Sudung O Pardede, Sudung O
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Published : 43 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Sindrom Nefrotik Kongenital Sudung O. Pardede
Sari Pediatri Vol 7, No 3 (2005)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp7.3.2005.114-24

Abstract

Sindrom nefrotik kongenital (SNK) adalah sindrom yang timbul dalam usia 3 bulanpertama dengan kejadian kurang lebih 1,5 % dari semua sindrom nefrotik pada anak;dapat dibedakan menjadi SNK primer, SNK yang berhubungan dengan sindrommalformasi, dan SNK sekunder. Pada SNK primer dapat berupa SNK tipe Finnish,sklerosis mesangial difus, dan glomerulosklerosis fokal segmental. Tipe SNK yangberhubungan dengan sindrom malformasi antara lain sindrom Danys-Drash, sedangkanSNK sekunder dapat disebabkan oleh infeksi, lupus eritematosus sistemik, atau keganasan.Jenis SNK yang paling sering ditemukan adalah SNK tipe Finnish yang diturunkansecara autosomal resesif. Biasanya pasien SNK tipe Finnish lahir prematur dengan plasentayang besar. Diagnosis prenatal dapat dilakukan dengan mendeteksi kadar alfa fetoproteinyang tinggi dalam cairan amnion. Masalah utama pada SNK adalah proteinuria yangberat, 90% di antaranya adalah albumin. Manifestasi klinis memperlihatkan edemadengan asites, hipoalbuminemia, proteinuria berat, dan hematuria. Selain albumin,banyak protein yang keluar melalui urin seperti imunoglobulin, transferin, proteinpengikat vitamin D, dan globulin pengikat tiroid. Sering juga ditemukan gejala klinislain seperti hidung pesek, sutura melebar, dan deformitas lainnya. Terapi kuratif padaSNK adalah tansplantasi ginjal, sedangkan kortikosteroid dan imunosupresan biasanyatidak efektif. Sebelum transplantasi ginjal, pasien harus mendapat nutrisi yang adekuat,subsitusi albumin, pemberian obat antiproteinurik, nefrektomi, dan dialisis peritoneal.Pemberian obat antiproteinurik masih diperdebatkan. Prognosis SNK sangat buruk dankematian biasanya terjadi dalam 6 bulan pertama, namun dengan tata laksana yangadekuat prognosis menjadi lebih baik. [
Infeksi pada Ginjal dan Saluran Kemih Anak: Manifestasi Klinis dan Tata Laksana Sudung O Pardede
Sari Pediatri Vol 19, No 6 (2018)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (143.94 KB) | DOI: 10.14238/sp19.6.2018.364-74

Abstract

Infeksi saluran kemih (ISK) disebabkan berbagai jenis mikroba seperti bakteri, virus, dan jamur. Penyebab ISK paling sering adalah bakteri Escherichia coli. Infeksi saluran kemih pada anak dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi infeksi, manifestasi klinis, ada tidaknya kelainan saluran kemih,  dan kepentingan klinis. Manifestasi klinis ISK bervariasi, tergantung pada usia, tempat infeksi dalam saluran kemih, dan beratnya infeksi atau intensitas reaksi peradangan. Sebagian ISK pada anak merupakan ISK asimtomatik dan umumnya ditemukan pada anak usia sekolah, terutama anak perempuan dan ISK asimtomatik umumnya tidak berlanjut menjadi pielonefritis. Manifestasi klinis ISK pada anak dapat berupa pielonefritis akut atau febrile urinary tract infection, sistitis, sistitis hemorhagik, ISK asimtomatik. Tata laksana ISK terdiri atas eradikasi infeksi akut, deteksi dan tata laksana kelainan anatomi  dan fungsional pada ginjal dan saluran kemih, deteksi  dan mencegah infeksi berulang. Tujuan pemberian antimikroba adalah untuk mengatasi infeksi akut, mencegah urosepsis, dan mencegah atau mengurangi kerusakan ginjal.
Karakteristik Densitas Tulang Anak dengan Hiperplasia Adrenal Kongenital yang Mendapat Terapi Glukokortikoid Ariani Dewi Widodo; Jose R. L. Batubara; Evita B. Ifran; Arwin AP Akib; Sudung O. Pardede; Darmawan B. Setyanto
Sari Pediatri Vol 12, No 5 (2011)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (95.408 KB) | DOI: 10.14238/sp12.5.2011.307-14

