Claim Missing Document
Check
Articles

Found 27 Documents
Search
Journal : Diponegoro Law Journal

KEDUDUKAN MENTERI KOORDINATOR DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA Indarja, Retno Saraswati, Tandi Arion*,
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 3 (2016): Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (609.909 KB)

Abstract

Indonesia adalah sebuah negara yang menjalankan sistem pemerintahan Presidensial, kekuasaan pemerintahan sepenuhnya berada ditangan eksekutif yang dipegang oleh Presiden dan dibantu oleh para Menteri. Dalam susunan kabinet Indonesia terdapat jabatan Menteri Koordinator yang memiliki tugas dan wewenang yang berbeda denganMenteri lainnya. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai kedudukan Menteri Koordinator berikut mengenai tugas dan kewenanganya sebagai pemimpin dari suatu kementerian.Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Spesifikasi penelitian dalam penulisan hukum ini adalah deskriptif - analitis. Data yang sudah diperoleh, lalu dilakukan analisis secara kualitatif.Kedudukan Menteri Koordinator berada di bawah Presiden dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Menteri Koordinator memiliki tugas dalam menggkoordinasikan, mensinkronisasikan dan melakukan pengendalian terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh kementerian maupun lembaga negara yang berada dilingkungan koordinasinya. Menteri koordinator bertanggung jawab dalam menyampaikan laporan kepada Presiden mengenai pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasinya. Menteri Koordinator secara terpisah ataupun bersama sama dengan Menteri menindaklanjuti hasil dari rapat koordinasi dan sinkronisasi yang telah dilaksanakan. Menteri Koordinator menjadi perpanjangan tangan Presiden dalam melaksanakan kekuasaannya sebagai kepala eksekutif.
PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG DINAS PARIWISATA KABUPATEN KUDUS DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH MELALUI PENGEMBANGAN WISATA RELIGI Retno Saraswati, Henny Juliani, Taufik Ikhsan Febrian*,
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 3 (2016): Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (466.272 KB)

Abstract

Pelaksanaan Otonomi Daerah, Kabupaten Kudus Provinsi Jawa Tengah, salah satu kewenangannya di bidang kepariwisataan. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat menumbuh kembangkan kepariwisataan serta menggali sektor potensial untuk pembangunan serta mencukupi kebutuhan daerah dengan di sesuaikan beban tugas yang berkembang saat ini .Sektor pariwisata saat ini menjadi salah satu sektor unggulan bagi pemerintah Republik Indonesia dalam mendapatkan devisa negara. Untuk meningkatkan jumlah kunjungan pariwisata ke Indonesia khususnya ke Kabupaten Kudus Provinsi Jawa Tengah.Untuk mengetahui pelaksanaan tugas dan wewenang Dinas Pariwisata Kabupaten Kudus dalam Peningkatan Pendapatan Asli Daerah melalui pengembangan wisata religi, untuk mengetahui kendala yang dihadapi Dinas Pariwisata Kabupaten Kudus dalam peningkatan Pendapatan Asli daerah melalui Wisata Religi, serta untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan oleh Dinas Pariwisatan di Kabupaten Kudus dalam Peningkatan Pendapatan Asli Daerah melalui Wisata Religi. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan, Spesifikasi penelitian, metode pengumpulan data, populasi dan penarikan sampel, dan metode analisis. Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Dinas Pariwisata Kabupaten Kudus berdasarkan Peraturan Bupati Kudus Nomor 21 Tahun 2011 memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut; melaksanakan sebagian urusan Pemerintah Daerah di bidang Kebudayaan dan Pariwisata. Adapun wewenang berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kudus Nomor 21 Tahun 2011 tentang Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten Kudus, kewenangan daerah adalah kekuasaan yang sah untuk melaksanakan urusan pemerintah di bidang pariwisata.Dari simpulan tersebut penulis merekomendasikan Dinas pariwisata Kabupaten Kudus agar dalam penggalian dan pengembangan potensi obyek wisata hendaknya memperhatikan faktor fisik supaya tidak merusak keseimbangan alam secara mayoritas wisata di Kabupaten Kudus, serta dalam pengembangan potensi obyek wisata seoptimal mungkin sehingga dapat mendukung Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Kudus dan harus lebih efektif dalam melakukan promosi, dalam perumusan peraturan yang akan datang lebih memperhatikan pada masalah soal retribusi terhadap semua obyek wisata yang ada di Kabupaten Kudus.
KAJIAN TENTANG POLITIK HUKUM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG KEISTIMEWAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Suparno*), Dian Putri Pratama, Retno Saraswati,
Diponegoro Law Journal Vol 2, No 2 (2013): Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (332.966 KB)

