Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Relationship between Workload Performance and Job Satisfaction Asma Safdar; Fransisca Sri Susilaningsih; Titis Kurniawan
Jurnal Keperawatan Padjadjaran Vol. 7 No. 3 (2019): Jurnal Keperawatan Padjadjaran
Publisher : Faculty of Nursing Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (61.716 KB) | DOI: 10.24198/jkp.v7i3.1178

Abstract

In Pakistan’s public health care delivery system, charge nurses hold a very challenging position to perform their workload. They have to work very hard to accomplish nursing and non-nursing care tasks which are imposed on them by the system. Overstretching of workload deprives them from concentration which is badly needed for their performance and this creates dissatisfaction which negatively impact on the quality of nursing care. As a result, this study intends to analyses the relationship between workload performance (WLP) and job satisfaction (JS). This correlation study involved 105 charge nurses in Nishtar Medical College and Hospital Multan Pakistan recruited by convenience sampling. Nurses’ WLP were collected by using self-developed instrument, and JS were collected by using modified Spector 1985. The collected data were analyze descriptively (mean, SD, frequencies, percentage) and inferentially (Pearson’s correlation). The results suggested that nurses’ WLP (average time consumption) in the morning (93.83%) and evening shift (95.63%) were higher compared with night shift (70.69%). Additionally, the proportion of time consumed in the morning and evening shift were higher on nursing care activities (Morning = 57.10%, Evening =52.1%) rather than non-nursing care activities. Oppositely, in the night shifts nurses consumed more than half of their time in non-nursing care activities (55. 66%). Charge nurses observed on moderate level of job satisfaction (mean = 38.6, SD = 5.42). There was no statistically significant correlation between nurses’ job satisfaction and workload performance (p =.137). The findings conclude nurses’ high workload and moderate level of job satisfaction and no statistically significant correlation between both. The results suggested that, it is important for hospital management to adopt some better strategies in order to improve WLP and JS.
Pengaruh Pelatihan Terhadap Pengambilan Keputusan Skrining Kanker Serviks Berdasarkan The Precaution Adoption Process Model Vina Vitniawati; Yanti Hermayanti; Titis Kurniawan
Jurnal Ilmiah Keperawatan STIKES Hang Tuah Surabaya Vol 15, No 2 (2020): October
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Hang Tuah Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (388.92 KB) | DOI: 10.30643/jiksht.v15i2.103

Abstract

Decision making for taking screening is an important component in preventing cervical cancer, but still many women who have not yet done it due to a lack of knowledge and decision-making ability.  Development of intervention tailored to the stages of decision-making based on the Precaution  Adoption  Process  Model,  such as training,  is able to improve decision-making ability to do the screening. This study aimed to determine the differences in the effect of training on decision-making for cervical cancer screening based on PAPM in the UPT Griya Antapani Health Center Bandung. This quasi-experimental study with two group pre-test post-test design involved  84  women aged  30-49  years who were chosen by purposive and proportional cluster sampling from two villages divided into  42  respondents each. Group  A received training with PowerPoint media,  leaflets,  videos, and WhatsApp while group  B received training with PowerPoint media, leaflets, and videos. The data of decision-making was collected using the  Precaution Adoption Process Model checklist:  before,  after training, and  15  days after training then analyzed using  Friedman test and  Mann  Whitney test.  The results showed that there were differences in decision-making in each group before and after training with p <0.001 but Mann Whitney test showed that there was no difference in decision-making between groups after training (p = 1,000 and p = 0.316). This depicted that any method and media can be used to change decision-making. Providing training and counseling is needed according to the stages of decision-making taking into account the factors that influence it.  Keywords: Cervical Cancer, Decision-making, Screening, the Precaution Adoption Process Model
GAMBARAN SELF EFFICACY PADA PASIEN TB PARU UNTUK MENYELESAIKAN PENGOBATAN DI POLI DOTS PADA SALAH SATU RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DI GARUT Irma Wati; Titis Kurniawan; Bambang Aditya Nugraha
Jurnal Keperawatan 'Aisyiyah Vol. 6 No. 2 (2019): Jurnal Keperawatan 'Aisyiyah
Publisher : Universitas 'Aisyiyah Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (342.997 KB) | DOI: 10.33867/jka.v6i2.120