Abstract

Latar belakang. Anak dengan hiperplasia adrenal kongenital (HAK) mendapat terapi glukokortikoid seumurhidup. Penggunaan glukokortikoid jangka panjang diketahui dapat menyebabkan penurunan densitas mineraltulang (DMT), namun pada anak HAK terapi tersebut bersifat substitusi. Belum diketahui karakteristikDMT pada anak HAK di Indonesia.Tujuan. Mengetahui karakteristik densitas tulang anak dengan HAK yang mendapat terapiglukokortikoid.Metode. Uji potong lintang deskriptif dilakukan di Poliklinik Endokrinologi Departemen Ilmu KesehatanAnak RSUPN Cipto Mangunkusumo selama November 2008-April 2010. Subjek adalah anak HAK yangmendapat terapi glukokortikoid teratur lebih dari 6 bulan. Pada setiap subjek dilakukan pencatatan data danpemeriksaan DMT menggunakan dual energy x-ray absorptiometry (DEXA) di Klinik Teratai RSUPNCM.Hasil. Tigapuluh dua subjek, 25 perempuan dan 7 lelaki, 18 dengan HAK tipe virilisasi sederhana dan 14tipe salt-losing, diikutsertakan dalam penelitian, median usia 6 tahun. Diagnosis 24 subjek ditegakkan padausia <1 tahun, tipe salt-losing terdiagnosis pada usia lebih muda. Semua subjek memiliki status gizi baikhingga obesitas, dan 29/32 subjek memiliki status pubertas sesuai usia. Semua pasien HAK mendapat terapiglukokortikoid teratur sejak saat diagnosis, dengan median dosis 17,7 mg/m2/hari atau 3,8 gram dalam 6bulan terakhir, dan rerata lama pengobatan 7,7 tahun. Terapi mineralokortikoid pada subjek dengan mediandosis 50 mcg/hari. Ditemukan DMT normal pada 24/32 subjek, 7 osteopenia, dan 1 osteoporosis. Delapandi antara pasien dengan DMT normal, memiliki Z-score >+1. Rerata Z-score DMT L1-L4 subjek +0,29 (SB1,46). Terdapat korelasi lemah antara DMT dengan dosis kumulatif glukokortikoid enam bulan terakhir(r= -0,36; p=0,04), dan tidak ditemukan korelasi dengan dosis glukokortikoid/LPB/hari (r= -0,29; p=0,11)maupun dengan durasi terapi (r= -0,07; p=0,69).Kesimpulan. Sebagian besar anak HAK yang mendapat terapi substitusi glukokortikoid memiliki DMTnormal. Terdapat korelasi lemah antara DMT dengan dosis kumulatif glukokortikoid enam bulan terakhir,sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut dengan durasi dosis kumulatif yang berbeda-beda.
Perundungan-siber (Cyberbullying) serta Masalah Emosi dan Perilaku pada Pelajar Usia 12-15 Tahun di Jakarta Pusat Bonny Tjongjono; Hartono Gunardi; Sudung O. Pardede; Tjhin Wiguna
Sari Pediatri Vol 20, No 6 (2019)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (149.301 KB) | DOI: 10.14238/sp20.6.2019.342-8

