Claim Missing Document
Check
Articles

Found 25 Documents
Search

KIPRAH LEMBAGA MANAJEMEN KOLEKTIF NASIONAL BAGI PENCIPTA DAN PELAKU MUSIK DI INDONESIA Rafianti, Laina; Suryamah, Aam; Tobing, Jeremia Lumban
Justitia et Pax Vol 32, No 2 (2016): Justitia Et Pax Volume 32 Nomor 2 Tahun 2016
Publisher : Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24002/jep.v32i2.1349

Abstract

ABSTRACTRevision on Copyright Law Year 2014 established the National Collective Management Societies. The previous Law did not provide Collective Management Societies (CMO) thus, collecting royalties became problems between CMO and users. On the other side of the coin, users such as restaurant, hotel, karaoke, was unconvinient because of the collect of royalty by more than one CMO. Through this new legislation, the CMOregulation becomes more clearly but it is still having problem, such as, first, the position of National CMO in its relationship with CMO in collecting and distribute royalty. And, second, how royalty collecting meet user’s fairness.Keywords: Collective Society, Copyright, Neighboring Right.INTISARIPerubahan dalam UUHC Tahun 2014 salah satunya adalah amanat pembentukan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Sebelum berlakunya undang-undang ini, peran LMK sebagai lembaga dalam pengelolaan Royalti seringkali dipertanyakan. Di sisi lain, Pengguna seperti restoran, hotel, karaoke, sering dirugikan dengan adanya penarikan berkali-kali yang dilakukan oleh LMK. Melalui UUHC Tahun 2014, keberadaannya menjadi lebih tegas namun tidak luput dari masalah yang dihadapi, antara lain mengenai kedudukan LMKN sebagai pengelola Royalti Hak Cipta dan Hak Terkait lagu dan/ atau musik; dan mengenai penarikan Royalti Hak Cipta dan Hak Terkait lagu dan/ atau musik yang adil bagi pengusaha Pengguna.Kata Kunci: LMK, Hak Cipta, Hak Terkait
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA ATAS PENJUALAN KARTU PERDANA ASING DI INDONESIA Hakim, Jefferson; Suryamah, Aam; Suwandono, Agus
Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune Volume 3, Nomor 1 Februari 2020
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/jhbbc.v3i1.3012

Abstract

Business practitioners in Indonesia such as travel agents and other forms of business activities utilize overseas travel activities by the Indonesian people by selling starter packs or SIM cards or portable wifi that can be used abroad. Most people who travel abroad for more than 3 (three) days prefer to use foreign starter cards or foreign portable wifi due to more affordable prices compared to using international roaming services offered by Indonesian telecommunications service providers. However, the problem that arises is that there is no single regulation governing the sale of starter packs and portable wifi managed by foreign telecommunications service providers in Indonesia, both in terms of telecommunications and consumer protection. The research method that will be used in this research is normative juridical, which is an approach using various data sources such as articles of law, various legal theories, and the scientific work of scholars so as to create a system and basic rules to be applied in Indonesia. This study has a descriptive analytical specification that aims to provide an overview of the object studied through data and to provide concepts regarding the regulation of oversight of foreign prime card sales in Indonesia and the resolution of consumer disputes over prime card use by overseas consumers.Pelaku usaha di Indonesia seperti agen perjalanan maupun bentuk kegiatan usaha lainnya memanfaatkan kegiatan perjalanan ke luar negeri oleh masyarakat Indonesia dengan menjual kartu perdana atau SIM Card atau wifi portable yang dapat digunakan di luar negeri. Sebagian besar masyarakat yang melakukan perjalanan ke luar negeri untuk waktu lebih dari 3 (tiga) hari lebih memilih untuk menggunakan kartu perdana asing atau wifi portable asing dikarenakan harga yang lebih terjangkau dibandingkan dengan menggunakan jasa layanan jelajah internasioanl yang ditawarkan oleh penyelenggara jasa telekomunikasi Indonesia. Namun, permasalahan yang timbul adalah belum ada satu peraturan yang mengatur tentang penjualan kartu perdana maupun wifi portable yang dikelola oleh penyelenggara jasa telekomunikasi asing di Indonesia, baik dari segi telekomunikasi maupun perlindungan konsumen. Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu pendekatan dengan menggunakan berbagai sumber data seperti pasal-pasal perundangan, berbagai teori hukum, dan hasil karya ilmiah para sarjana sehingga menciptakan sistem dan dasar aturan untuk diterapkan di negara Indonesia. Penelitian ini memiliki spesifikasi berupa deskriptif analisis yang bertujuan untuk memberikan gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data serta memberikan konsep mengenai pengaturan tentang pengawasan penjualan kartu perdana asing di Indonesia serta penyelesaian sengketa konsumen atas tidak dapat digunakan kartu perdana oleh konsumen di luar negeri.
SWING THE ANGKLUNG TUBE IN THE DIGITAL ECONOMY ERA: BASED ON INTANGIBLE CULTURAL HERITAGE AND INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS PERSPECTIVE Rafianti, Laina; Suryamah, Aam; Putra, Afrizal Musdah Eka; Ramli, Ahmad M.
Indonesian Journal of International Law
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (689.408 KB)

