Claim Missing Document
Check
Articles

Found 23 Documents
Search

Kewajiban Upaya Nonajudikasi Sebagai Syarat Mendaftarkan Gugatan Guna Mewujudkan Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan (Tinjauan atas Perma No. 1 Tahun 2008) Sufiarina, Sufiarina; Fakhirah, Efa Laela
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7131.735 KB)

Abstract

AbstrakPerma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan mewajibkan hakim untuk mengupayakan perdamaian bagi pihak yang bersengketa di pengadilan. Dengan kata lain, kewajiban mediasi ditujukan bagi sengketa yang sudah terdaftar di pengadilan, tetapi tidak berpotensi menekan jumlah sengketa di pengadilan. Penyelesaian sengketa yang masuk ke pengadilan kemungkinan dapat ditekan dengan cara membebankan persyaratan imperatif tertentu mengingat penyelesaian sengketa perdata di pengadilan bersifat ultimum remedium. Ketentuan syarat imperatif itu sebagai sarana untuk membatasi sengketa yang terdaftar di pengadilan. Persyaratan imperatif berupa upaya perdamaian sebelum gugatan didaftarkan ke pengadilan menarik untuk dikaji sekaligus menekan pihak-pihak yang bersengketa di pengadilan. Pengkajian dapat dilakukan dengan pendekatan norma sebagai penelitian hukum normatif melalui penelitian terhadap asas-asas hukum penyelesaian sengketa, sistematik hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, dan sejarah hukum. Melalui persyaratan upaya imperatif musyawarah mufakat oleh para pihak secara optimal sebelum gugatan dimajukan, diharapkan sengketa yang harus diselesaikan oleh pengadilan dapat menjadi berkurang dan pihak yang berselisih tidak lagi berada dalam posisi saling berhadapan sebagai musuh yang berseteru.Kata Kunci: non ajudikasi, ultimum remedium, alternative dispute resolution (ADR), mediasi, asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Non-Adjudicative Proceedings as a Requirement for Lawsuit Registration to Create a Simple, Rapid, and Low-priced Court Proceedings (An Overview of the Supreme Court Regulation No. 1 of 2008)AbstractSupreme Court Regulation No. 1 of 2008 on the Mediation Procedure in Court requires the judge to seek peace for the parties having dispute in court. This means the mediation obligation is aimed towards disputes that have been registered in the court; however, it does not potentially reduce the number of incoming disputes. The number of settlement of disputes that enters the court can be suppressed by fulfilling certain imperative requirements considering the settlement of civil disputes in court as ultimum remedium. The imperative requirement in the form of a settlement before the lawsuit is registered for the court is an interesting topic to be discussed, as well as strengthening the parties having dispute in court. This study is assessed by normative approaches of normative law through researches on legal principles on dispute settlement, systematic law, vertical and horizontal levels of synchronization, comparative law, and legal history. Through the effort of the imperative requirement, an optimal deliberation to reach a consensus by parties in dispute before the lawsuit is brought forward is expected to reduce the number of disputes entering the court; resulting in the disputing parties no longer having to be put under in the situation of facing one another as hostile enemies.Keywords: non-adjudication, ultimum remedium, alternative dispute resolution (ADR), mediation, simple, rapid, and low-priced court proceedings. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a7
Upaya Mewujudkan Keterwakilan Perempuan di Parlemen dalam Rangka Mendukung Kebijakan Affirmative Action Quota 30 Persen Sufiarina, Sufiarina
Melayunesia Law Vol 2, No 2 (2018): Melayunesia Law
Publisher : Magister (S2) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30652/ml.v2i2.5662

Abstract

This article examines the efforts to realize the policy of women's representation in parliament at least 30%. The study was conducted on a normative juridical with the data provided in various forms of material legal materials. Several articles in Act Number 7 of 2017 on General Election has sought the representation of women in parliament to affirmative action policies 30 percent quota. This policy has been initiated since the election in 2004, but until 2014, the achievement of a minimum 30% quota for women has not been fulfilled. When viewed from the perspective of voters there is the balance between the number of male voters and the number of women voters in the legislative elections, at least on the implementation of the legislative elections in 2014. However, it has not achieved the balance of representation of women and men in parliament. The existence of a balance in the number of male voters and women candidates on election voters list should be an impact on the balance representation of men and women in parliament so that the policy of affirmative action quota of 30% can be realized. Necessary efforts to improve the sensitivity of women in exercising their voting rights and the right to choose either to select an affirmative action policy in order to realize a 30% quota in parliament.
Gashb and Itlaf Arrangements in KHES and Authority of Justice (Review of Chapter XV of Book II of KHES) Sufiarina, Sufiarina; Sudrajat, Herman; Mahmud, Hamidullah
Brawijaya Law Journal Vol 7, No 1 (2020): Contitutional Issues: Economic, Social and Cultural Rights
Publisher : Faculty of Law, Universitas Brawijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.blj.2020.007.01.09

