Claim Missing Document
Check
Articles

KEDUDUKAN MENTERI KOORDINATOR DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA Indarja, Retno Saraswati, Tandi Arion*,
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 3 (2016): Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (609.909 KB)

Abstract

Indonesia adalah sebuah negara yang menjalankan sistem pemerintahan Presidensial, kekuasaan pemerintahan sepenuhnya berada ditangan eksekutif yang dipegang oleh Presiden dan dibantu oleh para Menteri. Dalam susunan kabinet Indonesia terdapat jabatan Menteri Koordinator yang memiliki tugas dan wewenang yang berbeda denganMenteri lainnya. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai kedudukan Menteri Koordinator berikut mengenai tugas dan kewenanganya sebagai pemimpin dari suatu kementerian.Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Spesifikasi penelitian dalam penulisan hukum ini adalah deskriptif - analitis. Data yang sudah diperoleh, lalu dilakukan analisis secara kualitatif.Kedudukan Menteri Koordinator berada di bawah Presiden dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Menteri Koordinator memiliki tugas dalam menggkoordinasikan, mensinkronisasikan dan melakukan pengendalian terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh kementerian maupun lembaga negara yang berada dilingkungan koordinasinya. Menteri koordinator bertanggung jawab dalam menyampaikan laporan kepada Presiden mengenai pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasinya. Menteri Koordinator secara terpisah ataupun bersama sama dengan Menteri menindaklanjuti hasil dari rapat koordinasi dan sinkronisasi yang telah dilaksanakan. Menteri Koordinator menjadi perpanjangan tangan Presiden dalam melaksanakan kekuasaannya sebagai kepala eksekutif.
PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG DINAS PARIWISATA KABUPATEN KUDUS DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH MELALUI PENGEMBANGAN WISATA RELIGI Retno Saraswati, Henny Juliani, Taufik Ikhsan Febrian*,
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 3 (2016): Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (466.272 KB)

Abstract

Pelaksanaan Otonomi Daerah, Kabupaten Kudus Provinsi Jawa Tengah, salah satu kewenangannya di bidang kepariwisataan. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat menumbuh kembangkan kepariwisataan serta menggali sektor potensial untuk pembangunan serta mencukupi kebutuhan daerah dengan di sesuaikan beban tugas yang berkembang saat ini .Sektor pariwisata saat ini menjadi salah satu sektor unggulan bagi pemerintah Republik Indonesia dalam mendapatkan devisa negara. Untuk meningkatkan jumlah kunjungan pariwisata ke Indonesia khususnya ke Kabupaten Kudus Provinsi Jawa Tengah.Untuk mengetahui pelaksanaan tugas dan wewenang Dinas Pariwisata Kabupaten Kudus dalam Peningkatan Pendapatan Asli Daerah melalui pengembangan wisata religi, untuk mengetahui kendala yang dihadapi Dinas Pariwisata Kabupaten Kudus dalam peningkatan Pendapatan Asli daerah melalui Wisata Religi, serta untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan oleh Dinas Pariwisatan di Kabupaten Kudus dalam Peningkatan Pendapatan Asli Daerah melalui Wisata Religi. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan, Spesifikasi penelitian, metode pengumpulan data, populasi dan penarikan sampel, dan metode analisis. Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Dinas Pariwisata Kabupaten Kudus berdasarkan Peraturan Bupati Kudus Nomor 21 Tahun 2011 memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut; melaksanakan sebagian urusan Pemerintah Daerah di bidang Kebudayaan dan Pariwisata. Adapun wewenang berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kudus Nomor 21 Tahun 2011 tentang Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten Kudus, kewenangan daerah adalah kekuasaan yang sah untuk melaksanakan urusan pemerintah di bidang pariwisata.Dari simpulan tersebut penulis merekomendasikan Dinas pariwisata Kabupaten Kudus agar dalam penggalian dan pengembangan potensi obyek wisata hendaknya memperhatikan faktor fisik supaya tidak merusak keseimbangan alam secara mayoritas wisata di Kabupaten Kudus, serta dalam pengembangan potensi obyek wisata seoptimal mungkin sehingga dapat mendukung Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Kudus dan harus lebih efektif dalam melakukan promosi, dalam perumusan peraturan yang akan datang lebih memperhatikan pada masalah soal retribusi terhadap semua obyek wisata yang ada di Kabupaten Kudus.
KAJIAN TENTANG POLITIK HUKUM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG KEISTIMEWAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Suparno*), Dian Putri Pratama, Retno Saraswati,
Diponegoro Law Journal Vol 2, No 2 (2013): Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (332.966 KB)

