Muhammad Noupal
Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang

Published : 13 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search
Journal : Intizar

Kritik Sayyid Utsman bin Yahya terhadap Pemikiran Pembaharuan Islam: Studi Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia Muhammad Noupal
Intizar Vol 20 No 1 (2014): Intizar
Publisher : Pusat Penelitian dan Penerbitan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini mengkaji tentang penolakan Sayyid Utsman terhadap ide-ide pembaharuan seperti penafsiran kembali (reinterpretasi) al-Qur’an, penerjemahan al-Qur’an dan membuka pintu ijtihad dilakukan untuk menyelamatkan umat Islam dari bid’ah dan kerancuan pemahaman (ghurur) dalam agama. Sebagai seorang mufti, Sayyid Utsman merasa berhak memberikan peringatan kepada masyarakat akan bahaya ide dan pemikiran kaum pembaharu. Jadi di sini, terlihat perhatian Sayyid Utsman untuk menjaga akidah dan sistem kepercayaan masyarakat Islam di Indonesia berdasarkan akidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah.  Sedangkan kritik Sayyid Utsman terhadap gerakan pembaharuan, belum menyinggung sejarah pembaharuan Islam di Indonesia. Hal ini bisa dimengerti, sebab sampai masa Sayyid Utsman, gerakan pembaharuan di Indonesia belum bersifat gerakan, tapi hanya sebatas ide. Dari penjelasan ini juga dapat dilihat bahwa saluran majalah pembaharuan dan media komunikasi pada saat itu belum menyebar secara luas di tengah masyarakat.This research investigated about the rejection of Syed Othman toward the renewal ideas as reinterpretation of the Koran. The translation of the Koran and opened the gate of ijtihad were done to save the Muslims from heresy and confusion of understanding (ghurur) in religion. As a mufti, Sayyed Osman felt entitled to give warnings to the public about the dangers of ideas and thoughts of the reformer. So here, visible attention of Sayyed Osman to keep faith and belief system of the Islamic community in Indonesia was based on the creed Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Namely criticism of Sayyed Osman toward the renewal movement had not touched the history of Islamic renewal in Indonesia. This was understandable because at Syed Othman era the renewal movement in Indonesia was not yet a movement, but it was only limited ideas. From this explanation could also be seen that the renewal of the magazine channels and communication media at the time was not yet spread widely in society.
Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia Abad 19 dari Ortodoksi ke Politisasi Muhammad Noupal
Intizar Vol 22 No 2 (2016): Intizar
Publisher : Pusat Penelitian dan Penerbitan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19109/intizar.v22i2.943

Abstract

Setidaknya ada beberapa hal penting dalam tulisan ini; pertama, perkembangan tarekat Naqsabandiyah pada abad 19 terjadi secara luas. Tidak hanya di Indonesia tetapi di hampir seluruh wilayah muslim. Hal ini disebabkan karena dominasi faham wujudiyah (tasawuf falsafi) yang melekat pada tarekat Syattariyah mulai ditinggalkan oleh masyarakat muslim akibat serangan gencar kaum tradisionalis (tasawuf sunni). Proses peralihan dalam kurun ini menyebabkan tarekat Naqsabandiyah menjadi diminati. Kedua, kritik pedas kaum tradisionalis juga dilakukan oleh para ulama fikih kepada bid’ah tarekat. Kesesuaian dengan al-Quran dan sunnah seperti yang menjadi landasan tasawuf sunni akhirnya membuat tarekat Naqsabandiyah (dan terekat non faham wujudiyah) diminati oleh masyarakat muslim. Ketiga, kekhawatiran pemerintah kolonial Belanda terhadap tarekat, terutama Naqsabandiyah saat itu, diarahkan kepada tarekat dalam arti politik, termasuk di dalamnya gerakan Pan-Islamisme. Tetapi sepanjang tidak berpolitik, pihak konial tidak membatasi tarekat.At least there are some important things in this article; First, the development of widespread Naqsabandiyah congregation in the 19th century. It happens not only in Indonesia but also in almost all Muslim lands. This is due to the dominance of ideology Wujudiyah (Sufism philosophical) attached to Syattariyah congregation begins to be abandoned by the Muslim community as a result of the onslaught of the traditionalists (Sufism of Sunni). The process of transition in this period leads Naqsabandiyah to be desirable. Second, harsh criticism of the traditionalists is also done by the jurists to heretical congregation. Compliance with the Quran and the Sunnah as the basis of Sufism Sunni finally made Naqsabandiyah congregation (and congregation of non wujudiyah’s thought) demand by the Muslim community. Thirdly, the Dutch colonial government fears the congregation, especially Naqsabandiyah. Then, it is directed to the congregation in a political sense, including the movement of Pan-Islamism. But as long as there are no politics, colonial party does not restrict the congregation.
Paradigma Integralistik dan Toleransi Umat Beragama di Kota Palembang Muhammad Noupal; Erina Pane
Intizar Vol 23 No 1 (2017): Intizar
Publisher : Pusat Penelitian dan Penerbitan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19109/intizar.v23i1.1278

Abstract

Paradigma integralistik dalam konteks kajian toleransi umat beragama, dimaknai sebagai paham dan konsep hubungan antar umat beragama yang toleran. Dalam paradigma integralistik, upaya mewujudkan toleransi umat beragama memerlukan kerjasama dan peran dari semua pihak, termasuk pemerintah dan tokoh agama. Hal ini karena, agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat tidak dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Ini juga memberikan pengertian bahwa Negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau Negara. Konsep seperti ini sama dengan konsep teokrasi. Toleransi umat beragama dibangun dalam beberapa aspek paradigma integralistik. Aspek-aspek tersebut yakni: toleransi dalam aspek ekonomi. Toleransi dalam aspek budaya. Toleransi dalam aspek sosial keagamaan.
Zikir Ratib Haddad: Studi Penyebaran Tarekat Haddadiyah di Kota Palembang Muhammad Noupal
Intizar Vol 24 No 1 (2018): Intizar
Publisher : Pusat Penelitian dan Penerbitan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19109/intizar.v24i1.2185

Abstract

Penelitian ini dilatarbelakangi adanya fenomena menarik terkait maraknya pembacaan zikir Ratib Haddad di kota Palembang. Sebagaimana diketahui, zikir Ratib Haddad merupakan zikir para penganut tarekat Haddadiyah yang kebanyakan justru dianut masyarakat keturunan Arab Hadramaut. Studi ini menggunakan pendekatan fenomenologis untuk melihat bagaimana zikir ini dibaca dan menjadi gambaran penyebaran tarekat Haddadiyah di Palembang. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa maraknya pembacaan zikr Ratib Haddad di kota Palembang tidak dapat dilepaskan dari peran Syekh Ali Umar Thoyyib dan para muridnya yang tergabung dalam majelis zikir al-Awwabien. Tetapi maraknya pembacaan zikir ini tidak menunjukkan bahwa tarekat haddadiyah dianut masyarakat Palembang; sebab zikir Ratib Haddad lebih dianggap sebagai zikir umum yang pembacaannya boleh dilakukan oleh siapa saja.