Telaahan di Kabupaten Banyuwangi dan Malang Jawa Timur Jefferson Situmorang; Achmad Suryana; Muchjidin Rachmat
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 1, No 1 (1982): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v1n1.1982.19-26

Abstract

IndonesianSetahun setelah INSUS dilaksanakan, pada tahun 1980 produksi padi naik sebesar 13 persen. Kemudian timbul pendapat yang setuju dan kontra akan adanya peranan INSUS dalam hal ini. Untuk mengetahui apakah ada peran INSUS tersebut, perlu diketahui seberapa jauh INSUS itu telah diterapkan oleh petani sesuai dengan konsepnya. Telaahan ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan di atas, walaupun disadari analisa dilakukan terlalu dini. Karena itu berupa penelitian kasus di dua kelompok tani di Malang dan Banyuwangi Jawa Timur; analisa bersifat deskriftif kualitatif, dan aspek yang dilihat terbatas pada kegiatan kelompok tani sebagai suatu lembaga. Hasil telaahan menunjukkan bahwa yang menentukan keberhasilan INSUS dibandingkan dengan kelompok petani lainnya karena adanya perbedaan dalam kerjasama kelompok.
Dinamika Agribisnis Tembakau Dunia dan Implikasinya bagi Indonesia Muchjidin Rachmat; Sri Nuryanti
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 27, No 2 (2009): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v27n2.2009.73-91

Abstract

EnglishTobacco is one of the world’s important commodities in trading. The main products of tobacco are tobacco leaf and cigarette. Since 2000’s world agribusiness of tobacco tended to decrease after experiencing a high growth in few decades. This was indicated by the decreasing growth of harvested area, production and consumption of tobacco leaves and cigarettes. This situation was primarily affected by the increasing public pressure against tobacco, mainly in developed countries, due to health and environmental aspects. Developed countries responded the dynamics by the application of a policy to restrict tobacco in their land and move the production to developing countries. Production of tobacco decreased faster than its consumption causing larger gaps between supply and demand of tobacco leaf. On the other hand, the market of tobacco supply and demand grow along with the growth of population triggering the increase of tobacco leaf world price. The potential market would be available in developing countries such as Indonesia, in short and intermediate terms. Indonesia is a potential market for cigarette. This fact is in line with the number of population and its smoking culture. Large cigarette companies and multi national corporations take huge advantages from such promising market in Indonesia. The existence of both could raise investment instead of disadvantaged public and government of Indonesia by causing unexpected negative impacts and social costs. Indonesia should redirect industrial products of tobacco from domestic to export markets. The export potential could be empowered by: (a) strengthening priority on the existing marketable products (b) prioritize the competitiveness of  the Na Oogst (cigars), and (c) shift production of cigarettes from the unfiltered and filtered to the light and ultra light cigarettes and promote the export markets. In a long term, it is necessary to anticipate the decrease of tobacco/cigarettes’ demand by introducing alternative high value crops to substitute tobacco. The substitution effort must be supported by all stakeholders at whom the decision makers could guarantee the substitute crops market and price.IndonesianTembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan yang penting di dunia. Produk utamanya adalah daun tembakau dan rokok. Sejak tahun 2000-an agribisnis tembakau di dunia cenderung menurun setelah mengalami pertumbuhan yang tinggi dalam beberapa dekade. Hal ini ditunjukkan oleh pertumbuhan menurun dari luas panen, produksi serta konsumsi tembakau dan rokok. Keadaan ini dipengaruhi oleh peningkatan tekanan kelompok masyarakat yang peduli terhadap kesehatan dan lingkungan terutama di negara-negara maju. Negara-negara maju menanggapi dinamika tersebut dengan kebijakan pembatasan tembakau yang mengakibatkan  pergeseran produksi ke negara-negara berkembang. Sementara itu, produksi tembakau menurun lebih cepat daripada tingkat konsumsinya sehingga menimbulkan kesenjangan antara penawaran dan permintaan daun tembakau. Di lain pihak, penawaran dan permintaan pasar tembakau tumbuh sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan menyebabkan harga daun tembakau di dunia meningkat. Potensi pasar ini merupakan peluang bagi negara berkembang seperti Indonesia dalam jangka pendek maupun jangka menengah. Seiring dengan jumlah penduduk dan budaya merokok yang semakin meluas, Indonesia menjadi pasar rokok yang potensial di dunia. Perusahaan rokok besar dan muti-national corporations (MNCs) memanfaatkan peluang pasar yang menjanjikan di Indonesia. Keberadaan perusahaan besar dan MNCs selain meningkatkan investasi juga merugikan masyarakat dan pemerintah Indonesia dengan dampak negatif yang ditimbulkan serta biaya sosial yang tinggi. Oleh karena itu, Indonesia harus memprioritaskan produk industri tembakau untuk pasar ekspor. Potensi ekspor dapat ditingkatkan dengan (a) memperkuat produk yang telah mempunyai pasar yang baik, (b)  memprioritaskan tembakau bahan baku cerutu (Na Oogst) yang lebih berdaya saing, dan (c) mengalihkan produksi rokok dari rokok kretek ke rokok putih yang berorientasi ekspor. Dalam jangka panjang, perlu diantisipasi penurunan permintaan tembakau/rokok dengan memperkenalkan tanaman alternatif untuk mensubstitusi tembakau yang berdampak positif bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Pelaksanaan kegiatan substitusi tanaman ini harus didukung oleh semua pihak yang berkepentingan dengan ketersediaan jaminan pasarnya.
Keragaan Investasi di Subsektor Perkebunan Muchjidin Rachmat; nFN Saptana; nFN Hermanto
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 13, No 1 (1995): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v13n1.1995.1-21

