Ni Made Ayu Surasmiati
Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Bali, Indonesia

Published : 15 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

Sindrom Nistagmus Infantil -, Elvira; Wibawa, Made Dwi Surya; Surasmiati, Ni Made Ayu
Cermin Dunia Kedokteran Vol 47, No 10 (2020): Optalmologi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (300.608 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v47i10.1082

Abstract

Nistagmus berasal dari bahasa Yunani, nystagmos yang berarti mengangguk dan kata nystazein yang berarti mengantuk. Nistagmus merupakan gerakan involunter dan osilasi ritmik mata yang dapat fisiologis ataupun patologis. Angka kejadian nistagmus diperkirakan 24 per 10.000 populasiumum. Nistagmus infantil motorik atau sindrom nistagmus infantil (SNI) merupakan tipe nistagmus infantil yang paling sering.Onset dan manifestasi klinis dapat membantu diagnosis; pemeriksaan penunjang biasanya dilakukan pada usia diatas 6 bulan. Beberapa terapi di antaranya terapi optikal, terapi obat, terapi pembedahan untuk meningkatkan tajam penglihatan dan terapi pembedahan untuk merelokasi Null Zone ke posisi primer.Nystagmus, adopted from Greek nystagmos, means nodding and nystazein means sleepy. Nystagmus is involuntary movement and oscilation of the eye;may be physiologic or pathologic. Th incidence is about 24 in 10.000 population. Motor infantile nystagmus or infantile nystagmus syndrome is the most common type of infantile nystagmus. Diagnosis is based on onset and clinical manifestations; additional examination is for baby older than 6 months. Therapy is to improve visual acuity and surgery to relocate Null Zone to primary position.
GAMBARAN KUALITAS HIDUP PADA PASIEN STRABISMUS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PERIODE 2016 - 2017 Yovita Govert; Ni Made Ayu Surasmiati; Wayan Gede Jayanegara
E-Jurnal Medika Udayana Vol 10 No 4 (2021): Vol 10 No 04(2021): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2021.V10.i4.P05

Abstract

ABSTRAK Strabismus merupakan kondisi dimana terdapat ketidaksejajaran antar kedua mata. Salah satu mata dapat terlihat lurus menuju suatu objek, sedangkan mata yang lain dapat terlihat mengarah ke dalam, ke luar, ke atas, ataupun ke bawah. Kondisi ini dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien secara negatif. Namun, hingga saat ini, penelitian terkait strabismus maupun kualitas hidup pasien strabismus di Indonesia, khususnya di Bali masih sangat jarang dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui gambaran kualitas hidup pada pasien strabismus di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar periode 2016 - 2017. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif potong lintang. Pengumpulan data menggunakan teknik consecutive sampling dengan menggunakan data sekunder yang didapatkan dari data rekam medis pasien strabismus Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar pada periode 2016 - 2017 serta menggunakan data penelitian sebelumnya yaitu data yang diambil dari kuisioner Amblyopia & Strabismus Questionnaire (A&SQ) yang telah dilakukan sebelumnya. Dari 22 sampel pasien strabismus, ditemukan karakteristik umum sampel. Gambaran kualitas hidup pasien strabismus pada penelitian ini dinilai dari total skor A&SQ yaitu sebesar 63,88 (18,21) yang berarti bahwa kondisi strabismus mempengaruhi kualitas hidup pasien secara negatif. Walau setiap domain pada A&SQ mempengaruhi kualitas hidup, domain ‘kontak sosial serta kosmetik’ merupakan kontributor terbesar terhadap rendahnya kualitas hidup pasien strabismus. Kualitas hidup pasien strabismus juga dapat digambarkan dengan membandingkan total skor A&SQ dan skor domain A&SQ bedasarkan jenis kelamin, jenis deviasi, dan status pekerjaan. Kata kunci : strabismus, kualitas hidup, gambaran, mata juling
GAMBARAN KUALITAS HIDUP PASIEN STRABISMUS MENGGUNAKAN KUESIONER ADULT STRABISMUS 20 DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH PERIODE JANUARI 2019 - DESEMBER 2020 . Elvira; Ni Made Ayu Surasmiati; Anak Agung Mas Putrawati Triningrat; I Wayan Eka Sutyawan; Ida Bagus Putra Manuaba
E-Jurnal Medika Udayana Vol 11 No 4 (2022): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2022.V11.i4.P07

