Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

Evaluasi Perbaikan Kebijakan Penegakan Hukum Pertambangan Perspektif Genealogi Hukum dan Kuasa di Kabupaten Bangka Selatan Faisal Faisal; Ndaru Satrio; Komang Jaka Ferdian
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 9 No 3 (2020)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/JMHU.2020.v09.i03.p02

Abstract

Mining has become an attractive and sensitive sector for the public in South Bangka Regency. This research is aimed to analyze the legal genealogy and power for evaluation and improvement of mining law enforcement policies in South Bangka Regency and to analyze the model evaluation and improvement of mining law enforcement policies in South Bangka Regency). This study uses a qualitative method with a socio-legal approach, focuses on the self-concept interaction patterns, the concept of action, the concept of interaction, the concept of objects, and the concept of collective action in the community, to answer the question of the urgency of tracing legal genealogy and power for evaluation and improvements to mining law enforcement policies in South Bangka Regency. The research results suggested that the Geneology study involved revealing the relationship between law and power in the mining law enforcement policies in the South Bangka Regency which are still deemed incompatible with the principles of equality before the law, legal certainty, and legal justice. The evaluation model and improvement of mining law enforcement policies are an important part of improving mining law enforcement policies in South Bangka Regency which are based on the basic idea of state responsibility and environmental sustainability. Pertambangan menjadi sektor yang menarik sekaligus sensifitif bagi publik di Kabupaten Bangka Selatan. Tujuan penelitian ini untuk menganalisa geneologi hukum dan kuasa untuk evaluasi dan perbaikan Kebijakan penegakan hukum pertambangan di Kabupaten Bangka Selatan serta untuk menganalisis model evaluasi dan perbaikan Kebijakan penegakan hukum pertambangan di Kabupaten Bangka Selatan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan socio-legal, yang menujukan pusat perhatian pada pola interaksi konsep diri, konsep perbuatan, konsep interaksi, konsep objek, dan konsep aksi bersama dalam warga masyarakat, untuk menjawab permasalahan Urgensi Penelusuran Genealogi Hukum dan Kuasa Untuk Evaluasi Dan Perbaikan Kebijakan Penegakan Hukum Pertambangan di Kabupaten Bangka Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, studi Geneologi terlibat dalam mengungkap relasi hukum dan kuasa dalam kebijakan penegakan hukum pertambangan di Kabupaten Bangka Selatan yang masih dirasakan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip persamaan di depan hukum, kepastian hukum, dan keadilan hukum. Model evaluasi dan perbaikan kebijakan penegakan hukum pertambangan merupakan bagian penting untuk memperbaiki kebijakan penegakan hukum pertambangan di Kabupaten Bangka Selatan yang berpijak pada ide dasar tanggung jawab negara dan kelestarian serta keberlanjutan lingkungan.
Pelaksanaan Ketentuan Reklamasi Di Desa Mapur Kabupaten Bangka (Studi Tindak Pidana Pertambangan Dalam Perubahan UU Minerba) Faisal Faisal Faisal; Ndaru Satrio; Guskarnali Guskarnali
JURNAL BELO Vol 7 No 2 (2021): Volume 7 Nomor 2, Desember 2021
Publisher : Criminal of Law Department, Faculty of Law, Pattimura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30598/belovol7issue2page199-212

Abstract

ABSTRAK Kewajiban pelaksanaan reklamasi merupakan tanggungjawab yang memiliki konsekuensi hukum apabila tidak dijalankan. Permasalahan dalam penulisan ini yaitu mengenai Problematika pelaksanaan reklamasi di Desa Mapur Kecamatan Riau Silip. Jawaban permasalahan akan ditemukan dengan menggunakan metode sosio legal, yaitu suatu metode yang tidak hanya melihat hukum sebagai peraturan perundang-undangan namun juga pelaksanaan di masyarakat yang dikaitkan dengan kesadarannya yang sangat dipengaruhi faktor di luar dirinya. Problematika Pelaksanaan Reklamasi di Desa Mapur Kabupaten Bangka adalah ketika akan direklamasi selalu dilakukan penambangan lagi oleh masyarakat dan masih menghasilkan timah yang banyak. Ketentuan sanksi tidak menjalankan kewajiban reklamasi dikenakan pasal 151 ayat 1 bahwa yang memberikan penjatuhan sanksi adminitrasi. Pasal 161A dan Pasal 161B mengatur sanksi pidana berupa pidana penjara dan ketentuan pidana tambahan bagi pemegang IUP dan IUPK jika tidak melaksanakan ketentuan mengenai reklamasi.
Wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Penghentian Penyidikan dan Penuntutan Perspektif Independensi Esmi Warassih Warassih Pudjirahayu; Faisal Faisal; Ndaru Satrio
University Of Bengkulu Law Journal Vol 5, No 1 (2020): APRIL
Publisher : Universitas Bengkulu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33369/ubelaj.5.1.35-46

