cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Jurnal Bina Mulia Hukum
ISSN : 25287273     EISSN : 25409034     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Bina Mulia Hukum (JBMH) adalah jurnal ilmu hukum yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, terbit secara berkala setiap tahunnya pada bulan Maret dan September. Artikel yang dimuat pada Jurnal Bina Mulia Hukum adalah artikel Ilmiah yang berisi tulisan dari hasil penelitian dan kajian analitis kritis di bidang hukum.
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol. 5 No. 2 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 2 Maret 2021" : 10 Documents clear
PENANGGULANGAN ANARKISME SUPORTER MELALUI KEBIJAKAN HUKUM PIDANA (STUDI KASUS PERSIB BANDUNG DAN PERSIJA JAKARTA): (Studi Kasus Persib Bandung dan Persija Jakarta) Laras Astuti; Heri Purwanto
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 5 No. 2 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 2 Maret 2021
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jbmh.v5i2.3

Abstract

ABSTRAK Anarkisme suporter sebagai salah satu permasalahan klasik dalam penyelenggaraan liga sepakbola di Indonesia akan terus terjadi di setiap tahunnya, apabila tidak ada pola penyelesaian yang baik. Terakhir, anarkisme tersebut menewaskan suporter Persija Jakarta (Haringga Sirila) dalam pertandingan antara Persija Jakarta dan Persib Bandung di Stadion Gelora Bandung Lautan Api. Penanggulangan anarkisme suporter perlu dilakukan dengan serius agar tidak ada lagi suporter yang menjadi korban. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dengan menggunakan kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi anarkisme supporter. Tulisan ini merupakan hasil penelitian normatif dengan didasarkan pada inventarisasi dan identifikasi data sekunder secara deskriptif kualitatif melalui pendekatan analisis kasus. Berdasarkan hasil penelitian, penanggulangan anarkisme suporter dapat dilihat dari dua pendekatan. Pertama, upaya penal mengedepankan penghukuman kepada terdakwa pengeroyokan Haringga Sirila, tiga belas orang divonis penjara sedangkan satu orang di vonis bebas. Kedua, upaya non penal mengedepankan proses pencegahan dengan mengidentifikasi faktor penyebab terjadinya anarkisme suporter yang dapat dilakukan dengan kebijakan penanaman nilai-nilai sportivitas dan fairplay serta pembinaan suporter. Kata kunci: anarkisme; hukum pidana; kebijakan; suporter. ABSTRACT Anarchism of supporters as one of the classic problems in organizing the football league in Indonesia which always occurs every year if it is not resolved properly. Latest, anarchism caused the death of Persija Jakarta supporters (Haringga Sirila) in a match between Persija Jakarta and Persib Bandung at the Gelora Bandung Lautan Api Stadium. Resolving anarchism of supporters needs to be taken seriously, so that no more supporters become victims. Criminal law policy can be used as an alternative in resolving anarchism of supporters. This paper is the result of normative research based on an inventory and identification of secondary data in a descriptive qualitative manner through a case analysis approach. Based on the research results, the resolving anarchism of supporters can be seen from two approaches. First, the penal approaches made the conviction of the defendant beatings Haringga Sirila, thirteen people were sentenced to prison while one person was sentenced to be acquitted. Non-penal approaches to prioritize the prevention process by identifying the factors causing the occurrence anarchism of supporters which can be carried out with a policy of forming the values of sportsmanship, fair play, and as well as fostering supporters. Keywords: anarchism; criminal law; policy; supporters.
DIMENSI ETIS SEBAGAI PENGUATAN SYARAT MENJADI PIMPINAN KPK Nasrullah Nasrullah
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 5 No. 2 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 2 Maret 2021
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jbmh.v5i2.8

