Sudung O Pardede, Sudung O
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Published : 43 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Pengalaman Transplantasi Ginjal pada Anak di Jakarta Sudung O. Pardede; Eka Laksmi Hidayati; Cahyani Gita Ambarsari; Henny Adriani Puspitasari; Partini P. Trihono; Taralan Tambunan
Sari Pediatri Vol 21, No 1 (2019)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (98.256 KB) | DOI: 10.14238/sp21.1.2019.44-9

Abstract

Latar belakang.Transplantasi ginjal merupakan terapi yang efektif untuk penyakit ginjal kronik (PGK) stadium 5 atau gagal ginjal terminal. Transplantasi ginjal di dunia pertama kali dilakukan pada tahun 1950an. Di Indonesia, transplantasi ginjal pada orang dewasa telah dilakukan pada tahun 1977 dan semakin berkembang dan telah dilakukan di beberapa kota di Indonesia. Transplantasi ginjal pada anak pertama kali dilakukan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusomo pada bulan Maret 2013, terhadap seorang anak lelaki berusia 13 tahun dengan gagal ginjal terminal yang disebabkan sindrom nefrotik, dengan ginjal yang diperoleh dari non-related living donor. Ini merupakan transplantasi ginjal yang pertama kali dilakukan pada anak di Indonesia.Tujuan. Melaporkan data tentang kegiatan transplantasi ginjal yang dilakukan di Jakarta.Metode. Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif yang mengambil data dari catatan medis. Hingga tahun 2018 telah dilakukan 11 kali transplantasi ginjal pada 10 orang anak terdiri atas 9 laki-laki dan 1 perempuan, dengan 1 kasus re-transplan. Rentang usia adalah 8-18 tahun, dengan penyakit dasar terdiri atas sindrom nefrotik (3 anak), dan ginjal hipoplasia (7 anak). Donor untuk kesebelas transplan anak tersebut terdiri atas 4 non-related living donor dan 7 orang related living donor, yaitu 5 orang donor ayah dan 2 orang donor ibu. Hasil. Di antara 10 pasien transplan, 3 orang menggunakan biaya pribadi atau asuransi swasta dan 8 orang dengan biaya dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Hingga bulan Agustus 2018, di antara kesepuluh anak tersebut, 7 orang hidup dan di antaranya 2 orang mengalami rejeksi pada tahun ke-3 (1 orang konversi kembali ke hemodialisis dan 1 orang telah menjalani re-transplan). Tiga pasien meninggal akibat infeksi berat.Kesimpulan. Transplantasi ginjal di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusomo dimulai pada tahun 2013, dengan donor hidup yang sebagian besar berasal dari orangtua, dengan pembiayaan sebagian besar menggunakan BPJS.
Podosit dan Slit Diafragma serta Perannya Sudung O. Pardede
Sari Pediatri Vol 6, No 3 (2004)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (519.517 KB) | DOI: 10.14238/sp6.3.2004.119-24

Abstract

Podosit dan slit diafragma adalah bagian dari dinding kapiler glomerulus ginjal yangmempunyai peran yang sangat penting dalam filtrasi glomerulus. Berbagai molekulterdapat pada podosit dan slit diafragma yang berperan penting dalam integritas prosesfiltrasi. Foot processes podosit berinteraksi dengan slit diafragma melalui interaksi antaranefrin dan Neph1 dalam slit diafragma dengan molekul adapter intraselular padamembran foot processes. Molekul adapter intraselular dalam membran foot processespodosit antara lain podosin, CD2AP, ZO-1, a-aktinin-4, dan katenin. Slit diafragmamengandung nefrin, Neph1 dan protein lain seperti P-kaderin dan FAT. Nefrin danNeph1 berinteraksi satu dengan yang lain menjadi tulang punggung slit diafragma.Dalam keadaan normal, foot processes dan slit diafragma membentuk sawar filtrasisehingga hanya molekul tertentu saja yang dapat lolos ke ruang urin. Kelainan pada footprocesses dan slit diafragma dapat menyebabkan proteinuria. Proteinuria pada penyakitginjal proteinurik dapat terjadi karena berkurangnya muatan anion MBG (membranbasalis glomerulus) yang akan meningkatkan pasase protein plasma yang bermuatannegatif melalui filter. Lepasnya foot processes podosit dari membran basalis glomerulusakan meningkatkan aliran plasma melewati membran basalis glomerulus yang gundul,dan kelainan fungsional dan struktural pada komponen slit diafragma menyebabkankebocoran protein melalui slit pore podosit.
Profil Pemberian Cairan Perioperatif serta Pengaruhnya terhadap Keseimbangan Asam Basa, Elektrolit, dan Kadar Glukosa Darah Ratih Puspita; Antonius Pudjiadi; Hardiono Pusponegoro; Sudung Pardede O Pardede; Mulya R Karyanti; Rosalina D Roeslani
Sari Pediatri Vol 17, No 5 (2016)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp17.5.2016.335-342

