Erwin Pradian
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

Published : 26 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 26 Documents
Search

Efek Penambahan Deksametason 5 mg pada Bupivakain 0,5% terhadap Mula dan Lama Kerja Blokade Sensorik Anestesia Epidural untuk Operasi Ortopedi Ekstremitas Bawah Irwan, -; Pradian, Erwin; Bisri, Tatang
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 3, No 2 (2015)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1333.43 KB)

Abstract

Operasi ortopedi ekstremitas bawah dengan anestesia regional epidural memiliki kelemahan yaitu mula kerja yang lama. Penelitian ini bertujuan melihat efek penambahan 5 mg deksametason pada bupivakain 0,5% terhadap mula kerja dan lama kerja blokade sensoris. Penelitian prospektif eksperimental menggunakan uji klinis acak buta ganda pada 32 pasien dengan American Society of Anesthesiologist (ASA) I–II yang menjalani operasi ortopedi ekstremitas bawah dengan anestesi epidural di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Februari–Mei 2014. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling dan random blok permutasi. Kelompok I, deksametason 5 mg ditambahkan ke dalam bupivakain 0,5% 15 mL. Kelompok II, bupivakain 0,5% ditambah NaCl 0,9% 15 mL. Hasil penelitian diuji secara statistika menggunakan uji-t dan Uji Mann-Whitney. Hasil penelitian menunjukkan mula kerja blokade sensorik kelompok I tidak lebih cepat, yaitu 13,56 menit dibanding dengan kelompok II, yaitu 14,31 menit (p=0,27). Lama kerja blokade sensorik kelompok I lebih lama, yaitu 399,81 menit dibanding dengan kelompok II, yaitu 227,43 menit (p=0,00). Simpulan, penambahan deksametason 5 mg pada bupivakain 0,5% 15 mL tidak mempercepat mula kerja blokade sensorik tetapi memperpanjang lama kerja blokade sensorik bupivakain 0,5% yang diberikan secara epidural.Kata kunci: Anestesi epidural, blokade sensorik, bupivakain, deksametason, lama kerja, mula kerjaEffect of Dexamethasone 5 mg Addition to Bupivacaine 0.5% on Onset and Duration of Sensory Blockade in Epidural Anesthesia for Lower Extremity Orthopedic SurgeryLower extremity orthopedic surgery performed with regional epidural anesthesia was still have weakness which is long onset of time. This study was conducted to determine the onset time and duration time of sensory blockade epidural anesthesia  between the use of dexamethasone 5 mg addition to 0.5% bupivacaine for lower limb orthophedic surgery. The study was using randomized controlled blind method on 32 ASA I–II patients undergoing lower limb orthopedic surgery under epidural anesthesia. Consecutive sampling and random allocation of block of permutation groups was applied. In group I, dexamethasone 5 mg was added to bupivacaine 0.5% 15 mL while in group II NaCl 1 mL was added to bupivacaine 0.5% 15 mL. The results were statistically tested using t-test and Mann-Whitney test. It was shown that the onset time of sensory blockade was not significantly faster when dexamethasone was added in bupivacaine 0.5%, 13.56 minutes versus 14.31 minutes (p=0.27). The duration time of sensory blockade in dexamethasone in bupivacaine 0.5% group was longer 399.81 minutes, compared to the bupivacaine 0.5% group, 227.43 minutes (p=0.00). In conclusions, the addition of dexamethasone 5 mg to bupivacaine 0.5% 15 mL does not produced faster onset time. However, the duration sensory blockade time is longer than bupivacaine 0,5% 15 mL is usedKey words: Bupivacaine, dexamethasone, duration time, epidural anesthesia, onset, sensory blockade DOI: 10.15851/jap.v3n2.577
Pengaruh Tes Elevasi Tungkai Secara Pasif terhadap Variasi Pletismograf untuk Penilaian Responsivitas Cairan pada Pasien yang Dilakukan Pembedahan dengan Anestesi Umum Susanto, Bahtiar; Pradian, Erwin; Bisri, Tatang
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 4, No 2 (2016)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (459.826 KB)