Abstract

Latar Belakang: Strabismus merupakan keadaan posisi kedua mata tidak sejajar yang disebabkan oleh abnormalitas penglihatan binokuler atau anomali kontrol neuromuskuler terhadap motilitas okuler. Seseorang dengan strabismus dapat mengalami penurunan kualitas hidup, memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah dan keterbatasan dalam pengembangan diri. Tindakan pembedahan merupakan salah satu tatalaksana pada pasien strabismus. Tujuan: Mengetahui karakteristik kualitas hidup pasien dengan strabismus sebelum dan sesudah operasi strabismus dengan menggunakan kuesioner Adult Strabismus (AS-20). Metode: Penelitian deskriptif analitik dengan desain potong lintang. Data dikumpulkan restrospektif berdasarkan rekam medis dan kuesioner AS-20 di Poliklinik Mata Divisi Strabismus RSUP Sanglah. Data karaktristik pasien menggunakan analisis deskriptif dan analisis kuesioner AS-20 menggunakan uji T tes berpasangan dan tes wilcoxon sign rank. Hasil: Subjek penelitian berjumlah 15 orang, terdiri atas delapan (53,3%) laki-laki dan mayoritas berusia 20-29 tahun. Sembilan (60%) subjek penelitian mengeluhkan penglihatan buram dan empat (26,7%) mengeluhkan diplopia. Mayoritas subjek memiliki deviasi lebih besar dari 20 prisma dioptri dengan diagnosis terbanyak adalah eksotropia intermiten (46,7%). Penilaian kualitas hidup menggunakan kuesioner AS-20 didapatkan peningkatan signifikan antara sebelum dan setelah operasi secara umum, aspek psikososial, dan fungsional (P<0,05). Tidak didapatkan hubungan jenis kelamin atau jenis strabismus dengan kualitas hidup pasien. Simpulan: Pasien strabismus mengalami penurunan kualitas hidup pada aspek fungsional dan psikososial. Terapi pembedahan dapat memperbaiki manifestasi strabismus. Berdasarkan kuesioner AS-20 didapatkan peningkatan kualitas hidup pasien seiring dengan perbaikan manifestasi klinis setelah pasien menjalani operasi strabismus.
OVERVIEW OF CONTACT LENS USE IN MEDICAL FACULTY STUDENTS UDAYANA UNIVERSITY Ni Luh Suras Amoura Cawis; Ni Made Ayu Surasmiati; Ni Made Laksmi Utari; I Wayan Eka Sutyawan
E-Jurnal Medika Udayana Vol 11 No 4 (2022): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2022.V11.i4.P15

Abstract

ABSTRAK Lensa kontak digunakan sebagai alat bantu penglihatan pada gangguan refraksi dan untuk gaya hidup. Penggunaan lensa kontak sering tanpa disertai pengetahuan cara perawatan sehingga menimbulkan komplikasi seperti mata merah. Bertambahnya jumlah pengguna lensa kontak mengakibatkan komplikasi lensa kontak juga meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penggunaan lensa kontak berdasarkan usia, jenis kelamin, jenis lensa kontak, pola penggunaan, intensitas penggunaan, perawatan dan komplikasi. Penelitian merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan potong lintang menggunakan data kuesioner dan diolah menggunakan SPSS. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan 232 mahasiswa menggunakan lensa kontak. Hasil penelitian menunjukan bahwa usia pengguna lensa kontak terbanyak adalah 20 tahun sebanyak 46,1%, mayoritas adalah perempuan yaitu sebanyak 94,4%. Sebanyak 96,6% mahasiswa menggunakan lensa kontak lunak dengan pola penggunaan harian sebanyak 100%. Intensitas penggunaan lensa kontak paling banyak adalah kurang dari sekali sebulan yaitu 49,1%. Cara perawatan yang banyak dilakukan adalah dibilas, direndam dan dibersihkan menggunakan enzim pembersih protein sebanyak 53,4%. Mahasiswa yang mengalami mata merah sebanyak 61,6% dan keluhan lain yang banyak dialami adalah gatal dan berair sebanyak 19,4%. Pengguna lensa kontak sebanyak 91,8% tidak berkonsultasi ke dokter mata. Dari penelitian disimpulkan bahwa penting dilakukan pemantauan lanjutan terutama pada mahasiswa yang memiliki risiko guna mengurangi komplikasi pada penggunaan lensa kontak. Kata kunci : lensa kontak, mahasiswa, mata merah.
GAMBARAN KELELAHAN MATA (ASTHENOPIA) PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA ANGKATAN 2018 SETELAH BERLAKUNYA KULIAH ONLINE NI MADE ERNITA REFAYANTI; Ni Made Laksmi Utari; Ni Made Ayu Surasmiati; I Wayan Eka Sutyawan; I Made Sudarmaja
E-Jurnal Medika Udayana Vol 11 No 5 (2022): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2022.V11.i5.P08