Abstract

Latar belakang. Pemberian cairan intravena perioperatif yang tidak tepat dapat menimbulkan komplikasi asidosis metabolik, hiponatremia, hipoglikemi, atau hiperglikemia.Tujuan. Mengetahui profil pemberian cairan perioperatif serta pengaruhnya terhadap keseimbangan asam basa, elektrolit dan gula darah serum.Metode. Studi deskriptif kohort prospektif pada anak yang menjalani tindakan bedah elektif di RSCM. Pada subyek dilakukan pemeriksaan laboratorium sesaat sebelum dan setelah tindakan bedah, serta 6 jam setelah pemberian cairan postoperatif.Hasil. Terdapat 61 subyek, 65,6% tidak mendapat cairan preoperatif. Cairan terbanyak digunakan intraoperatif adalah ringer asetat malat (RAM) (77%) dan untuk postoperatif adalah kristaloid hipotonik (83,6%). Jumlah cairan preoperatif dan postoperatif sebagian besar sesuai formula Holliday-Segar. Subyek yang mendapat cairan preoperatif D10 1/5 NS + KCl (10) lebih banyak mengalami hiponatremia (13,4% vs 5%) dan gangguan kadar gula darah (20% vs 0%) dibandingkan dengan yang tidak mendapat cairan. Asidosis metabolik kelompok cairan intraoperatif RAM (36,2%) maupun Ringer asetat (36,4%). Hiponatremia pasca cairan postoperatif 57,1% subyek yang tidak mendapat cairan, 44,4% pada kelompok KA-EN3B®, dan 21,9% pada kelompok D10 1/5 NS + KCl (10). Hiperglikemia 15,6% subyek yang mendapat D10 1/5 NS + KCl (10).Kesimpulan. Pemberian cairan perioperatif di RSCM bervariasi. Angka kejadian hiponatremia pasca pemberian kristaloid hipotonik 13,4%-44,4%. Hiponatremia dan gangguan kadar gula darah terjadi pada subyek yang mendapat cairan D10 1/5 NS + KCl (10). 
Gangguan Ginjal terkait Obesitas pada Anak Sudung Oloan Pardede; Alvina Christine; Jumaini Andriana
Sari Pediatri Vol 18, No 6 (2017)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp18.6.2017.504-12

Abstract

Prevalensi obesitas pada anak serta komplikasinya cenderung mengalami peningkatan. Salah satu komplikasi obesitas adalah kelainan ginjal yang disebut obesity-related renal injury atau gangguan ginjal terkait obesitas. Banyak faktor yang berperan dalam terjadinya obesity-related renal injury. Overweight atau obesitas berhubungan erat dengan berbagai faktor risiko penyakit ginjal kronik yaitu hiperinsulinemia, gangguan metabolisme glukosa, hipertensi, hiperlipidemia, dan sindrom metabolik. Di antara semua faktor tersebut, faktor yang paling berperan antara obesitas dan kerusakan ginjal adalah berkurangnya sensitivitas insulin. Manifestasi klinis  obesity related renal injury biasanya berupa proteinuria bermakna tanpa edema, albumin plasma sedikit menurun, dan kolesterol normal atau sedikit meningkat. Salah satu tata laksana obesity-related renal injury adalah penurunan berat badan. Pengurangan asupan diet dan penurunan berat badan dapat menyebabkan berkurangnya lesi glomerulosklerosis fokal segmental. Terapi lainnya adalah pemberian obat yang memiliki efek negatif terhadap sistem renin-angiotensin seperti inhibitor angiotensin-converting-enzyme dan angitensin receptor blocker. Dapat juga diberikan obat yang meningkatkan sensitivitas insulin. Golongan statin mempunyai peranan dalam melindungi ginjal. Usaha mencegah atau menangani obesitas sejak dini memberikan dampak besar terhadap insidens, progresivitas, biaya, dan komorbiditas penyakit ginjal
Pruritus Uremik Sudung O. Pardede
Sari Pediatri Vol 11, No 5 (2010)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp11.5.2010.348-54