Abstract

ABSTRAK Para pimpinan KPK yang memiliki integritas, kemampuan, dan rekam jejak yang mumpuni akan mempengaruhi eksistensi dari lembaga KPK itu sendiri, namun dari sejarahnya, beberapa pimpinan akhirnya harus diberhentikan dengan tidak terhormat, karena menghadapi proses hukum. Oleh karena itu, sebelum diangkat menjadi pemimpin, seorang calon harus mengedepankan kesadaran etis saat mendaftar sebagai pemimpin. Penelitian ini bertujuan mengurai lebih lanjut tentang dimensi etis sebagai penguatan syarat menjadi Pimpinan KPK. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif yang berfokus pada pengkajian norma-norma peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek permasalahan. Teknis analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis Hermeneutik dan Interpretasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa KPK dalam menjalankan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dicapai dengan penguatan dimensi etis. Adapun dimensi etis yang dimaksudkan terdiri dari perspektif yuridis, religius, dan indigenous peoples yang mesti hidup pada kepribadian setiap pimpinan KPK. Dilain sisi, diperlukan peranan Pansel untuk mengeksplorasi Pasal 29 huruf f dan huruf g UU No. 19 Tahun 2019, mengingat dua butir tersebut berkaitan erat terhadap prilaku etis calon pemimpin KPK di masa lalu. Dengan dasar kesimpulan tersebut, disarankan kepada aktor-aktor yang memiliki semangat dan niatan mulia dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, perlu memiliki kesadaran etis sebelum mendaftarkan dirinya sebagai calon pimpinan KPK. Kata kunci: dimensi etis; indigenous peoples; komisi pemberantasan korupsi; religius. ABSTRACT KPK commissioners who have integrity, capability, and track records will influence the existence of the KPK itself. However, from its history, several commissioners had to be dishonorably dismissed because they were faced with legal processes. Therefore, before being appointed as a leader, a candidate must prioritize ethical awareness when registering as a leader. This study aims to further parse the ethical dimension as a reinforcement of the requirements to become a KPK Commissioner. This research uses a normative approach that focuses on studying the legal and regulatory norms associated with the object of the problem. The technical analysis used in this study is the Hermeneutic and Interpretation analysis methods. The results showed that KPK commissioners in carrying out the task of preventing and eradicating corruption can be achieved by strengthening the ethical dimension. The ethical dimension in question consists of juridical, religious, and indigenous peoples perspectives that must be embodied in the personality of each KPK commissioner. On the other hand, the selection committee needs to examine more specifically related to Article 29 letter f and letter g of Law no. 19 of 2019, considering that two points are closely related to the ethical behavior of candidates for KPK leadership in the past. It is recommended that actors who have high enthusiasm and intentions in eradicating corruption need to have ethical awareness before registering to become a candidate for KPK commissioner. Keywords: ethical dimensions; corruption eradication commission; indigenous peoples; religious.
PENERAPAN KEBIJAKAN SUBSIDI PERIKANAN INDONESIA BERDASARKAN PENGATURAN SUBSIDI PERIKANAN WTO Wulan Suci Putri Yanti Ismail
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 5 No. 2 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 2 Maret 2021
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jbmh.v5i2.10