Abstract

The Corruption Eradication Commission (KPK) was formed independently, in its journey experiencing many changes, both in terms of the substance of the regulations and the institutional structure. The focus of this paper is the provisions of Article 40 of Law No. 19 of 2019 concerning Amendment to Law No. 30 of 2002 concerning the KPK. this research is a type of normative (doctrinal) research with prescriptive and applied nature which shows that the authority to stop the investigation and prosecution of the KPK based on Article 40 of Law No. 19 of 2019 concerning Amendment to Law No. 30 of 2002 concerning the KPK does not reflect the principle of independence which is a derivation of the Pancasila Legal Aspect Value. The first problem is that limiting the time for handling cases by the KPK will actually complicate the performance of the KPK itself. The second problem, it is possible to stop the investigation and prosecution based on the subjectivity of the KPK. The third problem is the estuary of all problems namely abuse of power.Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk dengan sifat independen, dalam perjalanannya juga mengalami banyak perubahan, baik secara substansi peraturannya maupun secara struktur kelembagaannya. Adapun yang menjadi fokus kajian tulisan ini yaitu terkait ketentuan Pasal 40 UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Jenis penelitian ini adalah normatif (doktrinal) dengan sifat preskriptif dan terapan, yang menunjukkan bahwa wewenang penghentian penyidikan dan penututan KPK berdasarkan Pasal 40 UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK tidak mencerminkan asas independensi yang merupakan derivasi dari Nilai Cita Hukum Pancasila. Problematika yang pertama adalah membatasi waktu penanganan perkara yang dilakukan oleh KPK justru akan mempersulit kinerja KPK itu sendiri. Problematika kedua, sangat dimungkinkan penghentian penyidikan dan penuntutan ini dilandasi dengan alasan subjektifitas dari KPK. Problematika ketiga adalah muara dari semua permasalahan yaitu abuse of power.
Mekanisme seleksi dewan pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi dalam perspektif cita hukum pancasila Yokotani Yokotani; Ndaru Satrio
PROGRESIF: Jurnal Hukum Vol 13 No 2 (2019): PROGRESIF:Jurnal Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (242.325 KB) | DOI: 10.33019/progresif.v13i2.1452

Abstract

Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee) bangsa Indonesia. Kedudukan Pancasila sebagai cita hukum mengandung konsekuensi bahwa tatanan norma dan norma-norma hukum harus bersumber dari nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai ideal yang terkandung dalam cita hukum tersebut kemudian diderivasi menjadi seperangkat asas-asas hukum umum yaitu asas negara hukum, asas demokrasi, asas perlindungan terhadap hak asasi manusia serta asas partisipasi publik dalam sistem penyelenggaraan negara. Asas-asas hukum di atas merupakan dasar sekaligus pedoman dalam membentuk norma-norma yang berlaku umum dan asbtrak. Dalam konteks pembentukan norma-norma hukum yang bersifat abstrak-umum, asas-asas hukum harus dijadikan landasan dan atau pedoman. Dalam konteks Mekanisme Seleksi Dewan Pengawas KPK ini, digunkan dua asas yng sudah diderivasi dari Nilai Cita Hukum Pancasila yaitu asas negara hukum material atau negara hukum material atau asas negara hukum kesejahteraan dan asas pembatasan kekuasaan atau pebatasan kewenangan. Penulis berpandangan dengan adanya Presiden dan DPR dalam Mekanisme Seleksi Dewan Pengawas KPK jutru menggnggu sifat independen dari KPK tersebut, sehingga penulis mempunyai gagasan sebagai berikut: (1) pemerintah harus membuat panitia seleksi Dewan Pengawas KPK yang diangkat secara administratif oleh Presiden dan diberikan tugas yang independen dalam menentukan keputusn terkait ketua dan anggota Dewan Pengawas KPK , (2) penghapusan kewenangan Presiden dan DPR sebagai lembaga negara yang ikut serta membentuk Dewan Pengawas KPK , (3) Pembaharuan mekanisme seleksi Dewan Pengawas KPK harus dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Independensi Pengawasan Anggota Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Ndaru Satrio; Toni Toni
PROGRESIF: Jurnal Hukum Vol 15 No 2 (2021): PROGRESIF: Jurnal Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33019/progresif.v16i2.2726