Abstract

After the UNESCO inscription of Angklung as Intangible Cultural Heritage in 2010, the responsibility of the angklung custodian is harder. Angklung is not only must exist as a living culture but must also develop. At first, the inscription of angklung is essential to ascertain cultural identity from Indonesia. Besides, intellectual property law contributes a vital key to protect the community and individuals who create copyrighted subject matter based on angklung. Double protection for angklung in cultural and intellectual property also provides double consequences. The problem is, the relation between those two related institutions is weak. Moreover, the mechanism of protection between communal and individual intellectual proper is overlapping. Although the discussion in the IGC GRTKF is still an ongoing debate, Indonesia has regulated national regulation on TCEs with its problems in implementing legislation. Otherwise, the demand to protect the utilization of Angklung is high in this rapid and massive digital economy era. This article aims to harmonize legal instruments in cultural and intellectual property subject matter to realize comprehensive protection for Angklung and determine the implementation step of protection and utilization of Angklung in the digital economy era after the inscription of the UNESCO. After mapping the legal instruments regarding culture and intellectual property, the researcher concluded that it needs a grounded implementing legislation besides the existing legal instruments. The government cannot achieve the protection alone without willpower and coordination with custodians, artists, and educational institutions in preserving and developing Angklung.
ASPEK HUKUM ACARA PERDATA DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Aam Suryamah
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 2, No 1 (2016): Januari – Juni 2016
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v2i1.25

Abstract

Pengadilan Hubungan Industrial menurut UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrialmerupakan Pengadilan Khusus yang berada pada lingkungan Peradilan Umum dengan dasar hukum acara perdata. Jurnal ini membahas bagaimanakah mekanisme penyelesaian danpengimplementasian hukum acara perdata dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Upaya non litigasi harus didahulukan dalam penyelesaian perselisihan industrial. Upaya litigasi melaluiPengadilan Hubungan Industrial dilakukan apabila upaya non litigasi tidak berhasil.Salah satu kelemahan mekanisme iniadalah pelaksanaan asas penyelesaian perkara sederhana, cepat, dan biaya ringan yang pada praktiknya belum terlaksana karena adanya pembatasan penyelesaian perkara 50 hari yang sulit dicapai melalui sistem pemeriksaan dengan acara biasa.Selainitu juga lokasi pengadilan hubungan industrial hanya berada di ibu kota provinsi jauh dari tempat para pihak yang berselisih.Kata Kunci: aspek hukum, acara perdata, penyelesaian perselisihan hubungan industrial 
STIMULASI URGENSI PERLINDUNGAN KEKAYAAN INTELEKTUAL KARYA KREATIF DAN INOVATIF KARYA SISWA SMA NEGERI 8 BANDUNG DALAM MENDUKUNG EKONOMI DIGITAL Helitha novianty Muchtar; Ahmad M Ramli; Miranda Risang Ayu; Rika Ratna Permata; Sinta Dewi; Dadang Epi Sukarsa; U. Sudjana, Sudjana; Sudaryat Sudaryat; Muhamad amirulloh; Ranti Fauza Mayana; Aam Suryamah; Laina Rafianti; Tasya safiranita
Kumawula: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol 4, No 1 (2021): Kumawula: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/kumawula.v4i1.31094

Abstract

Dalam era industri 4.0 saat ini ekonomi kreatif berbasis kekayaan intelektual sangat berkembang pesat dan sekaligus menjadi tumpuan ekonomi Indonesia. Saat ini, siswa SMA khususnya SMA Negeri 8 Bandung merupakan tumpuan bangsa di masa yang akan datang, kreativitas yang dihasilkan dari ekstrakurikuler membuat banyaknya potensi kekayaan intelektual. Siswa siswi SMA Negeri 8 Bandung sangat kreatif dan inovatif dalam menyelenggarakan aktivitas baik yang termasuk di dalam kegiatan belajar mengajar maupun kegiatan ekstra-kurikuler. Mareka telah memiliki pengetahuan awal mengenai kekayaan intelektual namun belum dapat mengelompokkan potensi-potensi pelindungan kekayaan intelektual berdasarkan karya yang dihasilkan. Kegiatan pengabdian pada masyarakat ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang hukum kekayaan intelektual di lingkungan SMA Negeri 8 Bandung seiring dengan industri 4.0 sehingga dapat mendukung ekonomi digital.Mengingat pandemi Covid-19 yang saat ini masih terjadi juga di Jawa Barat termasuk Kota Bandung, metode yang digunakan dalam pengabdian pada masyarakat saat ini adalah paparan dalam jejaring (daring). Hasil yang diharapkan diperoleh yaitu karya kreatif dan inovatif siswa SMA Negeri 8 Bandung berupa karya cipta, merek, paten, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang, perlindungan varietas tanaman dapat dimanfaatkan dalam era industri 4.0 dalam mendukung ekonomi digital.
ASPEK HUKUM ACARA PERDATA DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Aam Suryamah
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 2, No 1 (2016): Januari – Juni 2016
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v2i1.25