Abstract

Penilaian responsivitas terhadap cairan sangat berguna untuk optimalisasi cairan perioperatif. Variasi pletismograf (respiratory variations in the pulse oximetry plethysmographic waveform amplitude; ∆POP) dan elevasi tungkai secara pasif (passive leg raising; PLR) merupakan parameter dinamis yang akurat dalam menilai responsivitas terhadap cairan. Tujuan penelitian ini adalah menilai pengaruh elevasi tungkai secara pasif terhadap variasi pletismograf untuk menilai responsivitas terhadap cairan pada pasien setelah induksi anestesi umum. Penelitian ini merupakan uji klinis pada 30 pasien yang menjalani operasi dengan anestesi umum, usia 18–60 tahun, dan status fisik American society of anesthesiologist (ASA) I atau II pada bulan Februari–Maret 2015 di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini diuji dengan uji-t berpasangan, Wilcoxon, dan uji ANOVA. Setelah dilakukan induksi anestesi umum, variasi pletismograf dicatat sebelum, saat, dan sesudah elevasi tungkai secara pasif. Hasil penelitian menunjukkan efek elevasi tungkai secara pasif akan menurunkan variasi pletismograf. Penurunan variasi pletismograf yang signifikan pada responden yang memiliki responsivitas terhadap cairan 6/30 dengan variasi pletismograf >13% sebelum dilakukan elevasi tungkai secara pasif. Perbedaan ini bermakna secara statistik (p<0,05). Elevasi tungkai secara pasif akan menurunkan variasi pletismograf yang dapat digunakan untuk menilai responsivitas terhadap cairan pada pasien yang menjalani operasi dengan anestesi umum.Kata kunci: Anestesi umum, elevasi tungkai secara pasif, responsivitas terhadap cairan, variasi pletismografEffect of Passive Leg Raising Test on Respiratory Variations in Pulse Oximetry Plethysmographic Waveform in Assessing Fluid Responsiveness of Surgery Patients under General AnesthesiaFluid responsiveness assessments have shown to be an important matter in perioperative fluid optimization. Respiratory variations in pulse oximetry plethysmographic waveform amplitude (∆POP) and passive leg raising have been shown as promising indicators due to the ability to predict fluid responsiveness. The aim of this study was to assess the effect of passive leg raising (PLR) on ∆POP to predict fluid responsiveness in mechanically ventilated patients after induction of general anesthesia. This was a trialon 30 patients referred for surgery under general anesthesia, aged 18–60 years and ASA physical status I or II, during the period of February–March 2015 at the Central Surgical Installation of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. Patients were studied immediately after the induction of general anesthesia. This trial use the paired t test, Wilcoxon test, and ANOVA for statistical analysis. Vital signs and ∆POP were recorded at baseline, before, and after PLR. PLR induced changes in ∆POP with a ∆POP greater than 13% compared to the initial PLR allowed discrimination between responders and nonresponders to 6/30. There was a significant decrease in ∆POP in responders when compared to the nonresponders(p<0.05). ∆POP can be reduced by PLR and fluid responsiveness can be predicted noninvasively in mechanically ventilated patients during general anesthesia.Key words: Fluid responsiveness, general anesthesia, passive leg raising, respiratory variations in the pulse oximetry plethysmographic waveform amplitude DOI: 10.15851/jap.v4n2.821
Lactate Clearance sebagai Prediktor Mortalitas pada Pasien Sepsis Berat dan Syok Septik di Intesive Care Unit Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Kurniawan, Muhammad Budi; Pradian, Erwin; Nawawi, Muthalib
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 5, No 1 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (599.202 KB) | DOI: 10.15851/jap.v5n1.1003