Abstract

The problem in question is the independence of supervision of LPSK members. This is related to the mechanism for forming an advisory board and an ethics board that affects the pattern of supervision of LPSK members when it is correlated with the determination of LPSK members who are suspected of committing disgraceful acts. The analytical knife used is independence. The formation of this advisory board and ethics board must go through a selection formed by the President. The reason for the formation of the advisory board and the ethics board must go through a selection mechanism by the selection committee that forms the president, so that the supervision carried out within the LPSK becomes more independent.
REFORMULASI REKRUTMEN PENYELIDIK DAN PENYIDIK KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI PERSPEKTIF INDEPENDENSI Ndaru Satrio; Sintong Arion Hutapea
Res Judicata Vol 4, No 2 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Pontianak

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29406/rj.v4i2.3203

Abstract

Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 45 UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK merupakan indikasi awal bahwa salah satu Nilai Cita Hukum Pancasila yaitu independensi dari KPK mulai dipertanyakan. Kekhawatiran bahwa independensi akan luntur dengan seiring masuknya unsur lain di luar KPK tentunya bukan alasan yang mengada-ada. Rekrutmen penyelidik dan penyidik KPK yang berasal dari luar institusi KPK secara prinsip menimbulkan problematika. Jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun tulisan ini adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal. Problematikanya, antara lain: (1) Penyelidik dan penyidik yang diambilkan dari instansi di luar KPK terebut menyimpangi harapan dan cita-cita awal pembentukan KPK, yaitu independen dan terlepas dari kepentingan manapun, (2) Penyelidik dan penyidik yang diambilkan dari instansi di luar KPK akan mempersulit pembentukan sebuah budaya hukum yang baru di lingkungan KPK, (3) Penyelidik dan penyidik yang diambilkan dari instansi di luar KPK memunculkan kekhawatiran bocornya rahasia KPK dalam berbagai perkara yang mungkin mempunyai keterkaitan langsung atau tidak langsung dengan pejabat-pejabat dari institusi penyelidik dan penyidik yang sebelumnya. Mengubah redaksi yang terdapat dalam Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 45 UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPKMenjadi sebuah keharusan. Penyelidik dan Penyidik KPK wajib dari internal KPK itu sendiri yang merupakan hasil dari rekrutmen secara independen yang dilakukan oleh KPK.
Coordination in the Corruption Eradication Commission (KPK)'s Prosecution Tasks Based on Independence Perspective Ndaru Satrio; Nina Zainab
Corruptio Vol 2 No 2 (2021)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25041/corruptio.v2i2.2433

Abstract

Coordination of KPK prosecution duties as stated in Article 12A of Law no. 19 of 2019 amending Law No. 30 of 2002 concerning the Commission for the Eradication of Criminal Acts of Corruption, or Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) raises concerns because it creates dependence on other institutions and certainly reduces the independence of the KPK institution. As for some of the problems that need to be known from the existence of this coordination concept, among others: (1) the coordination can be directed towards the form of KPK's subordination to the prosecutor's institution; (2) coordination makes the confidentiality of data held by the KPK not maintained; (3) this coordination is very prone to conflict of interest with the prosecutor's office; (4) this coordination also raises concerns that rotten politics in the resolution of corruption cases may occur. The author uses independence principle analysis. The type of research used in compiling this paper is normative or doctrinal legal research. The research shows that coordination can be done using clear boundaries. First, coordination is still allowed to the extent that it is possible to combine cases that the KPK may not handle. Second, coordination can also be carried out in the event of merging a corruption case that is not the authority of the KPK. Third, the coordination also can be done in the case of the concurrent events. Fourth, the coordination is only related to procedural law.
HAK SAKSI DAN KORBAN TINDAK PIDANA KASUS TERTENTU DALAM PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN PERSPEKTIF EQUALITY BEFORE THE LAW Ndaru Satrio; Faisal Faisal
Cepalo Vol 5 No 1 (2021)
Publisher : Universitas Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25041/cepalo.v5no1.2109