Abstract

Pengadilan Hubungan Industrial menurut UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrialmerupakan Pengadilan Khusus yang berada pada lingkungan Peradilan Umum dengan dasar hukum acara perdata. Jurnal ini membahas bagaimanakah mekanisme penyelesaian danpengimplementasian hukum acara perdata dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Upaya non litigasi harus didahulukan dalam penyelesaian perselisihan industrial. Upaya litigasi melaluiPengadilan Hubungan Industrial dilakukan apabila upaya non litigasi tidak berhasil.Salah satu kelemahan mekanisme iniadalah pelaksanaan asas penyelesaian perkara sederhana, cepat, dan biaya ringan yang pada praktiknya belum terlaksana karena adanya pembatasan penyelesaian perkara 50 hari yang sulit dicapai melalui sistem pemeriksaan dengan acara biasa.Selainitu juga lokasi pengadilan hubungan industrial hanya berada di ibu kota provinsi jauh dari tempat para pihak yang berselisih.Kata Kunci: aspek hukum, acara perdata, penyelesaian perselisihan hubungan industrial 
Kedudukan Kreditor Minoritas Dibandingkan Dengan Kreditor Sekaligus Pemegang Saham Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Delvis Patrik; Nyulistiowati Suryanti; Aam Suryamah
Media Iuris Vol. 4 No. 3 (2021): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/mi.v4i3.27478

Abstract

AbstractThis study aims to find and determine the validity of the recognition of claims belonging to shareholder creditors and the legal protection of minority creditors. This study uses a normative juridical method with descriptive analysis specifications as well as a statute approach and a conceptual approach to determine the validity of the recognition of receivables belonging to shareholders and legal protection owned by minority creditors. The results obtained from this study are: First, Indonesian law has not regulated the position of shareholder creditors in PKPU so that their existence is still considered valid, resulting in a conflict of interest resulting in injustice experienced by minority creditors because of the large rights owned by shareholder creditors in the PKPU process. Second, the legal protection mechanism for minority creditors in the KPKPU Law is in the form of rejection of the peace plan by judges based on Article 285 of the KPKPU Law and objections to claims based on Article 279 jo. 280 The KPKPU Law has not been able to run effectively because it still depends on the discretion and judgment of the judge.Keywords: Suspension of Payment; Legal Protection; Minority Creditors; Shareholder Creditors.AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk menemukan dan mengetahui keabsahan diakuinya piutang milik Kreditor Pemegang Saham dan perlindungan hukum yang dimiliki Kreditor Minoritas. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan spesifikasi deskriptif analisis serta pendekatan perundang-undang dan pendekatan konseptual guna mengetahui keabsahan diakuinya piutang milik pemegang saham dan perlindungan hukum yang dimiliki oleh Kreditor Minoritas. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah: Pertama, hukum Indonesia belum mengatur mengenai kedudukan Kreditor Pemegang Saham dalam PKPU sehingga keberadaannya masih dianggap sah, sehingga terjadi benturan kepentingan yang mengakibatkan ketidakadilan dialami oleh Kreditor Minoritas karena besarnya hak yang dimiliki oleh Kreditor Pemegang Saham dalam proses PKPU. Kedua, mekanisme perlindungan hukum Kreditor Minoritas yang ada dalam UU KPKPU berupa penolakan rencana perdamaian oleh hakim berdasarkan Pasal 285 UU KPKPU dan bantahan piutang berdasarkan Pasal 279 jo. 280 UU KPKPU belum dapat berjalan efektif karena masih bergantung terhadap kebijaksanaan dan penilaian hakim.Kata Kunci: Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; Perlindungan Hukum; Kreditor Minoritas; Kreditor Pemegang Saham.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERUSAHAAN ASURANSI PASCA DICABUT IZIN USAHA DITINJAU DARI KETENTUAN ASURANSI Bianca Latanya; Nyulistiowati Suryanti; Aam Suryamah
Literasi Hukum Vol 4, No 2 (2020): Literasi Hukum
Publisher : Universitas Tidar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (223.298 KB)