Abstract

The Indonesian constitutional system has changed much. The case was marked by the presence of four amendments to the 1945 Constitution. The results of the second amendment of the 1945 Constitution, specifically adds a special article about the privileged area. The focus of the research problem lies in how the region is positioned privileged in the state system in Indonesia. Furthermore, the focus of the next issue is about the assessment of the legal policy in Privilege Act Yogyakarta. Legal policy is the policy line of the law to be applied to both with the new law and the replacement of the old law order to achieve the objectives as stated in the 1945 Constitution. The Research with title " A Study of Political Law on Law No. 13 Year 2012 on the Special Features of Yogyakarta with socio-legal research approach" shows that Indonesia in the conception of autonomy regions adopts an asymmetric decentralization, namely by recognizing constitutional legally autonomous region specific and special. The Recognition of Yogyakarta is inseparable from philosophical, sociological and juridical factor. The Privileges of DIY, is covered land as territory, spatial, cultural, institutional of DIY Regional Government and the determination that has lasted from the in time as well as the core features of the inherent DIY privilege. The Determination of Sultan Hamengku Buwono X and Sri Paku Alam IX as governor and deputy governor in the province is at the core of privileges, and supported by more than 50% of the people of Yogyakarta.
PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SEMARANG DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH Retno Saraswati, Indarja, Monica Galuh Sekar Wijayanti*,
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 2 (2016): Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (602.511 KB)

Abstract

Dalam penyelenggaraan otonomi daerah terdapat produk hukum yang dihasilkan oleh suatu daerah, salah satunya Peraturan daerah (perda) yang ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Salah satu fungsi dari DPRD adalah fungsi legislasi yaitu fungsi untuk membentuk peraturan daerah. Permasalahan dalam penulisan hukum ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan fungsi legislasi DPRD kota Semarang dalam pembentukan peraturan daerah, hambatan dan upaya yang dilakukan. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif. Adapun spesifikasi penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Hasil penelitian ini menghasilkan kesimpulan, dalam pelaksanaan Fungsi Legislasi, DPRD Kota Semarang telah dapat melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan peraturan daerah. Mekanisme dalam pembuatan peraturan daerah yang dilaksanakan sudah benar karena dalam pelaksanaannya sudah sesuai menurut aturan yang berlaku, namun masih kurang optimal dari jumlah perda yang dihasilkan. Hambatan yang muncul antara lain : Hambatan Yuridis yaitu hambatan yang muncul karena adanya peraturan perundang-undangan yang baru dari pemerintah pusat di saat DPRD sedang membahas rancangan peraturan daerah, Hambatan Teknis yaitu kesibukan anggota DPRD Kota Semarang yang menjadikan rapat tidak mencapai kuorum, kurang siapnya anggota untuk membahas raperda, masih kurangnya kemampuan DPRD Kota Semarang dalam menyusun Perda, dan Hambatan Infrastruktur legislasi yaitu kurangnya sarana teknologi yang membantu dalam pembuatan peraturan daerah. Upaya yang dilakukan antara lain Aspek-aspek yang berkaitan dengan jumlah dan kemampuan SDM semakin ditingkatkan, Aspek-aspek yang berkaitan dengan biaya operasional, sarana dan prasarana penunjang dalam pelaksanaan harus diperhitungkan.
PENERAPAAN e-KTP DI KOTA SEMARANG Retno Saraswati, Agni Wulandari, Untung Sri Hardjanto,
Diponegoro Law Journal Vol 2, No 2 (2013): Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (284.834 KB)

