Claim Missing Document
Check
Articles

Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan Rahmawati, Ema; Mantili, Rai
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 2 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (609.599 KB)

Abstract

Jasa keuangan merupakan salah satu sektor yang banyak berperan dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Otoritas Jasa Keuangan Indonesia sebagai lembaga independen pengatur dan pengawas di sektor jasa keuangan memiliki salah satu tugas penting untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen di sektor jasa keuangan, salah satunya dengan mengatur prosedur penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau. Sebagai tindak lanjutnya, OJK menerbitkan POJK Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. Artikel ini dimaksudkan untuk menggambarkan bagaimana konsep alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana diatur di dalam POJK No. 1/2014 dikaitkan dengan sistem penyelesaian sengketa perdata yang ada. Lebih lanjut lagi, akan diuraikan pula Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang telah ditetapkan OJK untuk melaksanakan tugas dan peranannya dalam penyelesaian sengketa dibidangnya masing-masing serta tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan perlindungan terhadap konsumen sektor jasa keuangan.Dispute Settlement Mechanism through Alternative Dispute Resolution Institution in the Sector of Financial Services AbstractFinancial service is one of the essential sectors in economic development of a country. Indonesian Financial Services Authority (OJK) is an independent institution which regulates and supervises the financial services sector and has its important role in providing consumer protection in financial services sector, i.e. by regulating the procedure of consumer complaint and dispute settlement in simple, prompt, and affordable manners. Following up such role, OJK issued Regulation 1/POJK.07/2014 regarding Alternative Dispute Resolution Institution in Financial Services Sector. This article is intended to describe the concept of alternative dispute resolution as stipulated in Regulation of OJK No. 1/2014 in connection with the existing private dispute settlement system. Furthermore, this article also describes the institutions of alternative dispute resolution assigned by OJK to conduct their duty and role in dispute settlement for each respective sectors and its challenge to provide consumer protection in financial services sector.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v3n2.a2 
Problematika Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dalam Rangka Menciptakan Kepastian Hukum Mantili, Rai; Kusmayanti, Hazar; Afriana, Anita
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 1 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (588.282 KB)

Abstract

Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah suatu lembaga khusus yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat untuk menegakkan hukum persaingan usaha. Tidak berkedudukan sebagai lembaga penegak hukum yang sesungguhnya menyebabkan KPPU tidak memiliki daya paksa dalam hal pemanggilan para pihak maupun dalam pelaksanaan eksekusi. Selain itu, banyaknya putusan KPPU yang dibatalkan dalam proses upaya huku (yang disebut sebagai keberatan) yang diajukan pihak pelanggar pada akhirnya menyebabkan tidak terciptanya kepastian hukum bagi para pihak. Tulisan ini berupaya memperlihatkan gambaran pelaksanaan putusan persaingan usaha dalam praktik dalam tinjauan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta mengindentifikasi kendala-kendala dan upaya dalam penegakkan hukum persaingan usaha di Indonesia agar tercipta kepastian hukumThe Problem of Law Enforcement in Business Competition in Establishing Legal CertaintyAbtractThe Commission for the Supervision of Business Competition (Komisi Persaingan Usaha) is a special institution established by Law Number 5 of 1999 concerning the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Competition for enforcing competition law. Not functioning as a law enforcement agency has led to KPPU to have no power to either forcibly summon the parties or execute its decisions. Moreover, a lot of KPPUs decisions are cancelled due to further legal action filed by the offender and thus undermining the legal centainty for the parties. The purpose of this article is to seek and analyze the enforcement of KPPUs decision in disputes regarding monopolistic practices and unfair competition as regulated in Law Number 5 of 1999. Furthermore, this article also aims to determine the obstacles in setting enforcement of competition law in order to not only establish legal certainty but also to achieve a healthy business climate in Indonesia. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v3n1.a7
Prinsip Keputusan Bisnis Pemberian Kredit Perbankan dalam Hubungan Perlindungan Hukum Mantili, Rai
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 3 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (508.703 KB)

