Sagung Putri M. E. Purwani
Unknown Affiliation

Published : 54 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

KEADILAN RESTORATIF DAN PEMBATASAN DIVERSI PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA Sagung Dinda Surya Paramitha; Sagung Putri M.E. Purwani
Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum Vol 10 No 9 (2022)
Publisher : Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Penulisan jurnal ini memiliki tujuan untuk memahami lebih dalam terkait bagaimana hubungan keadilan restoratif terhadap adanya pembatasan diversi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta dapat mngetahui dan menganalisis bagaimana pembatasan diversi yang terdapat dalam UUSPPA terhadap seorang anak yang melakukan RecidiveKeadilan merupakan hak dari semua orang baik anak ataupun orang dewasa. Menurut Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa semua anak itu memiliki hak atas keadilan serta perlindungan hukum selama tumbuh kembangnya yang diharapkan mampu menjauhkan mereka dari tindakan kekerasan dan diskriminasi yang bisa saja terjadi di lingkungan sekitarnya. Seorang anak ia sebuah harta yang tak ternilai bagi keluarga, masyarakat dan negara. Menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak atau yang disebut juga sebagai UUSPPA menerapkan teori keadilam restoratif dengan upaya diversi. Diversi dan Keadilan Restoratif sudah diatur dalam UUSPPA yang lebih menekankan kepada titik perdamaian dibandingkan proses hukum secara formal untuk mencegah anak dari hukuman penjara secara khusus dan juga meningkatkan sikap sosial masyarakat terhadap tindak pidana anak. Kata Kunci : Anak, Keadilan Restoratif, Diversi ABSTRACT Writing this journal has the aim to understand more deeply related to how the relationship of restorative justice to the existence of diversion restrictions in Law Number 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System and to be able to know and analyze how the diversion restrictions contained in UUSPPA against a child who commits Recidive Justice are rights of all people whether children or adults. According to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia which states that all children have the right to justice and legal protection during their development which is expected to keep them away from acts of violence and discrimination that could occur in their surroundings. A child is an invaluable treasure for the family, society and country. According to Law Number 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System or what is also known as UUSPPA applies the theory of restorative justice with diversion efforts. Diversion and Restorative Justice have been regulated in the UUSPPA which places more emphasis on the point of peace than the formal legal process to specifically prevent children from being imprisoned and also to improve social attitudes towards juvenile crimes. Keywords : child, Restorative Justice, Diversion
EKSISTENSI RESTORATIVE JUSTICE DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA Darwin Jeremia Sitinjak; Sagung Putri M. E. Purwani
Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum Vol 11 No 11 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/KS.2022.v11.i11.p01

Abstract

Studi ini bertujuan untuk mengkaji terkait eksistensi restorative justice dalam sistem peradilan pidana di Indonesia serta menjelaskan implementasi yang terjadi dalam kasus tindak pidana di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, prinsip restorative justice sudah lazim digunakan. Di Indonesia, prinsip restoratif justice sudah diintrodusir melalui berbagai aturan, antara lain Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif dan berbagai peraturan lainnya. Dengan adanya berbagai aturan yang dikeluarkan, diharapkan prinsip restorative justice dapat memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum. This study aims to examine the restorative justice existence in the criminal justice system in Indonesia and explain the implementation that occurs in criminal cases in Indonesia. This study uses a normative legal method with a statute approach. The result of this study shows that in the criminal justice system in Indonesia, the restorative justice principle is commonly used. In Indonesia, the restorative justice system principle has been introduced through various rules such as law number 11 of 2012 concerning the juvenile criminal justice system, Regulation of the Attorney General of the Republic of Indonesia Number 15 of 2022 concerning Termination of Prosecution Based on Restorative Justice, and The Republic of Indonesia Police Regulation Number 8 of 2021 Concerning Handling Criminal Act Based on Restorative Justice and other various rules. With the various rules issued, hopefully the restorative justice principal can provide certainty, justice and expediency of law.
Kebijakan Hukum Pidana terhadap Pelaku Penyalahguna Narkotika yang Mengulagi Perbuatannya Setelah Menjalani Sanksi Rehabilitasi I Nyoman Agus Adi Priantara; Sagung Putri M.E Purwani
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 12 No 4 (2023)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/JMHU.2023.v12.i04.p16