Abstract

Penyakit Tuberkulosis membutuhkan pengobatan jangka panjang dan cenderung terkendala oleh ketidakpatuhan pasien. Self efficacy (SE) merupakan faktor penting kepatuhan menjalankan pengobatan jangka panjang. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi SE pada pasien TB paru di Poli DOTS RSUD dr Slamet Garut untuk menyelesaikan pengobatan.Penelitian deskriptif kuantitatif ini melibatkan 96 pasien TB paru yang berobat ke Poli DOTS RSUD dr Slamet Garut yang direkrut menggunakan accidental sampling. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner SE yang dimodifikasi dari Bagja (2016), berisi 26 pernyataan, data dianalisis dengan penyajian distribusi frekuensi dan mean.Hasil penelitian menemukan bahwa secara umum SE pasien TB di RSUD Garut dalam menyelesaikan pengobatan rendah (57.3%). Domain pemeriksaan dahak merupakan domain terendah dan mengatasi kebosanan merupakan aspek yang pasien paling merasa tidak yakin mampu mengatasinya. Proporsi pasien TB dengan SE rendah lebih banyak ditemukan pada pasien berusia dewasa awal (76,9%), perempuan (58,5%), menikah (63,2%), berpendidikan SD dan SMP (60,5-71,9%), pekerjaan sebagai petani (87,5%), berpenghasilan di bawah 1 juta/bulan (60,7-71,9%), BTA (+) (70,5%), pengobatan fase lanjutan pada bulan ke 3 (64,7%) dan tidak pernah mengikuti pendidikan kesehatan tentang pengobatan TB (59,2%).Kesimpulan bahwa pasien TB di Poli DOT RSUD Garut memiliki SE rendah. Menjadi penting bagi petugas kesehatan (dokter dan perawat) dan PMO (pengawas minum obat) untuk menjalankan perannya lebih intensif. Petugas kesehatan diharapkan mengembangkan program atau memberikan edukasi yang secara literatur lebih efektif yang dapat meningkatkan self efficacy khususnya terkait pemeriksaan dahak dan mengatasi kebosanan dalam mengkonsumsi obat TB sebagai upaya peningkatan keberhasilan pengobatan TB.
Pengelolaan Risiko Peningkatan Tekanan Intrakranial Dan Defisit Neurologis Pada Pasien Stroke Infark: Studi Kasus Enzel Gabriela Putri; Bambang Aditya Nugraha; Titis Kurniawan
Padjadjaran Acute Care Nursing Journal Vol 3, No 2 (2022): Padjadjaran Acute Care Nursing Journal
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (199.386 KB) | DOI: 10.24198/pacnj.v3i2.46135

Abstract

Stroke adalah suatu kondisi di mana defisit neurologis terjadi akibat penurunan aliran darah ke area otak yang terlokalisasi secara tiba-tiba yang dapat disebabkan oleh ttrombus, embolus, stenosis atau hemoragik. Tujuan studi kasus ini adalah untuk mendeskripsikan asuhan keperawatan pada pasien dengan stroke infark. Penelitian dilakukan menggunakan metode studi kasus dengan pendekatan Asuhan Keperawatan pada seorang wanita berusia 56 tahun di Ruang Azalea Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin. Hasil pengkajian didapatkan dua masalah keperawatan prioritas yaitu risiko perfusi serebral tidak efektif dan gangguan mobilitas fisik. Intervensi keperawatan yang diberikan pada pasien adalah pemantauan TTIK dan dukungan mobilisasi. Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama dua hari, keluhan nyeri kepala pasien berkurang dan kekuatan otot pasien meningkat. Intervensi pemantauan TTIK dan dukungan mobilisasi yang diberikan pada pasien terbukti efektif dalam mencegah terjadinya peningkatan TTIK dan mengatasi defist neurologis akibat stroke infark.
Gambaran Pengetahuan Keluarga dengan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dalam Menjalankan Self-Management Nur Puspita Sari; Titis Kurniawan; Hasniatisari Harun
MAHESA : Malahayati Health Student Journal Vol 3, No 6 (2023): Volume 3 Nomor 6 (2023)
Publisher : Universitas Malahayati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (276.705 KB) | DOI: 10.33024/mahesa.v3i6.10465