Abstract

Asthenopia tergolong kejadian yang sering terjadi yang dapat menyebabkan masalah kesehatan mata. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka prevalensi dan gambaran kelelahan mata (asthenopia) pada mahasiswa Program Studi Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Udayana angkatan 2018 setelah berlakunya kuliah online. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian berjenis deskriptif analitik dengan rancangan cross-sectional, sebanyak 220 sampel. Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara menyebarkan kuisioner melalui google form. Dari 220 sampel didapatkan prevalensi kejadian asthenopia 98.18% dengan kejadian terbanyak adalah asthenopia ringan. Didapatkan perbedaan bermakna pada distribusi asthenopia berdasarkan jenis kelamin, penggunaan laptop atau komputer (p<0,05) dan tidak ditemukan perbedaan yang bermakna pada distribusi asthenopia berdasarkan penggunaan handphone (p?0,05). Penggunaan laptop atau komputer yang lebih dari 8 jam paling banyak ditemukan pada kejadian asthenopia sedang dan berat.
HbA1c and Serum Level of VEGF in Diabetic Retinopathy Patients Surasmiati N.M.A.; Wijayati, M.P; Pramita, I.A.A; Pantjawati, N.L.D.; Andayani, A.
Indian Journal of Forensic Medicine & Toxicology Vol. 16 No. 3 (2022): Indian Journal of Forensic Medicine and Toxicology
Publisher : Institute of Medico-legal Publications Pvt Ltd

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37506/ijfmt.v16i3.18311

Abstract

Objective: This study aims to determine whether HbA1c level has a correlation with vascular endothelial growthfactor (VEGF) serum level in diabetic retinopathy (DR) patients.Methods: This is an analytical cross-sectional study of patients with DR due to type 2 diabetes, with a purposivesampling technique. Patients were grouped into non-proliferative DR (NPDR) and proliferative DR (PDR). HbA1cand VEGF serum levels were assessed by taking the patient’s venous blood.Results: A total of 82 samples were included, in which the mean HbA1c levels were 8.17% ± 1.91% and the medianVEGF levels were 85.78 ng/L (range 38.23-149.43 ng/L). A total of 23 out of 35 NPDR patients were female (65.7%),while 29 out of 47 PDR patients were male (61.7%). Approximately 61.7% of PDR patients had a DM duration ofmore than 10 years, while 62.9% of NPDR patients had DM duration of less than 10 years. There was an increasein the mean of HbA1c levels in the PDR group compared to NPDR, although it was not statistically significant (p =0.214), and there was no difference in the median VEGF levels of the two groups. Spearman’s correlation analysisrevealed no correlation between HbA1 and VEGF levels in diabetic retinopathy, in both the NPDR and PDRgroups (correlation coefficient 0.183 and -0.022 respectively).Conclusion: No statistically significant correlation was found between HbA1c and VEGF serum levels in diabeticretinopathy patients. In this study poor glycemic control were not proven for their implications for VEGFprogression. VEGF serum levels may not be used as a marker of DR severity.
Sindrom Nistagmus Infantil Elvira -; Made Dwi Surya Wibawa; Ni Made Ayu Surasmiati
Cermin Dunia Kedokteran Vol 47, No 10 (2020): Optalmologi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55175/cdk.v47i10.1082