Abstract

ABSTRAK Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan subsidi perikanan untuk mendorong berkembangannya Industri perikanan karena sektor ini bersumbangsih terhadap pembangunan nasional. Hingga kini, Indonesia merupakan anggota WTO dan dalam persetujuan WTO melarang pemberian subsidi, selain itu subsidi perikanan dapat menyebabkan menipisnya stok ikan hingga kerusakan biota laut. Hal ini tidak sejalan dengan program PBB yaitu Sustainable Development terkait perikanan berkelanjutan, maka implementasi kebijakan subsidi perikanan dapat menimbulkan permasalahan. Untuk menjawab permasalahan tersebut dalam penulisan ini akan difokuskan pada bagaimana pengaturan subsidi perikanan wto kemudian melihat apakah relevansi subsidi perikanan dan sustainable development nantinya dapat menjawab permasalahan terkait apakah penerapan Kebijakan Subsidi Perikanan di Indonesia dapat dibenarkan dalam sistem WTO. Metode Penelitian yang digunakan hukum normatif (Normative law research) dengan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan yang dianalisis secara kualitatif. Hasil menunjukkan bahwa Implementasi subsidi perikanan di Indonesia tidak melanggar ketentuan perdagangan Internasional karena Indonesia yang hingga saat ini masih mendeklarasikan sebagai negara berkembang berakibat tetap berlakunya ketentuan mengenai S&DT. Adanya pejaminan bahwa implementasi kebijakan tersebut telah sesuai dengan manajemen efektif dalam penyalurannya, meskipun masih ada beberapa kendala namun tentu saja Indonesia akan terus berbenah. Kebijakan agar pemberian subsidi perikanan tidak bertentangan dengan perikanan berkelanjutan dan tujuan Indonesia sebagai poros maritime dunia dapat dicapai. Subsidi perikanan bukanlah penyebab utama menipisnya stok ikan dunia, menispisnya suatu sumber daya alam kelautan bisa saja dikarenakan adanya perubahan iklim sehingga dapat meningkatkan suhu air dan menurunkan konsentrasi oksigen terlarut dan pH air yang mengakibatkan kematian pada ikan. Kata kunci: perdagangan internasional; subsidi perikanan; sustainable development. ABSTRACT The Indonesian government issued a fisheries subsidy policy to encourage the fishery industry development because this sector contributes to national development. Indonesia is still a member of the WTO and in the WTO agreement prohibits subsidies, besides fishery subsidies can cause the depletion of fish stocks and damage marine life. Rather, this is not in line with the UN Sustainable Development program especially sustainable fisheries, so the implementation of the fisheries subsidy policy can cause problems. This research is aimed at answering this problem, in this paper will focus on several descriptions, namely How the WTO system arranges Fisheries Subsidies and then find out whether the Relevance of Fisheries Subsidies and Sustainable Development, then can answer the problem related to whether the implementation of the Fisheries Subsidy Policy in Indonesia can be justified in the WTO system. This research uses normative law (Normative law research method) subsequently the data will collect by literature study techniques and will be analyzed qualitatively. The result of the reseach shows that the implementation of fisheries subsidies in Indonesia does not violate the provisions of international trade since, the given status of Indonesia as a ‘developing country’ effects in the validity of the provisions of S&DT. The existence of a guarantee that the implementation of the policy is in accordance with effective management in its distribution shows that despite of some obstacles needs to be overcomed, Indonesia will strive to continue to improve. Policies on fisheries subsidies is in line with sustainable fisheries and Indonesia's goals as the world's maritime fulcrum. Fishery subsidies are not the main cause of depletion of world fish stocks, considering the factor climate change which causes increase on water temperature and decrease of dissolved oxygen concentration plus the acidity (pH) of the water. All of which results in fish transience. Keywords: international trade; fisheries subsidies; sustainable development.
KEPASTIAN HUKUM DAN PERLINDUNGAN HUKUM DALAM SISTEM PUBLIKASI PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA Desi Apriani; Arifin Bur
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 5 No. 2 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 2 Maret 2021
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jbmh.v5i2.11

Abstract

ABSTRAK Indonesia menganut sistem publikasi negatif dalam kegiatan pendaftaran tanah, dimana negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan dalam sertipikat. Hal ini sekilas menggambarkan kondisi tidak dijaminnya kepastian hukum dalam kegiatan pendaftaran tanah, sehingga banyak pihak yang menginginkan agar pemerintah mengganti kebijakan pendaftaran tanah kearah Stelsel Positif. Penulis tertarik mengkaji lebih lanjut dengan tujuan agar didapatkan pemahaman secara filosofis tentang sistem publikasi pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif dengan menggunakan data sekunder. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada dasarnya sistem publikasi negatif yang dianut Indonesia bukanlah sistem publikasi yang tidak menjamin kepastian hukum. Hal ini karena sistem publikasi negatif tersebut tidak berlaku untuk selamanya, tetapi hanya berlaku selama 5 tahun. Sistem publikasi negatif di Indonesia tetap menganut unsur positif, dimana pemerintah akan menjamin kebenaran data yang disajikan setelah 5 tahun tanah didaftarakan. Pembatasan tersebut justru bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pemilik tanah sejati, sehingga dimungkinkan adanya gugatan oleh pihak yang merasa berhak dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkanya sertipikat secara sah. Secara filosofis, system ini sangat sesuai dengan nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, dimana tanah harus diperoleh dengan itikad baik, diduduki secara nyata dan memeliharanya. Lebih lanjut ketentuan tersebut disempurnakan oleh hukum pertanahan nasional yaitu dengan mendaftarakan hak, untuk memperoleh kepastian dan perlindungan hukum. Sebaiknya pihak yang merasa berhak atas tanah, benar-benar menguasai tanahnya secara nyata, menjaga dan melakukan pendaftaran hak, sehingga perlindungan dan kepastian hukum diperoleh meskipun dengan stelsel negatif. Kata kunci: kepastian hukum; pendaftaran tanah; perlindungan hukum; sistem publikasi. ABSTRACT Indonesia adheres to a negative publication system in land registration activities, where the state does not guarantee the accuracy of the data presented in the certificate. This at first glance illustrates the condition where legal certainty is not guaranteed in land registration activities, so that many parties want the government to change the land registration policy towards a positive system. The author is interested in further research with the aim of obtaining a philosophical understanding of the land registration publication system prevailing in Indonesia. This research is a normative legal research using secondary data. The results of the analysis show that basically the negative publication system adopted by Indonesia is not a publication system that does not guarantee legal certainty. This is because the negative publication system is not valid forever, but is only valid for 5 years. The negative publication system in Indonesia still adheres to a positive element, where the government will guarantee the correctness of the data presented after 5 years of registration of the land. This restriction aims to provide legal protection for the true land owner, so that it is possible for a claim by parties who feel they are entitled to within 5 years of the legally issued certificate. In this way, legal certainty as the objective of land registration is achieved. Philosophically, this system is in accordance with the legal values that live in society, where land must be obtained in good faith, occupy it in real terms and maintain it. This provision is further enhanced by the national land law, namely by registering rights to obtain legal certainty and protection. It is better if those who feel entitled to land really control their land in real terms and register the rights, so that protection and legal certainty are obtained even with a negative system. Keywords: land registration; legal certainty; legal protection; publication system.
PENERAPAN PRINSIP UTI POSSIDETIS JURIS DALAM PENETAPAN BATAS DARAT INDONESIA DAN TIMOR LESTE Yanto Melkianus Paulus Ekon
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 5 No. 2 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 2 Maret 2021
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jbmh.v5i2.18

