Ruddi Hartono
Departemen Anestesiologi Dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya/RSUD Dr Saiful Anwar Malang

Published : 16 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search
Journal : Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia

Low Dose Spinal Anesthesia Bupivakain 0,5% 5 mg dengan Adjuvan Fentanyl 50 mcg untuk Pasien dengan Uncorrected Tetralogy of Fallot yang Menjalani Seksio Sesarea Ruddi Hartono; Sri Rahardjo; Yusmein Uyun
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 2 No 2 (2019): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v2i2.15

Abstract

Pasien hamil dengan uncorrected tetralogy of fallot yang menjalani seksio sesarea merupakan tantangan tersendiri bagi dokter anestesi. Tetralogy of Fallot terdiri dari ventricular septal defect, hipertrofi ventrikel kanan, overriding aorta dan stenosis pulmonal. Prinsip anestesi pada pasien ini adalah mempertahankan systemic vascular resistence (SVR) dan menghindari peningkatan pulmonary vascular resistance (PVR). Pasien Ibu hamil, 19 tahun dengan berat badan 50 kg, tinggi badan 150 cm, G3P000Ab200 Gravida 36–37 minggu, tunggal hidup, fetal distress dan tali pusat menumbung dengan tetralogy of fallot, akan dilakukan seksio sesarea cito. Penatalaksanaan anestesi pasien ini dengan low dose spinal anesthesia bupivakain 0,5% 5 mg dan adjuvan fentanyl 50 mcg. Hemodinamik stabil setelah tindakan spinal. Tekanan darah sebelum dilakukan spinal 100/60 mmHg dengan laju nadi 67 kali per menit dan saturasi oksigen 80% menggunakan non rebreathing mask (NRBM) 10 liter per menit. Tekanan darah pada saat operasi dimulai adalah 96/57 mmHg dan laju nadi 77 kali per menit serta saturasi 78% menggunakan NRBM 10 liter per menit. Setelah bayi dilahirkan, hemodinamik stabil hingga akhir operasi, tidak ditemukan periode hipotensi yang berat dan tidak digunakan obat vasopressor selama operasi. Pasien dipindahkan ke ICU untuk observasi pasca operasi selama 2 hari. Selama perawatan di ICU, kondisi pasien tetap stabil dan kemudian dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Low dose spinal anesthesia mencegah risiko hipotensi karena intensitas blok simpatis yang lebih minimal sehingga penurunan SVR dapat dihindari. Teknik ini dapat digunakan sebagai alternatif pembiusan pada pasien dengan tetralogy of fallot tetapi tergantung kondisi pasien saat akan dilakukan pembiusan. Low Dose Spinal Anesthesia Bupivacaine 0,5% 5 mg with Adjuvant Fentanyl 50 mcg for Cesarean Section Patient with Uncorrected Tetralogy of Fallot AbstractCesarean delivery in parturient with uncorrected tetralogy of fallot poses significant challenge for anesthesiologist. Tetralogy of Fallot consists of ventricular septal defect, right ventricular hypertrophy, overriding aorta and stenosis pulmonum. Main principle of anesthesia for tetralogy of fallot is maintenance of systemic vascular resistance dan avoidance of increasing pulmonary vascular resistance. Parturient, 19 years old, body weigt 50 kg, height 150 cm, G3P000Ab200 36 – 37 weeks, fetal distress and umbilical cord prolapse with tetralogy of fallot will perform cesarean section. Patient anesthesized with low dose spinal anesthesia using bupivacaine 0,5% 5cmg with adjuvant fentanyl 50 mcg. Haemodynamic before spinal with blood pressure is 100/60 mmHg, heart rate 67 beat per minute (BPM), saturation is 80% using 10 liter of oxygen non rebreathing mask (NRBM) . Blood pressure during incision 96/57 mmHg heart rate 77 BPM with saturation 78% using 10 liter of NRBM. Haemodynamic is stable after baby is born until the operation is done, without any episode of severe hypotension and there is no using of vasopressor drugs. Patient is moved to ICU after the operation for further observation and for 2 days periode the haemodynamic is stable and then patient is moved to regular ward. Low dose spinal anesthesia avoid the incidence of hypotension by causing less intense blocked sympathetic system than traditional dose and thus providing a stable SVR. This technique could be an alternative for anesthesizing for parturient with tetralogy of fallot but its depend on patient condition before operation.
Manajemen Anestesi pada Seksio Sesarea dengan Idiopathic Thrombocytopenic Purpura: Serial kasus Achmad Haryanto; Ruddi Hartono; Isngadi Isngadi
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 4 No 2 (2021): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v4i2.61

