Claim Missing Document
Check
Articles

Found 17 Documents
Search

KADARLOW DENSITY LIPOPROTEIN SEBAGAI FAKTOR RISIKO TERJADINYA PREEKLAMPSIA : STUDI KASUS KONTROL Artana Putra, Wayan
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar belakang : Sampai saat ini etiologi dan patogenesis preeklampsia masih belum diketahui dengan pasti. Very Low Density Lipoprotein versus Toxicity Preventing Activity salah satu dari empat hipotesis yang diduga berperan terjadinya preeclampsia. Tujuan : Untuk mengetahui risiko Preeklampsia pada peningkatan kadar Low density  lipoprotein pada ibu hamil .   Bahan dan cara kerja :  Penelitian ini menggunakan rancangan kasus kontrol. Sampel darah 27 kasus kehamilan dengan preeklampsia dan 27 kontrol hamil normal masing – masing sesuai umur ibu, umur kehamilan dan paritas, selanjutnya kadar LDL diperiksa dengan menggunakan chloletest LDL. Analisa data dilakukan dengan uji t-independent. Untuk mengetahui hubungan kadar  LDL terhadap kejadian preeklampsia dipakai uji Chi-Square   Hasil : Diperoleh hasil yang tidak bermakna (p>0,05) rerata umur ibu kelompok preeclampsia sebesar 29,19±6,70, sedangkan  kelompok hamil  normal sebesar 25,67±4,71.  Rerata paritas kelompok preeklampsia adalah 2,30±1,35 dan kelompok hamil normal adalah 1,78±0,85, dan rerata umur kehamilan kelompok preeklampsia adalah 38,44±2,00 dan rerata kelompok hamil normal adalah 39,44±1,40. Berdasarkan hasil analisis dengan uji t-independent didapatkan bahwa karakteristik subjek pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p>0,05). Rerata kadar LDL kelompok preeklampsia sebesar 160,19±37,11 sedangkan rerata kadar LDL kelompok hamil normal sebesar 108,39±26,50 dan berbeda secara bermakna (p<0,05).  Jadi didapatkan bahwa kadar  LDL kelompok preeklampsia lebih tinggi dibandingkan rerata kadar  LDL kelompok hamil normal.  Untuk mengetahui hubungan kadar  LDL terhadap kejadian preeklampsia dipakai uji Chi-Square, sedangkan nilai rasio odds digunakan nilai perbandingan ad/bc, menunjukkan bahwa peningkatan kadar LDL dapat meningkatkan risiko terjadinya preeklampsia sebesar  18 kali (RO = 17,875; IK 95% = 1,26-151,61; p=0,002).   Kesimpulan:Peningkatan kadar LDL selama kehamilan dapat meningkatkan risiko terjadinya preeklampsia sebesar 18 kali.   Kata Kunci: Preeklampsia, kadar LDL.  
PERAN SITOKIN PADA PREEKLAMPSIA Artana Putra, Wayan
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Preeklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang merupakan kelainan multifaktorial yang ditandai dengan tekanan darah sistolik ? 140 mmHg atau diastolik ? 90 mmHg pada waktu pasien beristirahat di tempat tidur pada sekurangnya dua kali pengukuran dalam 6 jam, dan proteinuria ? 0,3 gr/24 jam, yang terjadi sesudah umur kehamilan 20 minggu. Preeklampsia adalah penyakit pada kehamilan yang ditandai dengan hipertensi dan proteinuria sesudah umur kehamilan 20 minggu. Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui Saat ini hipotesis mengenai penyebab dari preeklampsia secara garis besar yaitu: iskemia plasenta, very low-density lipoprotein (VLDL) versus toxicity-preventing activity, preeklampsia sebagai penyakit genetik, dan immune maladaptation.   Sitokin merupakan mediator polipeptida terlarut yang menjaga komunikasi dengan leukosit dan jaringan serta organ lain. Sel endotel selain berfungsi sebagai target sitokin juga merupakan sumber sitokin. Sitokin mengaktivasi endotel melalui pembentukan thrombus dan inflamasi.Pada pembentukan thrombus, sitokin menginduksi aktifitas prokoagulan protein C dan menghambat penghancuran fibrin. Beberapa contoh sitokin yang berperan dalam reaksi imunologi yang terjadi pada pasien preeclampsia, antara lain: Tumor necrosis factor-? (TNF-?), Interleukin-6 (IL-6), IL-Ira, IL-1?, IL-2, IL-4, IL-10, IL-12p40, IL-12p70, IL-18, Chemokine seperti IL-8, IP-10, dan Monocyte chemotactic protein (MCP), Molekul adhesi seperti VCAM-1 dan ICAM-1.  
PERBANDINGAN KADAR SERUM PROGESTERON PADA WANITA HAMIL INPARTU DAN TIDAK INPARTU Artana Putra, Wayan