Abstract

Abstrak Indonesia dan Timor Leste menetapkan batas darat dalam Provisional Agreement on the Land Boundary, 2005 berdasarkan prinsip uti possidetis juris, yang dimaknai batas negara baru harus mengikuti batas wilayah dari negara yang pernah mendudukinya dan tidak dapat dikesampingkan oleh prinsip hak menentukan nasib sendiri. Namun, batas darat yang ditetapkan dalam Persetujuan Sementara itu, tidak dapat memuat batas darat secara definitif sebab masih terdapat 4 (empat) segmen batas yang tidak dapat disepakati, yakni segmen Noelbesi-Citrana, Manusasi-Subina dan Mota Malibaka. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis alasan-alasan kegagalan Indonesia dan Timor Leste menyelesaikan batas darat dan menjelaskan prinsip hukum yang tepat diterapkan dalam penetapan batas di 4 (empat) segment tersebut. Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah penelitian normatif. Hasil penelitian dapat dibuktikan bahwa Indonesia-Timor Leste gagal menetapkan batas darat di 4 (empat) segmen batas itu karena kelemahan dari prinsip uti possidetis juris yang mewajibkan negara baru untuk mengikuti batas yang ditetapkan oleh negara kolonial terdahulu. Oleh karena itu, prinsip hukum yang tepat untuk diterapkan adalah prinsip uti possidetis juris yang dimaknai kembali mencakup batas kerajaan terdahulu yang diakui dan terpelihara oleh masyarakat adat secara turun temurun. Kata Kunci: perbatasan negara bagian; perjanjian batas negara bagian; uti possidetis juris Abstract Indonesia and Timor Leste set land boundaries in the Provisional Agreement on the Land Boundary 2005 based on the principle of uti possidetis juris, which means that new state boundaries must follow the territorial borders of the country that was once occupy it and cannot be overridden by the principle of self-determination.However, the land boundaries defined in the Provisional Agreement cannot contain land boundaries definitively because there are still 4 (four) boundary segments that cannot be agreed upon, namely the Noelbesi-Citrana, Manusasi-Subina and Mota Malibaka segments.This study aims to analyze the reasons for the failure of Indonesia and Timor Leste to resolve land boundaries and explain the appropriate principles applied in the determination of boundaries in the 4 (four) segments. This type of research used in writing this article is normative research.The results of this study can be proven that Indonesia-Timor Leste failed to establish land boundaries in the 4 (four) boundary segments because of the weakness of the uti possidetis juris principle which obliged the new country to follow the boundaries set by the previous colonial state.Therefore, the right legal principle to apply is the principle of uti possidetis juris which is re-interpreted to include the boundaries of the previous kingdom which were recognized and maintained by indigenous peoples from generation to generation. Keywords: states borders; states boundary agreements; uti possidetis juris
PENGHIDUPAN KEMBALI BADAN HUKUM PENDIDIKAN TINGGI PASCA PUTUSAN MK NOMOR 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 Muhammad Akbar Nursasmita
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 5 No. 2 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 2 Maret 2021
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jbmh.v5i2.33