Abstract

Pruritus uremik adalah pruritus yang terjadi pada gagal ginjal yang disebabkan oleh toksin uremik,dengan prevalensi berkisar antara 20%-50%.. Pruritus uremik dapat mengganggu aktivitas atau pekerjaan,mengganggu tidur, dan menurunkan kualitas hidup. Patogenesis pruritus uremik masih belum jelas, tetapiada kaitannya dengan hiperparatiroidisme, hormon parathormon, metabolisme kalsium dan fosfor, inervasikulit abnormal, neuropati somatik, peningkatan kadar histamin, dan reseptor opioid. Faktor neurofisiologikmemegang peran penting dalam terjadinya pruritus. Patogenesis yang sering diajukan adalah the immunohypothesisdan hipotesis opioid. Berdasarkan hipotesis ini, berbagai jenis pengobatan dilakukan untukmenanggulangi pruritus uremik.Meskipun tata laksana pasien penyakit ginjal stadium akhir sudah berkembang pesat, namun tata laksanapruritus masih merupakan masalah klinis. Pengobatan dapat dilakukan secara topikal dengan menggunakansalep seperti capsaicin atau takrolimus. Pengobatan sistemik telah dicoba dengan naltrekson, agonis reseptor􀁍-opioid, dan nalfurafin, agonis reseptor 􀁋-opioid. Selain itu perlu diperhatikan terapi suportif lainnyaseperti menciptakan suasana yang sejuk
Penyakit Ginjal Kronik pada Anak Sudung O. Pardede; Swanty Chunnaedy
Sari Pediatri Vol 11, No 3 (2009)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp11.3.2009.199-206

Abstract

Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan pada anak yang cukup serius dengan prevalens yang semakin meningkat dari tahun ke tahun dan mortalitas yang meningkat. Definisi PGK adalah penyakit ginjal dengan kerusakan ginjal minimal tiga bulan dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). Berbagai kelainan ginjal baik kelainan kongenital maupun didapat dapat menyebabkan PGK. Pasien PGK seringkali datang dengan berbagai keluhan yang menunjukkan bahwa pasien datang pada stadium lanjut, karena keterlambatan diagnosis. Manifestasi klinis dapat berupa gangguan pertumbuhan, anemia, nutrisi, hipertensi, gangguan elektrolit, dan osteodistrofi renal. Proteinuria merupakan petanda penting pada PGK dan berperan dalam progresivitas penyakit. Pengobatan bertujuan untuk menghambat atau memperlambat progresivitas penyakit serta mencegah terjadinya komplikasi. Selain terhadap penyebabnya, pengobatan dilakukan juga untuk mengatasi manifestasi klinis. Pencegahan dan deteksi dini merupakan hal yang sangat penting, karena dengan deteksi dini progresivitas penyakit dapat dikendalikan
Karakteristik dan Kesintasan Penyakit Ginjal Kronik Stadium 3 dan 4 pada Anak di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Swanty Chunnaedy; Sudung O Pardede; Mulyadi M. Djer
Sari Pediatri Vol 16, No 2 (2014)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (270.933 KB) | DOI: 10.14238/sp16.2.2014.71-8