Abstract

Tingkat mortalitas pasien sepsis berat di Intensive Care Unit (ICU) dihitung dengan menggunakan skor acute physiology and chronic health evaluation (APACHE II), namun memerlukan pemeriksaan yang banyak serta kompleks. Penurunan lactate clearance berhubungan dengan kondisi mikrosirkulasi yang buruk. Lactate clearance diharapkan memiliki kemampuan untuk menentukan tingkat mortalitas pasien sepsis berat dan syok septik. Penelitian ini bertujuan mengetahui kegunaan lactate clearance sebagai prediktor mortalitas pasien sepsis berat dan syok sepsis di ICU Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung yang lebih mudah dan efisien. Penelitian ini dilakukan secara prospektif observasional cohort terhadap 51 orang. Penelitian dilakukan di ICU RSHS Bandung dari bulan September–November 2015 dengan uji Mann Whitney pada data numerik dan Exact Fisher pada data kategorik. Setiap subjek penelitian diperiksa nilai laktat secara berkelanjutan pada jam pertama (H0) dan jam ke-24, kemudian dihitung nilai lactate clearance dengan rumus laktat awal-laktat serial/laktat awal x 100%. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok berdasar atas nilai lactate clearance rendah (<40%) dan nilai lactate clearance tinggi (>40%). Hasil penelitian menunujukkan bahwa lactate clearance memiliki sensisitivitas 100%; spesifisitas 88,4%; nilai duga positif 89,2%; nilai duga negatif 100%; rasio kemungkinan positif 86,6%; rasio kemungkinan negatif 0 dan akurasi 94,11%. Simpulan penilitian adalah lactate clearance dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas pada pasien sepsis berat dan syok septik di ICU RSHS Bandung.Kata kunci: Lactate clearance, mortalitas, sepsisLactate Clearance as Mortality Predictor in Severe Sepsis and Septic Shock Patient in Intensive Care Unit Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung Mortality incidence predictor used for sepsis and shock septic in Intensive Care Unit (ICU) were measured using Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II score, which needs many complex examinations. The purpose of this study was to examine lactate clearance as an alternative mortality predictor. Decreased percentage of lactate clearance is related to poor perfusion in microcirculation which leads to the possibility that lactate clearance can be used to predict mortality incidence in severe sepsis and shock septic patients in the ICU of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. This was a prospective observational cohort study involving 51 patients who met sepsis and shock septic criteria during the period of September to November 2015. Lactate was examined continuously in all patients at first hour (H0) and H24 and then the lactate clearance value was measured using the following formula: lactate initial–lactate delayed/lactate initial x100%. Subjects were divided into two groups according to the low lactate clearance(<40%) and high lactate clearance (>40%). The Mann Whitney test was used for numeric data and exact Fisher test was used for categorical data. Results showed that the lactate clearance had a sensitivity of 100%, specificity of 88.4%, positive predictive value of 89.2%, negative predictive value of 100%, likelihood ratio positive of 86.6%, likelihood ratio negative of 0% and accuracy of 94.11%. Thus, lactate clearance can be used to predict mortality incidence in severe sepsis and shock septic patients.Key words: Lactate clearance, mortality, sepsis 
Perbandingan Antiseptik Chlorhexidine Alkohol dengan Povidone Iodine terhadap Penurunan Pertumbuhan Koloni Bakteri pada Kateter Epidural yang Dipasang di Kamar Operasi Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Barzah, Andie Muhari; Pradian, Erwin; Bisri, Tatang
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 4, No 1 (2016)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (569.915 KB) | DOI: 10.15851/jap.v4n1.742