Abstract

Nistagmus berasal dari bahasa Yunani, nystagmos yang berarti mengangguk dan kata nystazein yang berarti mengantuk. Nistagmus merupakan gerakan involunter dan osilasi ritmik mata yang dapat fisiologis ataupun patologis. Angka kejadian nistagmus diperkirakan 24 per 10.000 populasiumum. Nistagmus infantil motorik atau sindrom nistagmus infantil (SNI) merupakan tipe nistagmus infantil yang paling sering.Onset dan manifestasi klinis dapat membantu diagnosis; pemeriksaan penunjang biasanya dilakukan pada usia diatas 6 bulan. Beberapa terapi di antaranya terapi optikal, terapi obat, terapi pembedahan untuk meningkatkan tajam penglihatan dan terapi pembedahan untuk merelokasi Null Zone ke posisi primer.Nystagmus, adopted from Greek nystagmos, means nodding and nystazein means sleepy. Nystagmus is involuntary movement and oscilation of the eye;may be physiologic or pathologic. Th incidence is about 24 in 10.000 population. Motor infantile nystagmus or infantile nystagmus syndrome is the most common type of infantile nystagmus. Diagnosis is based on onset and clinical manifestations; additional examination is for baby older than 6 months. Therapy is to improve visual acuity and surgery to relocate Null Zone to primary position.
Tatalaksana bedah pada eksotropia traumatika et causa ruptur total otot rectus medial: laporan kasus Christine Natalia Gunawan; Ni Made Ayu Surasmiati; I Made Agus Kusumadjaja; Ni Made Laksmi Utari
Intisari Sains Medis Vol. 12 No. 1 (2021): (Available online : 1 April 2021)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1795.826 KB) | DOI: 10.15562/ism.v12i1.904

Abstract

Introduction: Traumatic strabismus may result because of closed or open head and/or orbital trauma. Trauma to the extraocular muscles will often result directly in specific ocular motility disorders. Vertical transposition is one of the surgical management in traumatic exotropia with medial rectus muscle total rupture. The aims of case report are to know about examination and management in patient with traumatic exotropia.Case Illustration: Male, 30 years old, came with chief complaints pain on the right eye after being exposed a wire bounce when take off a banner wire, with squint eye, blurry vision, diplopia, redness, bleeding. On ophthalmology examination, 45° exotropia, visual acuity on the right eye 6/18 ph NI, proptosis, edema, hematom, spasm palpebral. Medial rectus muscle rupture, full thickness conjunctival rupture, cresent shaped, 15x7mm, 3 mm from limbal. Eyeball movement limited to medial, superomedial, inferomedial, FGT medial parese right eye (RE). visual acuity on the left eye 6/6, anterior and posterior segment within normal limit. Patient was diagnosed with traumatica exotropia et causa medial rectus muscle total rupture right eye (RE) with complication axial proptosis ec retrobulbar hemorrhage, palpebral hematom, full thickness conjunctival ruptured, sub conjunctival bleeding, erosion cornea, iridoplegy, traumatic iritis. Vertical transposition with augmented Hummelsheim technique, cantotomy cantolysis, repair conjunctival ruptured was done to the patient. Conclusion: Vertical transposition is one of the surgical management in traumatic exotropia caused by medial rectus muscle total rupture  Pendahuluan: Eksotropia traumatik dapat disebabkan oleh adanya trauma terbuka/tertutup pada kepala/mata. Trauma pada otot ekstraokuler akan menyebabkan gangguan gerakan bola mata yang spesifik. Salah satu penanganan bedah pada eksotropia traumatik karena ruptur total otot rektus medial adalah dengan transposisi vertikal. Tujuan dari pembuatan laporan kasus in adalah untuk mengetahui pemeriksaan dan penanganan pasien dengan eksotropia traumatika.Laporan kasus: Pria dengan usia 30 tahun, datang dengan keluhan nyeri pada mata kanan setelah terkena pentalan kawat, disertai mata juling keluar, pandangan ganda, kabur, berdarah, mata merah. Pada pemeriksaan oftalmologi didapatkan eksotropia 45°, tajam penglihatan mata kanan 6/18 ph NI, dengan proptosis, edema, hematom, spasme pada palpebra. Pada konjungtiva didapatkan tampak ruptur rektus medialis, ruptur konjungtiva full thickness bentuk bulan sabit ukuran 15x7mm, 3 mm dari limbus. Gerakan bola mata terhambat ke medial, superomedial, inferomedial, Forced Generation Test (FGT) mata kanan paresis ke medial. Tajam  penglihatan mata kiri 6/6, segmen anterior dan posterior dalam batas normal. Pasien didiagnosis dengan eksotropia traumatika et causa ruptur total otot rektus medial oculi dextra (OD) dengan komplikasi proptosis axial ec suspek pendarahan retrobulbar, hematom palpebral, ruptur konjungtiva full thickness, pendarahan sub konjungtiva, erosi kornea, iridoplegia, traumatic iritis. Pada pasien ini dilakukan transposisi vertikal dengan teknik augmented Hummelsheim, kantotomi kantolisis, dan repair ruptur konjungtiva full thickness. Simpulan: Transposisi otot rektus vertikal merupakan salah satu tindakan untuk tatalaksana pembedahan pada eksotropia traumatika et causa ruptur total otot rektus medial  
Strabismus sebagai komplikasi pemasangan sclera buckle pada ablasio retina regmatogen: laporan kasus Pande Putu Adityo Ananta Ardika; Ari Andayani; Ni Made Ayu Surasmiati; Ni Made Ari Suryathi; I Made Agus Kusumadjaja
Intisari Sains Medis Vol. 12 No. 3 (2021): (Available online: 1 December 2021)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1379.01 KB) | DOI: 10.15562/ism.v12i3.1177