Abstract

Perusahaan Asuransi sebagai pihak yang berupaya untuk meminimalisasi risiko yang akan terjadi harus berpedoman pada prinsip usaha sehat yang berlandaskan pada peraturan perundang-undangan, namun pada kenyataannya masih banyak perusahaan asuransi yang tidak berpedoman pada prinsip tersebut sehingga dapat dijatuhkan sanksi yang salah satunya berupa pencabutan izin usaha. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana akibat hukum dari pelaksanaan pencabutan izin usaha yang dilakukan OJK terhadap Perusahaan Asuransi dan bagaimana perlindungan hukum terhadap perusahaan asuransi pasca dicabut izin usaha oleh OJK. Metode pendekatan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif dengan menitikberatkan pada data kepustakaan untuk mengkaji permasalahan. Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis. Pencabutan izin usaha merupakan salah satu bentuk sanksi yang dapat diberikan oleh OJK terhadap perusahaan asuransi yang bermasalah. Terdapat ketidak-konsistenan OJK dalam pelaksanaan penjatuhan sanksi pencabutan izin usaha terhadap Perusahaan Asuransi seperti pada kasus PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya yang justru mengakibatkan kerugian. Atas dasar tersebut, maka Perusahaan Asuransi perlu untuk memperoleh perlindungan hukum berupa kepastian hukum agar permasalahan yang serupa tidak terulang kembali. Perlindungan hukum terhadap perusahaan asuransi dapat berupa perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif
TANGGUNG JAWAB HUKUM LEMBAGA PENYIARAN BERLANGGANAN ATAS PENYIARAN ULANG SIARAN TELEVISI DIGITAL TERESTRIAL PENERIMAAN TETAP TIDAK BERBAYAR (FREE TO AIR) Nitta Amalia; Rika Ratna Permata; Aam Suryamah
Jurnal Ilmiah Galuh Justisi Vol 9, No 2 (2021): Jurnal Ilmiah Galuh Justisi
Publisher : Universitas Galuh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25157/justisi.v9i2.5161

Abstract

Lembaga penyiaran swasta sebagai pemegang hak terkait dari sebuah konten siaran seringkali mendapati bahwa konten siarannya yang berupa siaran televisi digital terrestrial penerimaan tetap tidak berbayar digunakan oleh pihak lembaga penyiaran lain tanpa izin. Tindakan tersbut dapat merugikan hak ekonomi yang seharusnya diterima oleh pemegang hak terkait. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui keabsahan penyiaran ulang siaran televisi digital terrestrial penerimaan tetap tidak berbayar yang dilakukan oleh lembaga penyiaran berlangganan tanpa izin dan pertanggungjawaban secara hukum bagi lembaga penyiaran berlangganan untuk menyelesaikan masalah tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan penelitian deskriptif analitis. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan baik secara langsung maupun virtual. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa segala bentuk perbuatan yang dilakukan terhadap konten siaran dengan tanpa izin lembaga penyiaran selaku pemegang hak terkait merupakan suatu pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pemegang hak terkait dapat meminta pertanggungjawaban secara litigasi dengan dasar perbuatan melawan hukum.
PEMBAHARUAN KONTRAK ANTARA LEMBAGA JASA KEUANGAN DENGAN KONSUMENNYA PASCA BERLAKUNYA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 01/POJK.07/2014 Ema Rahmawati; Aam Suryamah
Jurnal Ilmiah Hukum DE'JURE: Kajian Ilmiah Hukum Vol 4 No 2 (2019): Jurnal Ilmiah Hukum DE'JURE: Kajian Ilmiah Hukum Volume 4 Nomor 2
Publisher : Lembaga Kajian Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Singaperbangsa Karawang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35706/dejure.v4i2.6455

Abstract

Based on the concept of regulation, dispute resolution in the financial services sector arising from consumer complaints must first be resolved internally at the relevant financial service institution which is more concerned with negotiation or deliberation settlement to reach consensus. Furthermore, if no complaint resolution agreement is reached, consumers and financial service institutions can resolve disputes, by way of resolution through LAPS in their respective financial services sectors or through the courts. The writing of this article is basically a research result that uses normative juridical research methods, namely legal research on the principles of law, the rule of law and the comparison of law with the method of analytical descriptive approach. The results of the study, the legal consequences of the implementation of the LAPS POJK include the need for an agreement (clause) for the selection of a dispute resolution mechanism, either an arbitration forum or other alternative dispute resolution in the event of a dispute or dispute in accordance with the LAPS POJK. Renewal of these contracts is ideal for supporting legal protection for consumers and financial service institutions and supporting renewal of contract law in Indonesia.