Abstract

Chlorhexidine alkohol dan povidone iodine digunakan sebagai zat antiseptik pada anestesi epidural. Aseptik dan antiseptik sebelum tindakan epidural harus dilakukan secara optimal untuk menurunkan komplikasi infeksi pascatindakan. Tujuan penelitian ini menilai perbedaan penurunan pertumbuhan koloni bakteri pada kateter epidural di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian single blind randomized controlled trials pada 76 pasien yang dilakukan anestesi epidural di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan November 2014–Februari 2015. Subjek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu chlorhexidine alkohol dan povidone iodine. Dilakukan pemeriksaan kultur apus kulit sebelum dan sesudah tindakan aseptik dan antiseptik kemudian dilakukan pemeriksaan kultur kateter epidural pada hari ke-3 setelah pemasangan. Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan uji-t, chi-kuadrat, dan Uji Mann-Whitney. Hasil penelitian ini didapatkan kultur positif bakteri dari pemeriksaan sebelum tindakan aseptik dan antiseptik 33 dari 38 pada chlorhexidine alkohol dan 35 dari 38 pada povidone iodine. Kultur positif bakteri menjadi 4 dari 38 pada chlorhexidine alkohol dan povidone iodine setelah pemberian aseptik dan antiseptik. Kultur pascapemasangan kateter epidural positif bakteri 7 dari 38 pada chlorhexidine alkohol dan 5 dari 38 pada povidone iodine (p<0,05). Simpulan penelitian ini menunjukkan zat antiseptik chlorhexidine alkohol lebih lebih rendah pertumbuhan kumannya bila dibanding dengan povidone iodine pada kateter epidural.Kata kunci: Antiseptik, chlorhexidine alkohol, povidone iodineComparison between Chlorhexidine-Alcohol and Povidone Iodine in Reducing Catheter Tip Bacterial Colonization in Dr. Hasan Sadikin General Hospital BandungAbstractChlorhexidine-alcohol and povidone iodine are commonly used as antiseptic solutions in epidural anesthesia. Aseptic and antiseptic procedures must be performed before any epidural procedure to lower infection complications after the procedure. The objective of this study was to investigate the lowest bacterial growth on epidural catheter after chlorhexidine-alcohol or povidone iodine application as the antiseptic solution in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. This was a single blind randomized controlled trial on 78 patients underwent epidural anesthesia in the period of November 2014–February 2015. The subjects were divided in to 2 groups, each consisted of 38 patients. Aseptic and antiseptic procedures were performed using chlorhexidine-alcohol or povidone iodine with skin swab culture collected before and after the procedure. Epidural catheter culture was performed in the 3rd days after the installment. Data were analyzed using t-test, chi-square test, and Mann Whitney test. The result of this study showed positive bacterial cultures prior to aseptic and antiseptics, 33 from 38 in chlorhexidine-alcohol and 35 from 38 in povidone iodine. Positive bacterial cultures became 4 from 38, both in chlorhexidine-alcohol and povidone iodine. Positive bacterial culture on the 3rd days after epidural catheter placement was 7 from 38 after chlorhexidine-alcohol and 5 from 38 after povidone iodine (p< 0.05). It is concluded that the ability of chlorhexidine-alcohol to reduce bacterial growth on epidural catheter is lower than povidone-iodine with regards to reducing infection after catheter epidural installment.Key words: Antiseptic, chlorhexidine-alcohol, povidone iodine DOI: 10.15851/jap.v4n1.742
Perbandingan Pemberian Lidokain 2% 1,5 mg/kgBB Intravena dengan Propofol 0,3 mg/kgBB Intravena Setelah Anestesi Umum Dihentikan terhadap Kejadian Batuk Saat Ekstubasi Bangun Gunawan, Aris; Pradian, Erwin; Sitanggang, Ruli Herman
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 5, No 2 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (690.983 KB) | DOI: 10.15851/jap.v5n2.1110

Abstract

Pipa endotrakeal (endotracheal tube; ETT) sering digunakan pada prosedur anestesi umum. Batuk saat ekstubasi merupakan komplikasi yang sering terjadi karena iritasi jalan napas akibat pelepasan ETT. Penggunaan lidokain intravena dan propofol intravena telah terbukti mampu menurunkan angka kejadian batuk saat ekstubasi. Tujuan penelitian ini membandingkan angka kejadian batuk saat ekstubasi bangun pemberian lidokain 2% 1,5 mg/kgBB intravena dengan propofol 0,3 mg/kgBB intravena dalam anestesi umum yang diberikan 3 menit setelah sevofluran dan N2O dihentikan pada akhir operasi. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2016 sampai dengan Februari  2017 di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental dengan teknik acak terkontrol buta tunggal terhadap 72 subjek yang terdiri atas kelompok lidokain (n=36) dan kelompok propofol (n=36). Analisis statisika menggunakan uji chi-square dengan bantuan aplikasi statistical product and service solution (SPSS) versi 20.0 for windows taraf signifikasi 5% dan dianggap bermakna bila p<0,05. Pada hasil penelitian ini didapatkan angka kejadian batuk pada pemberian lidokain 2% 1,5 mg/kgBB lebih rendah dibanding dengan  pemberian propofol 0,3 mg/kgBB (p<0,05) dengan persentase 19,4% dan 44,4%. Simpulan penelitian ini adalah pemberian lidokain 2% 1,5 mg/kgBB intravena lebih baik dibanding dengan propofol 0,3 mg/kgBB intravena untuk menurunkan kejadian batuk pada saat ekstabasi.Kata kunci: Batuk, ekstubasi, lidokain, propofol Comparison between Intravenous Administration of 2% Lidocaine 1,5 mg/kgBW and Propofol 0,3 mg/kgBW after Discontinuation of General Anesthesia against Cough Incidence During Awake ExtubationEndotracheal tube (ETT) is often used in general anesthesia procedures. Coughing at the time of  extubation is a complication that often occurs due to respiratory irritation due to the release of ETT. The use of intravenous lidocaine and intravenous propofol has been shown to decrease the incidence of coughing at the time of extubation. This study aimed to compare the incidence of coughing during awake extubation between 2% of lidocaine 1.5 mg/kgBW intravenously with propofol administered 0.3 mg/kgBW intravenously in general anesthesia 3 minutes after sevoflurane and N2O was stopped at the end of the surgery. This study was conducted from December 2016 until February 2017 in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. The research was done with experimental method with a single blind  randomized controlled trial and was carried out on 72 subjects consisting of lidocaine group (n=36) and propofol group (n=36). Statistic analysis using chi-square test with statistical product and service solution (SPSS) version 20.0 for windows with significance level 5% and considered significant if p<0,05. In the results of this study, the incidence of coughing in group of 2% of lidocaine 1.5 mg/kgBW was lower than group of propofol 0.3 mg/kgBW (p<0.05) with the respective percentages of 19.4% and 44.4%. The conclusion of this study was 2% of lidocaine 1.5 mg/kgBW intravenously is better compared to propofol 0.3 mg/kgBW intravenously to decrease the incidence of coughing at the time of extubation.Key words: Coughing, extubation, lidocaine, propofol
Perbandingan antara Penggunaan Asam Amino dan Ringer Laktat terhadap Penurunan Suhu Inti Pasien yang Menjalani Operasi Laparotomi Ginekologi dengan Anestesi Umum Hujjatulislam, Agung; Pradian, Erwin; Redjeki, Ike Sri
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 3, No 3 (2015)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (348.162 KB)