Abstract

ABSTRAK Pendidikan tinggi mengalami berbagai dinamika perkembangan, salah satunya pengelolaan perguruan tinggi dengan sistem badan hukum. Dalam sejarahnya konsep badan hukum pendidikan telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pada tahun 2012, DPR bersama Pemerintah membahas dan mengesahkan UU Perguruan Tinggi (UU PT), dimana dalam UU PT tersebut mencantumkan kembali klausul badan hukum dengan berbagai atribut otonomi yang dimilikinya. Hal tersebut menimbulkan polemik pada masyarakat. Dalam artikel ini penulis menjelaskan bagaimana proses pembatalan UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi dilanjutkan proses pembahasan UU PT sehingga konsep badan hukum kembali dimasukkan di dalam UU PT, hingga pada akhirnya penulis membahas mengenai relasi antara MK dan DPR khususnya dalam hal pelaksanaan putusan MK di dalam proses pembuatan Undang-Undang. Metode penelitian yang dipilih adalah yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual dan sejarah. Kesimpulan yang dapat diambil bahwa relasi antara MK dan DPR memiliki dinamika yang sangat bergantung pada kemauan para aktor politik serta dapat menggambarkan berjalannya sistem check and balances dalam kehidupan bernegara. Kata kunci: badan hukum pendidikan; mahkamah konstitusi; pendidikan tinggi. ABSTRACT Higher education experiences various developmental dynamics, one of which is the management of higher education institutions with a legal entity system. Historically, the concept of an educational legal entity has been canceled by the Constitutional Court. In 2012, the DPR and Government discussed and ratified the PT Act, which PT Act re-included clauses of legal entities with various attributes of autonomy. This has led to a polemic in society. In this article, the writer explains how the process of cancellation of the BHP Act by the Constitutional Court, then discussion process of PT Act until the concept of legal entities is re-included in PT Act, finally author discusses the relationship between Constitutional Court and DPR, especially in terms of implementing the Constitutional Court's decision in law making process. The research method chosen was normative juridical, with a statutate, conceptual and historical approach. The conclusion that can be drawn is that the relationship between Constitutional Court and DPR was dynamic which is highly dependent on the will of political actors and can describe the operation of the system of checks and balances in state life. Keywords: constitutional court; educational legal entities; higher education.
PERLINDUNGAN KONSUMEN UNTUK MEMPEROLEH HAK LAYANAN PURNA JUAL DI INDONESIA DAN EROPA Raden Ajeng Astari Sekarwati; Susilowati Suparto
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 5 No. 2 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 2 Maret 2021
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jbmh.v5i2.152