Abstract

Latar belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan terminologi baru untuk pasien yang mengalami kerusakan ginjal paling sedikit selama tiga bulan dengan atau tanpa penurunan LFG. Terminologi ini belum banyak digunakan di Indonesia sehingga karakteristik dan kesintasan PGK stadium 3 dan 4 pada anak belum banyak diteliti.Tujuan. Mendapatkan karakteristik dan kesintasan PGK stadium 3 dan 4 pada anak yang berobat di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCMMetode. Penelitian kohort prospektif historikal ini diambil dari rekam medis pasien dengan PGK stadium 3 dan 4 menurut kiriteria NKF KDOQI di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM sejak Januari 2004 hingga 30 November 2012. Kesintasan dianalisis dengan menggunakan Kaplan Meier dengan event yang dinilai adalah PGK stadium 5 atau kematian.Hasil. Terdapat 50 rekam medis yang masuk dalam analisis, terdiri atas 36 subjek PGK stadium 3 dan 14 subjek PGK stadium 4. Median usia adalah 7,9 (2-15) tahun dengan jenis kelamin perempuan (58%) sedikit lebih banyak dari pada laki-laki (42%). Etiologi terbanyak adalah glomerulonefritis (56%) dengan sindrom nefrotik memiliki proporsi terbesar. Gambaran klinis yang ditemukan adalah hipertensi (42%), gizi kurang (40%), anemia (70%), gangguan elektrolit (78%), asidosis (34%), proteinuria (72%), perawakan pendek (56%), osteodistrofi renal (2%), dan kardiomiopati dilatasi (14 %). Median kesintasan keseluruhan adalah 57,13 bulan (IK 95% 11,18 sampai 103,09).Kesimpulan. Penyakit ginjal kronik stadium 3 dan 4 sedikit lebih banyak terjadi pada perempuan dengan etiologi terbanyak adalah glomerulonefritis. Komplikasi yang paling sering adalah gangguan elektrolit, anemia, perawakan pendek, gizi kurang, dan hipertensi. Median kesintasan keseluruhan adalah 57,13 bulan (IK 95 % 11,18 sampai 103,09).
Anemia pada Sindrom Nefrotik Anak: Patogenesis dan Tata Laksana Sudung O. Pardede
Sari Pediatri Vol 22, No 1 (2020)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp22.1.2020.57-64

Abstract

Sindrom nefrotik merupakan penyakit ginjal yang sering  pada anak, ditandai dengan  proteinuria masif, hipo­albuminemia, edema, dan hiperkolesterolemia. Sindrom nefrotik dapat menyebabkan komplikasi hipovolemia, renjatan, gangguan ginjal akut, infeksi, tromboembolisme, gangguan elektrolit, gangguan endokrin, dan anemia. Komplikasi ini disebabkan hilangnya protein melalui urin, seperti albumin, faktor koagulasi, imunoglobulin, hormone-binding protein, transferin, dan eritropoietin. Anemia pada sindrom nefrotik dapat disebabkan perubahan homeostasis besi dan transferin, pengeluaran eritropoietin melalui urin, defisiensi vitamin B12, serta peran obat dan logam. Ekskresi besi dan transferin melalui urin menyebabkan kadar transferin  plasma menurun yang mengakibatkan penurunan kadar besi plasma dan anemia mikrositik hipokrom. Kehilangan erItropoietin melalui urin menyebabkan anemia defisiensi eritropoietin. Kehilangan transkobalamin dan vitamin B12 melalui urin menurunkan kadar vitamin B12 plasma. Kehilangan seruloplasmin melalui urin dapat menyebabkan defisiensi tembaga yang mengakibatkan anemia. Obat angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEIs) dapat menyebabkan anemia dengan mekanisme inhibisi eritropoiesis dengan menurunkan kadar eritropoietin sirkulasi. Keberhasilan terapi anemia pada sinrom nefrotik bergantung pada penyebab anemia. Anemia defisiensi besi diterapi dengan suplementasi besi. Pemberian eritropoietin rekombinan efektif dan aman dalam tata laksana anemia pada sindrom nefrotik. Defisiensi vitamin B12 diterapi dengan vitamin B12 dan anemia defisiensi tembaga diterapi dengan suplementasi tembaga glukonat.  
Gambaran Klinis Asidosis Tubulus Renalis pada Anak Sudung O. Pardede; Partini P. Trihono; Taralan Tambunan
Sari Pediatri Vol 4, No 4 (2003)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp4.4.2003.192-7