Abstract

Pemberian asam amino intravena merangsang metabolisme oksidatif sekitar 20% dan mengurangi komplikasi hipotermia pascaoperasi. Tujuan penelitian ini mengetahui efek penggunaan asam amino preoperatif terhadap suhu inti tubuh. Penelitian menggunakan metode kuantitatif intervensi dengan rancangan uji klinis acak terkontrol buta tunggal pada 40 orang pasien berusia 18−57 tahun dengan status fisik American Society of Anesthesiologists (ASA) I dan II yang menjalani operasi laparotomi ginekologi di Rumah Sakir Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Febuari–Mei 2014. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok secara acak, yaitu kelompok yang mendapat asam amino 2 mL/kgBB/jam selama 2 jam preoperasi dan kelompok kontrol yang mendapat infus Ringer laktat. Pencatatan suhu timpani dilakukan setiap 10 menit dari awal induksi hingga akhir anestesi. Data hasil penelitian diuji dengan Uji Mann-Whitney. Hasil penghitungan statistika, didapatkan suhu inti rata-rata selama anestesi pada kelompok asam amino bermakna lebih tinggi dibanding dengan kelompok kontrol (p<0,05). Penurunan suhu rata-rata pada kelompok kontrol (0,11C) bermakna, lebih besar dibanding dengan kelompok asam amino (0,08C; p<0,05). Simpulan, pemberian cairan asam amino dua jam preoperasi dapat mencegah penurunan suhu yang lebih besar dibanding dengan kelompok kontrol selama operasi ginekologi laparotomi.Kata kunci: Asam amino, hipotermia, suhu inti tubuh Comparison between Amino Acids and Ringer Lactate Infusion on Body Core Temperature Decline in Patients Undergo Gynaecological Laparotomy Surgery under General AnesthesiaIntravenous administration of amino acids stimulates about 20% oxidative metabolism and reduces postoperative complications of hypothermia. The aim of this study was to determine the effects of preoperative amino acid infusion to core temperature. This was an observational analytic study with cross-sectional design to compare the reliability using the inter-rater reliability method. Subjects were 40 patients aged 18−57 years old with physical status ASA I and II who underwent gynaecological laparotomy at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung during February–May 2014. Subjects were devided randomly into 2 groups; one group was given 2 mL/kgBW/hour amino acid infusion for 2 hours before laparotomy and another group was the control group given ringer lactate infusion. Tympani membrane temperature was taken every 10 minutes throughout the anesthetic procedure. Data were statistically analyzed using Mann-Whitney test.The result of this study was the average of core temperature during anesthesia in amino acid group was significantly higher than control group (p<0.05). The average of temperature decline in the control group (0.11oC) was significantly higher (p<0.05) than the amino acid group (0.08oC). This study concludes that amino acid infusion two hours before surgery will prevent greater decrease in temperature compared to the control group during gynecological laparotomy surgery.Key words: Amino acids, body core temperature, hypothermia DOI: 10.15851/jap.v3n3.606
Perbandingan Epidural Volume Extension 5 mL dan 10 mL Salin 0,9% pada Spinal Anestesi dengan Bupivakain 0,5% 10 mg Hiperbarik terhadap Tinggi Blok Sensorik dan Pemulihan Blok Motorik pada Seksio Sesare Putra, Reza Indra; Pradian, Erwin; Kadarsah, Rudi Kurniadi
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 4, No 1 (2016)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (420.27 KB) | DOI: 10.15851/jap.v4n1.740