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 2, No 4 (2014)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pentingnya peran progesteron dalam mempertahankan kehamilan telah dapat diterima secara umum. Berbagai bukti menyatakan, pada plasenta manusia dan mamalia lain, progesteron memegang peranan penting dalam mempertahankan ketenangan uterus selama masa kehamilan. Pelucutan progesteron merupakan suatu syarat mutlak untuk mengaktivasi miometrium, menginisiasi persalinan dan terminasi kehamilan. Pada kebanyakan spesies mamalia, awal persalinan ditandai oleh penurunan konsentrasi progesteron sirkulasi dan peningkatan konsentrasi estrogen. Namun, tidak seperti pada kebanyakan spesies lainnya, kadar progesteron sirkulasi tidak menurun pada manusia. Pada manusia kadar progesteron tetap tinggi selama persalinan, menimbulkan suatu paradox bagaimana inisiasi persalinan bisa terjadi. Kondisi ini membawa pada suatu pendapat bahwa terdapat suatu mekanisme aktif untuk menginduksi terjadinya pelucutan progesteron pada saat usia kehamilan mencapai aterm. Namun mekanisme apa yang menekan fungsi progesteron  hingga persalinan dapat terjadi masih terselubung dan tidak pasti. Pada kebanyakan plasenta mamalia subprimata, pelucutan progesteron sebelum inisiasi persalinan di manifestasi oleh penurunan yang signifikan dari kadar progesteron di sirkulasi, yang disebabkan oleh luteolisis atau perubahan steroidogenesis plasenta, dimana hal ini menyebabkan diproduksinya estrogen. Namun peristiwa tersebut tidak terjadi pada kehamilan manusia. Sejak Csapo mengumumkan teorinya tentang pelucutan progesteron pada tahun 1977, investigasi selanjutnya menemukan kesulitan dalam menyimpulkan adanya penurunan konsentrasi progesteron dalam hubungannya dengan persalinan manusia. Arpad Csapo menyatakan bahwa miometrium tikus dan kelinci hamil kebal terhadap oksitosin dan menyimpulkan bahwa uterus gravid berada dibawah pengaruh progesteron, dimana penyebaran aktivitas elektrik yang merangsang membran miosit ditekan atau dihapuskan. Lebih lanjut Csapo berargumentasi, bila progesteron sangat diperlukan untuk mempertahankan kehamilan maka pelucutan progesteron merupakan suatu syarat mutlak terjadinya terminasi kehamilan. Persoalan ini membingungkan para ahli biologi reproduksi selama beberapa dekade, karena kurangnya bukti tentang adanya pelucutan progesteron pada wanita yang akan melahirkan. Pada tahun 1994, Chaliss dan Lye menyatakan bahwa kadar  progesteron plasma tetap tinggi dan baru menurun setelah plasenta dilahirkan. Bukti yang berlawanan ini telah menelurkan konsep “pelucutan progesterone fungsional”. Walau berbagai usaha telah dilakukan dan berbagai hipotesis telah diajukan untuk mengungkap pelucutan progesteron fungsional, mekanisme yang mendalam mengenai kunci proses persalinan manusia masih belum diketahui. Hipotesis bahwa penurunan respon miometrium terhadap progesteron memediasi terjadinya pelucutan progesteron fungsional. Represor endogen (miometrial) dari progesteron reseptor dapat menginduksi terjadinya pelucutan progesteron fungsional dan membawa pada terjadinya inisiasi persalinan. Respon progesteron membutuhkan ekspresi dan kompetensi fungsional dari reseptor progesteron (PR). Untuk itu perubahan dari kadar dan fungsi reseptor progesteron dapat menjadi suatu langkah penting dalam mengungkap mekanisme terjadinya pelucutan progesteron fungsional. Kemungkinan ini telah menginspirasi peneliti hingga menghasilkan kesimpulan baru. Jadi pada persalinan tidak terjadi penurunan progesteron plasma tetapi penurunan terjadi secara fungsional dimana terjadi penurunan kadar progesteron reseptor (PR).Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kadar serum progesteron wanita hamil inpartu tidak lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak inpartu, namun tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar serum progesteron wanita hamil inpartu dengan yang tidak inpartu.
KARAKTERISTIK DISMENORE PADA MAHASISWI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER ANGKATAN 2015 DI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA Luh Nyoman Mas Amita; I Nyoman Gede Budiana; I Wayan Artana Putra
E-Jurnal Medika Udayana Vol 7 No 12 (2018): Vol 7 No 12 (2018): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (174.051 KB)