Abstract

Latar belakang. Internet dan media sosial memberikan banyak kemudahan hidup, namun juga berpotensi untuk disalahgunakan, misalnya untuk perundungan-siber. Perundungan-siber memiliki efek negatif terhadap kesehatan fisik, psikologis, dan sosial pelaku maupun korbannya. Tujuan. Mengidentifikasi karakteristik perundungan-siber serta masalah emosi dan perilaku pelajar usia 12-15 tahun di Jakarta Pusat.Metode. Penelitian potong lintang dilakukan pada pelajar usia 12-15 tahun pada satu SMP di Jakarta Pusat. Perundungan-siber dinilai dengan kuesioner perundungan-siber Hinduja dan Patchin, yang telah diterjemahkan dan divalidasi dengan Cronbach’s α=0,72. Masalah emosi dan perilaku ditapis dengan menggunakan Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ).Hasil. Dari 274 pelajar yang berpartisipasi dalam penelitian ini, prevalens perundungan-siber adalah 48,2% (korban 11%, pelaku 14,2%, korban sekaligus pelaku 23%). Jenis perundungan-siber tersering yang dialami korban adalah tidak dihargai oleh orang lain (83,3%), disinggung-singgung oleh orang lain (80%), dan diacuhkan oleh orang lain (73,3%). Chat room di Line (60%) dan Instagram (60%), merupakan media sosial tersering yang digunakan. Teman sebaya laki-laki merupakan pelaku tersering (66,7%). Masalah hubungan dengan teman sebaya merupakan masalah emosi dan perilaku yang paling sering dialami oleh korban (10,2%), pelaku (13,5%), dan korban sekaligus pelaku (20,4%).Kesimpulan. Perundungan-siber merupakan suatu fenomena yang sering dijumpai pada pelajar usia 12-15 tahun di sebuah SMP di Jakarta Pusat. Masalah tersebut memerlukan perhatian yang lebih serius dari orangtua, guru dan tenaga kesehatan.
Struktur Sel Streptokokus dan Patogenesis Glomerulonefritis Akut Pascastreptokokus Sudung O. Pardede
Sari Pediatri Vol 11, No 1 (2009)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp11.1.2009.56-65

Abstract

Struktur sel streptokokus terdiri dari kapsul asam hialuronidat, dinding sel, fimbriae, dan membran sitoplasma. Kapsul asam hialuronat diperlukan untuk resistensi terhadap pagositosis dan perlekatan bakteri pada sel epitel. Dinding sel mengandung protein spesifik terdiri dari kelas mayor yaitu protein M dan protein T serta kelas minor yaitu protein F, protein R, dan M-like protein. Fimbriae pada permukaan dinding sel disusun dari protein M spesifik dan asam lipoteikoat (polifosfogliserol dan asam lemak) yang memediasi adesi Streptococcus pyogenes ke fibronektin pada sel epitel pejamu. Membran sitoplasma dibentuk dari lipoprotein. Streptokokus A dapat mengeluarkan eksoprotein yang bekerja sebagai toksin sistemik atau sebagai enzim invasif lokal seperti hemolisin yaitu streptolisin O dan streptolisin S, streptokinase, DNAse, serta proteinase seperti nikotinamid adenin dinukleotidase (NADase, adenosin trifosfatase (ATPase), fosfatase, hialuronidase, neuraminidase, lipoproteinase, dan eksotoksin pirogenik A, B, C. Berbagai antigen streptokokus diketahui berperan dalam patogenesis glomerulonefritis akut pasca streptokokus (GNAPS) meskipun mekanisme pastinya belum semuanya jelas. Biasanya GNAPS didahului infeksi saluran nafas atas atau infeksi kulit oleh kuman Streptococcus β haemolyticus grup A. terjadi GNAPS melalui mekanisme 1. Pembentukan kompleks imun bersirkulasi dan terperangkap pada glomerulus, 2. Terdapat kemiripan molekul antara streptokokus dengan antigen ginjal, misalnya jaringan glomerulus normal bertindak sebagai autoantigen dan bereaksi dengan antibodi bersirkulasi yang dibentuk terhadap antigen streptokokus, 3. Pembentukan kompleks imun in situ antara antibodi streptokokus dan antigen glomerulus, 4. Aktivasi komplemen secara langsung oleh deposit antigen streptokokus dalam glomerulus.
Poliuria pada Anak Sudung O. Pardede
Sari Pediatri Vol 5, No 3 (2003)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (203.275 KB) | DOI: 10.14238/sp5.3.2003.103-10