Abstract

Introduction: Sclera buckle is one of the operative management of rhegmatogenous retinal detachment. Sclera buckle can combine with vitrectomy in young people, phakic, myopia more than 6 dioptri, axial length more than 26mm, proliferative vitreoretinopathy stage C, multiple inferior break and recurrent break. Complications from the installation of sclera buckle is one of them the occurrence of strabismus after the installation of sclera buckle. Treatment can be done to remove the sclera buckle and further surgery for extraocular muscle.Case Description: Male patients aged 31 years, patients present with complaints right eyes rolling inward since 8 months ago. The patient had a history of surgical  sclera buckle and tamponade with silicone oil. Patient also complain blurry vision since 1 month ago after removing silicone oil. The patient has a history of -5.00 glasses in both eyes. In examination obtained Hirschberg esotropia 15 degrees and retinal detachment on right eyes. Patient was diagnosed with right eye Detached Retina post evacuation of silicone oil (16 days), acquired esotropia Suspect et cause sclera buckle installation. Patients are planned to undergo Re-Vitrectomy Pars Plana (VPP), Release Sclera Buckle , Endolaser, Silicon Oil tamponade, and evaluation of extraocular muscle at surgery. During evaluation of extraocular muscle there was fibrosis cover four rectus muscle and no tear was found. Then we removed of fibrosis and released sclera buckle. Strabismus complaint did not feel better after removed of fibrosis so we planned for further action was medial rectus recess with adjustable sutureConclusion: Sclera buckle can combine with vitrectomy on young people, phakic, myopia more than 6 dioptri, axial length more than 26mm, proliferative vitreoretinopathy, multiple inferior break and recurrent break. Installation of sclera buckle can cause complications in the form of postoperative strabismus. One of the causes of this complication is fibrosis of the extraocular muscles, so there is an attachment called fat adherent syndrome. Treatment that can be taken to treat strabismus after sclera buckle surgery is one of them with the release of sclera buckle, but if strabismus complaints did not improve, surgery can be done on extraocular muscles to improve the position of the ball  Pendahuluan: Sclera buckle merupakan salah satu tindakan operatif dalam menangani ablasio retina regmatogen. Tindakan sclera buckle dapat dikombinasikan dengan vitrektomi pada orang muda, phakia, riwayat miopia lebih dari 6 dioptri, panjang bola mata lebih dari 26 milimeter, ditemukan adanya proliferatif vitreoretinopati stadium C, robekan multiple pada bagian inferior retina dan robekan berulang. Komplikasi dari pemasangan sclera buckle ini adalah salah satunya terjadinya strabismus pasca pemasangan sclera buckle. Penanganan yang dapat dilakukan berupa pelepasan sclera buckle, dan operasi strabismus jika kondisi otot ekstraokular tidak membaik.Deskripsi Kasus: Pasien laki-laki, usia 31 tahun, datang dengan keluhan mata kanan bergulir ke dalam sejak 8 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan setelah pasien melakukan operasi pemasangan sclera buckle dan silicon oil 8 bulan yang lalu. Saat ini pasien juga mengeluhkan pandangan kabur yang sudah dirasakan sejak 1 bulan yang lalu setelah dilakukan pengangkatan silicon oil. Pada pemeriksaan ditemukan Hirschberg esotropia 15 derajat dan ditemukan ablasio retina pada mata kanan. Pasien didiagnosis dengan okuli dekstra rekuren ablasio retina pasca pengeluaran silicon oil  (16 hari), dan kecurigaan esotropia didapat (acquired esotropia)  