Abstract

Dismenore adalah nyeri haid yang biasanya bersifat kram dan berpusat pada perut bagian bawah yang terasa sebelum atau selama menstruasi. Banyak remaja melaporkan dampak negatif dari dismenore pada kehidupan mereka, sehingga penting untuk mengetahui informasi sebanyak-banyaknya mengenai dismenore. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui karakteristik dismenore pada mahasiswi Program Studi Pendidikan Dokter angkatan 2015 di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif cross sectional yang dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Data dalam penelitian ini merupakan data primer yang diperoleh dari hasil penyebaran kuesioner. Data dianalisis dengan menggunakan program SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 131 responden, sebagian besar kasus dismenore terjadi pada usia menarche 12–13 tahun (56,5%), memiliki riwayat keluarga (58,8%), lama menstruasi 3-7 hari (92,4%), dan mengalami derajat nyeri ringan (57,3%). Gejala penyerta terbanyak yaitu rasa nyeri bagian bawah perut (94,7%), IMT terbanyak yaitu berat badan normal (56,5%), dan dampak terbanyak yaitu produktivitas menurun (72,5%). Sebagian besar responden (46,6%) mengalami dismenore sejak > 12 bulan setelah menarche, waktu timbulnya dismenore sebagian besar (48,9%) < 12 jam sejak mulainya menstruasi, waktu hilangnya gejala dismenore sebagian besar (53,4%) terjadi 24-48 jam sejak mulai menstruasi, sebagian besar responden memiliki kebiasaan berolahraga (54,2%), dan usaha untuk mengurangi dismenore terbanyak yaitu tidur/istirahat (97,7%). Kata kunci: Karakteristik, Dismenore
KARAKTERISTIK PREMENSTRUAL SYNDROME PADA MAHASISWI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER ANGKATAN 2017 DI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA Fasha Syawalia Heryaningtyas; I Wayan Artana Putra; Jaqueline Sudiman
E-Jurnal Medika Udayana Vol 9 No 5 (2020): Vol 9 No 05(2020): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (212.313 KB) | DOI: 10.24843/MU.2020.V09.i5.P11

Abstract

Premenstrual Syndrome (PMS) atau yang dikenal juga dengan sindroma prahaid. Premenstrual Syndrome dapat didefinisikan sebagai kumpulan keluhan dan atau gejala seperti gejala perilaku, fisik, dan atau perilaku yang terjadi pada wanita usia reproduksi. Penelitian ini memiliki bertujuan untuk mengetahui karakteristik premenstrual syndrome pada mahasiswi program studi pendidikan dokter angkatan 2017 di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif cross-sectional yang dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Data dalam penelitian ini merupakan data primer yang didapatlan dari hasil penyebaran kueisioner, kemudian data dianalisis dengan menggunakan program SPSS. Hasil yang didapat menunjukan bahwa dari 124 responden, sebagian responden berusia 19 tahun (62,1%), yang memiliki gejala psikologis (74,2%), gejala fisik (62,9%), gejala perilaku (46,8%). Pada gejala fisik, responden sebagian responden mengalami timbul jerawat (80,6%) dan nafsu makan meningkat (75,8%). Pada gejala psikologis, sebagian besar responden mengalami perubahan mood (92,7%) dan mudah marah (83,9%), sedangkan pada gejala perilaku responden mengalami suka menentang / berdebat (54,0%) dan mudah menangis (46,0%). Kata kunci: Karakteristik, Premenstrual Syndrome, Mahasiswi
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG KANKER SERVIKS DENGAN PERILAKU DETEKSI DINI PADA PEGAWAI YANG BEKERJA DI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA Putu Kartika Widyasari; I Nyoman Gede Budiana; I Wayan Megadhana; I Wayan Artana Putra
E-Jurnal Medika Udayana Vol 11 No 3 (2022): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2022.V11.i3.P07