Abstract

ABSTRACT The family has an important role in the health care of patients with type 2 diabetes mellitus (T2DM), including diabetes mellitus self-management (DMSM). To carry out the role properly, the family must have adequate knowledge. Previous research has found that the implementation of DMSM in T2DM sufferers and family support is low. This study aims to identify family knowledge related to DMSM. This quantitative descriptive study with a cross-sectional approach involved 188 families of T2DM patients who were taken through a purposive sampling technique. Data were collected through a respondent characteristic questionnaire, and a family knowledge questionnaire related to DMSM which had been translated through the back-forward translation method into Indonesian and modified with an inter-item correlation between 0.205-0.527, and Chronbach alpha 0.660. The collected data were analyzed descriptively. Half of the respondents had good knowledge (50%) with the lowest mean in the domain of pharmacological therapy (1.07±0.60), foot care (1.40±0.73), and physical exercise (1.69±0. 54). The low pharmacological therapy domain, physical exercise, and foot care need special attention. It is important for health workers to seek to increase family knowledge so that they can help patients carry out DMSM, especially aspects of pharmacological therapy, physical exercise, and foot care. Keywords: Family Support, Knowledge, Self Management, Type 2 Diabetes Mellitus  ABSTRAK Keluarga memiliki peran penting dalam perawatan kesehatan pasien diabetes melitus tipe 2 (DMT2) termasuk dalam melakukan self-management diabetes melitus (SMDM). Untuk menjalankan perannya dengan baik, keluarga harus memiliki pengetahuan yang adekuat. Penelitian terdahulu menemukan pelaksanaan SMDM pada penderita DMT2 dan dukungan keluarga yang rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengetahuan keluarga terkait SMDM. Penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross-sectional ini melibatkan 188 keluarga pasien DMT2 yang diambil melalui teknik purposive sampling. Data dikumpulkan melalui kuesioner karakteristik responden, dan kuesioner pengetahuan keluarga terkait SMDM yang telah dialihbahasakan melalui back-forward translation method ke Bahasa Indonesia dan dimodifikasi dengan inter intem correlation antara 0,205-0,527, dan chronbach alpha 0,660. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif. Setengah responden memiliki pengetahuan baik (50%) dengan mean terendah pada domain terapi farmakologi (1,07±0,60), perawatan kaki (1,40±0,73), dan latihan fisik (1,69±0,54). Rendahnya domain terapi farmakologi, latihan fisik, serta perawatan kaki perlu mendapatkan perhatian khusus. Penting bagi petugas kesehatan untuk mengupayakan peningkatan pengetahuan keluarga sehingga dapat membantu pasien menjalankan SMDM terutama aspek terapi farmakologi, latihan fisik, dan perawatan kaki. Kata Kunci: Diabetes Melitus Tipe 2, Dukungan Keluarga, Pengetahuan, Self-Management
EDUKASI MANAJEMEN DIRI PADA PASIEN DENGAN CHRONIC KIDNEY DISEASE: STUDI KASUS Devita Listuhayu; Titis Kurniawan; Nursiswati Nursiswati
SENTRI: Jurnal Riset Ilmiah Vol. 2 No. 8 (2023): SENTRI : Jurnal Riset Ilmiah, Agustus 2023
Publisher : LPPM Institut Pendidikan Nusantara Global

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55681/sentri.v2i8.1305

Abstract

Pasien CKD yang memiliki manajemen perawatan yang baik memiliki status kesehatan yang lebih baik dan mampu mencegah komplikasi. Akan tetapi banyak pasien CKD mengalami kegagalan dan harus menjalani perawatan di rumah sakit. Meski self-management terbukti efektif meningkatkan kapasitas pasien mengelola penyakitnya, sedikit literatur mendiskusikan bagaimana implementasi self-management pada setting rumah sakit. Case study ini bertujuan memaparkan bagaimana implementasi self-management pada seorang pasien CKD yang menjalani perawatan di salah satu rumah sakit umum daerah di wilayah Jawa Barat. Seorang laki-laki berusia 73 tahun dirawat di ruang penyakit dalam dewasa dengan keluhan nyeri epigastrium disertai mual muntah, pusing dan lemas. Nilai kreatinin 7.8 mg/dL dan ureum 169,7 mg/dL. Pasien mengatakan kurang memahami terkait pengelolaan penyakitnya seperti diet, batasan cairan, pengobatan, serta aktivitas pada pasien CKD. Skor self-management sebelum diberikan intervensi adalah 53 (partly compensatory system). Selama 3 hari dirawat, pasien menerima edukasi dan diskusi terkait hambatan self-management mengenai diet, aktivitas, serta kepatuhan minum obat. Pembatasan cairan merupakan kendala utama pada pasien ini. Diakhir masa perawatan, pasien mengatakan paham mengenai diet, aktivitas, serta pengobatan pada pasien CKD. Gejala mual muntah sudah tidak dirasakan, nyeri epigastrium dan lemas berkurang. Satu minggu setelah keluar dari rumah sakit dan dilakukan follow up care melalui home visit, pasien telah menerapkan self-management mengenai diet, aktivitas, serta kepatuhan pengobatan CKD. Skor self-management satu minggu setelah keluar dari rumah sakit menjadi 67 (partly compensatory system). Edukasi self-management merupakan strategi yang efektif dalam meningkatkan kemampuan pasien menjalankan self-management. Kemauan dan kesadaran pasien dalam menjalankan self-management ini membutuhkan dukungan keluarga yang kuat
PENGELOLAAN PADA PASIEN DM TIPE 2 DENGAN LUKA ABSES DI LABIO SUPERIOR SINISTRA : LAPORAN KASUS Eka Turjanah Alviani; Sandra Pebrianti; Titis Kurniawan
SENTRI: Jurnal Riset Ilmiah Vol. 3 No. 2 (2024): SENTRI : Jurnal Riset Ilmiah, February 2024
Publisher : LPPM Institut Pendidikan Nusantara Global