Abstract

Trombositopenia merupakan perubahan hemostasis yang umum terjadi pada wanita hamil, namun jarang ditemukan kondisi berat. Idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP) merupakan salah satu penyebab trombositopenia pada wanita hamil. ITP ditandai dengan peningkatan penghancuran trombosit oleh antibodi immunoglobulin G (IgG) yang dapat meningkatkan risiko perdarahan pada pasien dan fetus. Kami melaporkan tiga kasus wanita hamil dengan ITP yang akan dilakukan tindakan seksio sesarea. Satu pasien menjalani seksio sesarea emergency dengan trombosit 4000 dan dua pasien menjalani seksio sesarea elektif. Pasien seksio sesarea elektif diberikan transfusi trombosit perioperatif terlebih dahulu. Ketiga pasien menjalani prosedur seksio sesarea dengan teknik anestesi general. Pemantauan perdarahan dilakukan selama sampai dengan setelah operasi. Kondisi postoperatif pasien baik dan dirawat di ruang intensive care unit (ICU). Case Series: Anesthesia Management in Caesarean Section with Idiopathic Thrombocytopenic Purpura Abstract Thrombocytopenia is the most common hemostatic change in pregnancy, but severe thrombocytopenia is rare. One of the causes, idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP), is characterized by increased platelet destruction by immunoglobulin G (IgG) antibodies, presenting a high risk of hemorrhage for the patient, but also the fetus, since antibodies may cross the placenta. We report three cases of pregnant women with ITP undergoing cesarean section. One patient underwent emergency cesarean section with a platelet of 4000 and two patients underwent elective cesarean. Patients with elective cesarean section were given the first perioperative platelet transfusion. The cesarean section procedures were performed under general anesthesia. Bleeding monitoring is carried out during up to after surgery.
Manajemen Anestesi pada Gravida dengan Plasenta Previa Totalis Suspek Plasenta Akreta yang Dilakukan Seksio Sesarea dengan Teknik Anestesi Spinal di Era Pandemi Syaiful Yudhi Nurachman; Ruddi Hartono; Isngadi Isngadi
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 5 No 2 (2022): Juli
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v5i2.92

Abstract

Plasenta previa dan riwayat seksio sesarea merupakan faktor penting ter-jadinya plasenta akreta, plasenta akreta kasusnya meningkat seiring peningkatan jumlah per-salinan dengan seksio sesarea. Pada kasus ini, wanita berusia 37 tahun, G4P3Ab0 usia kehamilan 37–38 minggu dipersiapkan seksio sesarea elektif dan histerektomi akibat plasenta previa totalis suspek plasenta akreta berdasarkan hasil ultrasonografi dengan skor indeks plasenta akreta 6,5 (probabilitas 83%). Untuk mengurangi timbulnya aerosol dalam pencegahan penyebaran COVID-19, pasien dilakukan tindakan anestesi spinal dengan regimen levobupivacaine dengan adjuvant morfin 0,2 mg, fentanyl 25 mcg, clonidin 30 mcg dengan lama operasi 5 jam 30 menit dan dilakukan intervensi hemodilusi hipervolemik untuk mengurangi transfusi darah. Perdarahan intraoperatif 4900 cc dan diberikan transfusi 2 unit PRC dan 2 unit WB. Pasca operasi dirawat di ICU dan tidak ada komplikasi. Hari pertama pasca operasi pasien pindah ke ruang intensif. Teknik spinal pada seksio sesarea dengan plasenta akreta dapat menjadi alternatif manajemen anestesi di era pandemi karena mencegah timbulnya aerosol, dan regimen levobupivacaine dapat memperpanjang durasi anestesi serta hemodilusi hipervolemik dapat mengurangi kebutuhan transfusi darah.
Terapi Penggantian Ginjal Berkelanjutan pada Pasien Eklampsia dengan Komplikasi Sepsis dan Distres Pernapasan Akut Steven Martin Fuliman; Ruddi Hartono; Isngadi isngadi
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 5 No 2 (2022): Juli
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v5i2.98