Abstract

Epidural volume extension (EVE) merupakan bentuk modifikasi dari kombinasi spinal epidural dengan injeksi salin normal ke dalam rongga epidural setelah dosis intratekal. Teknik EVE meningkatkan tingkat blok sensorik yang diakibatkan efek volume saat volume cairan pada rongga epidural yang menekan dural sac dan menyebabkan penyebaran sefalad dari anestetik lokal. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji perbedaan pengaruh EVE 5 mL dan 10 mL salin 0,9% dengan menggunakan bupivakain 0,5% 10 mg terhadap tinggi blok sensorik dan pemulihan blok motorik pada pasien seksio sesarea. Penelitian dilakukan pada pertengahan September–November 2014 di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Dilakukan uji klinis acak terkontrol pada 30 pasien yang menjalani seksio sesarea (SC) dan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima EVE 10 mL dan kelompok yang menerima EVE 5 mL pada pasien yang akan dilakukan SC dengan menggunakan anestesi kombinasi spinal epidural. Penilaian ketinggian blok sensorik menggunakan uji pinprick serta penilaian pemulihan blok motorik menggunakan uji bromage score. Data hasil diuji dengan uji-t. Hasil penelitian menunjukkan pemulihan blok motorik pada subjek penelitian yang menggunakan EVE 10 mL lebih cepat pulih dibanding dengan menggunakan EVE 5 mL (p<0,001). Simpulan pada penelitian ini menunjukkan pemberian EVE 10 mL pada pasien seksio sesarea memiliki pemulihan blok motorik lebih cepat dengan ketinggian blok sensorik yang sama.Kata kunci: Blok motorik, blok sensorik, epidural volume extensionComparison between 5 mL Epidural Volume Extension and 10 mL Epidural Volume Extension by 0.9% Saline in Spinal Anesthesia with 10 mg 0.5% Hyperbaric Bupivacaine on High and Recovery Sensory Block Motor in Caesarean SectionAbstractEpidural volume extension (EVE) is a modified form of combined spinal epidural with normal saline injected into the epidural space after the intrathecal dose. EVE techniques increases the level of sensory block resulting from the volume effects when the volume of fluid in the epidural space suppresses the dural sac and causes the cephalad spread of local anesthetic. The aim of this research was to assess differences in the effects of 5 mL EVE and 10 mL EVE by 0.9% saline with 10 mg 0.5% bupivacaine on sensory block height and motor block recovery in caesarean section patients. This research was carried out from mid September to November 2014 in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. This was a randomized controlled clinical trial conducted on 30 patients who underwent caesarean section (SC) and divided randomly into two groups, namely group receiving 10 mL EVE and group receiving 5 mL EVE with a spinal epidural combination anesthesia. The assessment of sensory block height was performed using the pinprick test while bromage score test were used for motor block recovery. The data was analyzed using t test. The results showed a faster recovery of motor block in the research subjects using 10 mL EVE compared to those using 5 mL EVE (p<0.001). The conclusion from this study is that the administration of 10 mL EVE in patients who underwent caesarean section leads to a faster motor block recovery with the same sensory block height.Key words: Block motor, sensory block, epidural volume extension DOI: 10.15851/jap.v4n1.740
Penggunaan Skor Apfel Sebagai Prediktor Kejadian Mual dan Muntah Pascaoperasi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Hendro, Rachmad Try; Pradian, Erwin; Indriasari, Indriasari
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (818.136 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n2.1425