Abstract

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui proses penerapan          e-KTP di Kota Semarang. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah  : Praktek penerapan e-KTP di Kota Semarang, dan permasalahan yang timbul dalam praktek penerapan e-KTP di Kota Semarang, serta solusi mengatasi permasalahan yang timbul dalam praktek penerapan e-KTP di Kota Semarang. Untuk memperoleh hasil penelitian yang berkualitas, maka langkah awal yang dilakukan adalah melakukan riset ke Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) Kota Semarang untuk mencari data-data kependudukan dan dasar hukum yang berkaitan dengan penerapan e-KTP di Kota Semarang, melakukan praktek langsung di Kantor Kecamatan Pedurungan untuk mengetahui  mekanisme penerapan e-KTP secara nyata, dan melakukan pencatatan permasalahan yang timbul, dan memberikan solusi pemecahannya Hasil penelitian menunjukkan bahwa :  (1) Secara umum penerapan   e-KTP di Kota Semarang belum berjalan dengan maksimal. Hal ini terlihat dari tidak tercapainya kuota yang telah ditetapkan sebanyak 1.250.000 wajib e-KTP hanya tercapai 1.025.000 wajib e-KTP, (2) Tidak tersedianya Standard Operating Procedure (SOP) di tiap-tiap Kecamatan, minimnya peralatan dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang belum memadai serta tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah. Adapun solusi untuk mengatasi permasalahan yang timbul dalam penerapan e-KTP di Kota Semarang adalah : (1) Dispendukcapil Kota Semarang selaku leading sector dalam implementasi penerapan e-KTP di Kota Semarang membuat SOP secara jelas di tiap-tiap Kecamatan, (2) mengadakan pelatihan dan peningkatan SDM petugas pelaksana dilapangan, dan (3) Sosialisasi secara terus menerus dan berkesinambungan kepada masyarakat   
TUGAS KEPALA DESA DALAM PEMBANGUNAN DESA BERDASAR UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA DI DESA KENTONG KECAMATAN CEPU KABUPATEN BLORA Adinda Dwi Meilian; Amalia Diamantina; Retno Saraswati
Diponegoro Law Journal Vol 11, No 2 (2022): Volume 11 Nomor 2, Tahun 2022
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (584.995 KB)

Abstract

Tugas Kepala Desa dalam pembangunan desa di Desa Kentong diharapkan dapat memberikan manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran Kepala Desa dala pembangunan desa di Desa Kentong Kecamatan Cepu Kabupaten Blora, selain itu juga untuk mengetahui faktor penghambat dan juga upaya yang dilakukan Kepala Desa Kentong dalam menghadapi hambatan tersebut. Jenis penelitian yang digunakan penulis ialah kualitatif yaitu suatu bentuk penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran umum yang didapat dilapangan. Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah studi kepustakaan dengan meneliti data sekunder yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tugas Kepala Desa dalam pembangunan desa di Desa Kentong sudah dilaksanakan cukup baik seperti Kepala Desa melakukan pembangunan pujasera yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Kentong. Hal ini dapat dilihat dari aspek perencanaan yang selalu melibatkan masyarakat setempat untuk bermusyawarah mengenai rencana pembangunan yang akan dilakukan, aspek pelaksanaan selalu melibatkan masyarakat untuk gotong royong melaksanakan pembangunan, serta aspek pengawasan dan pemantauan.
EFEKTIVITAS PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1960 TENTANG PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN (TANAH KERING) DI DESA BRINGIN, KECAMATAN BAYAN, KABUPATEN PURWOREJO Ria Ayu Novita*, Agung Basuki Prasetyo, Suparno
Diponegoro Law Journal Vol 6, No 2 (2017): Volume 6 Nomor 2, Tahun 2017
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (722.807 KB)

Abstract

Perjanjian bagi hasil tanah pertanian meski telah diatur dalam undang-undang, masih banyak perjanjian yang dilakukan tidak berdasarkan dengan undang-undang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana efektivitas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian dan faktor-faktor apakah yang menjadi penyebab masih digunakannya hukum adat dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Bringin, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa seluruh pelaksanaan perjanjian bagi hasil di Desa Bringin, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo dilakukan secara lisan. Mengenai hasil pembagian sebagian menggunakan sistem “maro” atau 1 : 1. Sedangkan untuk tanaman buah jeruk hasil pembagiannya adalah “mertelu” atau 1 : 3. Masyarakat tidak mengetahui adanya undang-undang perjanjian bagi hasil. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian masih sulit untuk diterapkan di Desa Bringin, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo. Terdapat beberapa faktor penyebab masih digunakannya hukum adat sebagai dasar pelaksanaan perjanjian bagi hasil yaitu faktor masyarakat, faktor kebudayaan, faktor pendidikan, faktor rasa saling percaya antar masyarakat yang masih tinggi, faktor fasilitas dan sarana, serta faktor kesadaran hukum yang masih rendah.
PERKEMBANGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENGENAI PENCALONAN MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD SERTA SEBAGAI KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH Kholifatul Maghfiroh; Lita Tyesta ALW; Retno Saraswati
Diponegoro Law Journal Vol 7, No 2 (2018): Volume 7 Nomor 2, Tahun 2018
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (548.994 KB)