Abstract

As a guide for judges in the Religious Court, the Supreme Court has issued Perma No.2 of 2008 concerning the Compilation of Sharia Economic Law (KHES). It contained Gashb and Itlaf, in Book II about the Covenant, whereas Gashb and Itlaf have interpreted as deprivation and destruction. Briefly, Gashb and Itlaf seem to be an offence because of the phrase taking or destroying someone else's property. Offence in the field of Islamic economics is the absolute authority of the State Court. For this reason, it is necessary to examine whether Gashb and Itlaf included in the context of Islamic economics. It also needs to be examined whether Gashb and Itlaf are the absolute authority of the Religious Court. Normative juridical research carried out by discussing Book II of KHES, specifically Chapter XV. It then analysed with the absolute competence of the Religious court, the provisions of Article 49 of the Law of Religious Court. The analysis complemented by a study of legal principles in Islamic economics. Comparisons also made with the concepts of legal relations in the Civil Code, especially regarding the binding and offence in the Criminal Code.The research results of Gashb and Itlaf do not originate from the contract and do not include business activities with Islamic economic principles. Thus Gashb and Itlaf are not included in the absolute authority of the Religious Court. Gashb and Itlaf are not intended as offences because the sanctions are compensation claims. Claims are filed based on lawsuits that violate the law and become the absolute authority of the State Court. Placement of Gashb and Itlaf in KHES is wrong because it does not include Islamic economic activities, so it must have removed from KHES.
FORCE MAJEURE DAN NOTOIR FEITEN ATAS KEBIJAKAN PSBB COVID-19 Sufiarina; Wahyuni, Sri
Jurnal Hukum Sasana Vol. 6 No. 1 (2020): Jurnal Hukum Sasana
Publisher : Faculty of Law, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/sasana.v6i1.209

Abstract

Wabah Covid-19 sebagai pandemi yang menular secara cepat dan masif. Satu-satunya cara memutus mata rantai penularan melalui pembatasan pergerakan orang. Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 guna melindungi masyarakat. Di sisi lain pemberlakuan kebijakan PSBB Covid-19 justru menimbulkan kesulitan ekonomi bagi beberapa golongan masyarakat. Seperti perusahaan transportasi, pariwisata, hotel, restoran, pedagang harian dan lainnya. Tidak sedikit pula perusahaan yang melakukan PHK atau merumahkan karyawannya. Kesulitan ekonomi membawa akibat pelaksanaan perjanjian yang sebelumnya telah berjalan lancar, tiba-tiba tidak dapat lagi dipenuhi karena debitor mengalami pengurangan atau bahkan kehilangan penghasilan. Berbagai kewajiban berdasarkan perjanjian tidak lagi dapat dipenuhi. Hukum memandang hal yang menyebabkan perjanjian tidak terpenuhi yaitu karena wanprestasi atau karena force majeure. Perlu dikaji apakah PSBB Covid-19 dapat dijadikan force majeure oleh debitor, bagaimaan pembuktian force majeure PSBB Covid-19 mengingat adanya adagium feiten notoir, serta akibat PSBB Covid-19 sebagai force majeure. Untuk mengkajinya dilakukan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan juga pendekatan konseptual terhadap force majeure. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PSBB Covid-19 tidak melekat secara otomatis pada semua debitor tetapi harus dibuktikan secara personal kepada kreditor. PSBB Covid-19 merupaka force majeure yang relatif dan mengakibatkan suatu ketika kewajiban debitor kembali dapat ditagih kreditor.
FORCE MAJEURE DAN NOTOIR FEITEN ATAS KEBIJAKAN PSBB COVID-19 Sufiarina; Wahyuni, Sri
Jurnal Hukum Sasana Vol. 6 No. 1 (2020): Jurnal Hukum Sasana
Publisher : Faculty of Law, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/sasana.v6i1.209