Abstract

Buku ini membahas mengenai persoalan kredit macet dalam masalah dunia perbankan yang dihubungkan dengan pengaturan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Buku ini terbagi dalam 6 bab, yang masing mempunyai pembahasan yang berbeda namun saling berkaitan. Bab 1 diberi judul Beberapa Hal dalam Hubungan dengan Kredit Macet, Bab 2 Menelaah Undang-Undang Perseroan, yang dalam hal ini adalah pembahasan dari UUPT, Bab 3 tentang Mengadili Keputusan Bisnis, Bab 4 adalah Pemeriksaan Pengadilan di Amerika dan Jepang, Bab 5 Keputusan Pemberian Kredit yang Memberikan Perlindungan Hukum dan Bab 6 yang merupakan bab terakhir berisi mengenai Intisari dan Saran dari penulis. Buku ini menarik untuk dijadikan bahan ulasan karena pembahasan mengenai dunia perbankan, khususnya masalah kredit macet serta tanggung jawab direksi, selaku organ perseroan yang menjalankan perusahaan, sangat menarik untuk diketahui karena masalah ini dialami oleh hampir setiap negara.  DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n3.a11
PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN NEGERI TERHADAP GUGATAN PERCERAIAN YANG TIDAK DAPAT DITERIMA (NIET ONTVANKELIJKE VERKLAARD) DALAM PRAKTIK Mantili, Rai; Lubis, Samantha Aulia
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 3, No 1 (2017): Januari – Juni 2017
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (432.86 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v3i1.47

Abstract

Artikel ini menguraikan tentang gugatan perceraian yang tidak dapat diterima yang didasarkan pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 266/Pdt.G/2014/PN.JKT.BRT mengenai gugatan perceraian, yang dalilnya menyebutkan bahwa telah terjadi perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat yang dilangsungkan di Jepang. Dalam mengambil keputusan, hakim mempertimbangkan bahwa untuk membuktikan dalil gugatan, Penggugat diminta untuk memberikan akta perkawinan yang sah dan memiliki kekuatan hukum menurut aturan yang berlaku di Indonesia untuk dijadikan sebagai alat bukti. Dalam proses persidangan Penggugat memberikan Surat Keterangan Nikah yang dikeluarkan oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia Osaka, Jepang. Setelah mencermati isi dari bukti yang diajukan Penggugat, yaitu Surat Keterangan Nikah, maka bukti tersebut bukan merupakan Akta Perkawinan yang dimaksud oleh Majelis Hakim yang sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Selanjutnya Majelis Hakim menimbang bahwa oleh karena akta perkawinan yang dimaksud tidak disertakan dalam gugatan, maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard). Dasar pertimbangan hukum bagi Hakim dalam menjatuhkan putusan gugatan perceraian yang diajukan Penggugat ialah berdasarkan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Tidak disebutkan secara tegas oleh Majelis Hakim mengenai pasal mana yang menjadi dasar hukum pertimbangan Hakim. Kelemahan ini menyebabkan tidak adanya kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para pihak. Berdasarkan uraian tersebut di atas dan dikaitkan dengan pertimbangan hukum bagi hakim dalam menjatuhkan putusan gugatan perceraian yang diajukan Penggugat, dapat diketahui Penggugat tidak dapat memberikan alat bukti perkawinan yang dimaksud oleh hakim yang berdasarkan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini khususnya pada Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
PROSES KEPAILITAN OLEH DEBITOR SENDIRI DALAM KAJIAN HUKUM ACARA PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 Mantili, Rai
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 2 (2015): Juli-Desember 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (618.344 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v1i2.15