Abstract

The Indonesian constitutional system has changed much. The case was marked by the presence of four amendments to the 1945 Constitution. The results of the second amendment of the 1945 Constitution, specifically adds a special article about the privileged area. The focus of the research problem lies in how the region is positioned privileged in the state system in Indonesia. Furthermore, the focus of the next issue is about the assessment of the legal policy in Privilege Act Yogyakarta. Legal policy is the policy line of the law to be applied to both with the new law and the replacement of the old law order to achieve the objectives as stated in the 1945 Constitution. The Research with title " A Study of Political Law on Law No. 13 Year 2012 on the Special Features of Yogyakarta with socio-legal research approach" shows that Indonesia in the conception of autonomy regions adopts an asymmetric decentralization, namely by recognizing constitutional legally autonomous region specific and special. The Recognition of Yogyakarta is inseparable from philosophical, sociological and juridical factor. The Privileges of DIY, is covered land as territory, spatial, cultural, institutional of DIY Regional Government and the determination that has lasted from the in time as well as the core features of the inherent DIY privilege. The Determination of Sultan Hamengku Buwono X and Sri Paku Alam IX as governor and deputy governor in the province is at the core of privileges, and supported by more than 50% of the people of Yogyakarta.
PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SEMARANG DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH Retno Saraswati, Indarja, Monica Galuh Sekar Wijayanti*,
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 2 (2016): Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (602.511 KB)

Abstract

Dalam penyelenggaraan otonomi daerah terdapat produk hukum yang dihasilkan oleh suatu daerah, salah satunya Peraturan daerah (perda) yang ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Salah satu fungsi dari DPRD adalah fungsi legislasi yaitu fungsi untuk membentuk peraturan daerah. Permasalahan dalam penulisan hukum ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan fungsi legislasi DPRD kota Semarang dalam pembentukan peraturan daerah, hambatan dan upaya yang dilakukan. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif. Adapun spesifikasi penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Hasil penelitian ini menghasilkan kesimpulan, dalam pelaksanaan Fungsi Legislasi, DPRD Kota Semarang telah dapat melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan peraturan daerah. Mekanisme dalam pembuatan peraturan daerah yang dilaksanakan sudah benar karena dalam pelaksanaannya sudah sesuai menurut aturan yang berlaku, namun masih kurang optimal dari jumlah perda yang dihasilkan. Hambatan yang muncul antara lain : Hambatan Yuridis yaitu hambatan yang muncul karena adanya peraturan perundang-undangan yang baru dari pemerintah pusat di saat DPRD sedang membahas rancangan peraturan daerah, Hambatan Teknis yaitu kesibukan anggota DPRD Kota Semarang yang menjadikan rapat tidak mencapai kuorum, kurang siapnya anggota untuk membahas raperda, masih kurangnya kemampuan DPRD Kota Semarang dalam menyusun Perda, dan Hambatan Infrastruktur legislasi yaitu kurangnya sarana teknologi yang membantu dalam pembuatan peraturan daerah. Upaya yang dilakukan antara lain Aspek-aspek yang berkaitan dengan jumlah dan kemampuan SDM semakin ditingkatkan, Aspek-aspek yang berkaitan dengan biaya operasional, sarana dan prasarana penunjang dalam pelaksanaan harus diperhitungkan.
PENERAPAAN e-KTP DI KOTA SEMARANG Retno Saraswati, Agni Wulandari, Untung Sri Hardjanto,
Diponegoro Law Journal Vol 2, No 2 (2013): Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (284.834 KB)