Abstract

Cervical cancer is a cancer caused by the oncogenic type of Human Papilloma Virus (HPV). This cancer ranks as the second common cancer in Indonesia. Among the 32,469 thousand new cases, there are 18,279 thousand of patients mortality. Cervical cancer can be prevented by early detection. The high prevalence of cervical cancer in Indonesia is due to the lack of public knowledge and awareness. In addition, the level of knowledge also affects the participation of women to conduct cervical cancer early detection. The faculty of medicine is very close to health issues and active to educate public regarding health. Therefore, the entire academic community is expected to be aware of and care about their respective personal health. This study is aimed to determining the correlation between cervical cancer knowledge level with early detection behavior towards employees at Faculty of Medicine, Udayana University. This study was an observational using a cross-sectional method and total sampling method for the data collection. Based on the results of the study, there was a significant relationship between the respondent’s knowledge level with cervical cancer early detection behavior (p-value <0.05). The group of respondents with insufficient knowledge, most of them said that they had never conducted early detection of cervical cancer as many as 8 people (80.0%). Meanwhile, most of the respondents with sufficient knowledge stated that they had conducted early detection of cervical cancer as many as 21 people (61.8%). Keywords : knowledge, cervical cancer, early detection, employees.
Ultrasonography feature and Clinical Finding of Trisomy 13 (Patau Syndrome): A Case Report Melissa Edelweishia; I Wayan Artana Putra
Indonesian Journal of Obstetrics & Gynecology Science Special Issue: Case Report
Publisher : Dep/SMF Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1859.451 KB)

Abstract

Background: Trisomy 13 is a trisomy disorder of chromosome 13 which causes many fetal structural defects. The prognosis is very poor and the majority is still birth. Major structural anomalies are occasionally identified in the late-first or early-second trimester. Any discovery of multiple structural anomalies in the fetus increases the chances of chromosomal anomalies. Case Report: Here we report trisomy 13 case of A 34-years-old housewife, third gravida, prenatal diagnosis during antenatal ultrasonography showed diaphragmatic hernias, cardiovascular dextroposition, ventricular septal defect, labiognatopalatoschizis and renal dextra pyeletaxis. From the chromosomal analysis, the fetal karyotype was 47 XY+13. A male infant was born with weight of 2600 grams, 46 cm, cyanosis, and severe respiratory distress with congenital abnormalities of micrognathia, diaphragmatic hernia, dextrocardia, ventricular septal defect, persistent pulmonary hypertension of newborn, undescended testis, labiognatopalatoshizis, and polydactily. Discussion: Prenatal diagnosis can be done through amniocentesis for karyotyping which is the gold standard for diagnosis trisomy 13. In addition, screening can also be done since the first trimester.Conclusion: All pregnancies in second trimester must be evaluated for structural abnormalities through ultrasonography and cytogenetic examination if necessary for early diagnosed.Key word: Congenital Abnormalities, Ultrasonography, Clinical Finding, Trisomy 13, Patau SyndromeAbstrakLatar Belakang: Trisomi 13 merupakan kelainan jumlah kromosom 13 yang menyebabkan defek struktural pada fetus. Prognosisnya sangat buruk dan kebanyakan lahir mati. Kelainan struktural mayor sering teridentifikasi pada akhir trimester pertama atau awal trimester kedua. Setiap temuan kelainan struktural pada fetus berpotensi kelainan kromosom.Laporan Kasus: Di sini akan dijelaskan kasus trisomi 13 yang didiagnosis prenatal dari wanita G3P1011, 34 tahun, terdiagnosis melalui pemeriksaan ultrasonografi. Antenatal scan dilakukan pada usia kehamilan 21 minggu dan gambaran ultrasonografi menunjukkan hernia diafragmatika, dextrokardia, ventricular septal defect, labiognatopalatoschizis dan pielektasis ginjal kanan. Kemudian dilanjutkan pemeriksaan kromosom melalui amniosintesis dan didapatkan hasil 47 XY+13.  Bayi laki-laki lahir secara sectio secarea dengan berat 2600 gram, panjang badan 46 cm, sianosis, asfiksia berat, kelainan kongenital micrognatia, hernia diafragmatika, dextrokardia, defek septum ventrikular, hipertensi pulmonal, labiognatopalatoshizis, dan polidactili. Diskusi: Diagnosis prenatal dapat dilakukan melalui pemeriksaan amniosintesis bertujuan untuk melihat karyotyping yang merupakan gold standard untuk mendiagnosis  trisomi 13. Selain itu, screening juga dapat dikerjakan sejak trimester pertama.Kesimpulan: Semua kehamilan pada trimester kedua harus dievaluasi kelainan struktural melalui ultrasonografi dan bila perlu pemeriksaan sitogenetik sehingga dapat mendiagnosis lebih awal.Kata kunci: Kelainan Kongenital, Ultrasonografi, Klinis, Trisomi 13, Patau Sindrom.
Ekspresi Enzim 1 Alfa-Hidroksilase Plasenta yang Rendah sebagai Faktor Risiko Terjadinya Preeklamsia Berat Florencia Desiree; I Wayan Artana Putra; I Wayan Megadhana; Anak Agung Ngurah Anantasika; Made Darmayasa; I Gde Sastra Winata
Indonesian Journal of Obstetrics & Gynecology Science Volume 5 Nomor 2 September 2022
Publisher : Dep/SMF Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/obgynia/v5n2.399