Abstract

Asidosis tubulus renalis merupakan penyakit yang jarang dijumpai, mempunyaimanifestasi klinis yang tidak spesifik; ditandai dengan asidosis metabolik hiperkloremik,senjang anion plasma dan laju filtrasi glomerulus normal. Gambaran klinis dapat berupagangguan pertumbuhan, anoreksia, muntah, konstipasi, diare, dehidrasi, dan poliuria.Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif deskriptif terhadap pasien asidosistubulus renalis primer maupun sekunder di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCMJakarta antara tahun 1975-1995. Selama 20 tahun didapatkan 12 kasus asidosis tubulusrenalis yang terdiri dari 6 anak laki-laki dan 6 perempuan. Usia saat diagnosis ditegakkanantara 4 bulan sampai 11 tahun, rerata 5 tahun 2 bulan. Asidosis tubulus renalis distalmerupakan jenis yang paling sering ditemukan yaitu 8 pasien, sedangkan asidosis tubulusrenalis proksimal 4 pasien. Gangguan motorik tungkai bawah merupakan keluhan utamayang paling sering ditemukan yaitu pada 9/12 pasien (7 pasien tidak dapat berjalan ataulumpuh dan 2 pasien dengan tulang bengkok dan fraktur). Muntah-muntah disertaidehidrasi merupakan keluhan utama pada 2 pasien sedangkan gagal tumbuh pada 1pasien. Malnutrisi dengan berat badan < P3 NCHS didapatkan pada 10 pasien sedangkangangguan pertumbuhan dengan tinggi badan < P3 NCHS didapatkan pada 11 pasien.Sebagai kesimpulan, asidosis tubulus renalis merupakan penyakit yang sangat jarangdengan manifestasi klinis yang tidak spesifik sehingga diagnosis seringkali terlambat.Gangguan motorik tungkai bawah merupakan keluhan utama yang paling seringditemukan.
Gambaran Klinis Glomerulonefritis Akut pada Anak di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Sudung O. Pardede; Partini P. Trihono; Taralan Tambunan
Sari Pediatri Vol 6, No 4 (2005)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp6.4.2005.144-8

Abstract

Glomerulonefritis akut merupakan glomerulonefritis yang sering ditemukan pada anakditandai dengan hematuria, hipertensi, edem, dan penurunan fungsi ginjal.Glomerulonefritis akut pada anak paling sering ditemukan pada umur 2- 10 tahun danumumnya terjadi pasca infeksi streptokokus.Tujuan: mengetahui gambaran klinis glomerulonefritis akut pada anak di DepartemenIlmu Kesehatan Anak RSCM, Jakarta.Metoda: penelitian deskriptif retrospektif. Data diperoleh dari catatan medik pasiendengan diagnosis glomerulonefritis akut yang berobat di Departemen Ilmu KesehatanAnak RSCM, Jakarta, sejak tahun 1998 sampai 2002.Hasil: selama 5 tahun (1998-2002), didapatkan 45 pasien glomerulonefritis akut (26laki-laki dan 19 perempuan) yang berumur antara 4 – 14 tahun dengan umur palingsering adalah 6-11 tahun. Riwayat infeksi saluran nafas akut didapatkan pada 36 pasien,dan infeksi kulit 14 pasien. Hematuria makroskopik didapatkan pada 29 pasien, anuria/oliguria 31 pasien, dan edem pada 39 pasien. Hipertensi dijumpai pada 39 pasien, 19 diantaranya merupakan hipertensi krisis. Proteinuria dan hematuria mikroskopikdidapatkan pada semua pasien, leukosituria 29 pasien. Penurunan fungsi ginjal didapatkanpada 21 pasien, peningkatan titer ASO 21 pasien, dan komplemen C3 yang menurun32 pasien.Kesimpulan: hematuria, proteinuria, edem, hipertensi, dan oligo/anuria merupakanmanifestasi klinis glomerulonefritis akut yang paling sering ditemukan pada anak.Dibandingkan dengan periode sebelumnya, kejadian glomerulonefritis akut semakinmenurun.