cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam
ISSN : 24605565     EISSN : 25031058     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 248 Documents
ECO-LITERACY FIQH AL-BÎ’AH DALAM HUKUM NASIONAL Ahmad, Muhammad Mufid
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 2 No 1 (2016): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4690.207 KB) | DOI: 10.15642/aj.2016.2.1.237-256

Abstract

Abstract: The environmental crisis is a contemporary issue that draws the public attention. In Islam, protecting environment is an important aspect in preserving the existence of the macro life for all God’s creatures without dwarfing one another. That is why in the environmental Islamic jurisprudence, protecting environment (hifz al-bî’ah) is equal as keeping religion (hifz al-dîn), protecting soul (hifz al-nafs), maintaining intellect (hifz al-aql), maintaining descent (hifz al-nasl), and maintaining property (hifz al-mâl). The reason is that if the aspects of religion, life, intellect, lineage and property damaged, then the existence of humans on the environment becomes stained. Thus, al-Qaradawi made hifz al-bî’ah as an Islamic axiological study. From here, the effort to develop the epistemological basis of Islamic environmental jurisprudence becomes a necessity. Therefore, in this context, maqâshid al-syarî’ah (hifz al-bî’ah) is the main purpose of Islamic law. It can also be an “approach” in reformulating the “anthropological and cosmological-based Islamic environmental jurisprudence”.Keywords: Fiqh al-bî’ah, hifz al-bî’ah, eco-literacy, national law. Abstrak: Krisis lingkungan merupakan isu kontemporer yang menyita perhatian publik. Dalam Islam, menjaga lingkungan merupakan aspek penting dalam upaya melestarikan eksistensi kehidupan makro bagi seluruh makhluk ciptaan Tuhan tanpa mengerdilkan satu sama lain. Itu sebabnya, doktrin Islam tentang fikih ramah lingkungan menyatakan bahwa menjaga lingkungan (hifz al-bî’ah) sama dengan menjaga agama (dîn), jiwa (nafs), akal (aql), keturunan (nasl), dan harta (mâl). Rasionalitasnya adalah bahwa jika aspek-aspek agama, jiwa, akal, keturunan dan harta rusak, maka eksistensi manusia di dalam lingkungan menjadi ternoda. Dengan demikian, al-Qardâwî menjadikan hifz al-bî’ah sebagai kajian aksiologi ilmu-ilmu keislaman. Dari sini, maka upaya pengembangan basis epistemology fikih lingkungan menjadi suatu keniscayaan. Maqâshid syarî’ah (hifz al-bî’ah) sebagai tujuan utama agama dapat menjadi “pisau analisis” dalam mereformulasikan fikih lingkungan yang berbasis antropokosmis.Kata Kunci: Fiqh al-bî’ah, hifz al-bî’ah, eco-literacy, hukum nasional.
Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Front Pembela Islam Di Dengok Kandangsemangkon Paciran Lamongan Perspektif Hukum Pidana Islam Rahmaniyah, Azilatur
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 2 No 1 (2016): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4146.554 KB) | DOI: 10.15642/aj.2016.2.1.25-47