Abstract

In Indonesia, there is a double track system in resolving narcotics cases, namely the imposition of laws in the form of action sanctions in the form of rehabilitation and criminal sanctions in the form of imprisonment. However, in reality law enforcers tend to impose criminal sanctions on narcotics addicts because they focus on the guilt of their actions and rarely apply rehabilitation sanctions. This study aims to examine and analyze legal policies for addicts or narcotics abusers based on Law Number 35 of 2009 and legal policies against narcotics abusers who repeat their actions. This study uses normative legal research with the types of approaches used include statutory approaches, case approaches, and legal concept analysis approaches related to narcotics crimes. This study explains that no legal regulations or policies have been found against addicts or narcotics abusers who repeat their actions, giving rise to empty norms that make it difficult for law enforcement officials to impose appropriate sanctions on these problems. The imposition of criminal sanctions on narcotics addicts and abusers is considered less effective in enforcement, so that in the future it is hoped that law-making apparatus can make a policy that can be useful for narcotics addicts and abusers. In determining future legal policies for narcotics addicts or abusers who repeat their actions after undergoing rehabilitation sanctions, several comparisons can be made, namely, legal comparisons through the RKUHP Criminal, Narcotics Bill and Comparison of Laws from various countries to be used as a reference for future legal formulations. Di Indonesia mengenal double track system dalam penyelesaian kasus narkotika, yaitu penjatuhan hukum berupa sanksi tindakan berupa rehabilitasi serta sanksi pidana berupa pemenjaraan. Namun dalam kenyataanya para penegak hukum cenderung menjatuhkan sanksi pemidanaan terhadap pecandu narkotika karena mereka berfokus kepada kesalahan atas perbuatannya dan jarang menerpkan sanksi rehabilitasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis kebijakan Hukum Bagi Pecandu Atau Penyalahguna Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 serta kebijakan hukum terhadap penyalahguna mnarkotika yang mengulangi perbuatannya. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan jenis pendekatan yang digunakan meliputi pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, serta pendekatan analisis konsep hukum terkait tindak pidana narkotika. Studi ini menjelaskan bahwa tidak ditemukannya pengaturan atau kebijakan hukum terhadap pecandu atau penyalahguna narkotika yang mengulangi perbuatannya, sehingga menimbulkan norma kosong yang mempersulit aparat penegak hukum untuk menjatuhkan sanksi yang sesuai terhadap permasalahan tersebut. Penjatuhan sanksi pemidanaan terhada para pecandu dan penyalahguna narkotika dianggap kurang efektif dalam penegakannya, sehingga kedepannya diharapkan agar aparatur pembuat undang undang dapat membuat suatu kebijakan yang dapat berguna bagi para pecandu dan penyalahguna narkotika. Dalam menentukan kebijakan hukum ke depan terhadap pecandu atau penyalahguna narkotika yang kembali mengulangi perbuatannya setelah menjalani sanksi rehabilitasi dapat mempergunakan beberapa perbandingan yakni, perbandingan hukum melalui KUHP, RUU Narkotika dan Perbandingan Hukum dari berbagai negara untuk dijadikan acuan formulasi hukum kedepan.
TOWARDS A RECOGNISED RIGHT TO A SHARED CULTURE AT THE REGIONAL LEVEL: How Will ASEAN Address Diversity? I Made Budi Arsika; I Nyoman Suyatna; Sagung Putri M.E Purwani
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 15, No 1 (2024): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v15i1.27149