Abstract

Kesulitan dalam pembayaran utang dapat mengakibatkan debitor mengajukan permohonan pailit terhadap diri sendiri. Permohonan pailit oleh Debitor sendiri dapat dikaji berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Perdata dan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hasil pembahasan menunjukkan proses beracara terhadap permohonan pailit oleh debitor sendiri menunjukkan bahwa hukum acara yang berlaku bagi pengadilan niaga adalah hukum acara perdata pada pengadilan negeri, sebagaimana diatur di dalam HIR dan RBg. Hanya saja terdapat ketentuan khusus untuk perkara-perkara kepailitan atau PKPU, yaitu berkaitan dengan: kompetensi absolut pengadilan niaga; hakim yang memiliki kualifikasi khusus; jangka waktu proses peradilan yang terbatas; prosedur berperkara dan pembuktiannya lebih sederhana atau mudah; jangka waktu yang lebih pasti untuk tindakan-tindakan prosedural; tidak mengenal lembaga banding, tetapi langsung kasasi dan peninjauan kembali; dan akibat hukum adanya permohonan pailit yang dikabulkan akan menjadikan debitor tidak lagi berwenang mengurus dan menguasai hartanya, sedangkan akibat hukum kepada kreditor akan dilakukan pembayaran piutang dari pemberasan harta kekayaan debitor.Kata kunci: proses, kepailitan, debitor
PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN NEGERI TERHADAP GUGATAN PERCERAIAN YANG TIDAK DAPAT DITERIMA (NIET ONTVANKELIJKE VERKLAARD) DALAM PRAKTIK Mantili, Rai; Lubis, Samantha Aulia
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 3, No 1 (2017): Januari – Juni 2017
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v3i1.47

Abstract

Artikel ini menguraikan tentang gugatan perceraian yang tidak dapat diterima yang didasarkan pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 266/Pdt.G/2014/PN.JKT.BRT mengenai gugatan perceraian, yang dalilnya menyebutkan bahwa telah terjadi perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat yang dilangsungkan di Jepang. Dalam mengambil keputusan, hakim mempertimbangkan bahwa untuk membuktikan dalil gugatan, Penggugat diminta untuk memberikan akta perkawinan yang sah dan memiliki kekuatan hukum menurut aturan yang berlaku di Indonesia untuk dijadikan sebagai alat bukti. Dalam proses persidangan Penggugat memberikan Surat Keterangan Nikah yang dikeluarkan oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia Osaka, Jepang. Setelah mencermati isi dari bukti yang diajukan Penggugat, yaitu Surat Keterangan Nikah, maka bukti tersebut bukan merupakan Akta Perkawinan yang dimaksud oleh Majelis Hakim yang sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Selanjutnya Majelis Hakim menimbang bahwa oleh karena akta perkawinan yang dimaksud tidak disertakan dalam gugatan, maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard). Dasar pertimbangan hukum bagi Hakim dalam menjatuhkan putusan gugatan perceraian yang diajukan Penggugat ialah berdasarkan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Tidak disebutkan secara tegas oleh Majelis Hakim mengenai pasal mana yang menjadi dasar hukum pertimbangan Hakim. Kelemahan ini menyebabkan tidak adanya kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para pihak. Berdasarkan uraian tersebut di atas dan dikaitkan dengan pertimbangan hukum bagi hakim dalam menjatuhkan putusan gugatan perceraian yang diajukan Penggugat, dapat diketahui Penggugat tidak dapat memberikan alat bukti perkawinan yang dimaksud oleh hakim yang berdasarkan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini khususnya pada Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
PROSES KEPAILITAN OLEH DEBITOR SENDIRI DALAM KAJIAN HUKUM ACARA PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 Mantili, Rai
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 2 (2015): Juli-Desember 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v1i2.15