Abstract

Abstract: This article discusses the violence conducted by the Islamic Defender Front in Dengok Kandangsemangkon village -Paciran- Lamongan. Violence committed by the members of FPI in Dengok Kandangsemangkon village is in the form of persecutions. It has fulfilled the elements that exist in Islamic criminal law which classified the criminal act on other than the soul. The violations which done are cutting ears, beating on back, wounding head and cheeks. In the Islamic criminal law of mass violence causing injury other people is not directly regulated, but it can be qualified as persecution of jarîmah conducted by more than one person. In this case, the perpetrator can be punished by qishâsh. However if he is forgiven by the family, it can be replaced by diyat. Indirect actor in this case is sentenced by ta’zir based on judge’s decition. Keywords: Violence, Islamic Defenders Front, Islamic Criminal Law.                          Abstrak: Artikel ini membahas tentang kekerasan yang dilakukan Front Pembela Islam di dusun Dengok Desa Kandangsemangkon Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan. Kekerasan yang dilakukan oleh anggota FPI yang ada di Dusun Dengok Desa Kandangsemangkon adalah berupa penganiayaan-penganiayaan. Hal ini telah memenuhi unsur-unsur yang ada pada hukum pidana Islam yang digolongkan pada tindak pidana atas selain jiwa. Adapun yang dilakukan antara lain adalah pemotongan telinga, pemukulan mengenai punggung, pelukaan pada kepala dan pipi. Dalam hukum pidana Islam kekerasan massa yang mengakibatkan luka orang lain tidak diatur secara langsung, namun dapat dikualifikasikan sebagai jarîmah penganiayaan yang dilakukan secara bersama-sama, maka qishâsh dijatuhkan atas pelaku aktif, yaitu pelaku langsung, jika dimaafkan bisa diganti diyat. Pelaku tidak langsung dalam hal ini dijatuhi hukuman ta’zir yang diserahkan kepada hakim. Kata Kunci: Kekerasan, Front Pembela Islam, hukum pidana Islam.
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UU NO. 31 TAHUN 1999 JO. UU NO. 20 TAHUN 2001 Wijaya, Arif
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 2 No 1 (2016): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5983.181 KB) | DOI: 10.15642/aj.2016.2.1.178-209

Abstract

Abstract: This article focuses on the eradication of corruption according to Law No. 31 of 1999 Jo Law No.20 of 2001. Corruption, according to Law No. 28 of 1999 on the implementation of state which is clean and free from corruption, is an unlawful act and the perpetrator may be charged criminal sanction. Law No. 31 of 1991 on corruption eradication, as amended by Law No. 20 of 2001 on the eradication of corruption, contains the notion of corruption that is virtually identical with the understanding of corruption itself. There are some efforts that can be taken in combating corruption in Indonesia, among others, as follows: prevention, enforcement, public education to people and student, and education for NGO (Non Governmental Organization).Keywords: Eradication of corruption, Indonesia, Law No. 31 of 1999 Jo Law No.20 of 2001. Abstrak: Artikel ini membahas tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menurut UU NO. 31 Tahun 1999 JO UU NO.20 Tahun 2001. Korupsi menurut UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN adalah suatu perbuatan melawan hukum dan pelakunya dapat dikenal sanksi pidana. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat pengertian korupsi yang hampir identik dengan pengertian Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) itu sendiri. Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, antara lain sebagai berikut: Upaya pencegahan (preventif), Upaya penindakan (kuratif), Upaya edukasi masyarakat/mahasiswa, dan Upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).Kata Kunci: Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Indonesia, UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001.
Pemberian Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Perspektif Hukum Islam Ibad, Isyadul
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 2 No 1 (2016): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7169.841 KB) | DOI: 10.15642/aj.2016.2.1.48-76

Abstract

Abstract: This article discusses the analysis of mashlahah mursalah against remission to the perpetrator of the crime of murder. Remission is forgiveness for someone whom convicted criminal penalty in the form of reduced sentence. One of which is a criminal murder. With this remission, the verdict is inkrach (legally binding) and it will be changed. Consequently, the prisoner of  the criminal murder will not be serving a sentence in full, while the criminal child is eligible for receiving remission as stated in Presidential Decree No. 174 of 1999. In ushûl fiqh perspective, this remission is ruled in mashlahah mursalah. In jarîmah qishâsh and diyat forgiveness are handed over to the heir of the victim. While in remission, according to Presidential Decree No. 174 of 1999, the victim has no authority to sentence the prisoner or criminal child because it has been ruled by judicial institution in Indonesia. On the other hands, inkrach can change in line with reduced sentences. Keywords: Remission, crime of murder, Islamic law.                          Abstrak: Artikel ini membahas tentang analisis mashlahah mursalah terhadap pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana pembunuhan berencana. Remisi diberikan kepada narapidana atau anak pidana yang melakukan tindak pidana, yang salah satunya adalah pelaku tindak pidana pembunuhan berencana. Dengan adanya remisi ini, maka putusan hakim yang bersifat inkrach (berkekuatan hukum tetap) akan menjadi berubah, karena pada akhirnya terpidana atau pelaku tindak pidana pembunuhan berencana ini tidak akan menjalani hukuman secara penuh, selagi anak pidana atau narapidana memenuhi persyaratan untuk mendapatkan remisi yang tercantum dalam Keppres RI No 174 Tahun 1999. Dalam perspektif ushûl al-fiqh, remisi ini masuk dalam kaidah mashlahah mursalah. Dalam pengampunan jarîmah qishâsh dan diyat diserahkan kepada pihak ahli waris korban, sedangkan dalam remisi ini menurut Keppres RI No. 174 thn 1999 dari pihak korban tidak mempunyai kekuasaan untuk menjatuhkan hukuman kepada narapidana atau anak pidana, karena sudah ada lembaga peradilan di Indonesia, selain itu putusan hakim yang bersifat inkrach dapat berubah dengan pengurangan masa hukuman. Kata Kunci: Remisi, tindak pidana pembunuhan berencana, hukum Islam
Pembunuhan Dengan Mutilasi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Hukum Pidana Islam Suhartono, Adam
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 2 No 1 (2016): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4515.257 KB) | DOI: 10.15642/aj.2016.2.1.104-127

