Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search
Journal : TAFSE: Journal of Qur'anic Studies

Kesadaran Ekologi dalam Al-Qur'an: Studi Penafsiran Al-Razi pada QS. Al-Rum (30): 41 Lukman Hakim; Munawir Munawir
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 2 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (310.719 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v5i2.9065

Abstract

The environment is God's gift to mankind on earth. In order to use natural resources and increase public welfare, such as the 1945 Constitution has provided for in achieving the happiness of life. However, directly or indirectly, human activities have caused environmental damage. This article examines environmental damage in the Koran by looking at the interpretation of Fakhruddin al-Razi in QS. al-Rum (30): 41. This study is of a qualitative type, literature, and will carry out a search of al-Razi's interpretation of the QS. al-Rum (30): 41. This article finds that, first, the meaning of damage is indicated by the word al-fasad, al-Razi argues that what is meant by all the damage caused by human hands is the result of human shirk. Second, the relevance of al-Razi's interpretation of the phenomenon of environmental damage in Indonesia due to hurricanes, damage to green land, higher salinity and acidity of seawater, and damage to water sources in urban areas. Lingkungan hidup ialah karunia Tuhan bagi umat manuia dimuka bumi. Dalam rangka menggunakan sumber daya alam dan menaikkan kesejahteraan umum seperti yang telah dimanahkan UUD 1945 dalam menggapai pencapaian kebahagian hidup. Akan tetapi, secara langsung maupun tidak, aktivitas manusia telah banyak menyebabkan kerusakan lingkungan. Artikel ini mengkaji kerusakan lingkungan dalam al-Quran dengan melihat penafsiran Fakhruddin al-Razi dalam QS. al-Rum (30): 41. Kajian ini berjenis kualitatif dengan melakukan penelusuran terhadap penafsiran al-Razi atas ayat tersebut. Artikel ini menemukan bahwa, pertama, makna kerusakan ditunjukkan oleh kata al-fasad, al-Razi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan segala kerusakan yang terjadi sebab ulah tangan manusia adalah akibat kesyirikan manusia. Kedua, relevansi penafsiran al-Razi terhadap fenomena kerusakan lingkungan di Indonesia diakibat oleh angin topan, rusaknya lahan hijau, keasinan dan keasaman air laut semakin tinggi, dan rusaknya sumber air di area perkotaan.
Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Ibnu Katsir dan M. Quraish Shihab Muhamad Haswan Hafiz An Nur bin Hasin; Samsul Bahri; Lukman Hakim
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 2, No 2 (2017)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v2i2.13636

Abstract

The involvement of women in the public sphere today has become an important discussion to discuss, with changing times, it has forced some of the values that live in society to shift, including women's leadership in Islam. The emergence of pro and contra ideas about women's leadership requires a serious study, so that people can understand how to respond to this phenomenon. Based on the problems above, this study seeks to see how the views of the commentators explain the leadership of women in Islam. This study is a literature study with descriptive analysis. Through the muqaran interpretation method, the opinions of Ibn Kathir and M. Quraish Shihab became the main reference for research data. The results of the study indicate that Ibn Kathir gives an absolute signal that the right to leadership is given to men, which includes all things both in the household and in the public. While Quraish Shihab emphasized that the leadership of men over women is only limited in the household, in the public sphere, women also have the opportunity to become leaders. Keterlibatan perempuan dalam ranah publik dewasa ini telah menjadi diskusi yang penting dibicarakan, dengan perubahan zaman, telah memaksa sebagian nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat bergeser, termasuk kepemimpinan perempuan dalam Islam. Munculnya ide yang pro dan kontra tentang kepemimpinan perempuan membutuhkan kajian yang serius, sehingga masyarakat dapat memahami bagaimana cara menyikapi fenomena tersebut. Berdasarkan persoalan di atas, kajian ini berupaya melihat bagaimana pandangan ulama tafsir menjelaskan tentang kepemimpinan perempuan dalam Islam. Kajian ini bersifat kepustakaan dengan analisis deskriptif. Melalui metode tafsir muqaran, pendapat Ibnu Katsir dan M. Quraish Shihab menjadi rujukan utama sebagai data penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ibnu Katsir memberikan isyarat secara mutlak bahwa hak kepemimpinan diberikan kepada laki-laki, yang merangkumi semua hal baik di dalam rumah tangga maupun publik. Sementara Quraish Shihab menegaskan bahwa kepemimpinan laki-laki ke atas perempuan hanya terbatas di dalam rumah tangga, semnetara dalam ranah publik, perempuan juga punya kesempatan untuk menjadi pemimpin.
Menyingkap Makna Amtsal Laba-laba dalam Al-Qur’an Lukman Hakim; Fatimatuzzuhra Fatimatuzzuhra
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 7, No 1 (2022)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v7i1.12530