Abstract

Post operative nausea and vomiting (PONV) merupakan kejadian mual dan atau muntah setelah tindakan operasi menggunakan anestesi pada 24 jam pertama pascaoperasi. Kejadian PONV dilaporkan memiliki perbedaan pada berbagai bangsa dan etnis. Skor Apfel merupakan salah satu prediktor PONV yang objektif dan paling sederhana. Sebelum menggunakannya sebagai prosedur rutin di RSHS, dilakukan penelitian ini yang bertujuan menilai apakah skor Apfel dapat digunakan sebagai prediktor PONV pada pasien yang menjalani operasi dengan anestesi umum di RSHS. Dilakukan suatu studi diagnostik secara potong lintang pada 100 pasien yang menjalani operasi elektif dengan anestesi umum di RSHS pada bulan September–Oktober 2017. Subjek penelitian dikelompokkan dalam 5 kelompok skor Apfel, yaitu perempuan, tidak merokok, menggunakan opioid pascaoperasi, dan memiliki riwayat PONV sebelumnya. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat 42% angka kejadian PONV, terdiri atas skor Apfel 0 (8,3%), skor 1 (19,04%), skor 2 (36,6%), skor 3 (63,63%), dan skor 4 (80%) yang sesuai dengan nilai prediktif skor Apfel. Angka kejadian PONV pada skor Apfel risiko tinggi (≥3) 61,9%, bermakna secara signifikan dapat membedakan kejadian PONV dengan nilai sensitivitas 61,9%, spesifisitas 81,0%, dan nilai AUC 0,777. Hasil ini menunjukkan bahwa skor Apfel memiliki validitas yang baik untuk membedakan antara pasien yang akan mengalami PONV dan yang tidak. Simpulan penelitian ini, skor Apfel dapat dipakai untuk memprediksi kejadian PONV di RSHS. Kata kunci: Post operative nausea and vomiting, prediktor, skor Apfel, validitas  Use of Apfel Score as a Predictor for Post-Post-operative Nausea and Vomiting in Dr. Hasan Sadikin General HospitalPost-operative nausea and vomiting (PONV) is defined as any nausea, retching, or vomiting that occurs  during the first 24 hour after surgery. Previous studies have reported that nationality and ethnicity influence the incidence of PONV. Apfel score is one of the objective and best simplified predicting PONV scoring systems available. Until recently, no predicting PONV score is used in Dr. Hasan Sadikin General Hospital (RSHS). Before implementing any scoring system as a protocol in this hospital, validation of the clinical risk assessment score in the hospital setu is needed. This was a cross-sectional diagnostic study on 100 patients underwentpost- various elective surgeries under general anesthesia. Subjects were divided into five groups, based on the Apfel risk scoring system. Factors observed consisted of four factors: female gender, nonsmoking status, post-operative use of opioids, and history of PONV or motion sickness. The results  were analyzed for total incidence of PONV in each Apfel score group. Of 100 patients assessed, a total of 42% experienced PONV. Patients  in Apfel score 0, 1, 2, 3, and 4 presented a PONV incidence score of 8.3%, 19.04%, 36.6%, 63.63%, and 80%, respectively. This incidence corresponds to the previous predicted values Apfel score. The incidence of PONV in patients  under high risk Apfel score (≥3) was 61.9%, showing a significant correlation with PONV. The sensitivity was 61.9%, the specificity was 81.0%, and the AUC value was 0.777. This confirms that Apfel score has good validity to predict the incidence of PONV. In conclusion, Apfel scoring system is useful for identifying patients with PONV in RSHS.Key words: Apfel score, post-post-operative nausea and vomiting, predictor, validity
Perbandingan Bupivakain 0,25% dengan Kombinasi Bupivakain 0,25% dan Deksametason 8 mg pada Blok Transversus Abdominis Plane dengan Panduan Ultrasonografi sebagai Analgesia Pascahisterektomi Delis, Eddo Alan; Pradian, Erwin; Yadi, Dedi Fitri
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (843.499 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n2.1240