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55681/sentri.v3i2.2320

Abstract

Tingginya kadar glukosa darah menyebabkan tubuh mengalami penurunan sistem imunitas sehingga terjadi gangguan pada skin barrier serta vaskularisasi yang buruk. Penyebaran abses pada daerah rongga mulut diakibatkan dari tingginya virulensi bakteri yang bisa berkembang secara luas ke segala arah, ketahanan jaringan yang lemah dan rusak serta kadar glukosa yang tidak terkontrol. Dan sebaliknya respon inflamasi pada pasien dengan abses orofasial dapat menyebabkan hiperglikemia. Tujuan: Menjelaskan kasus mengenai intervensi pengelolaan pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan luka abses di labio superior sinistra. Metode: penelitian ini dimuat dalam bentuk Case Report. Dilaksanakan disalah satu Rumah Sakit Kabupaten Sumedang pada tanggal 21 – 25 Juni 2023. Subjek dalam penelitian ini seorang dengan masalah keperawatan ketidakstabilan kadar gula darah pada luka abses bibir kiri atas. Hasil: Hasil penelitian menunjukan setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 5 hari mengenai manajemen hiperglikemia dengan memonitor kadar glukosa darah bahwa gula darah masih mengalami ketidakstabilan. Untuk kondisi luka masih mengalami peradangan dan terdapat push, warna kulit merah muda. Kesimpulan: Peneliti menyimpulkan bahwa ketidakstabilan kadar glukosa bisa menyebabkan terhambatnya penyembuhan luka dan respon inflamasi akan membuat kadar glukosa darah meningkat sehingga penatalaksanaan nya harus dilakukan secara bersamaan serta factor kepatuhan pasien terhadap pengobatan sangat penting untuk diperhatikan.
INTERVENSI KEPERAWATAN PRE DAN POST OPERASI PADA PASIEN DEWASA DENGAN BUERGER DISEASE DAN ANEMIA STUDI KASUS Sepdian Puspaningrum; Hesti Platini; Titis Kurniawan
SENTRI: Jurnal Riset Ilmiah Vol. 3 No. 4 (2024): SENTRI : Jurnal Riset Ilmiah, April 2024
Publisher : LPPM Institut Pendidikan Nusantara Global

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55681/sentri.v3i4.2514

Abstract

Latar belakang: Buerger disease adalah penyakit inflamasi progresif, nonaterosklerotik, yang sering menyerang arteri kecil dan menengah pada ekstremitas atas dan bawah. Anemia adalah kondisi kurangnya Hb yang berfungsi mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh. Pengobatan penyakit Buerger tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan sirkulasi pada ekstremitas, namun pada kasus yang parah, amputasi menjadi pilihan bagi pasien. Pada dewasa, tindakan operasi sering kali memunculkan berbagai masalah, sehingga diperlukan asuhan keperawatan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut Kasus: seorang wanita berusia 65 tahun dirawat dengan keluhan nyeri dan kehitaman pada kaki kanan dan diagnosa medis gangren pedis ec. Buerger disease dan anemia, klien direncanakan untuk menjalani tindakan amputasi. Masalah keperawatan pada klien seperti kecemasan, kurang pengetahuan, nyeri, gangguan integritas kulit. Metode: Metode penelitian yang dilakukan merupakan case study dimana studi kasus dilakukan dengan melakukan asuhan keperawatan secara komprehensif dari mulai pengkajian hingga evaluasi Rencana perawatan: rencana asuhan keperawatan menggunakan standar SDKI, SIKI dan SLKI dengan intervensi utama berupa reduksi ansietas, manajemen nyeri, edukasi kesehatan dan perawatan luka. Kesimpulan: proses pemberian asuhan keperawatan pada kasus ini berfokus pada fase pre operasi dan post operasi, dengan intervensi pre operasi berfokus pada reduksi ansietas, dan edukasi. Sementara intervensi post operasi berfokus pada perawatan luka, pencegahan infeksi dan manajemen nyeri.
Penyiapan Pengelolaan Pasca Rawat pada Pasien Stroke Hemoragik dengan Riwayat Peb: Case Report Anjani Mutiarasani; Titis Kurniawan; Sri Hartati Pratiwi
MAHESA : Malahayati Health Student Journal Vol 4, No 3 (2024): Volume 4 Nomor 3 (2024)
Publisher : Universitas Malahayati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33024/mahesa.v4i3.14077