Abstract

Eklampsia telah didokumentasikan selama lebih dari 2400 tahun dengan gambaran awal sindrom prodromal yaitu pre-eklampsia (sebelumnya disebut sebagai toksemia dalam kehamilan). Pasien dengan eklampsia tidak jarang dibarengi dengan berbagai macam komplikasi sehingga memperburuk keluaran dari pasien, dan memerlukan perawatan intensif dan tatalaksana lebih lanjut. Ibu hamil usia 36 tahun dengan usia kehamilan 36–37 minggu dirujuk ke Rumah sakit dengan diagnosis eklampsia dengan distres pernafasan akut akibat edema paru. Pasien dilakukan intubasi saat di ruang gawat darurat dan seksio sesarea cito. Pasca operasi pasien di rawat di intensive care unit untuk tatalaksana lebih lanjut. Terapi penggantian ginjal berkelanjutan atau Continuous Renal Replacement Therapy (CRRT) digunakan untuk memberikan dukungan ginjal pada pasien sakit kritis dengan gagal ginjal akut, terutama pasien dengan hemodinamik tidak stabil. Pada Ibu hamil dengan eklampsia tidak jarang dapat berkembang ke komplikasi seperti distres pernafasan akut akibat edema pulmonum, pneumonia hingga sepsis yang dapat membuat gagal ginjal akut pada pasien. Modalitas pada terapi penggantian ginjal salah satunya dapat memodulasi cytokine sebagai terapi tambahan pada sepsis selain memperbaiki fungsi ginjal, yang diharapkan bisa memperbaiki keluaran pada pasien. Terapi penggantian ginjal berkelanjutan pada pasien saat hari ke tiga perawatan di ICU dengan hasil keluaran yang baik, pasien dilakukan ekstubasi pada hari ke enam perawatan di ICU. Pasien diperbolehkan keluar dari rumah sakit saat perawatan hari kesepuluh dan tidak memerlukan dialisis lebih lanjut.
Hemodilusi Hipervolemik (HHD) sebagai Tatalaksana Perioperatif pada Pasien Plasenta Previa dengan Suspek Plasenta Akreta Bagas Dyakso Darmojo; Ruddi Hartono
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 6 No 1 (2023): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v6i1.112

Abstract

Perdarahan baik sebelum persalinan (antepartum) maupun setelah persalinan (postpartum) masih memegang predikat utama kematian perinatal dan morbiditas maternal di seluruh dunia. Plasenta previa merupakan salah satu jenis dari pendarahan antepartum. Pada beberapa kasus, plasenta previa dapat disertai dengan plasenta akreta yang dapat memperberat kondisi pendarahan yang terjadi. Manajemen multidisiplin dan holistik hingga memperhatikan kehilangan cairan pasien penting dalam tatalaksana perioperatif pada kasus ini. Pendekatan alternatif yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi pendarahan ialah hemodilusi, baik secara normovolemik (ANH) maupun hipervolemik (HHD). Laporan kasus ini melaporkan seorang pasien wanita berusia 31 tahun dengan diagnosis Plasenta previa totalis dengan suspek plasenta akreta dan direncanakan seksio sesarea dan histerektomi. Prosedur HHD dilakukan sebagai strategi konservasi darah dengan jumlah cairan sebanyak 2500 ml. Pemeriksaan fisik menunjukkan tekanan darah 116/83 mmHg, nadi 90 kali/menit, dan SpO2 97% room air. Pada pemeriksaan pre-operatif, kadar hemoglobin dari pasien sebesar 10,2 g/dL dengan hematokrit sebesar 30,9%. Setelah dilusi, kadar hemoglobin dari pasien 8 g/dL dengan hematokrit 24,9%. Durante operasi, kadar hemoglobin 3,1 g/dL dan hematokrit 10%. Pasien diberikan transfusi packed red cell (PRC) sebanyak 960 cc. Pasca operasi, hemoglobin naik menjadi 9,9 g/dL dan hematokrit 29,1%. Jumlah pendarahan total sebanyak 7000 cc. Pada kasus ini, strategi konservasi darah dengan hemodilusi hipervolemik efektif dalam menurunkan risiko diperlukannya transfusi darah berlebih serta tidak memengaruhi kondisi hemodinamik secara signifikan sehingga dapat menjadi pilihan alternatif manajemen pendarahan perioperatif. Namun, dengan tetap mewaspadai efek samping yang berpotensi timbul mulai dari anemia akut hingga hypervolemia