Abstract

ABSTRAK Tingginya permintaan pasar atas kendaraan bermotor, membuat para dealer dan pemilik showroom kendaraan bermotor berlomba-lomba memperbaiki dan terus meningkatkan layanan-layanan yang ada agar konsumen tertarik untuk membeli produk mereka. Salah satu langkah yang dilakukan para dealer dan pemilik showroom kendaraan bermotor dalam bidang pemasaran adalah layanan purna jual atau after sales service. Namun pada kenyataannya walaupun layanan purna jual merupakan hak yang wajib diberikan oleh setiap produsen kepada konsumen, hak tersebut tidak selalu terlaksana dengan baik. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif analitis yaitu penelitian dengan menggambarkan secara sistematis, akurat, aktual, dan menyeluruh mengenai pengaturan, implementasi, dan perlindungan konsumen mengenai layanan purna jual. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan dengan norma-norma hukum yang merupakan patokan untuk bertingkah laku. Hasil penelitian ini menyatakan Layanan purna jual dilaksanakan dengan memberikan garansi kepada konsumen atas suatu barang yang telah dibeli. Dalam pelaksanaan layanan purna jual di Indonesia, jangka waktu yang diberikan selama satu tahun, sedangkan di negara eropa jangka waktu yang diberikan adalah dua tahun dengan memperhatikan beberapa syarat perlindungan konsumen dan consumer right tools negara eropa yang menyatakan bahwa konsumen dapat meminta klaim kepada produsen apabila produk tersebut tiba-tiba berhenti berfungsi dalam kurun waktu enam bulan pertama dihitung semenjak waktu barang diterima oleh konsumer dan produk tersebut tiba-tiba berhenti berfungsi setelah kurun waktu enam bulan berlalu selama masih dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Kata kunci: garansi; layanan purna jual; perlindungan konsumen. ABSTRACT Market demand for cars and motorcycles is peaking in Indonesia so that saling competition is also quite tight. Dealers and showrooms owners are competing to improve their services to attract more buyers and costomers. One of the many steps taken by those dealer and showroom owners lies on the after-sales service. However, even in such a tight competitive environment, after-sales service as a right that must be given by every producer or business actor to consumers, is not always be implemented properly. This research uses descriptive analytical research method, by describing systematically, accurately, actual, and thoroughly the regulation and implementation of after-sales service and consumer protection. The legal issues in this article are addressed by juridical-normative approach which invokes legal principles and legal norms in addressing factual condition. This article shows that dealer and showroom owner implement after-sales service by providing a guarantee to consumers of an item that has been purchased, for oneyear duration. This is different with most of European countries, which grant 2 years after-sales service, taking into account several conditions, such as Consumer Protection and European Consumer Right Tools which states that consumers may claim damage from the manufaturers if the product suddenly stop functioning within the first six months since receiving date; or if the product suddenly stops functioning after the six-months period has passed, as long as it is still within a predetermined period of time. Keywords: after sales service; consumer protection; guarantee.
PENGATURAN PENGELOLAAN DANA WAKAF SEBAGAI MODAL UNTUK KEGIATAN BISNIS OLEH YAYASAN Aam Suryamah; Helza Nova Lita
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 5 No. 2 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 2 Maret 2021
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jbmh.v5i2.269

Abstract

ABSTRAK Yayasan merupakan badan hukum bersifat sosial dapat berperan sebagai nazhir dalam pengelolaan benda wakaf. Yayasan dapat mengelola aset wakaf secara produktif namun peruntukannya tetap ditujukan untuk kepentingan penerima wakaf sesuai akta ikrar wakaf. Menarik untuk dikaji sejauhmana yayasan dalam melakukan pengelolaan wakaf secara produktif dikaitkan dengan UU Yayasan dan UU Wakaf. Artikel ini menelaah hal tersebut menggunakan metode yuridis normatif. Yayasan diberi amanah mengelola harta wakaf, berdasarkan Pasal 26 Ayat (3) UU Yayasan, maka berlaku ketentuan hukum perwakafan. Yayasan dapat berperan sebagai nazhir sesuai UU Wakaf. Yayasan yang mengelola wakaf dengan melakukan kegiatan bisnis yang produktif wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai peruntukannya dan mengupayakan benda wakaf sebagai modal bisnis tersebut terjaga utuh, namun produktif dan berkembang. Pengelolaan aset wakaf harus sesuai prinsip ekonomi syariah yang diatur Pasal 43 UU Wakaf. Meskipun harta benda wakaf menurut Pasal 3 PP Wakaf didaftarkan atas nama Nazhir (Yayasan) tidak berarti Yayasan sebagai Nazhir adalah pemilik atas harta benda wakaf. Hal ini hanya terkait perannya untuk melakukan pengelolaan dan pengawasan aset wakaf. Keuntungan pengelolaan aset wakaf yang menjadi milik Yayasan sebagai nazhir sesuai dengan UU Wakaf, sebesar 10 % dari hasil keuntungan bersih pengelolaan aset wakaf yang menjadi modal bisnis. Yayasan sebagai Nazhir wakaf memiliki tanggung jawab untuk menjaga, mengawasi, dan mendistribusikan hasil pengelolaan wakaf. Jika nazhir lalai atau menyalahgunakan tanggung jawabnya tersebut maka dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan UU Wakaf. Kata kunci: nazhir; produktif; wakaf; yayasan. ABSTRACT A foundation is a legal entity that is social in nature, non-profit organization and can play role as Nazhir in managing waqf objects. This article discusses to what extent foundations in managing waqf productively are linked to the Foundation Law and the Waqf Law using the normative juridical method. With regard to productive waqf, foundations can manage the waqf assets productively but the allocation is still intended for the benefit of the waqf recipient in accordance with the provisions in the waqf pledge deed. Related to the mandate to manage waqf assets, based on Article 26 Paragraph (3) of the Foundation Law, Waqf Law shall apply. Foundations are required to manage and develop waqf assets according to their allotment and keep the waqf objects intact as business capital. The management of waqf assets must be in accordance with the principles of sharia economics as stated in Article 43 of the Waqf Law. Although the property of waqf according to Article 3 PP Waqf is registered under Nazhir’s name, it is only related to its role in managing and supervising waqf assets not as the owner of the property, and the benefit is only 10% of the net profit. Foundations as waqf nazhir have the responsibility to maintain, supervise and distribute the results of waqf management. Under the Waqf Law, Nazhir can be subject to sanctions if he is negligent or abuses their responsibilities. Keywords: foundation; nazhir; productive; waqf.
PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL YANG RELIGIUS: KONSEPSI DAN TANTANGAN DALAM NEGARA BERDASARKAN PANCASILA Bagir Manan; Ali Abdurahman; Mei Susanto
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 5 No. 2 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 2 Maret 2021
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jbmh.v5i2.303