Abstract

ABSTRACT Post-hospitalization stroke patients include assessing and preparing patients and families to meet post-treatment needs is important. Aims to explain the needs of post-stroke patients with a history of preeclampsia along with efforts to prepare patients and their families to meet these needs. Case report used Morse fall scale, Braden scale, Readiness for hospital discharge scale (RHDS) and Barthel indeks instruments to identify the post- treatment needs od stroke patients with a history of preeclampsia who were undergoing treatment in the inpantient room of a Regional Hospital in West Java. Educational topics include: ROM (range of motion), personal hygiene, pressure ulcer prevention, and fall risk prevention and danger signs. One month after being discharged from the hospital, the patient has implemented ROM (range of motion), personal hygiene is fulfilled, there is no risk of pressure sores/falls. The Barthel index score one month after discharge from the hospital improved to 6 (severe dependence). Preparations for the postpartum period with a history of PEB are fulfilled by taking regular medication and caring for the baby. Post-treatment education and follow-up are activities that have the potential to be effective in improving the patient's ability to meet post-treatment needs. It is important for hospitals to maintain continuity of care through regular follow-up and coordination with families to ensure that post-treatment needs are met and anticipate complications due to stroke.  Keywords: Case Report, Continue of Care, Post Treatment, , Preeclampsia, Stroke Hemoragic  ABSTRAK Pasca rawat pada pasien stroke meliputi pengkajian dan penyiapan pasien dan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pasca rawat merupakan hal yang penting. Bertujuan untuk memaparkan kebutuhan pasien pasca stroke dengan riwayat preeklampsia beserta upaya penyiapan pasien beserta keluarganya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Case study ini dengan instrument Morse fall scale, Braden scale, Readiness for hospital discharge scale (RHDS) dan Barthel indeks digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan pasca rawat pasien stroke dengan riwayat preeklampsia yang menjalani perawatan di Ruang Rawat Inap salah satu RS Daerah di Jawa Barat. Topik edukasi mencakup : ROM (range of motion), personal hygiene, pencegahan dekubitus, dan pencegahan risiko jatuh serta tanda bahaya. Satu bulan setelah keluar dari rumah sakit, pasien telah menerapkan ROM (range of motion), personal hygiene terpenuhi, tidak terdapat risiko dekubitus/jatuh. Skor Barthel indeks satu bulan setelah keluar dari rumah sakit membaik menjadi 6 (ketergantungan berat). Penyiapan pada postpartum dengan Riwayat PEB terpenuhi dengan minum obat rutin dan perawatan bayi. Edukasi dan follow up pasca rawat merupakan kegiatan yang berpotensi efektif memperbaiki kemampuan pasien memenuhi kebutuhan pasca rawat. Menjadi penting bagi rumah sakit untuk menjaga continue of care melalui follow up secara reguler serta koordinasi dengan keluarga untuk menjamin keterpenuhan kebutuhan pasca rawat dan antisipasi komplikasi akibat stroke. Kata Kunci: Case Report, Continue Of Care, Pasca Rawat, Preeklampsia, Stroke Hemoragik
Pencegahan Kekambuhan Asma dan Pengelolaan Cushing Syndrome: Studi Kasus Salsabila Fiqrotu Tsauroh; Titis Kurniawan; Eka Afrima Sari
MAHESA : Malahayati Health Student Journal Vol 4, No 3 (2024): Volume 4 Nomor 3 (2024)
Publisher : Universitas Malahayati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33024/mahesa.v4i3.14076