Abstract

Poliuria terjadi karena gangguan pengaturan cairan dan solut dengan penyebab danpatofisiologi yang berbeda-beda. Poliuria dapat terjadi karena diuresis solut, diuresis air(water diuresis), atau kombinasi keduanya dan dapat menyebabkan sakit berat. Terdapatberbagai definisi poliuria, tetapi secara umum, poliuria diartikan dengan jumlah urin >2 ml/kgbb/jam. Poliuria biasanya dihubungkan dengan kelainan neurologis, kelainanginjal, atau kelainan metabolik dan dapat menyebabkan berkurangnya volume cairanekstraselular dan intraselular. Meskipun dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik telahdapat diperkirakan penyebab poliuria, tetapi diagnosis definitif memerlukan pemeriksaanlaboratorium. Urin yang isoosmolar atau hiperosmolar terdapat pada diuresis solut atauanak normal, dan urin yang hipoosmolar terdapat pada diuresis air. Uji deprivasi airsangat perlu dilakukan jika evaluasi awal tidak dapat menentukan penyebab poliuria.Tata laksana poliuria dengan melakukan balans cairan, memperbaiki kelainan elektrolit,dan mencari penyebab.
Hipertensi Krisis pada Anak Sudung O. Pardede
Sari Pediatri Vol 11, No 4 (2009)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (90.44 KB) | DOI: 10.14238/sp11.4.2009.289-97

Abstract

Hipertensi krisis adalah keadaan gawat darurat yang memerlukan penanganan segera. Hipertensi krisisdibedakan atas hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi emergensi berarti hipertensi yangdisertai kerusakan organ target sedangkan hipertensi urgensi merupakan hipertensi yang tidak disertaikerusakan organ target. Umumnya hipertensi pada anak adalah hipertensi sekunder, dan penyebab hipertensikrisis yang paling sering adalah penyakit renoparenkim dan renovaskular. Hipertensi krisis terjadi melaluibeberapa mekanisme antara lain melalui sistem renin angiotensin, overload cairan, stimulasi simpatetik,disfungsi endotel, dan obat-obatan. Sebagai keadaan gawat darurat, prinsip tata laksana hipertensi krisisadalah menurunkan tekanan darah secepatnya untuk mencegah kerusakan organ target. Penangananhipertensi krisis meliputi pemberian antihipertensi onset cepat, mengatasi kelainan organ target (otak,jantung, retina), mencari dan menanggulangi penyebab hipertensi, serta terapi suportif. Antihipertensi yangsering digunakan adalah labetalol, nikardipin, natrium nitroprusid, diazoksida, hidralazin, fenoldopam,klonidin, sedangkan di Indonesia, antihipertensi yang digunakan untuk tata laksana hipertensi krisis adalahklonidin, nifedipin, natrium nitroprusid, dan nikardipin. (
Paralisis Periodik Hipokalemik pada Anak dengan Asidosis Tubulus Renalis Distal Elsye Souvriyanti; Sudung O. Pardede
Sari Pediatri Vol 10, No 1 (2008)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (192.72 KB) | DOI: 10.14238/sp10.1.2008.53-9

Abstract

Paralisis periodik hipokalemik merupakan kelainan yang relatif jarang ditemukan, tetapi berpotensi menimbulkangejala klinis yang dapat mengancam jiwa. Dilaporkan satu kasus PPH yang disebabkan asidosistubulus renalis distal pada anak perempuan usia 14 tahun yang datang dengan keluhan kelemahan ototekstremitas akut berulang, dicetuskan oleh muntah-muntah, latihan fisik yang berat dan makan makananyang banyak mengandung karbohidrat. Pada pemeriksaan fisis ditemukan penurunan kekuatan motorik,penurunan refleks tendon, tanpa disertai penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan laboratorium menunjukkanhipokalemia, asidosis metabolik hiperkloremik, senjang anion plasma normal, dan senjang anionurin yang positif. Pasien diterapi dengan kalium dan natrium bikarbonat dengan hasil perbaikan.
Deteksi Adiksi Internet dan Faktor-Faktor yang Memengaruhinya pada Remaja di Masa Pandemi Covid-19 Diana Adriani Banunaek; Rini Sekartini; Sudung O. Pardede; Bambang Tridjaja; Ari Prayitno; Yoga Devaera
Sari Pediatri Vol 23, No 6 (2022)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp23.6.2022.360-8