Abstract

IndonesianPembangunan di subsektor perkebunan tidak terlepas dari peran investasi, baik yang bersumber dari pemerintah maupun swasta domestik maupun asing. Pemerintah telah merangsang investasi swasta melalui berbagai kebijaksanaan pemerintah khususnya dalam hal kemudahan investasi. Selama periode tahun 1968-1990, perkembangan nilai investasi di subsektor perkebunan yang disetujui oleh pemerintah meningkat dengan laju 17.8 persen pertahun untuk PMDN dan 9.0 persen pertahun untuk PMA. Kenaikan cukup besar terjadi pada PMDN sebagai akibat berbagai kemudahan yang diberikan pemerintah. Kegiatan investasi perkebunan menyebar di seluruh propinsi, terbesar berada di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Penyebaran investasi di seluruh wilayah Indonesia menunjukkan berperannya subsektor perkebunan bagi penyebaran pembangunan. Komoditi yang diminati sebagian besar adalah cokalt, karet, dan kelapa sawit, baik di bidang budidaya dan atau pengolahannya. Permasalahan umum yang dijumpai dalam menarik minat investasi di perkebunan adalah persaingan dengan sektor lain sejalan dengan sifat investasi di sektor pertanian umumnya memerlukan modal besar, ketergantungan terhadap faktor alam, memerlukan jangka waktu panjang, seringkali berlokasi di daerah terpencil (bukaan baru) serta harga produk pertanian yang tergantung kepada harga pasar dunia. Namun demikian investasi di perkebunan masih prospektif dilihat dari segi pasar dan didukung oleh ketersediaan potensi sumberdaya alam serta situasi negara yang stabil. Usaha untuk menarik minat investasi di perkebunan diperlukan penyebarluasan tentang informasi, baik informasi prospek pasar dan potensi daerah serta kemudahan dalam kegiatan investasi.
Lumbung Pangan Masyarakat: Keberadaan dan Perannya dalam Penanggulangan Kerawanan Pangan Muchjidin Rachmat; Gelar Satya Budhi; nFN Supriyati; Wahyuning Kusuma Sejati
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 29, No 1 (2011): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v29n1.2011.43-53

Abstract

EnglishFood barns are the food reserve institution commonly developed in rural areas and play roles in addressing community food insecurity. Food barns exist along with the rice culture and become a part of public food reserve system. The existence of food barns tend to decline due to some, namely: (a) the movement of green revolution which introduces improved rice varieties and agricultural modernization incompatible with the traditional food barn development; (b) the existence of Bulog that plays it role in stabilizing supply of food and rice price which is a disincentive to storing grain; (c) globalization leading to invention of various processed foods distributed to rural areas has changed people’s consumption pattern, and (d) inconsistent and project-oriented technical assistance. Food barns are generally established in the areas accustomed to food insecurity due to lack of access. Food barns may play role to cope with common food insecurity however not capable of dealing with unpredictable food insecurity, e.g. due to disaster. To deal with transient food insecurity it is necessary that the government establishes mobile food reserves such as conducted by Bulog. Food reserves institution is necessary in the autonomy regions along with decreased role of Bulog. Local government’s food reserve institution may be Local Government Enterprises (BUMD), private institution, or collaboration between those of local governments and Bulog. Food insecurity management is also poverty alleviation exertion. Therefore, addressing food security is not only related to food production and provision but it is also infrastructure improvement and human resource development. IndonesianLumbung pangan merupakan lembaga cadangan pangan di daerah perdesaan, berperan dalam mengatasi kerawanan pangan masyarakat. Lumbung pangan telah ada sejalan dengan budaya padi dan menjadi bagian dari sistem cadangan pangan masyarakat. Keberadaan lumbung pangan cenderung menurun karena beberapa sebab, yaitu: (a) penerapan revolusi hijau yang mengintroduksikan teknologi padi unggul, dan modernisasi pertanian dinilai tidak  sesuai dengan lumbung tradisional masyarakat, (b) keberadaan Bulog yang berperan dalam stabilisasi pasokan dan harga pangan (gabah) di setiap wilayah pada setiap waktu menyebabkan tidak ada insentif untuk menyimpan gabah, (c) globalisasi yang menyebabkan terbangunnya beragam pangan, termasuk pangan olahan sampai ke perdesaan, telah merubah pola konsumsi, dan (d) kegiatan pembinaan yang tidak konsisten dan cenderung orientasi proyek menyebabkan pembinaan yang dilakukan tidak efektif. Keberadaan lumbung pangan saat ini umumnya berada di daerah yang secara tradional telah mengembangkan lumbung pangan di daerah rawan pangan  dengan kendala aksesibilitas. Lumbung pangan berperan mengatasi kerawanan pangan masyarakat di daerah rawan pangan kronis, namun belum mampu untuk mengatasi kerawanan pangan transien akibat kondisi tak terduga seperti bencana. Untuk mengatasi kerawanan pangan transien dibutuhkan penyediaan cadangan pangan oleh pemerintah yang memungkinkan mobilitas cadangan pangan antar wilayah sebagaimana dilakukan oleh Bulog. Dengan menurunnya peran Bulog diperlukan pemikiran untuk mengembangkan kelembagaan cadangan pangan pada era otonomi daerah. Pengembangan kelembagaan cadangan pemerintah daerah tersebut dapat berupa BUMD, Lembaga Swasta atau kerjasama Pemda dengan Bulog dalam pengadaan cadangan pangan daerah. Penanganan kerawanan pangan juga sangat berkaitan erat dengan pengentasan kemiskinan. Untuk itu penanggulangan kerawanan pangan tidak hanya berkaitan dengan aspek produksi dan penyediaan bahan pangan. Perbaikan kondisi kerawanan pangan dapat dilakukan dengan perbaikan  infrastruktur dan pengembangan sumber daya manusia.