Abstract

Analgesia dinding abdomen anterior dan lateral dapat dilakukan dengan blok transversus abdominis plane (TAP). Penelitian ini bertujuan menilai waktu kebutuhan analgesik pertama dan skor nyeri 2, 4, 6, 12, 24 jam pascahisterektomi antara bupivakain 0,25% dengan kombinasi bupivakain 0,25% dan deksametason 8 mg pada blok TAP. Penelitian menggunakan uji klinis acak terkontrol buta tunggal, dilakukan di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung pada bulan Oktober–Desember 2017. Pasien dibagi menjadi grup bupivakain 0,25% (grup B, n=20) dan grup kombinasi bupivakain 0,25% deksametason 8 mg (grup BD, n=20). Uji statistik menggunakan uji-t berpasangan, Uji Wilcoxon, dan uji chi-square. Hasil penelitian mengungkapkan waktu kebutuhan analgesik pertama lebih lama pada grup BD (866,45±98,11 menit) dibanding dengan grup B (352,75±43,32 menit) dengan perbedaan signifikan (p<0,05). Median skor nyeri  pascahisterektomi grup BD pada 4 jam (1), 6 jam (2), 12 jam (2), dan 24 jam (2) lebih rendah dibanding dengan grup B dengan median skor nyeri 4 jam (2), 6 jam (3), 12 jam (4), dan 24 jam (3), dengan perbedaan signifikan (p<0,05). Simpulan penelitian ini adalah kombinasi bupivakain 0,25% dan deksametason 8 mg pada blok TAP menghasilkan waktu kebutuhan analgesik pertama lebih lama dan skor nyeri pascahisterektomi lebih rendah dibanding dengan bupivakain 0,25%.Kata kunci: Blok transversus abdominis plane, deksametason, skor nyeri, waktu kebutuhan analgesik pertamaComparison between 0.25% Bupivacaine  and Combination of 0.25% Bupivacaine and 8 mg Dexamethasone  on Transversus Abdominis Plane Block Ultrasound-guided as Post- Hysterectomy Analgesia Analgesia for  anterior and lateral abdominal walls can be provided through transversus abdominis plane (TAP) block. This study aimed to evaluate the timing of first analgesic requirement and post- hysterectomy pain scores at 2, 4, 12, 24 hours between 0.25% bupivacaine and combination of 0.25% bupivacaine and 8 mg dexamethasone on TAP block. This was a randomized single-blind controlled trial study on patients Dr. Hasan Sadikin Hospital (RSHS) Bandung in the period of October–December 2017. Patients were randomly divided into 0.25% bupivacaine (B group, n=20) and o0.25% bupivacaine 8 mg dexamethasone combination (BD group, n=20). Statistical test was performed using paired t test, Wilcoxon test, and chi-square test. It was revealed that the time to first analgesic requirement was longer in BD group (866.45±98.11 minutes) than in B group (352.75±43.32 minutes) with a significant difference (p<0.05). The post-hysterectomy pain score medians in BD group at 4 hours (1), 6 hours (2), 12 hours (2), and 24 hours (2) were lower than those of B group with a significant difference (p<0.05). Therefore, 0.25% bupivacaine and 8 mg dexamethasone combination for ultrasound-guided TAP block presents longer time to first analgesic requirement and lower pain score compared to  0.25%. bupivacaine Key words:  Dexamethasone, pain  score, time  to  first  analgesic requirement,   transversus abdominis plane  block 
Perbandingan Keberhasilan dan Waktu Intubasi Endotrakeal pada Manekin antara Bantal Intubasi Standar dengan Bantal Intubasi Modifikasi Permana, Sendy Setiawan; Pradian, Erwin; Yadi, Dedi Fitri
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 3 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1111.488 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n3.1363

Abstract

Intubasi pipa endotrakeal adalah standar baku manajemen jalan napas. Direct laryngoscopy dengan memposisikan kepala dan leher secara sniffing position menggunaan bantal agar visualisasi glotis optimal merupakan kunci untuk melakukan tindakan intubasi endotrakea. Tujuan penelitian adalah membandingkan keberhasilan dan lama waktu intubasi endotrakea pada manekin menggunakan bantal intubasi standar dan bantal intubasi modifikas. Penelitian menggunakan metode crossover randomized study dengan teknik nonprobability sampling oleh 31 orang residen anestesi pada manekin di ruang skill lab Departemen Anestesiologi dan Terapi Intesif FK Unpad  RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode maret 2018. Penelitian dibagi menjadi kelompok bantal intubasi standar (A) melakukan intubasi endotrakeal menggunakan bantal intubasi standar dilanjutkan menggunakan bantal intubasi modifikasi. Kelompok bantal modifikasi (B) melakukan intubasi endotrakeal dengan bantal intubasi modifikasi dilanjutkan menggunakan bantal intubasi standar, dinilai keberhasilan dan lama waktu intubasi. Data dianalisis dengan Uji t dan Uji Mann-Whitney dengan p<0,05 dianggap bermakna. Analisis data statistik menunjukkan angka keberhasilan yang sama pada kedua kelompok, sedangkan lama waktu intubasi endotrakea lebih singkat pada kelompok bantal modifikasi dibandingkan dengan kelompok bantal standar dengan perbedaan bermakna (p<0,05). Simpulan penelitian menunjukkan waktu intubasi menggunakan bantal intubasi modifikasi lebih singkat dibanding dengan menggunakan bantal standar, sedangan keberhasilan intubasi sama pada kedua kelompok.