Abstract

Abstract: This article discusses the crime of murder with mutilation according to the Criminal Code and the Islamic Criminal Law. Murder with mutilation murder is committed by the purpose to destroy evidence. Article which is often used as a legal basis for the criminal murder with mutilation is Article 340 of the Criminal Code with a maximum penalty of death which is sometime as an alternative to imprisonment. While in the Islamic criminal law, sanction for deliberate murder is qishâsh. Murder with mutilation is a deliberated and planned murder coupled with sadism of the perpetrator (in this case is by cutting up the body of victim into some parts). Criminal sanction of qishâsh or death penalty is worthly imposed for the crime of murder with mutilation. this severe criminal sanction is expected that the crime of murder with mutilation is no longer seen as a simple murder. Keywords: Murder, mutilation, criminal code, Islamic criminal law.                                  Abstrak: Artikel ini membahas tentang tindak pidana pembunuhan dengan cara mutilasi menurut KUHP dan hukum pidana Islam. Pembunuhan dengan mutilasi adalah pembunuhan yang diikuti dengan memotong-motong tubuh korban hingga menjadi beberapa bagian yang dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan bukti. Pasal yang sering dijadikan sebagai dasar hukum pelaku tindak pidana pembunuhan secara mutilasi adalah Pasal 340 KUHP dengan sanksi maksimal hukuman mati, yang terkadang hanya merupakan alternatif dari hukuman penjara. Sedangkan dalam hukum pidana Islam sanksi yang dijatuhkan bagi pembunuhan sengaja adalah qishash. Pembunuhan secara mutilasi itu merupakan pembunuhan yang disengaja dan direncanakan ditambah dengan unsur kesadisan dari pelaku dalam menganiaya mayat korban (dalam hal ini memotong-motong mayat korban). Sanksi pidana qishash atau hukuman mati layak dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana pembunuhan secara mutilasi, dengan adanya sanksi pidana yang berat maka diharapkan kasus tindak pidana pembunuhan secara mutilasi ini tidak lagi dipandang sebagai pembunuhan biasa. Kata kunci: Pembunuhan, mutilasi, KUHP, hukum pidana Islam.
PENAMBAHAN SEPERTIGA HUKUMAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM Safitri, Vera Chatuningtias
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 2 No 1 (2016): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4196.913 KB) | DOI: 10.15642/aj.2016.2.1.158-177