Abstract

Pemberian hak kepada saksi dan korban tindak pidana pada kasus tertentu dalam perlindungan saksi dan korban yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dapat menimbulkan problematika tersendiri dalam pelaksanaan perlindungan saksi dan korban. Ada beberapa problematika yang  ditemukan oleh penulis jika pasal yang tersebut tetap dibelakukan. Problematika yang pertama yaitu pemberian hak kepada saksi dan korban tindak pidana pada kasus tertentu menimbulkan saksi dan korban pada tindak pidana yang lain tidak dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak yang tertera pada Pasal 5 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Problematika kedua, adanya penerapan pemberian hak kepada saksi dan korban tindak pidana pada kasus tertentu menutup kesempatan perkara di luar perkara pidana seperti perkara perdata, perkara TUN untuk mendapatkan hak yang serupa . Problematika yang ketiga adalah konflik norma antara Pasal 5 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan Pasal 224 ayat (1) KUHP. Dalam konteks ini penulis menggunakan asas yang relevan sebagai pisau analisis, yaitu asas equality before the law.Penulis berpandangan dengan adanya pemberian hak kepada saksi dan korban tindak pidana pada kasus tertentu dalam perlindungan saksi dan korban justru tidak sesuai dengan asas equality before the law, sehingga penulis mempunyai gagasan sebagai berikut: (1) Redaksi pemberian hak kepada saksi dan korban tindak pidana pada kasus tertentu dalam perlindungan saksi dan korban dalam Pasal 5 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban harus segera diubah, (2) Perlindungan saksi dan korban harusnya tidak hanya untuk perkara pidana saja, tetapi juga harus mencakup semua perkara di luar perkara pidana, (3) Pemenuhan kewajiban dan pemberian hak harus senantiasa dijaga keseimbangannya (4) Pembaharuan perlindungan saksi dan korban harus dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan.
KEDUDUKAN SAKSI DI LUAR PERKARA PIDANA DALAM PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN PERSPEKTIF KEADILAN Muhammad Syaiful Anwar; Ndaru Satrio
HERMENEUTIKA : Jurnal Ilmu Hukum Vol 6, No 1 (2022): HERMENEUTIKA : Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Sekolah Pascasarjana Universitas Swadaya Gunung Jati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33603/hermeneutika.v6i1.6775

Abstract

Terjadi ketidakadilan jika saksi di luar perkara pidana tidak mendapatkan perlindungan dalam penyelesaian sebuah perkara. UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban belum dapat mengakomodir kepentingan saksi di luar perkara pidana. Jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun tulisan ini adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal. Penelitian hukum normatif lebih mengutamakan studi pustaka (library research). Penulis menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan metode analisis normatif. Yang dilakukan adalah menginterpretasikan bahan penelitian berdasarkan pada pengertian hukum, norma hukum, teori-teori hukum serta doktrin yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang diangkat oleh penulis. Regulasi yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban, kedudukan saksi belum mendapatkan tempat yang diharapkan. Perlindungan saksi dalam regulasi tersebut hanya diberikan terhadap saksi dalam perkara pidana saja.Adapun beberapa langkah yang perlu dilakukan adalah yang pertama yaitu mengubah redaksi yang menerangkan bahwa perlindungan tersebut hanya untuk saksi pada perkara pidana saja. Yang kedua perlu adanya penyelarasan antara regulasi yang satu dengan regulasi yang lain. Sudah semestinya pula bahwa tidak perlu ada benturan antara regulasi yang satu dengan regulasi yang lain.
DIALECTIC REGARDING THE MEANING OF ABORTUS PROVOCATEUR ON THE CRIME OF RAPE VICTIMS Ndaru Satrio; Wiend Sakti Myharto; Muhammad Syaiful Anwar
Cepalo Vol 6 No 2 (2022)
Publisher : Universitas Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25041/cepalo.v6no2.2590

Abstract

Legalizing abortion for rape victims creates a debate in substance and the application of the theories and principles surrounding it. The author tries to see the meaning from two different sides, namely, from the interests of protecting rape victims and the interests of the children conceived by rape victims. The method used by the author is a normative juridical approach. The meaning contained in abortion provocations from the point of view of a rape victim is protection for the victim. This protection is certainly carried out from the effects or impacts of the actions of the perpetrators of rape. Meanwhile, the meaning contained in abortion provocateurs from the point of view of Human Rights (HAM) leads to the fulfillment of the fetus's right to life mentioned in the previous description, which is called a child who is still in the womb. The author provides suggestions as solutions to problems that may arise, including: (1) the need for synchronization and harmonization of existing regulations, in this case between regulations on health and regulations on human rights; (2) legislators must prioritize higher interests in the event of a similar situation. According to the author, the human rights interests of children in the womb must be prioritized.