Abstract

Kesulitan dalam pembayaran utang dapat mengakibatkan debitor mengajukan permohonan pailit terhadap diri sendiri. Permohonan pailit oleh Debitor sendiri dapat dikaji berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Perdata dan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hasil pembahasan menunjukkan proses beracara terhadap permohonan pailit oleh debitor sendiri menunjukkan bahwa hukum acara yang berlaku bagi pengadilan niaga adalah hukum acara perdata pada pengadilan negeri, sebagaimana diatur di dalam HIR dan RBg. Hanya saja terdapat ketentuan khusus untuk perkara-perkara kepailitan atau PKPU, yaitu berkaitan dengan: kompetensi absolut pengadilan niaga; hakim yang memiliki kualifikasi khusus; jangka waktu proses peradilan yang terbatas; prosedur berperkara dan pembuktiannya lebih sederhana atau mudah; jangka waktu yang lebih pasti untuk tindakan-tindakan prosedural; tidak mengenal lembaga banding, tetapi langsung kasasi dan peninjauan kembali; dan akibat hukum adanya permohonan pailit yang dikabulkan akan menjadikan debitor tidak lagi berwenang mengurus dan menguasai hartanya, sedangkan akibat hukum kepada kreditor akan dilakukan pembayaran piutang dari pemberasan harta kekayaan debitor.Kata kunci: proses, kepailitan, debitor
TANGGUNG JAWAB RENTENG GANTI KERUGIAN IMMATERIIL ATAS PERBUATAN MELAWAN DIHUBUNGKAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM Mantili, Rai
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 4, No 1 (2019): JURNAL BINA MULIA HUKUM
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (342.544 KB)

Abstract

ABSTRAK Pada beberapa praktik di pengadilan, banyak terjadi perkara perbuatan melawan hukum yang meminta ganti kerugian immateriil selain juga ganti kerugian materiil. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 214/Pdt.G/2016/PN.JKT.Sel dan Putusan Mahkamah Agung No. 957 K/Pdt/2006 memiliki persamaan perkara, yaitu mengenai perkara perbuatan melawan hukum dan menghukum tergugat secara tanggung renteng.  Perbedaan pada kedua kasus tersebut adalah mengenai tanggung jawab ganti kerugian yang harus dipikul oleh para tergugatnya. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 214/Pdt.G/2016/PN.JKT.Sel memutus tanggung jawab tanggung renteng pada pihak tergugat, sedangkan pada putusan Putusan Mahkamah Agung No. 957 K/Pdt/2006 pembagian tanggung jawab telah jelas disebutkan pada putusannya. Hal yang perlu diperhatikan adalah apakah kedua putusan hakim tersebut telah memenuhi asas kepastian hukum dan bagaimana konsep tanggung renteng dihubungkan dengan asas kepastian hukum. Disimpulkan bahwa dihubungkan dengan asas kepastian hukum, putusan Mahkamah Agung No. 957 K/Pdt/2006 lebih memenuhi asas kepastian hukum karena adanya kepastian tanggung jawab. Konsep tanggung jawab gugatan ganti kerugian immateriil pada perbuatan melawan hukum sebaiknya menggunakan model proporsional karena model tanggung-renteng berpotensi menimbulkan masalah dan sengketa baru diantara para tergugat. Hal ini mungkin terjadi karena dengan tidak menetapkan beban uang pengganti kepada masing-masing tergugat dapat menimbulkan permasalahan baru pada pelaksanaan eksekusi. Kata kunci: gugatan; kepastian hukum; perbuatan melawan hukum; tanggung renteng.  ABSTRACT It is evident in many cases that the plaintiff seek compensation for their material and immaterial damage. The compensation types may be different one case with another. As illustrates in the South Jakarta District Court Decisison No. 214/Pdt.G/2016/PN.JKT.nSel and Supreme Court Decision No. 957 K/Pdt/2006. The two cases concerned about unlawful act that born a duty to pay compensation. The deffendant were sued jointly and severally liable for the damages. However, defendant(s) in the cases have to pay different tipes of compensation. Decision of South Jakarta District Court stated that all the deffendaants are responsible jointly, while in the decision of the Supreme Court, the judges celearly stated the fractures of responsibility for each deffendants in the verdic. The legal problem from the two cases is whether the two decisions satisfied the fulfillment of the principle of legal certainty. The concept of responsibility has to be linked to the principle of legal certainty. This article argues that between the two decisions, it is only the decision of the Supreme Court that in line with the fulfillment of the principle of legal certainty. Unspecified compensation portion is likely to cause new problem, so the concept of immaterial compensation claim responsibility against illegal acts should be divined proportinaly.Keywords: illegal acts; joint responsibility; unlawsuits; legal certainty.
UPAYA PEMANGGILAN PAKSA OLEH BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) TERHADAP PELAKU USAHA YANG TIDAK HADIR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN Mantili, Rai
VYAVAHARA DUTA Vol 13, No 1 (2018): Maret 2018
Publisher : Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (243.761 KB)