Abstract

Abstract: This article highlights the 1/3 additional punishment to perpetrator of the trafficking crime. It is a criminal stipulation as mentioned in Criminal Code Article 7, paragraph (1) added to the 1/3 aggravated punishment, because it contains trafficking and heavy maltreatment (serious injury), severe mental disorder, infectious disease, other life-threatening, pregnancy, or impaired and a loss of reproductive function of the victim. The perpetrator of which is imprisoned for a minimum 4 years and maximum 20 years with the criminal fine of at least Rp. 160,000,000.00 and at most Rp. 800,000,000.00. While in fiqh jinayah, the 1/3 additional punishment included in the theory of ’uqûbah al-badaliyyah al-takmîliyyah (substitute and complement punishment). Criminalization of ’uqûbâh al-badaliyyah al-takmîîliyyah is an additional punishment that follows the principal penalty after the issuance of the verdict of the judge. The penalties included in this jarimah are physical punishment and diyat kamilah.Keywords: Additional penalty, trafficking, Islamic Criminal Law.                                Abstrak: Penambahan 1/3 hukuman bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang adalah penetapan pidana dalam KUHP Pasal 7 ayat (1) ditambahkan dengan diperberat 1/3 hukuman, karena mengandung unsur trafficking dan ditambah melakukan penganiayaan berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu dan hilangnya fungsi reproduksi korban. Bentuk hukumannya adalah pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun disertai pidana denda paling sedikit Rp. 160.000.000,00 dan paling banyak Rp. 800.000.000,00. Sedangkan dalam fiqh jinâyah, penambahan 1/3 hukuman termasuk dalam teori al-’uqûbah al-badaliyyah al-takmîliyyah (hukuman pengganti dan pelengkap). Pemidanaan al-’uqûbah al-badaliyyah al-takmîliyyah merupakan hukuman tambahan yang mengikuti hukuman pokok setelah dikeluarkannya putusan dari hakim. Hukuman yang termasuk dalam jarîmah ini adalah hukuman badan ditambah hukuman diyah kâmilah.Kata Kunci: Penambahan, hukuman, perdagangan orang, hukum pidana Islam.
Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto Tentang Anak Yang Melakukan Penganiayaan Menurut Hukum Islam Abdurrahman, Abdurrahman
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 2 No 1 (2016): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5284.013 KB) | DOI: 10.15642/aj.2016.2.1.77-103

Abstract

Abstract: This article highlights the judge’s consideration in Mojokerto Court against a child who does persecution then analyzed by Islamic law. The judge’s decition in Mojokerto in sentencing for child who commits criminal act of persecution in the decision number: 20/Pid.B/2012/PN.Mkt in the form of returning to his parents is by the consideration that the offender is still minor, the crime committed is not a serious one, and the victim has forgiven (evidenced by a peace agreement dated l7 November 2011). Therefore, it is not contrary to the provision of Islamic Criminal Law. Because the judge’s considerations could be the reason of forgiveness for the offender. Persecution conducted is not also included in the category of al-syajjâj (criminal by wounding in face and head), so that the sentence handed down is similar to that of ta’zîr. Keywords: Judge’s consideration, child, persecution, Islamic law.                                  Abstrak: Artikel ini membahas tentang pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Mojokerto terhadap anak yang melakukan penganiayaan kemudian dianalisis dengan hukum Islam. Keputusan hakim Pengadilan Negeri Mojokerto dalam penjatuhan hukuman bagi anak yang melakukan tindak pidana penganiayaan dalam putusan nomor: 20/Pid.B/2012/PN.Mkt berupa pengembalian kepada orang tuanya dengan pertimbangan bahwa pelaku masih tergolong anak di bawah umur, kejahatan yang dilakukan pelaku bukanlah kejahatan yang berat, serta korban sudah memaafkan (dibuktikan dengan surat perjanjian perdamian tertanggal l7 Nopember 2011), tidaklah bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam hukum pidana Islam, karena pertimbangan-pertimbangan hakim tersebut bisa menjadi unsur pemaaf bagi pelaku tindak pidana. Penganiayaan yang dilakukan juga tidak termasuk dalam ketegori al-syajjâj (pidana pelukaan di bagian muka dan kepala), sehingga hukuman yang dijatuhkan sama halnya dengan ta’zîr. Kata Kunci:Pertimbangan hakim, anak, penganiayaan, hukum Islam.
Potensi Integrasi dan Internalisasi Hukum Pidana Islam ke dalam Penal Reform di Indonesia Sanuri, M
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 2 No 1 (2016): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5335.454 KB) | DOI: 10.15642/aj.2016.2.1.1-24