Abstract

ABSTRAK Artikel ini menganalis pembangunan hukum nasional religius yang kerap kali dipersoalkan dan menimbulkan konflik serta ketegangan dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia. Hasil analisis menyimpulkan bahwa pembangunan hukum nasional yang religius di Indonesia adalah sebuah kewajaran dan keniscayaan, karena hukum yang baik harus didasarkan pada nilai-nilai, kenyataan, dan harapan masyarakat. Dengan Pancasila sebagai philosophische grondslag negara, maka dasar Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi acuan dalam pembangunan hukum nasional yang religius, baik dalam pembentukan hukum, pelayanan hukum maupun penegakan hukum. Namun demikian, penting untuk memperhatikan kemajemukan dan sensivitas dari asas dan kaidah keagamaan, sehingga diperlukan kehati-hatian, sikap saling menghormati, dan prinsip demokrasi dalam pembangunan hukum nasional yang religius. Selain itu, pembangunan hukum nasional yang religius kerap mendapat tantangan, yang dapat dilihat secara umum dari pembentukan hukum yang rendah kuantitas maupun kualitasnya, serta penegakan dan pelayanan hukum yang koruptif dan mengabaikan prinsip etis/moral sebagai nilai religius. Karena itu, diperlukan kesadaran etis dalam pembangunan hukum nasional yang religius, serta mengarahkannya dalam rangka mencapai Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kata kunci: agama; nilai religius; pembangunan hukum. ABSTRACT This article analyzes national religious law development, which is often questioned and causes conflict and tension in the Indonesian public order. The article conclude that Indonesia's national religious law development is ordinary and necessary because good law must be based on the community's values, reality, and expectations. With Pancasila as the philosophical foundation of the state, the basis of the Belief in the one and only God becomes a reference in the development of national religious law, both in the forming of law, legal services, and law enforcement. However, it is crucial to attend to the diversity and sensitivity of religious principles and norms so that caution, mutual respect, and democratic principles are needed to develop national religious law. Also, national religious law development often faces challenges, which can be seen in general from the making of laws that are low in quantity and quality and the enforcement and service of law that is corrupt and ignores ethical/moral principles as religious values. Therefore, ethical awareness is needed to develop national religious law and direct it to achieve Social Justice for all Indonesian people. Keywords: legal development; religion; religious value.
PEMBAHARUAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN KETENAGAKERJAAN DI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL BERDASARKAN ASAS SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA MURAH SEBAGAI UPAYA PERWUJUDAN KEPASTIAN HUKUM Sherly Ayuna Putri Sherly; Agus Mulya Karsona; Revi Inayatillah
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 5 No. 2 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 2 Maret 2021
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jbmh.v5i2.307