Abstract

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui proses penerapan          e-KTP di Kota Semarang. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah  : Praktek penerapan e-KTP di Kota Semarang, dan permasalahan yang timbul dalam praktek penerapan e-KTP di Kota Semarang, serta solusi mengatasi permasalahan yang timbul dalam praktek penerapan e-KTP di Kota Semarang. Untuk memperoleh hasil penelitian yang berkualitas, maka langkah awal yang dilakukan adalah melakukan riset ke Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) Kota Semarang untuk mencari data-data kependudukan dan dasar hukum yang berkaitan dengan penerapan e-KTP di Kota Semarang, melakukan praktek langsung di Kantor Kecamatan Pedurungan untuk mengetahui  mekanisme penerapan e-KTP secara nyata, dan melakukan pencatatan permasalahan yang timbul, dan memberikan solusi pemecahannya Hasil penelitian menunjukkan bahwa :  (1) Secara umum penerapan   e-KTP di Kota Semarang belum berjalan dengan maksimal. Hal ini terlihat dari tidak tercapainya kuota yang telah ditetapkan sebanyak 1.250.000 wajib e-KTP hanya tercapai 1.025.000 wajib e-KTP, (2) Tidak tersedianya Standard Operating Procedure (SOP) di tiap-tiap Kecamatan, minimnya peralatan dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang belum memadai serta tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah. Adapun solusi untuk mengatasi permasalahan yang timbul dalam penerapan e-KTP di Kota Semarang adalah : (1) Dispendukcapil Kota Semarang selaku leading sector dalam implementasi penerapan e-KTP di Kota Semarang membuat SOP secara jelas di tiap-tiap Kecamatan, (2) mengadakan pelatihan dan peningkatan SDM petugas pelaksana dilapangan, dan (3) Sosialisasi secara terus menerus dan berkesinambungan kepada masyarakat   
Independensi dan Urgensi Restrukturisasi Sistem Peradilan Pidana Indonesia Berdasarkan Aspek Kekuasaan Kehakiman Rico Yodi Tri Utama; Retno Saraswati
Ajudikasi : Jurnal Ilmu Hukum Vol. 5 No. 1 (2021): Ajudikasi : Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Serang Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30656/ajudikasi.v5i1.2740

Abstract

Settlement of crimes by the criminal justice subsystem as a whole often does not run optimally. The position of the subsystems that are under the executive branch is sometimes used as a tool by the authorities to achieve their political goals regardless of the prevailing legal principles. This study aims to provide an overview of the position and function of criminal justice subsystems and focuses on finding the ideal system concept so that the implementation of an independent criminal justice system can be optimally realized by implementing a systems approach and restructuring the legal system. This study uses a normative juridical research method with a statute approach which is studied using a descriptive analysis. Based on the research results, the components of the criminal justice subsystem seem separate from one another, giving rise to sectoral egos and not yet showing the independence of each criminal justice subsystem. On that basis, to create an integrated, free and independent criminal justice system without any influence from power, it must provide a clear space for judicial independence (judicial power), thus placing the Supreme Court as the supervisor and controller of the entire criminal law enforcement process. The criminal justice subsystems must be under one door, not fragmented in other state institutions so that it is hoped that these subsystems can work optimally and be free from the influence of power.
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 16/PUU-XVI/2018 TENTANG PEMBATALAN PERLUASAN KEWENANGAN MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN Yohanes Nafta Irawan; Retno Saraswati; Esmi Warassih Pujirahayu
Masalah-Masalah Hukum Vol 48, No 1 (2019): MASALAH-MASALAH HUKUM
Publisher : Faculty of Law, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (547.64 KB) | DOI: 10.14710/mmh.48.1.2019.71-79