Abstract

Latar belakang. Pandemi Covid-19 memberikan dampak besar secara global, salah satunya di bidang pendidikan. Kegiatan pembelajaran dilakukan secara daring (dalam jaringan). Remaja yang mengikuti sekolah daring lebih banyak menghabiskan waktu di depan layar. Remaja juga merasa kesepian karena adanya pembatasan sosial sehingga mencari pelarian melalui internet. Hal ini menyebabkan semakin meningkatnya waktu di depan layar sehingga meningkatkan adiksi internet pada remaja.Tujuan. Mengetahui prevalens adiksi internet remaja di masa pandemi Covid-19 serta mengetahui hubungannya dengan beberapa faktor sosio-demografik. Metode. Penelitian potong lintang terhadap 332 siswa SMP/SMA/SMK/sederajat yang sedang menjalani sekolah daring, melalui pengisian kuesioner faktor sosio-demografik dan KDAI (kuesioner deteksi adiksi internet), dalam waktu 3 bulan (Maret-Juni 2021).Hasil. Prevalensi adiksi internet remaja sebanyak 29,8%. Faktor yang berhubungan dengan adiksi internet adalah waktu di depan layar untuk kegiatan hiburan ≥3 jam (p=0,001, adjusted OR 4,309, IK 95% 1,833-10,129) serta pengawasan orangtua yang buruk dalam penggunaan internet (p=0,037, adjusted OR 1,827, IK 95% 1,038-3,215). Kesimpulan. Tidak ada peningkatan prevalensi adiksi internet remaja di masa pandemi Covid-19. Variabel yang memiliki hubungan dengan adiksi internet adalah pengawasan orangtua yang buruk dan waktu depan layar untuk kegiatan hiburan ≥3 jam.
Faktor Risiko Obstructive Sleep Apnea pada Anak Sindrom Down​ Dewi Kartika Suryani; Bambang Supriyatno; Mulya Rahma Karyanti; Zakiudin Munasir; Sudung O. Pardede; Dina Muktiarti
Sari Pediatri Vol 20, No 5 (2019)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (125.055 KB) | DOI: 10.14238/sp20.5.2019.295-302

Abstract

Latar belakang. Sindrom Down merupakan kelainan kromosom tersering. Anak dengan sindrom Down (SD) di berbagai negara memiliki beberapa faktor risiko terhadap OSA dengan prevalensii antara 30%-60%, dibandingkan 0,7%-2% pada populasi umum. Hingga saat ini belum ada data mengenai OSA pada anak sindrom Down di Indonesia. Tujuan. Mengidentifikasi prevalensi OSA pada anak sindrom Down dan menganalisis hubungan antara habitual snoring, obesitas, penyakit alergi di saluran napas, hipertrofi tonsil, dan hipertrofi adenoid sebagai faktor risiko OSA pada anak sindrom Down. Metode. Penelitian potong lintang dilakukan pada anak sindrom Down berusia 3-18 tahun yang tergabung dalam Yayasan POTADS. Penelitian dilakukan di Poliklinik Respirologi IKA FKUI RSCM dari bulan Juli 2016 hingga Juli 2017. Penegakan diagnosis OSA menggunakan nilai batas AHI≥3 pada pemeriksaan poligrafi. Faktor- risiko yang dianggap berpengaruh dianalisis secara multivariat. Hasil. Penelitian dilakukan terhadap 42 subjek dengan hasil prevalensi OSA pada anak dengan SD 61,9%. Sebesar 42,9% merupakan OSA derajat ringan, 14,3% OSA sedang, dan 4,8% OSA berat. Pada analisis multivariat didapatkan faktor risiko yang bermakna yaitu habitual snoring (p=0,022 dan PR 8,85; IK 1,37-57) dan hipertrofi adenoid (p=0,006 dan PR 12,93; IK 2,09-79). Kesimpulan. Prevalensi OSA pada anak sindrom Down sebesar 61,9%. Faktor risiko yang bermakna yaitu habitual snoring dan hipertrofi adenoid.