Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Swab Bukal Sebagai Bahan Sexing Piyikan Burung Kenari (Serinus canaria) dan Burung Merpati (Columba livia) Afif Muhammad Akrom; Soedarmanto Indarjulianto; Yanuartono Yanuartono; Trini Susmiati; Alfarisa Nururrozi; Slamet Raharjo; Rief Ghulam Satria Permana; Yeremia Yobelanno Sitompul
Jurnal Sain Veteriner Vol 38, No 1 (2020): April
Publisher : Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan PB PDHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jsv.49032

Abstract

Teknik sexing pada burung secara molekuler dengan metode PCR telah banyak dikembangkan, tetapi sampel yang digunakan adalah darah dan bulu yang dianggap invasif. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari efisiensi sampel swab bukal sebagai sumber DNA dalam sexing dengan metode PCR. Penelitian ini menggunakan 10 ekor burung kenari (Serinus canaria) yang terdiri dari 6 ekor burung dewasa (3 jantan dan 3 betina) dan 4 ekor kenari piyikan (umur 14 – 18 hari) yang belum diketahui jenis kelaminnya serta 6 ekor merpati (Columba livia) dewasa (3 jantan dan 3 betina) dan 7 ekor merpati piyikan (umur 14 – 25 hari) yang belum diketahui jenis kelaminnya. Amplifikasi fragmen gen dilakukan menggunakan metode PCR dengan pasangan primer CHD1F/CHD1R.Hasil visualisasi produk PCR menunjukkan semua burung jantan dewasa menghasilkan satu band (± 500 bp), sedangkan burung betina dewasa menghasilkan dua band (± 500 bp dan ± 300 bp). Amplifikasi gen dari swab bukal burung kenari muda didapatkan 2 ekor jantan dan 2 ekor betina, sedangkan dari swab bukal burung merpati muda didapatkan 6 ekor jantan dan 1 ekor betina. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sampel swab bukal terbukti efisien sebagai sumber DNA dalam sexing burung khususnya burung piyikan.
GAMBARAN LEUKOSIT KUCING PENDERITA FELINE PANLEUKOPENIA Hary Purnamaningsih; Soedarmanto Indarjulianto; Yanuartono Yanuartono; Alfarisa Nururrozi; Irkham Widiyono; Rusmi Hayati
Jurnal Sain Veteriner Vol 38, No 2 (2020): Agustus
Publisher : Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan PB PDHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jsv.50202

Abstract

Salah satu penyakit pada kucing dengan morbiditas dan mortalitas tinggi adalah Feline Panleukopenia (FPL). Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui  gambaran leukosit  kucing penderita Feline Panleukopenia. Penelitian ini menggunakan 27 ekor kucing jantan dan betina berbagai umur yang didiagnosa FPL berdasar Feline Parvo Virus Ag test. Semua kucing diambil darah secara lege artis sebanyak 1 ml, diperiksa jumlah leukositnya, kemudian dianalisis secara diskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa FPL lebih banyak diderita kucing jantan (59,3 % ) dari pada betina (40,7%). Kejadian FPL lebih banyak diderita kucing umur ≤ 6 bulan, yaitu 21 ekor (77,8 %) dibanding umur > 6 bulan, yaitu 6 ekor (22,2 %). Sebanyak 19 ekor (70,4 %) FPL mempunyai jumlah total leukosit < 1.000 sel/mm3, 4 ekor (14,8 %) 1.000 – 2.500 sel/mm3 dan 4 ekor yang lain (14,8 %) > 2.500 sel/mm3. Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa sebagian besar penderita Feline Panleukopenia mengalami penurunan leukosit berat dengan prognosis infausta, terutama pada kucing jantan dan umur muda.
Myiasis pada Ruminansia: Diagnosis, Manajemen Terapi dan Pencegahan: Myiasis in ruminants: Diagnosis, Therapy andPrevention Management Yanuartono Kaswardjono; Soedarmanto Indarjulianto; Alfarisa Nururrozi; Hary Purnamaningsih
Jurnal Ilmu Peternakan dan Veteriner Tropis (Journal of Tropical Animal and Veterinary Science) Vol. 9 No. 2 (2019): Jurnal Ilmu Peternakan dan Veteriner Tropis (Journal of Tropical Animal and Vet
Publisher : Fakultas Peternakan Universitas Papua

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30862/jipvet.v9i2.64

Abstract

Myiasis is defined as a condition in which maggots are from certain fly species that utilize living, dead, or necrotic tissue from the host as a feed source for their growth and development and attack all types of vertebrate animals that are warm-blooded including humans. myiasis is often found in domestic animals in tropical regions throughout the world, especially in developing countries such as Indonesia and is generally associated with low levels of welfare of farmers. The diagnosis of myiasis is based on a clinical examination of wound bleeding, fever, a characteristic odor, the discovery of exudates and maggots in the wound. Myiasis treatment is generally local followed by manual removal of larvae and necrotic tissue debris. Systemic treatment usually uses broad-spectrum antibiotics especially when secondary infections occur. Disease prevention can be done by providing information to farmers to pay attention to and carry out livestock sanitation, pens, the surrounding environment and control flies using various methods. Keywords: clinical examination, disease prevention, maggot, myiasis
Dermatosis pada Ruminansia akibat Defisiensi Vitamin C: Ulasan Singkat Yanuartono Yanuartono; Soedarmanto Indarjulianto; Alfarisa Nururrozi; Dhasia Ramandani; Hary Purnamaningsih
Jurnal Sain Veteriner Vol 41, No 2 (2023): Agustus
Publisher : Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan PB PDHI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jsv.71186

Abstract

Vitamin C bersifat esensial untuk mamalia, termasuk manusia, primata, dan marmut, meskipun mamalia lain, seperti ruminansia, babi, kuda, anjing, dan kucing, dapat mensintesis vitamin C dari glukosa di hati. Ruminansia pada dasarnya bergantung pada sintesis endogen karena vitamin C asal pakan sebagian besar dirusak semuanya oleh mikroorganisme rumen. Dengan demikian, ruminansia lebih bergantung vitamin C endogen untuk mencukupi kebutuhan tubuhnya guna memenuhi persyaratan fisiologis dibandingkan dengan hewan lain. Meskipun demikian, ruminansia muda lebih rentan terhadap defisiensi vitamin C karena  biasanya hanya memperoleh diet dengan kandungan vitamin C yang rendah.  Produksi vitamin C endogen pada ruminansia muda dapat mencapai tingkat maksimal setelah umur 16 minggu. Konsentrasi vitamin C pada ruminansia muda yang rendah tersebut  berpotensi menimbulkan dermatosis pada ruminansia muda. Tulisan ini bertujuan untuk mengulas secara singkatnya defisiensi vitamin C yang terkait dengan dermatosis pada ruminansia.