Abstract

Abstrak Tujuan: Untuk mengetahui ekspresi enzim 1-alfa-hidroksilase (CYP27B1) pada plasenta yang rendah sebagai faktor risiko terjadinya preeklamsia (PE) berat.Metode: Penelitian ini merupakan studi kasus-kontrol yang tak berpasangan, dengan total sampel 44 kasus dan kontrol. Sampel berupa plasenta yang diproses secara imunohistokimia, untuk melihat ekspresi enzim berdasarkan histoscore kumulatif (H-score) sebagai ekspresi rendah (H-score <200) atau ekspresi tinggi (H-score >200). Regresi logistik ganda digunakan untuk memperkirakan rasio odds yang disesuaikan (OR) dengan interval kepercayaan 95% (95% CI).Hasil: Ekspresi enzim 1alfa-hidroksilase plasenta yang rendah merupakan faktor risiko terjadinya PE berat sebesar sembilan kali lebih tinggi dibandingkan dengan ekspresi enzim 1-alfa-hidroksilase yang tinggi pada plasenta (OR 9,148; IK05% 2,072-40,386, p=0,002).Kesimpulan: Ekspresi rendah 1alfa-hidroksilase plasenta meningkatkan risiko terjadinya PE berat.Low Expression of 1 Alpha-Hydroxylase Enzyme in The Placenta as Arisk Factor for Preeclampsia with Severe FeaturesAbstractObjective: This study aims to determine the low expression of the 1-alpha-hydroxylase (CYP27B1) enzyme in the placenta as a risk factor for severe preeclampsia (PE).Methods: This study is an unpaired case-control study, with a total sample of 44 cases and controls. Samples were placentas that were immunohistochemically processed, to see enzyme expression based on the cumulative histoscore (H-score) as low expression (H-score <200) or high expression (H-score >200). Multiple logistic regression was used to estimate the adjusted odds ratio (OR) and 95% confidence interval (95% CI).Results: Low placental 1-alpha-hydroxylase expression was a risk factor for severe PE which was nine times higher than placental 1-alpha-hydroxylase expression (OR 9,148; 05% CI 2.072-40,386, p=0.002).Conclusions: Low placental 1alpha-hydroxylase expression increases the risk of severe PE.Key words: 1aplha-hydroxylase, expression, placenta, risk factor, severe preeclampsia
The low level of plasma vitamin C as a risk factor of preterm premature rupture of membrane Muhammad Freddy Candra Sitepu; Ketut Suwiyoga; Anak Agung Ngurah Jaya Kusuma; I Gusti Putu Mayun Mayura; Made Darmayasa; I Wayan Artana Putra
Intisari Sains Medis Vol. 11 No. 2 (2020): (Available online: 1 August 2020)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (251.498 KB) | DOI: 10.15562/ism.v11i2.716

