cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota jambi,
Jambi
INDONESIA
Undang: Jurnal Hukum
Published by Universitas Jambi
ISSN : 25987941     EISSN : 25987933     DOI : -
Core Subject : Social,
Undang: Jurnal Hukum merupakan terbitan ilmiah berkala bidang ilmu hukum. Jurnal ini diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Jambi sebagai media pembahasan hukum––yang dalam bahasa Melayu disebut Undang––dalam merespons dinamika dan perubahan sosial. Terbit pertama pada April 2018, Undang: Jurnal Hukum terbit dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan April dan Oktober. Dalam setiap terbitannya, Undang: Jurnal Hukum memuat tujuh artikel hasil penelitian atau pengkajian hukum dan satu artikel ulasan tokoh & pemikiran hukum.
Arjuna Subject : -
Articles 88 Documents
Pendekatan Pluralisme Hukum dalam Studi Hukum Adat: Interaksi Hukum Adat dengan Hukum Nasional dan Internasional Sartika Intaning Pradhani
Undang: Jurnal Hukum Vol 4 No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.4.1.81-124

Abstract

Scientific study on adat law starts from empirical research, which finds that adat law does not stand alone but works together with other legal orders. This paper is written based on normative legal research by collecting secondary data to answer (1) how legal pluralism explains adat law and adat law community; and (2) how the application of legal pluralism approach in adat law study. The legal pluralism approach explains adat law not as an isolated/marginalized legal order but as a dynamic legal order which interacts with national and international law. From the perspective of legal pluralism, the adat law community is a semi-autonomous social field that produces rules from the interplay between the adat law community and other legal communities/institutions. Categorization of legal pluralism approach application are as follow: first, weak legal pluralism where state law recognizes adat law either by law and regulation or court decision; second, strong legal pluralism which describes through the semi-autonomous social field, shopping forum, and forum shopping concept; third, legal pluralism multi-sited which explain the relationship between legal phenomena in local, national, and international level; and elaborate the role of information, communication, and technology which bridges legal phenomenon from one to another. Abstrak Kajian ilmiah terhadap hukum adat berangkat dari penelitian lapangan yang menemukan bahwa hukum adat tidak pernah berdiri sendiri dan selalu berinteraksi dengan tertib hukum yang lain. Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian hukum normatif dengan mengumpulkan data sekunder berupa laporan-laporan penelitian dan artikel jurnal untuk untuk menjawab (1) bagaimana pendekatan pluralisme hukum menjelaskan hukum adat dan masyarakat hukum adat; dan (2) bagaiamana pendekatan pluralisme hukum digunakan dalam studi hukum adat hari ini. Pendekatan pluralisme hukum memahami hukum adat tidak sebagai suatu ketertiban hukum yang terpisah atau termarginalisasi dari ketertiban hukum yang lain, tetapi secara dinamis terus berinteraksi dengan hukum nasional maupun internasional. Dari perspektif pluralisme hukum, masyarakat hukum adat merupakan suatu wilayah sosial semi otonom yang melahirkan hukum berdasarkan hubungan saling memengaruhi dengan masyarakat hukum lain. Penerapan pendekatan pluralisme hukum dalam studi hukum adat dapat dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama, pluralisme hukum lemah di mana negara mengakui hukum adat baik melalui peraturan perundang-undangan maupun putusan pengadilan. Kedua, pluralisme hukum kuat yang dideskripsikan melalui konsep wilayah sosial semi-otonom, forum shopping, dan shopping forum. Terakhir, pluralisme hukum multi-sited yang digunakan untuk menjelaskan hubungan berbagai fenomena hukum antara hukum adat (lokal), nasional, dan internasional serta peran teknologi informasi dan komunikasi dalam menjembatani hubungan tersebut.
Trikotomi Relasi dalam Penetapan Tersangka: Menguji Frasa “Pemeriksaan Calon Tersangka” Melalui Praperadilan Rocky Marbun
Undang: Jurnal Hukum Vol 4 No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.4.1.159-190