ec pasca pemasangan sclera buckle. Pasien direncanakan untuk dilakukan Re-Vitrektomi Pars Plana (VPP), pelepasan sclera buckle, endolaser, re-tamponade silicon oil dan evaluasi otot ekstraokular durante operasi. Pada saat dilakukan evaluasi otot ekstraokular ditemukan adanya fibrosis pada keempat otot rektus dan tidak ditemukan adanya robekan pada otot ekstraokular. Kemudian dilakukan pembersihan dari fibrosis dan pelepasan dari sclera buckle. Keluhan strabismus tidak dirasakan membaik pasca dilakukan pembersihan fibrosis sehingga direncanakan untuk dilakukan tindakan lanjutan yaitu medial rectus reses dengan adjustable suture.Simpulan: Tindakan sclera buckle ini dapat dikombinasi dengan vitrektomi pada pasien muda, phakia, riwayat miopia tinggi lebih dari 6 dioptri, panjang bola mata lebih dari 26 milimeter, ditemukan adanya proliferatif vitreoretinopati, robekan multiple di bagian inferior retina dan robekan berulang. Pemasangan sclera buckle ini dapat menimbulkan komplikasi berupa strabismus pasca operasi. Penyebab dari terjadinya komplikasi ini salah satunya fibrosis pada otot ekstraokular sehingga terjadi perlekatan yang disebut dengan fat adheren syndrome. Tindakan yang dapat dilakukan untuk penanganan strabismus pasca operasi sclera buckle ini adalah salah satunya dengan pelepasan dari sclera buckle, namun apabila keluhan strabismus tidak membaik bisa dilakukan operasi pada otot ekstraokular untuk memperbaiki posisi bola mata.
PROFILE OF GLAUCOMA PATIENTS THAT PERFORMED TRABECULECTOMY AT THE EYE POLYCLINIC OF SANGLAH RSUP IN THE COVID-19 PANDEMIC Ni Putu Diah Ayu Permana Dewi; I Gusti Ayu Ratna Suryaningrum; Ni Made Ayu Surasmiati; Ni Made Ari Suryathi
E-Jurnal Medika Udayana Vol 12 No 1 (2023): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Glaukoma merupakan penyebab kebutaan kedua terbanyak setelah katarak. Tindakan bedah yang sering dilakukan oleh pasien glaukoma ketika TIO sudah tidak bisa terkontrol lagi dengan medikamentosa yaitu trabekulektomi. Trabekulektomi merupakan tindakan pembedahan dengan membuat lubang drainase pada bagian sklera untuk menurunkan TIO.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil pasien meliputi usia, jenis kelamin, klasifikasi, lateralitas mata, riwayat TIO pada saat sebelum dan sesudah trabekulektomi, jenis tindakan trabekulektomi dan riwayat penggunaan obat-obatan sebelum dan sesudah trabekulektomi pada pasien glaukoma yang melakukan trabekulektomi di Poliklinik Mata RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain studi cross-sectional dengan pengambilan data menggunakan rekam medis pasien dan diolah menggunakan SPSS. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan 51 pasien yang dilakukan trabekulektomi dengan jumlah mata yang dilakukan tindakan yaitu 55 mata. Pada jenis kelamin laki-laki didapatkan 52,9% dan perempuan 43,5% dengan rerata usia 53,56 ±17,9, berdasarkan diagnosis pasien glaukoma primer merupakan yang paling banyak yaitu POAG 14 mata dan PCAG 14 mata, lateralitas mata ocular dekstra menempati urutan terbanyak dengan persentase 52,7%. untuk jenis tindakan trabekulektomi didapatkan 81,8% yang dilakukan trabekulektomi, rerata tekanan intraokular pre-trabekulektomi yaitu 44,6 ±6,4. Satu hari post-trabekulektomi 11,8±6,0, tujuh hari post trabekulektomi didapatkan rerata 14,6±4,8. Riwayat penggunaan obat antiglaukoma pre-trabekulektomi didapatkan paling banyak memakai 2 obat dengan persentase 52,7% yang paling banyak, satu hari setelah trabekulektomi tanpa obat dengan persentase 49,1%, 7 hari setelah trabekulektomi tanpa obat dengan persentase 52,7%. Kata kunci : Glaukoma, Trabekulektomi, TIO