Abstract

ASEAN documents have officially upheld the principle of unity in diversity and agreed on the spirit of one identity and community. However, there is a pronounced tendency for ASEAN countries to struggle with each other with several differences, including cultural tensions. This paper aims to analyse the possibility of recognising a regionally shared culture as jointly claimed collective cultural rights by taking the example of Intangible Cultural Heritage ICH. It is designed as legal research applying statutory, historical, conceptual, and comparative approaches. This research collects norms and principles covering the issues of ICH and cultural rights and conducts a literature study, suggesting that cultural rights, which represent the intersecting of cultural and human rights aspects, have yet to be fully understood as collective cultural rights. ICH is an example of how ASEAN countries are sometimes heated up in non-harmony relations. The possibility of recognising a regionally shared culture in the context of collective cultural rights then, more or less, relies on the ongoing development of the Narrative of ASEAN Identity, the routine convening of human rights dialogues, and the initiation of the ASEAN Cultural Heritage List. These findings are then expected to be considered by ASEAN policymakers. Dokumen-dokumen ASEAN mencatumkan iktikad untuk menjunjung tinggi prinsip persatuan dalam keberagaman dan menyepakati semangat satu identitas dan komunitas. Dalam kenyatannya, negara-negara anggota ASEAN justru bergelut dengan sejumlah persoalan antara negara yang satu dengan negara lainnya, termasuk mengenai ketegangan budaya. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis kemungkinan mengakui budaya bersama secara regional sebagai hak budaya kolektif yang diklaim bersama dengan mengambil contoh warisan budaya tak benda (WBTB). Artikel ini dirancang sebagai penelitian hukum yang menggunakan pendekatan perundang-undangan, sejarah, konsep, dan perbandingan. Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan norma-norma dan prinsip-prinsip yang mengatur isu WBTB dan hak budaya serta melakukan studi literatur. Artikel ini menyimpulkan bahwa hak budaya, yang mewakili persilangan antara aspek budaya dan hak asasi manusia (HAM), belum sepenuhnya dipahami sebagai hak budaya kolektif. WBTB menjadi contoh bagaimana negara-negara ASEAN terkadang berada dalam hubungan yang tidak harmonis antara satu dengan lainnya. Adapun kemungkinan untuk mengakui budaya bersama secara regional dalam konteks hak budaya kolektif dapat disandarkan pada pengembangan Narasi Identitas ASEAN, penyelenggaraan dialog HAM secara rutin, dan upaya pembentukan Daftar Warisan Budaya ASEAN. Temuan-temuan ini diharapkan dapat dipertimbangkan oleh para pengambil kebijakan di ASEAN.
Co-Authors A A Sagung Cahaya Dewi Savitri Anak Agung Ayu Anaya Widya Sukma Anak Agung Ayu Windah Wisnu Kesuma Sari Anak Agung Ngurah Wirasila Anak Agung Ngurah Yusa Darmadi Anak Agung Sinta Paramisuari Anggun Kharisma Dewi Bagus Gede Brahma Putra Darwin Jeremia Sitinjak Dewa Nyoman Rai Asmara Putra Eriska Kurniati Sitio GDE MADE SWARDANA Gde Made Swardhana I Dewa Ayu Diah Anjani I G A Ayu Dewi Satyawati I Gusti Ketut Ariawan I Gusti Made Adika Kornia I Gusti Ngurah Nyoman Krisnadi Yudiantara I Kadek Niko Suardi I Ketut Rai Setiabudhi I Made Budi Arsika I Made Budi Arsika I Made Tjatrayasa I Made Walesa Putra I Nengah Maliarta I Nyoman Agus Adi Priantara I Nyoman Suyatna Ida Bagus Miswadanta Pradaksa Ida Bagus Surya Dharma Jaya Kadek Ayu Trisnawati Kadek Novita Dwi Irianti Kadek Setia Budiawan Kadek Velantika Adi Putra Kadek Yogi Barhaspati Luh Amelia Savitri Luh Putu Divani Anggarani Mulyawan Made Sisca Anggreni N Wahyu Triashari Ni Desak Gede Sekar Widhiasih Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati Ni Kadek Ayu Wistiani Ni Kadek Dwi Oktiapiani Ni Kadek Eniantari Ni Komang Hyang Permata Danu Asvatham Ni Luh Putu Ratih Sukma Dewi Ni Made Sutrisna Dewi Ni Putu Resha Arundari Ni Putu Tya Suindrayani Ni Putu Yulita Damar Putri Nyoman Kinandara Anggarita Putu Ayu Gayatri Putu Eka Oktaviani Putu Mas Ayu Cendana Wangi Putu Mery Lusyana Dewi Putu Mita Apsari Dewi Putu Reksa Rahmayanti Pratiwi Putu Trisna permana Rainer S.C. Sinaga Robertus Dicky Armando Sagung Dinda Surya Paramitha Yosef Faizal Frans Yutika Tri Bhuana Dewi