Abstract

One of the authorities of the Consumer Dispute Settlement Agency (BPSK) is to receive both written and unwritten complaints from consumers regarding the occurrence of violations of consumer protection. Article 52 Sub-Article g of the Consumer Protection Law (UUPK) au- thorizes BPSK to summon business actors who allegedly violate consumer protection. However, in practice in the field, BPSK is not authorized to force involuntary calling of business actors so that many business actors refuse to be present at consumer dispute resolution in BPSK. This research is Normative and Analytical Descriptive Research. In this case, it is a Nor- mative Legal Research in the form of research to find the Law of Concreto, the research to find the law for a case in concreto is an attempt to find out whether the appropriate law to apply in cocreto in order to solve a particular case and see the rule of law is found . This research will illustrate various legal issues and other symptoms related to cases concerning consumer protec- tion and BPSK Implementation of consumer protection law enforcement in practice is not yet fully fea- sible. It can be seen apart from awareness of the ability and independence of consumers to protect themselves against the rights and kewajibanya, also can be seen from law enforcement officers who have not performed optimally. efforts that can be made by BPSK after forced calling of business actors who refuse to attend the consumer dispute resolution can make a verdict verdict if the business actor is not present 3 times on the summons of the session by BPSK as stipulated in Article 52 UUPK and Kemendag. 35/2001.
UPAYA HUKUM KEBERATAN ATAS PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN KONSUMEN (BPSK) BERDASARKAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN HUKUM ACARA PERDATA Mantili, Rai
VYAVAHARA DUTA Vol 14, No 2 (2019): SEPTEMBER 2019
Publisher : Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (234.75 KB)

Abstract

Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen dilatarbelakangi oleh adanya globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung dengan kemajuan teknologi dan informatika. Disisi lain kemajuan dan kesadaran konsumen masih rendah sehingga terjadi ketidakseimbangan antara konsumen dan pelaku usaha. Ketidak seimbangan dimaksud diperparah dengan masih rendahnya tingkat kesadaran, kepedulian dan rasa tanggung jawab pelaku usaha tentang perlindungan konsumen baik didalam memproduksi, memperdagangkan maupun mengiklankan. Perlindungan konsumen pada hakekatnya adalah segalaupaya untuk menjamin adanya kepastian hukum. Konsumen yang bermasalah terhadap produk yang dikonsumsi akan dapat memperoleh haknya secara lebih mudah dan efisien melalui peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Selain itu bisa juga menjadi sebuah akses untuk mendapatkan infomasi dan jaminan perlindungan hukum yang sejajar baik untuk konsumen maupun pelaku usaha.Setelah diberlakukannya Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) sejak tanggal 20 April 2000, diharapkan dapat dapat melindungi konsumen secara keseluruhan, mendorong tumbuhnya iklim dunia usaha yang sehat, tangguh , jujur dan bertanggung jawab dalam menghadapi era perdagangan bebas yang penuh dengan persaingan melalui penyediaan produk yang berkualitas. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), merupakan suatu lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa konsumen diluar pengadilan.BPSK dibentuk melalui Keppres No. 90 Tahun 2001 yang diharapkan dapat melaksanakan penyelenggaraan perlindungan konsumen melalui kegiatan penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dan konsumen secara adil dan seimbang.