Abstract

ABSTRAK Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hukum ketenagakerjaan setelah lahirnya UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dikenal dengan model penyelesaian secara sukarela melalui bipartit, konsiliasi, mediasi, dan arbitrase; dan model penyelesaian secara wajib, yaitu melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Eksistensi PHI menimbulkan masalah, baik kemampuan pengetahuan pekerja/buruh tentang hukum formil maupun hukum ketenagakerjaan materil, proses lama, dan substansi hukum belum memadai. Permasalahan mengenai penyelesaian sengketa hubungan industrial dapat terdiri dari banyak faktor adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, disamping itu juga mengenai kompetensi Pengadilan Hubungan Industrial sehingga tidak dengan efektif dapat menyelesaikan sengketa ketenagakerjaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian yuridis normatif. Mengingat penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dengan didasarkan pada pengkajian hukum positif, yaitu UU No. 2 Tahun 2004 dan untuk mengkaji asas-asas peradilan. Hasil penelitian mengidentifikasi beberapa kelemahan, baik dari segi struktur hukum dan substansi dalam pembaharuan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di peradilan Hubungan Industrial. Upaya untuk mengatasinya dengan pembaharuan di proses penyelesaian di Pengadilan Hubungan Industrial, yakni dengan membentuk PHI di setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota. Revisi UU No. 2 Tahun 2004 dan dianggap belum dapat mengakomodir dan belum mencerminkan asas sederhana, cepat dan biaya murah dalam proses beracara di Peradilan Hubungan Industrial. Kata kunci: kepastian hukum; sengketa; peradilan hubungan industrial. ABSTRACT Settlement of industrial relations disputes in employment law after the birth of Law No. 2 of 2004 on Settlement of Industrial Relations Disputes is known as the voluntary settlement model through bipartite, conciliation, mediation, and arbitration; and mandatory settlement model, namely through the Industrial Relations Court. Phi existence raises problems, both the ability of workers/labor knowledge about formil law and material employment law, the old process, and the substance of the law is not adequate. The issue of settlement of industrial relations disputes can consist of many factors of disputes regarding rights, disputes of interest, disputes of termination of employment and disputes between unions/trade unions in one company, while also concerning the competence of the Industrial Relations Court so that it is not effectively able to resolve labor disputes. This research uses normative juridical research approach. Considering that this research is normative legal research, the approach used is a normative juridical approach based on positive legal assessment, namely Law No. 2 of 2004 and to examine the principles of the judiciary. The results identified several weaknesses, both in terms of legal structure and substance in the renewal of Industrial Relations Dispute Resolution in industrial relations judiciary. Efforts to overcome this, namely by forming PHI in each District Court/City. Revision of Law No. 2 of 2004 and considered unable to accommodate and has not reflected the principle of simple, fast and low cost in the process of proceedings in the Industrial Relations Court.. Keywords: legal certainty; disputes; industrial relations judiciary

Page 1 of 1 | Total Record : 10


Filter by Year

2020 2021


Filter By Issues
All Issue Vol. 8 No. 1 (2023): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 8 Nomor 1 September 2023 Vol. 7 No. 2 (2023): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 7 Number 2 Maret 2023 Vol. 7 No. 1 (2022): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 7 Nomor 1 September 2022 Vol. 6 No. 2 (2022): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 6 Nomor 2 Maret 2022 Vol. 6 No. 1 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 6 Nomor 1 September 2021 Vol. 5 No. 2 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 2 Maret 2021 Vol. 5 No. 1 (2020): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 1 September 2020 Vol. 4 No. 2 (2020): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 4 Nomor 2 Maret 2020 Vol 4, No 2 (2020): VOL 4, NO 2 (2020): JURNAL BINA MULIA HUKUM Vol. 4 No. 1 (2019): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 4 Nomor 1 September 2019 Vol. 3 No. 2 (2019): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 2 Maret 2019 Vol 4, No 1 (2019): JURNAL BINA MULIA HUKUM Vol 3, No 2 (2019): Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 No. 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 1 September 2018 Vol. 2 No. 2 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 2 Nomor 2 Maret 2018 Vol 3, No 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 2, No 2 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 2 No. 1 (2017): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 2 Nomor 1 September 2017 Vol. 1 No. 2 (2017): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 1 Nomor 2 Maret 2017 Vol 2, No 1 (2017): Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 1, No 2 (2017): Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 1 No. 1 (2016): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 1 Nomor 1 September 2016 Vol 1, No 1 (2016): Jurnal Bina Mulia Hukum More Issue