Abstract

Abstract: This article discusses the potential for integration and internalization of Islamic Criminal Law in the revision of the National Criminal Code (penal reform). There are three good reasons why the Islamic Criminal Law is quite potential to integrate and internalize in the draft revision of the National Criminal Code, namely; 1. Indonesia is a state based on Pancasila as its ideology as mentioned in the first principle “Almighty God”; 2. The majority of Indonesian people are Muslim; and 3. Historically, Islamic criminal law was to have lived in the archipelago. The internalization process of Islamic Criminal Law into the National Criminal Law can be done with several principles, namely: (1) a substantial and contextual rather than formal-textual; (2) the orientation from jawâbir to zawâjir; (3) the theory of zawâjir (rehabilitation theory), namely how to rehabilitate convict; (4) the establishment of principles derived from Islamic law as set forth in the concept of maqâshid al-syarîah. Keywords: Integration, Islamic Criminal Law, National Criminal Code, penal reform.                          Abstrak:  Artikel ini membahas tentang potensi integrasi dan internalisasi hukum pidana Islam ke dalam revisi KUHP Nasional (penal reform). Ada tiga alasan kuat mengapa hukum pidana Islam berpotensi untuk berintegrasi dan berinternalisasi dalam rancangan revisi KUHP Nasional, yaitu; 1. Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila sebagai ideologi, terutama sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”; 2. Mayoritas masyarakat Indonesia adalah Muslim; dan 3. Secara historis, hukum pidana Islam ini pernah hidup di bumi nusantara. Proses internalisasi hukum pidana Islam ke dalam hukum pidana nasional bisa dilakukan dengan beberapa prinsip, yakni: (1) substansial-kontekstual dan bukan formal-tekstual; (2) dari orientasi prinsip jawâbir menuju zawâjir; (3) teori zawâjir (rehabilitation theory), yakni merahibilitasi si terpidana; (4) pembentukan asas-asas yang disarikan dari hukum Islam sebagaimana yang tertuang dalam konsep maqâshid al-syarî’ah. Kata Kunci: Integrasi, hukum pidana Islam, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, penal reform.
TA’LÎL AL-AHKÂM DARI MASA RASULULLAH HINGGA MASA ULAMA USHÛL Musyafaah, Nur Lailatul
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 2 No 1 (2016): Juni
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5124.05 KB) | DOI: 10.15642/aj.2016.2.1.210-234