Abstract

Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk duduk dalam jabatan publik yang tersedia. Namun ternyata di dalam persyaratan yang diatur undang-undang, terdapat pembatasan bagi mantan narapidana seperti pada persyaratan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD serta calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dari hal tersebut, penulis bermaksud mengkaji perkembangan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pencalonan mantan narapidana serta implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah tahun 2018. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian diskriptif analitis yaitu menguraikan untuk menggambarkan permasalahan yang ada dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian, perkembangan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pencalonan mantan narapidana dimulai dari Putusan Nomor 14-17/PUU-V/2007, Putusan Nomor 15/PUU-VI/2008, Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 120/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015, Putusan Nomor 51/ PUU-XIV/2016 dan terakhir yaitu Putusan Nomor 71/PUU-XIV/2016 yang menentukan syarat pencalonan mantan narapidana dikecualikan terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik atau bagi mantan terpidana yang telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yaitu telah dimasukannya ketentuan tersebut ke dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Sedangkan pada undang-undang tentang pemilihan kepala daerah belum dilakukan perubahan mengenai syarat tersebut.
IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 30/PUU-XIV/2016 TERHADAP DESENTRALISASI PENDIDIKAN DI KABUPATEN TEGAL Prof. Dr. Retno Saraswati, S.H., M.Hum.; Ratna Herawati; Retno Saraswati
Diponegoro Law Journal Vol 7, No 3 (2018): Volume 7 Nomor 3, Tahun 2018
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (464.622 KB)

Abstract

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XIV/2016 mempertegas agar pengelolaan pendidikan dilaksanakan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, dimana dalam Lampiran Angka 1 Huruf A Nomor 1 disebutkan bahwa pendidikan menengah adalah kewenangan Pemerintah Provinsi. Sehingga, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tidak lagi berwenang mengurusi pendidikan tingkat menengah (SMA/SMK). Pengelolaan pendidikan menengah di wilayah Kabupaten Tegal sendiri sebelumnya merupakan kewenangan dari Pemerintah Kabupaten Tegal, namun saat ini telah dilaksanakan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, ditunjukkan dengan adanya Balai Pengendali Pendidikan Menengah dan Khusus (BP2MK) yang terletak di Pekalongan. Hal tersebut tentu saja menimbulkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Bagi Pemerintah Daerah, anggaran pendidikan dapat dialokasikan dan dioptimalkan ke tingkat pendidikan lain. Bagi lembaga pendidikan yaitu munculnya beberapa kebijakan yang kurang sesuai dan pengalihan data-data serta aset yang membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit. Selanjutnya bagi masyarakat, yaitu masyarakat dapat lebih diuntungkan karena dana yang dialokasikan untuk pendidikan nonformal lainnya akan lebih banyak, namun hal ini juga dapat menimbulkan kerugian berupa kerancuan dan kesalahpahaman masyarakat terhadap aturan yang berubah-ubah.
IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 30/PUU-XIV/2016 TERHADAP DESENTRALISASI PENDIDIKAN DI KABUPATEN TEGAL Prof. Dr. Retno Saraswati, S.H., M.Hum.; Ratna Herawati; Retno Saraswati
Diponegoro Law Journal Vol 7, No 3 (2018): Volume 7 Nomor 3, Tahun 2018
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (464.622 KB)

Abstract

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XIV/2016 mempertegas agar pengelolaan pendidikan dilaksanakan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, dimana dalam Lampiran Angka 1 Huruf A Nomor 1 disebutkan bahwa pendidikan menengah adalah kewenangan Pemerintah Provinsi. Sehingga, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tidak lagi berwenang mengurusi pendidikan tingkat menengah (SMA/SMK). Pengelolaan pendidikan menengah di wilayah Kabupaten Tegal sendiri sebelumnya merupakan kewenangan dari Pemerintah Kabupaten Tegal, namun saat ini telah dilaksanakan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, ditunjukkan dengan adanya Balai Pengendali Pendidikan Menengah dan Khusus (BP2MK) yang terletak di Pekalongan. Hal tersebut tentu saja menimbulkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Bagi Pemerintah Daerah, anggaran pendidikan dapat dialokasikan dan dioptimalkan ke tingkat pendidikan lain. Bagi lembaga pendidikan yaitu munculnya beberapa kebijakan yang kurang sesuai dan pengalihan data-data serta aset yang membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit. Selanjutnya bagi masyarakat, yaitu masyarakat dapat lebih diuntungkan karena dana yang dialokasikan untuk pendidikan nonformal lainnya akan lebih banyak, namun hal ini juga dapat menimbulkan kerugian berupa kerancuan dan kesalahpahaman masyarakat terhadap aturan yang berubah-ubah.