Abstract

The Constitutional Court Decision Number 21/PUU-XII/2014 has placed restrictions on the investigator’s discretional action in determining a person as a suspect in addition to being based on two valid evidence, it is also based on the completion of an examination of a potential suspect. However, in the realm of legal praxis, the meaning of the phrase “examination of potential suspects” has been reduced by means of grammatical-lexical knowledge produced by the authorities. As a result, it raises the meaning that the phrase “potential suspect” is not known only based on the Criminal Procedure Code. The problem that will be discussed in this research is “how does the Trichotomy of Relation work in reducing the meaning of” Suspect Candidate Examination “in the pretrial process?” This study uses a normative juridical research method based on secondary data through literature study. In this study, in order to complement the normative juridical method, also use a semiotic approach and a critical discourse analysis approach. The results of this study indicate a pattern of power that produces knowledge of the phrase “Examination of Potential Suspects” in order to defend the interests of formal and instrumental proof. Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 telah memberikan pembatasan terhadap tindakan diskresional penyidik dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka selain berbasis pada dua alat bukti yang sah, pun berbasis pada disertainya pemeriksaan terhadap calon tersangka. Namun demikian, dalam ranah praksis hukum, frasa “pemeriksaan calon tersangka” telah direduksi pemaknaannya melalui pengetahuan yang diproduksi oleh pemegang otoritas secara gramatikal-leksikal. Hal tersebut memunculkan pemaknaan bahwa frasa “calon tersangka” tidak dikenal hanya disandarkan pada KUHAP semata. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana pola kerja trikotomi relasi dalam mereduksi makna ‘pemeriksaan calon tersangka’ dalam proses praperadilan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang berbasis pada data sekunder melalui studi kepustakaan. Pada penelitian ini, guna melengkapi metode yuridis normatif, digunakan pula pendekatan semiotik dan analisis wacana kritis. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya suatu pola kekuasaan yang memproduksi pengetahuan terhadap frasa “pemeriksaan calon tersangka” guna mempertahankan kepentingan pembuktian yang formilistik dan instrumental melalui penggunaan konsep yang lazim digunakan dalam KUHAP (langue) dan menolak konsep yang belum dikenal dalam KUHAP (parole).
Pengawasan terhadap Bank Tanah: Urgensi, Kewenangan, dan Mekanisme Hasyim Sofyan Lahilote; Irwansyah Irwansyah; Rosdalina Bukido
Undang: Jurnal Hukum Vol 4 No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.4.1.191-211

Abstract

The Omnibus Law for Job Creation establishes a special agency called the land bank agency that manages state land, including planning, acquisition, procurement, management, utilization, and distribution of land. This article revisits on how urgent this land bank is and how its supervisory powers and mechanisms are implemented. This article demonstrates that the formation of the land bank is actually related to problems in land acquisition, especially those intended for infrastructure development, which has triggered land liberalization and caused the increase of land price. Therefore, the land bank is urgent to ensure the availability of land for various development purposes in the future, budget efficiency, as well as to avoid conflicts in the land acquisition process and reduce the side effects of land liberalization. In order to encourage the land bank play its role and function as intended in its formation, good and efficient supervision is also needed. So far, it has been stated in the Omnibus Law for Job Creation that internal supervision is carried out by the supervisory board. Taking into account the relationship of the land bank and the supervisory board with other agencies or institutions that carry out the functions of land and bank as well as their supervision, like the one by the National Land Agency and the Financial Service Authority, it is necessary to have clarity on each role and function to avoid overlap. Abstrak UU Cipta Kerja membentuk badan khusus yang mengelola tanah, yaitu badan bank tanah, yang berfungsi melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah. Dalam artikel ini dibahas apa sebetulnya urgensi bank tanah ini dan bagaimana pula kewenangan dan mekanisme pengawasannya. Artikel ini memperlihatkan pembentukan bank tanah sebetulnya terkait dengan permasalahan dalam pengadaan tanah terutama yang diperuntukkan bagi pembangunan infrastruktur, sehingga memicu terjadinya liberalisasi tanah dan mengakibatkan harga tanah melambung tinggi. Karena itu, bank tanah urgen dalam rangka menjamin ketersediaan tanah untuk berbagai keperluan pembangunan di masa yang akan datang, efisiensi anggaran, serta mengurangi konflik dalam proses pembebasan tanah dan dampak buruk liberalisasi tanah. Dalam rangka mendorong agar bank tanah berperan dan berfungsi sebagaimana dikehendaki dalam pembentukannya, maka diperlukan pengawasan yang baik dan efisien pula. Sejauh ini dalam UU Cipta disebutkan pengawasan dilakukan secara internal oleh dewan pengawas. Dengan mempertimbangkan adanya keterkaitan bank tanah dan dewan pengawas ini dengan badan atau lembaga lainnya yang menjalankan fungsi pertanahan dan bank serta pengawasannya juga, misal Badan Pertanahan Nasional dan Otoritas Jasa Keuangan, maka adanya kejelasan terhadap masing-masing peran dan fungsi sangatlah diperlukan, agar tidak malah terjadi tumpang tindih.
Perlindungan Hukum terhadap Notaris Penerima Protokol: Bentuk dan Batasan Yetniwati Yetniwati; Taufik Yahya; Diana Amir
Undang: Jurnal Hukum Vol 4 No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.4.1.213-244