Abstract

Abstract: Ta’lîl al-ahkâm is explaining by finding the legal reason.  At the time of the Prophet, ta’lîl was contained in the Qur’an and hadith, among them: 1.’ Illat was embodied with the character of law, 2. Stating the legal position with its reason and historical background, 3. Explaining command accompanied by tafdhîl, 4. Explaining law with its reason marked with the letter of ta’lîl, 5. Explaining law and its explanation about the benefit or in otherwise. The methods of ta’lîl al-ahkâm at the time of companion: 1. Elimination of the penalty for refusing mafsadah, 2. Law is changed because its legal reason has  been lost. 3. Not carrying out the command of Allah and His Messenger for the reason of mafsadah if the work is still performed, 4. Assigning the unassigned law at the time of Prophet for the sake of refusing mafsadah, 5. Doing something which was not done at the time of the Prophet for the reason of gaining benefit, 6. Establishing  law based on the text without searching the illah. The methods of ta’lîl al-ahkâm at the period of tâbi’în and tâbi’ tâbi’în: 1. Advancing benefit, the law contained in the textis absolute or contrary to the public welfare, 2. Using the method of maslahah mursalah. 3. Leaving a permissible act by the reason of mafsadah. The methods of ta’lîl al-ahkâm in the period of Muslim scholars of ushûl: with text, ijmâ’, and al-sabr wa al-taqsîm.Keywords: Ta’lîl al-ahkâm, period of the Messenger, period of the Muslim scholars of ushûl. Abstrak: Ta’lîl al-ahkâm adalah menjelaskan dan cara menemukan ilat hukum. Pada masa Rasulullah, ta’lîl terdapat pada al-Qur’an dan hadis, di antaranya; 1. Ilat menyatu dengan sifat hukum, 2. Menyebutkan hukum beserta sebabnya. 3. Menjelaskan perintah diiringi dengan lafadz tafdhîl, 4. Menjelaskan hukum beserta ilatnya yang ditandai dengan huruf ta’lîl, 5. Menjelaskan hukum disertai dengan penjelasan maslahatnya, atau sebaliknya. Metode ta’lîl al-ahkâm pada masa Sahabat: 1. Meniadakan hukuman karena alasan menolak mafsadah, 2. Hukum menjadi berubah, karena ilatnya telah hilang, 3. Tidak melaksanakan perintah Allah dan RasulNya, karena adanya mafsadah apabila pekerjaan tersebut tetap dilaksanakan. 4. Menetapkan hukum yang belum ditetapkan Rasulullah demi menolak mafsadah, 5. Mengerjakan pekerjaan yang tidak dikerjakan pada masa Rasulullah, dengan alasan kebaikan, 6. Menetapkan hukum berdasarkan nas yang ada tanpa mencari ilat hukum.Metode ta’lîl al-ahkâm pada masa Tâbi’în dan Tâbi’ Tâbi’în: 1. Mendahuluan maslahat, jika hukum yang terkandung dalam nas bersifat mutlak atau umum bertentangan dengan kemaslahatan, 2. Menggunakan metode maslahah mursalah. 3. Meninggalkan pekerjaan yang mubah atau sunnah, karena jika dikerjakan akan mendatangkan mafsadah. Metode ta’lîl al-ahkâm pada Masa Ulama Ushûl: Dengan nash, ijma’, dan al-sabr wa al-taqsîm.Kata Kunci: Ta’lîl al-ahkâm, Masa Rasulullah, masa Ulama Ushûl. 
Analisis terhadap Larangan Analogi dalam ‎Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang ‎Hukum Pidana Yasin, Ikhsan Fatah
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol 2 No 2 (2016): Desember
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (92.271 KB) | DOI: 10.15642/aj.2016.2.2.408-419

Abstract

Abstract: This article discusses the analysis of the prohibition of analogy in the Draft Bill. The majority of the experts of jurisprudence against analogy. The author does not agree with the ban on using the analogy in the Draft Bill, but justifies the analogy with the record, the judge must be competent and with integrity. If the judge is unable to make analogy, then he could use self-interpretation to find a legal decition. The argument of usage of analogy is to seek substantial justice for the people without setting aside the individual’s rights, because by using the analogy, the rule of law will remain unfulfilled. It is because the crime, in its various forms, is still contrary to morality even though it is not written, and even if the crime has an impact to the public. In Islamic law, the method of qiyâs compiled by Imam Shafi’i in may be used as a good analogy, because qiyâs method has been tested by producing many laws.Keywords: Analogy, draft bill, the criminal code. Abstrak: Artikel ini membahas tentang analisis terhadap larangan analogi dalam RUU KUHP. Mayoritas para ahli ilmu hukum menentang analogi. Penulis tidak sepakat dengan larangan menggunakan analogi dalam RUU KUHP, tetapi membenarkan analogi dengan catatan, hakimnya harus kompeten dan berintegritas. Jika hakimnya memang tidak mampu untuk beranalogi, maka ia masih bisa menggunakan interpretasi untuk menemukan hukumnya.   Argumen diperbolehkannya analogi adalah untuk mencari keadilan substansial bagi masyarakat tanpa menyampingkan perlindungan individu, sebab dengan menggunakan analogi kepastian hukum akan tetap terpenuhi. Karena kejahatan, dalam berbagai bentuknya, tetap saja bertentangan dengan kesusilaan meskipun ia tidak tertulis, apalagi jika kejahatan tersebut membawa pengaruh kepada masyarakat luas. Dalam hukum Islam, metode qiyâs yang disusun oleh Imam Syafi’i dalam berijtihad mungkin dapat digunakan sebagai proses analogi yang baik, sebab metode qiyâs ini sudah teruji dengan memproduksi banyak hukum. Kata Kunci: Analogi, Rancangan Perundang-undangan, KUHP.

Page 3 of 25 | Total Record : 248