Abstract

Introduction: Preterm premature rupture of membrane (PPROM) still becomes a problem related with perinatal morbidity and mortality which is caused by multifactorial risk factor; especially strength of foetal membrane. Collagen is the main component of foetal membrane’s extracellular matrix whereas plasma vitamin C roles as a collagen biosynthesis enzyme-dependent co-factor, down-regulator activity of MMP-1, MMP-2, and MMP-9 and also as antioxidant in remodelling and preventing structural damage extracellular matrix. The purpose of this study is to prove the low plasma level of vitamin C as a risk factor for PPROM on preterm pregnancy.Method: This study was an analytical observational unpaired case-control performed from March 23rd until August 23rd 2018 at Polyclinic and Emergency Unit of Obstetrics and Gynaecology Sanglah Central General Hospital, Buleleng General Hospital, Mangusada General Hospital, Sanjiwani General Hospital, Wangaya General Hospital, and Prodia Clinical Laboratory Denpasar. The samples were preterm pregnancy women with premature rupture of membrane (PROM) as a case group and without premature rupture of membrane as a control group. The samples were taken from peripheral venous blood and level of plasma vitamin C is measured by HPLC method. The data were analysed by SPSS for Windows 20.0 version program then presented as table and narrative.Result: Forty subjects were divided into 2 groups, 20 preterm pregnancy with PROM as a case group and 20 preterm pregnancy without PROM as a control group. Characteristic subject based on maternal age, gestational age, parity of both groups was 27.4 and 26.1 years old, 31 and 31 weeks, and also 1 and 1 time (p>0.05), not significantly different. The mean level of plasma vitamin C on case and control group were 3.90 ± 1.61 dan 9.24 ± 2.31 mg/L (p=0.001). On the case group the low level of plasma vitamin C was 51 times (OR= 51; CI 95% = 7.57–343.73; p=0,001) higher than the control group.Conclusion: The low level of plasma vitamin C is a risk factor of PPROM.
Infeksi Saluran Kemih Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Persalinan Preterm Sugianto Sugianto; I Wayan Megadhana; Ketut Suwiyoga; Tjokorda Gde Agung Suwardewa; I Gusti Putu Mayun Mayura; Anom Suardika; I Wayan Artana Putra
Intisari Sains Medis Vol. 11 No. 2 (2020): (Available online: 1 August 2020)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (336.351 KB) | DOI: 10.15562/ism.v11i2.774

Abstract

Introduction: Preterm labor is one of the major problem and challenge in the obstetric field, since it is associated with high mortality and morbidity in newborn. Preterm delivery around 39.6% was thought to be caused by infection. One of the most common causes of preterm labor is Urinary Tract Infection (UTI). This study aims to determine the role of UTI in pregnancy as a risk factor for preterm labor.Method: This study is a case control study conducted from February 2019 to November 2019. This study involved 52 women (26 case group and 26 control group) with gestational ages over 20 weeks and under 37 weeks, where in case group with signs and symptoms of threatened of preterm delivery and in control group with no signs and symptoms of threatened of preterm delivery. The research sample is maternal peripheral blood for evaluation of Haemoglobin and mid stream urine for evaluation of Bacteriuria and Urine Culture - Resistance Test. Result: In this study, there were no differences in the value of characteristics of maternal age, gestasional age, and gravidity between the two groups (p> 0.05). Pregnancy with UTI (asymptomatic bacteriuria) increased the risk of preterm labor by 13 times compared to pregnancies without UTI (OR = 13.24; 95% CI = 1.53-114.30; p = 0.005 ).Conclusion: Based on the results of this study it can be concluded that a pregnancy with a UTI has a 13 times higher risk of experiencing preterm labor when compared to a pregnancy without a UTI.  Pendahuluan: Persalinan preterm adalah salah satu masalah dan tantangan dalam bidang obstetrik, terkait dengan tingginya mortalitas dan morbiditas pada bayi yang dilahirkan. Persalinan preterm sekitar 39,6% disebabkan oleh infeksi. Salah satu penyebab yang paling umum adalah Infeksi Saluran Kemih (ISK). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan ISK dalam kehamilan sebagai faktor risiko terjadinya persalinan preterm.Metode: Penelitian ini adalah studi kasus kontrol yang dilakukan dari Februari 2019 hingga November 2019. Penelitian ini melibatkan 52 wanita (26 kelompok kasus dan 26 kelompok kontrol) dengan usia kehamilan lebih dari 20 minggu dan di bawah 37 minggu, di mana dalam kelompok kasus dengan adanya tanda dan gejala ancaman persalinan preterm dan dalam kelompok kontrol tanpa adanya tanda dan gejala ancaman persalinan preterm. Sampel penelitian adalah darah tepi ibu untuk keperluan menilai kadar Hemoglobin dan urin aliran tengah untuk keperluan evaluasi adanya Bakteriuria dan selanjutnya untuk Kultur Urin – Uji Resistensi.Hasil: Dalam penelitian ini, diketahui bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam karakteristik usia ibu, usia kehamilan, dan graviditas antara kedua kelompok (p>0,05). Diketahui bahwa kehamilan dengan ISK (bakteriuria asimptomatik) meningkatkan risiko persalinan preterm sebesar 13 kali dibandingkan dengan kehamilan tanpa ISK (OR = 13,24; IK 95%= 1,53-114,30; p = 0,005).Simpulan: Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa kehamilan dengan ISK memiliki risiko 13 kali lebih tinggi mengalami persalinan preterm bila dibandingkan dengan kehamilan tanpa ISK.