Abstract

ABSTRACT Iatrogenic cushing syndrome is a complication for asthma patients due to long-term use of steroid drugs. This risk is increasingly higher as the recurrence rate in increases asthma patients (poor asthma control). Asthma management has been shown to be effective in reducing asthma recurrence, there’s limited literature how to manage asthma in patients with cushing’s syndrome. This study aims to explain how to implement management and prevention of asthma recurrence in cushing syndrome patients undergoing treatment at one of regional general hospitals in the West Java. This case study uses a descriptive design described narratively. A woman (56) was admitted to the adult internal medicine room with weakness, breathlessness and itching. The face looks round (moonface), there’s fat on the shoulder (buffalo hump), lines (striae) appear on abdomen. Patients has history of asthma since kid. Family said patient had been taking corticosteroid medication for± 10 years. Patient claimed unaware about managing asthma. Asthma Control Test score before intervention was given 11 (not controlled). During treatment, patient and their families receive nursing intervention, pharmacology therapy, education and discussion about asthma management and how to prevent asthma recurrence that can reduce of using corticosteroid. At the end of intervention, patient and their family expressed better knowledge about asthma management. Symptoms of weakness, breathlessness, and itching had subsided by the end of treatment period. Patient had started asthma management after being discharged from hospital, but the smoke-free home had not been implemented optimally so patient relapsed once on the fourth day of discharged from hospital. Asthma management education is an effective strategy in prevention and management of cushing syndrome in asthma patients, however management will not be optimal without family support and those closest to them. Education provided during treatment needs to be followed up during the post-treatment period through regular follow up to ensure that programmed treatment can run as it should  Keywords: Asthma, Asthma Management, Case Study, Cushing Syndrome  ABSTRAK Iatrogenic cushing syndrome adalah salah satu komplikasi bagi pasien asma akibat penggunaan obat steroid jangka panjang. Resiko ini semakin tinggi seiring tingginya angka kekambuhan pasien asma (asma kontrol buruk). Manajemen asma telah terbukti efektif dalam mengurangi kekambuhan asma, sedikit literatur mendiskusikan bagaimana manajemen asma pada pasien dengan cushing syndrome. Case study ini bertujuan untuk memaparkan bagaimana implementasi pengelolaan dan pencegahan kekambuhan asma pada pasien cushing syndrome yang menjalani perawatan di salah satu rumah sakit umum daerah di wilayah Jawa Barat. Studi kasus ini menggunakan desain deskriptif dan diuraikan secara naratif. Seorang perempuan (56 thn) dirawat di ruang penyakit dalam dewasa dengan keluhan lemas, sesak, dan gatal. Wajah tampak bulat (moonface), pada daerah bahu terdapat penumpukan lemak (buffalo hump), tampak guratan garis (striae) pada abdomen. Pasien memiliki riwayat asma sejak kecil. Keluarga mengatakan bahwa pasien mengkonsumsi obat kortikosteroid ketika asma kambuh selama ± 10 tahun. Pasien mengatakan belum mengetahui terkait mengelola asma yang baik agar tidak kambuh. Skor Asthma Control Test sebelum diberikan intervensi adalah 11 (tidak terkontrol). Selama dirawat pasien dan keluarga diberikan intevernsi keperawatan, terapi farmakologi dan menerima edukasi dan diskusi mengenai manajemen asma yang baik dan cara pencegahan kekambuhan asma sehingga dapat mengurangi penggunaan obat kortikosteroid. Diakhir masa perawatan, pasien dan keluarga menyatakan paham mengenai manajemen asma. Keluhan lemas sudah tidak ada, sesak dan gatal berkurang. Setelah pulang dari rumah sakit, keluarga mengatakan telah mengurangi faktor pencetus kekambuhan asma pada pasien, namun rumah bebas asap rokok belum dilakukan secara maksimal oleh keluarga sehingga pasien kambuh satu kali di hari keempat pulang rawat. Edukasi manajemen asma merupakan strategi yang efektif dalam pencegahan dan pengelolaan cushing syndrome pada pasien asma, namun meski dimikian pengelolaan tidak akan maksimal tanpa dukungan keluarga dan orang terdekat. Edukasi yang diberikan selama dirawat perlu untuk ditindak lanjuti selama masa pasca rawat melalui follow up secara berkala untuk menjamin perawatan yang diprogramkan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Kata Kunci: Asma, Cushing Syndrome, Manajemen Asma, Studi Kasus