Abstract

Wabah Covid-19 sebagai pandemi yang menular secara cepat dan masif. Satu-satunya cara memutus mata rantai penularan melalui pembatasan pergerakan orang. Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 guna melindungi masyarakat. Di sisi lain pemberlakuan kebijakan PSBB Covid-19 justru menimbulkan kesulitan ekonomi bagi beberapa golongan masyarakat. Seperti perusahaan transportasi, pariwisata, hotel, restoran, pedagang harian dan lainnya. Tidak sedikit pula perusahaan yang melakukan PHK atau merumahkan karyawannya. Kesulitan ekonomi membawa akibat pelaksanaan perjanjian yang sebelumnya telah berjalan lancar, tiba-tiba tidak dapat lagi dipenuhi karena debitor mengalami pengurangan atau bahkan kehilangan penghasilan. Berbagai kewajiban berdasarkan perjanjian tidak lagi dapat dipenuhi. Hukum memandang hal yang menyebabkan perjanjian tidak terpenuhi yaitu karena wanprestasi atau karena force majeure. Perlu dikaji apakah PSBB Covid-19 dapat dijadikan force majeure oleh debitor, bagaimaan pembuktian force majeure PSBB Covid-19 mengingat adanya adagium feiten notoir, serta akibat PSBB Covid-19 sebagai force majeure. Untuk mengkajinya dilakukan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan juga pendekatan konseptual terhadap force majeure. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PSBB Covid-19 tidak melekat secara otomatis pada semua debitor tetapi harus dibuktikan secara personal kepada kreditor. PSBB Covid-19 merupaka force majeure yang relatif dan mengakibatkan suatu ketika kewajiban debitor kembali dapat ditagih kreditor.
PERNYATAAN PERKAWINAN PUTUS SEBAGAI PETITUM GUGATAN PERCERAIAN (Analisa Perkara No. 645/Pdt.G/2019/PN. Jkt.Sel) Sufiarina, Sufiarina; Afdal, Hidayatul; Sudrajat, Herman
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 8, No 1 (2022): Januari - Juni 2022
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v8i1.172

Abstract

Perkawinan adalah ikatan suci, berupa ikatan lahir bathin guna membina mahligai rumah tangga. Kenyataannya tidak semua perkawinan berjalan sebagaimana yang diimpikan. Ada banyak yang diakhiri melalui perceraian. Undang-undang menghendaki untuk memutuskan perkawinan melalui perceraian harus berdasar putusan pengadilan. Untuk itu diperlukan tindakan hukum dengan cara mengajukan tuntutan ke pengadilan. Tuntutan hak dengan cara mengemukakan keadaan perkawinan dan permasalahan yang ada selaku posita diikuti dengan permintaan mengakhiri hubungan perkawinan selaku petitum. Permintaan dalam petitum akan diperiksa dan diputus pengadilan. Dikenal tiga sifat putusan pengadilan, yaitu putusan deklaratoir, constitutif dan condemnatoir. Dalam perkara No. 645/ Pdt.G/2019/PN. Jkt. Sel, penggugat antara lain minta dalam petitum agar pengadilan “menyatakan perkawinan antara penggugat dan tergugat putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya”. Perlu dikaji apakah dengan gugatan perceraian, putusan pengadilan yang diharapkan hanyalah bersifat deklaratoir semata, mengingat perkawinan sebagai suatu ikatan suci. Untuk menganalisisnya dikaji dari sifat putusan dan konsep perceraian sebagai tindakan hakim memutus ikatan perkawinan. Penyelesaiannya dilakukan dengan penelitian doktrinal berupa pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil yang didapat bahwa memutus ikatan perkawinan melalui perceraian tidak dengan putusan deklaratoir. Tetapi dengan putusan yang bersifat constitutif yaitu putusan yang mengakhiri keadaan lama dan menimbulkan keadaan baru dan mengubah status suami istri menjadi duda dan janda.
PERNYATAAN PERKAWINAN PUTUS SEBAGAI PETITUM GUGATAN PERCERAIAN (Analisa Perkara No. 645/Pdt.G/2019/PN. Jkt.Sel) Sufiarina Sufiarina; Hidayatul Afdal; Herman Sudrajat
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 8, No 1 (2022): Januari - Juni 2022
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v8i1.172