Abstract

Parables are one of the quranic language styles of conveying messages to people. One such parable is to perpetuate the spider house as a symbol of weak protection. Although its basic meaning can be understood simply, the depth of meaning behind the spider amthal in surah al-Ankabut leaves questions for Muslims. This article attempts to explore the interpretation of the mufasir related to the value and education of the parable of the spider house in QS. al-Ankabut: 41. The method used in this study is the analytical method of the text to get a general understanding of the mufasir. From the studies conducted, it was found that this parable is a depiction of errors in seeking protection. The meaning to be conveyed is that there is no essential protection other than the protection of God. Any other form of protection is a weak pseudo-protection, as weak as a cobweb when used as an expectation to protect against rain and storms even though it can be used as a web to catch prey. For the rest, this verse theologically hints at the values of godliness, the power of Allah Swt, and the powerlessness of beings. The lesson is that it is very inappropriate for human beings to ask for sustenance, salvation, blessings, mates and other things other than Allah Swt. Only Allah is the only place to shelter and depend. Perumpamaan merupakan salah satu gaya bahasa Alquran dalam menyampaikan pesan kepada manusia. Salah satu perumpamaan tersebut seperti mengabadikan rumah laba-laba sebagai simbol perlindungan yang lemah. Meskipun makna dasarnya dapat dipahami secara sederhana, tetapi tentang kedalaman makna di balik amthal laba-laba dalam surah al-Ankabut menyisakan pertanyaan bagi umat Islam. Artikel ini mencoba mengekspolarasi penafsiran mufasir terkait nilai dan edukasi dari perumpamaan rumah laba-laba dalam QS. al-Ankabut: 41. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode analisis teks untuk mendapatkan pemahaman umum dari para mufasir.  Dari kajian yang dilakukan, ditemukan bahwa perumpamaan ini sebagai penggambaran kesalahan dalam mencari perlindungan. Makna yang ingin disampaikan adalah bahwa tidak ada perlindungan yang hakiki selain perlindungan Allah. Segala bentuk perlindungan lain adalah perlindungan semu yang lemah, selemah sarang laba-laba ketika dijadikan harapan untuk melindungi dari terpaan hujan dan badai meskipun ia dapat dijadikan sebagai jaring untuk menangkap mangsa.  Selebihnya, ayat ini secara teologis mengisyaratkan tentang nilai-nilai ketauhidan, kekuasaan Allah Swt, dan ketidak-berdayaan makhluk. Pembelajarannya ialah bahwa manusia sangat tidak pantas untuk meminta rezeki, keselamatan, keberkahan, jodoh dan hal lainnya kepada selain Allah Swt. Hanya Allah satu-satunya tempat berlindung dan bergantung.
Nilai Akhlak Qur’ani dalam Kehidupan Masyarakat Lukman Hakim; Muhajirul Fadhli; Mulmustari Mulmustari
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 7, No 2 (2022)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v7i2.12687

Abstract

The rapid development of technology has had a negative influence on morals in society, religious values which were initially very strong in society have experienced a drastic decline. From these problems, this paper will look at the formulation of Qur'anic moral values in people's lives. As a literature review, data was collected through document review with descriptive analysis. The results of the study show that the concept of Qur'anic morality encourages humans to have the morals described by the texts of the Qur'an. Because a concept is meaningless if it is only in the form of theoretical value. Methods that can be used in applying morals in life are exemplary methods, habituation and coaching methods. The moral values that can be felt by humans are balance, social harmony and harmony in life. This value can be felt when the application of the morals taught by the Qur'an is practiced in everyday life.Abstrak: Perkembangan teknologi yang begitu cepat telah memberi pengaruh negatif terhadap akhlak dalam masyarakat, nilai-nilai agama yang awalnya sangat kental hidup dalam masyarakat telah mengalami penurunan yang drastis. Dari persoalan tersebut, tulisan ini akan melihat perumusan nilai akhlak qur’ani dalam kehidupan masyarakat. Sebagai kajian yang bersifat kepustakaan, data dikumpulkan melalui telaah dokumen dengan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep akhlak qur’ani menganjurkan manusia memiliki akhlak yang dijelaskan oleh nash-nash Al-Qur’an. Karena sebuah konsep tidak bermakna apabila hanya dalam bentuk nilai teoritis. Metode yang dapat digunakan dalam menerapkan akhlak dalam kehidupan yaitu metode keteladanan, pembiasaan dan metode pembinaan. Adapun nilai akhlak yang dapat dirasakan oleh manusia adalah adanya keseimbangan, harmoni sosial dan keselarasan dalam kehidupan. Nilai tersebut dapat dirasakan apabila penerapan akhlak yang telah diajarkan oleh Al-Qur’an dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.