Abstract

This research analyzes the Constitutional Court Decision Number 16/PUU-XVI/2018 that has been canceled Article 122 letter l and Article 245 section (1) from the Law Number 2 of 2018. Article 122 letter l is related to legal steps or other steps that can be taken by The Council Honor Court in the event that there is individuals, groups of people, or legal entities who criticize the House of Representatives or members of the House of Representatives, while Article 245 section (1) relates to the consideration given by the Council Honor Court in the event of a summons or request for investigation into members of the House of Representatives. Both articles are considered unconstitutional and contain an extension of the authority of the Council Honor Court. The appearance of the two articles was influenced by the political configuration of the authoritarian House of Representatives and the naming of the Council Honor Court which deemed inappropriate.
IMPLIKASI YURIDIS TERHADAP PENGAWASAN PERDA DALAM KONTEKS NEGARA KESATUAN REPUBLIK NDONESIA Retno Saraswati
Masalah-Masalah Hukum Masalah-Masalah Hukum Jilid 41, Nomor 3, Tahun 2012
Publisher : Faculty of Law, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2541.131 KB) | DOI: 10.14710/mmh.41.3.2012.465-471

Abstract

Abstract Local Government in carrying out his government given the authority to establish regional regulation. On the other hand a lot of local regulations by the central government canceled due to conflict with higher laws, contrary to the public interest, leading to high cost economy and hamper access to people's economy. This happens as a consequence of the shape our country is a unitary state, where the central government has the right to exercise control over local regulations established by the region. The implication is that the cancellation regulations, then the area should revoke the relevant regulations and if violated, the sanction in the form of suspension or withholding the General Allocation Fund (DAU), as well as the loss in terms of both time and financial, on the other hand in the formation of the regulations to be careful not to be canceled by the central government. Keywords: Implications, Control of local regulation, the Unitary Abstrak Pemerintahan Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahannya diberikan kewenangan untuk membentuk Peraturan Daerah. Di sisi yang lain banyak peraturan daerah yang dibatalkan oleh pemerintah pusat lantaran bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, bertentangan dengan kepentingan umum, menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan menghambat akses ekonomi rakyat. Hal tersebut terjadi sebagai konsekuensi dari bentuk negara kita adalah negara kesatuan, dimana pemerintah pusat berhak untuk melakukan kontrol terhadap perda-perda yang dibentuk oleh daerah tersebut. Implikasinya bahwa dengan dibatalkannya perda tersebut, maka daerah harus mencabut perda yang bersangkutan dan jika dilanggar, maka sanksinya berupa penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU), serta terjadi kerugian baik dari segi waktu maupun finansial, di sisi yang lain dalam pembentukan perda semakin berhati-hati agar tidak dibatalkan oleh pemerintah pusat. Kata Kunci : Implikasi, Pengawasan Peraturan Daerah, Negara Kesatuan
DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL YANG EFEKTIF Retno Saraswati
Masalah-Masalah Hukum Masalah-Masalah Hukum Jilid 41, Nomor 1, Tahun 2012
Publisher : Faculty of Law, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (118.528 KB) | DOI: 10.14710/mmh.41.1.2012.137-143

Abstract

Constitutionally Indonesia adopted a presidential system of government, proportional electoral system and embrace multi-party system. Until now, the democratic government built yet stable, this is not apart from the three buildings is not compatible. The formulation of the constitution mandated a presidential system proved difficult in practice, even walking is less effective especially supported by the weak performance and presidential institution in maintaining political stability. Thus the need to design an effective presidential system of government with an realignment both institutional and non institutional.Keywords : Design, presidential system, effective.
CALON PERSEORANGAN : PERGESERAN PARADIGMA KEKUASAAN DALAM PEMILUKADA Retno Saraswati
Masalah-Masalah Hukum Vol 40, No 2 (2011): Masalah-Masalah Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (63.441 KB) | DOI: 10.14710/mmh.40.2.2011.196-201

Abstract

The justice's argument and welfare which buiided by Mahkamah Konstitusi whose grant opened the independent stripe is already moved power paradigm in local election. The rubbing from old paradigm who seat political party as on of access in nomination of head or deputy of a district to be a new paradigm that the power in nomination of head or deputy of a distric not finished to divided by political party, but that power also give truth for individual to participant in nomination of hear or deputy of a district Kata kunci: Calon Perseorangan, Pemilukada