Abstract

Perkawinan adalah ikatan suci, berupa ikatan lahir bathin guna membina mahligai rumah tangga. Kenyataannya tidak semua perkawinan berjalan sebagaimana yang diimpikan. Ada banyak yang diakhiri melalui perceraian. Undang-undang menghendaki untuk memutuskan perkawinan melalui perceraian harus berdasar putusan pengadilan. Untuk itu diperlukan tindakan hukum dengan cara mengajukan tuntutan ke pengadilan. Tuntutan hak dengan cara mengemukakan keadaan perkawinan dan permasalahan yang ada selaku posita diikuti dengan permintaan mengakhiri hubungan perkawinan selaku petitum. Permintaan dalam petitum akan diperiksa dan diputus pengadilan. Dikenal tiga sifat putusan pengadilan, yaitu putusan deklaratoir, constitutif dan condemnatoir. Dalam perkara No. 645/ Pdt.G/2019/PN. Jkt. Sel, penggugat antara lain minta dalam petitum agar pengadilan “menyatakan perkawinan antara penggugat dan tergugat putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya”. Perlu dikaji apakah dengan gugatan perceraian, putusan pengadilan yang diharapkan hanyalah bersifat deklaratoir semata, mengingat perkawinan sebagai suatu ikatan suci. Untuk menganalisisnya dikaji dari sifat putusan dan konsep perceraian sebagai tindakan hakim memutus ikatan perkawinan. Penyelesaiannya dilakukan dengan penelitian doktrinal berupa pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil yang didapat bahwa memutus ikatan perkawinan melalui perceraian tidak dengan putusan deklaratoir. Tetapi dengan putusan yang bersifat constitutif yaitu putusan yang mengakhiri keadaan lama dan menimbulkan keadaan baru dan mengubah status suami istri menjadi duda dan janda.
HAK PRIORITAS DAN HAK EKSLUSIF DALAM PERLINDUNGAN HKI Sufiarina Sufiarina
Jurnal ADIL Vol 3, No 2 (2012): DESEMBER 2012
Publisher : Lembaga Penelitian Universitas YARSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (282.047 KB) | DOI: 10.33476/ajl.v3i2.811

Abstract

HKI umumnya mendapatkan perlindungan melalui pendaftaran yang melahirkanhak ekslusif. Pendaftaran memberikan perlindungan dalam batas-batas teritorialsuatu negara. Hak ekslusif dimiliki selama jangka waktu tertentu, yangmemberikan kewenangan hanya kepada si pemegang hak untuk menggunakanhaknya dan mencegah pihak lain menggunakan HKI tersebut. Namun akibatperdagangan bebas dan fasilitas internet kemungkinan hak ekslusif tersebut bisasaja digunakan oleh pihak lain di luar batas teritorial yang beriktikat tidak baikuntuk mendapatkan keuntungan dengan menggunakan hak ekslusif secara tanpahak dan melawan hukum. Kondisi ini dapat diantisipasi oleh rezim HKI melaluipenggunaan hak prioritas. Pembahasan diperoleh melalui studi kepustakaandengan menggunakan metode deskriptif analitis. Bahwa dengan pemanfaatanfasilitas hak prioritas maka hak ekslusif orang asing di suatu negara dapatdiberikan perlindungan.
HAK PRIORITAS DAN HAK EKSLUSIF DALAM PERLINDUNGAN HKI Sufiarina Sufiarina
Jurnal ADIL Vol 3, No 2 (2012): ADIL : Jurnal Hukum Desember 2012 Vol 3 No 2
Publisher : Lembaga Penelitian Universitas YARSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (282.047 KB) | DOI: 10.33476/ajl.v3i2.57

Abstract

AbstractIn general, Intellectual Property Rights (HKI)—after being registered—allow their owners to be entitled to legal protection from which exclusive rights are recognized. The registered Intellectual Right provides its owners with legal protection within their jurisdiction nationwide. The exclusive right an owner holds for a certain term of time period enables him or her to make use of it and prevents others from using it. However, the Free Trade and the Internet phenomenon may distort the exclusivity of this right beyond its physical territory, where the unscrupulous might benefit or make profit from it in an unauthorized and illegal manner. Such a condition can be anticipated by the HKI regime by exercising priority rights. The topic in this research is examined through literary study, using descriptive-analytical method. The findings suggest that exercising priority rights can secure exclusive rights of an expatriate living in a particular country.Keywords: Priority rights, exclusive rights, Intellectual Property Rights (HKI)AbstrakHKI umumnya mendapatkan perlindungan melalui pendaftaran yang melahirkan hak ekslusif. Pendaftaran memberikan perlindungan dalam batas-batas teritorial suatu negara. Hak ekslusif dimiliki selama jangka waktu tertentu, yang memberikan kewenangan hanya kepada si pemegang hak untuk menggunakan haknya dan mencegah pihak lain menggunakan HKI tersebut. Namun akibat perdagangan bebas dan fasilitas internet kemungkinan hak ekslusif tersebut bisa saja digunakan oleh pihak lain di luar batas teritorial yang beriktikat tidak baik untuk mendapatkan keuntungan dengan menggunakan hak ekslusif secara tanpa hak dan melawan hukum. Kondisi ini dapat diantisipasi oleh rezim HKI melalui penggunaan hak prioritas. Pembahasan diperoleh melalui studi kepustakaan dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Bahwa dengan pemanfaatan fasilitas hak prioritas maka hak ekslusif orang asing di suatu negara dapat diberikan perlindungan.Kata kunci : Hak Prioritas, Hak Ekslusif HKI,
Eksekusi Pengosongan Tanah Dan Bangunan Oleh Pembeli Melalui Permohonan Aanmaning Sufiarina Sufiarina; Herman Sudrajat; Widiya N Rosari
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 8, No 1 (2021)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v8i1.18559

Abstract

Aanmaning as a warning aims to give the respondent an opportunity to immediately fulfill the condemnatoir decision or fulfillment of the grosse deed that has been auctioned. In Depok District Court, the request for aanmaning was granted based on the sale and purchase certificate. The applicant is the buyer, but the land and building objects of sale and purchase are physically controlled by another party. The aanmaning petition was granted by the PN with a Decree No. 01 / Pen.Pdt / Aanm.Eks.HT / 2015 / PN. Dpk. For this reason, it is necessary to deepen whether the buyer is authorized to apply for aanmaning so that he can control the land and buildings he has purchased. In order to do this, a normative juridical study was conducted on the provisions of aanmaning and the terms of execution. The result of the research concludes that the buyer is not authorized to apply for aanmaning to protect his rights by execution. Because the execution is only based on the existence of a condemnatoir court decision or with a grosse deed that underlies the legal relationship of the parties. The court has mistakenly granted the aanmaning petition by stipulating No. 01 / Pen.Pdt / Aanm.Eks.HT / 2015 / PN.Dpk.Keywords: Aanmaning, Execution Authority, Grosse Deed, Sale And Purchase Deed. AbstrakAanmaning sebagai teguran bertujuan memberi kesempatan pada termohon agar segera memenuhi amar putusan condemnatoir atau pemenuhan grosse akta yang telah dilelang. Di PN Depok, permohonan aanmaning dikabulkan berdasar pada akta jual beli. Pemohon selaku pihak pembeli, namun tanah dan bangunan objek jual beli secara fisik dikuasai pihak lain. Permohonan aanmaning dikabulkan oleh PN dengan Penetapan No. 01/Pen.Pdt/Aanm.Eks.HT/2015/PN. Dpk. Untuk itu perlu dilakukan pendalaman apakah pembeli, berwenang mengajukan aanmaning agar dapat menguasai tanah dan bangunan yang telah dibelinya. Untuk mendalaminya, dilakukan penelitian yuridis normatif atas ketentuan aanmaning dan ketentuan eksekusi. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pembeli tidak berwenang mengajukan aanmaning untuk melindungi haknya dengan eksekusi. Karena eksekusi hanya didasarkan pada keberadaan putusan pengadilan yang bersifat condemnatoir atau dengan suatu grosse akta yang mendasari hubungan hukum para pihak. Pengadilan telah keliru mengabulkan permohonan aanmaning dengan penetapan No. 01/Pen.Pdt/Aanm.Eks.HT/2015/PN.Dpk.Kata kunci: aanmaning, kewenangan eksekusi, grosse akta, akta jual beli.