Abstract

A notary is a public official authorized to draw up and keep authentic deeds and other documents permitted by laws and regulations. Whenever a notary dies, or reaches retirement age, changes his/her domicile or profession, he/she shall submit his/her retired notary protocol to another notary appointed by the Regional Supervisory Council. The submission of notary protocol is regulated in Article 65 of the Law on Notary Positions, yet without legal protection. In some cases, court decisions are found to have imposed sanctions upon a notary who received the protocol despite the mistake of the notary protocol giver. This article encourages that the notary who receives the protocol be provided with legal protection, because he/she is only the party who receives the protocol made by another notary. The imposition of responsibility upon the notary protocol recipient regarding the contents of the deed he/she keeps will only lead to injustice and legal uncertainty. Since no regulation has been provided concerning to such matter, it is necessary to afford legal protection which comprises: the responsibility of the heirs of the notary (giver); the limitation of the responsibility of the protocol recipient; the limitation of protocol retention time; and the necessity of storing notary protocols in the form of microfilm. Nevertheless, the notary protocol recipient shall also have limited protection, in the sense that he/she can be held accountable with respect to the obligation to keep the notary protocol he/she receives in proper ways. Abstrak Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat dan menyimpan akta dalam bentuk akta otentik, serta dokumen lain yang diperbolehkan oleh perundang-undangan. Setiap notaris yang meninggal dunia, mencapai usia pensiun, pindah domisili, atau pindah profesi, wajib menyerahkan protokol notarisnya kepada notaris lain yang ditunjuk oleh Majelis Pengawas Daerah. Pengaturan penyerahan protokol notaris diatur dalam Pasal 65 Undang-undang Jabatan Notaris, namun tidak dengan perlindungan hukumnya. Dalam beberapa kasus dijumpai putusan pengadilan yang memberikan sanksi kepada notaris penerima protokol sekalipun berkaitan dengan kesalahan notaris pemberi protokol. Artikel ini mendorong agar notaris penerima protokol mendapatkan perlindungan hukum, sebab ia hanya sebagai pihak yang menerima protokol yang dibuat oleh notaris lainnya. Pembebanan tanggung jawab kepada notaris penerima protokol terkait isi akta yang disimpannya justru akan menyebabkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Oleh karena sejauh ini belum ada pengaturannya, maka perlu diupayakan perlindungan hukum yang meliputi: tanggung jawab ahli waris notaris (pemberi); batasan tanggung jawab penerima protokol; batasan waktu penyimpanan protokol; dan keharusan penyimpanan protokol notaris dalam bentuk mikrofilm. Meski demikian, notaris penerima protokol tentu harus pula dibatasi perlindungannya, dalam artian dapat dimintai pertanggungjawabannya, yaitu dalam hal keharusannya menyimpan protokol notaris yang diterimanya secara patut.
Teori Hukum Pidana Minimalis dari Douglas Husak: Urgensi dan Relevansi Mahrus Ali; M. Arif Setiawan
Undang: Jurnal Hukum Vol 4 No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.4.1.245-279

Abstract

Douglas Husak has been widely known, especially in the United States and Europe, as a leading theorist who combines the disciplines of legal philosophy and criminal law. Most of his writings were directed at the use of the coercive means of the state through criminal law as minimum as possible. The minimalist theory of criminal law that he coined was motivated by the phenomenon of the increasing number of acts criminalized in the United States Federal State Law in which the majority related to offenses of risk prevention causing overcriminalization. To prevent this, criminal law must be placed as a last resort. The state’s decision to criminalize an act must pay attention to internal and external constraints. The first includes the nontrivial harm or evil constraint, the culpability of the actor, and the proportionality of punishment, while the second is related to the substantiality of the state’s authority to punish. The thought is relevant to be adopted in the criminalization policy in Indonesia, especially regarding the principle of the blameworthiness of conduct, the severity of punishment must weigh the dangerousness of the (actor) offenses, and criminalization should not be taken if other means are equally effective or even more effective to achieve the goal. Abstrak Douglas Husak dikenal luas terutama di Amerika Serikat dan Eropa sebagai teoretisi terkemuka yang menggabungkan antara disiplin filsafat hukum dan hukum pidana. Tulisan-tulisan Husak kebanyakan diarahkan pada penggunaan sarana koersif negara melalui hukum pidana seminimal mungkin. Teori hukum pidana minimalis yang dicetuskannya dilatarbelakangi fenomena semakin banyaknya perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasi dalam undang-undang Negara Federal Amerika dan mayoritas terkait offenses of risk prevention sehingga menimbulkan kelebihan kriminalisasi. Untuk mencegahnya, hukum pidana harus ditempatkan sebagai sarana terakhir. Keputusan negara untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan harus memperhatikan pembatas internal dan pembatas eksternal. Yang pertama meliputi sifat jahat dan dampak kerugian/kerusakan yang begitu serius dari dilakukannya suatu tindak pidana, kesalahan pembuat, dan proporsionalitas pidana; sedangkan yang kedua terkait substansialitas kewenangan negara untuk memidana. Pemikiran Husak relevan untuk diadopsi dalam kebijakan kriminalisasi di Indonesia terutama menyangkut prinsip ketercelaan suatu perbuatan, penetapan beratnya ancaman pidana mengacu pada seriusitas delik dan kesalahan pembuat, dan kriminalisasi tidak boleh ditempuh jika cara-cara lain sama efektif atau bahkan lebih efektif untuk mencapai tujuan.
Rasisme dan Penerapan Pasal Makar terhadap Kebebasan Ekspresi Politik Papua Herlambang P. Wiratraman
Undang: Jurnal Hukum Vol 4 No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.4.1.49-80

Abstract

Freedom of political expression has not been fully guaranteed in the Indonesian legal system. One of the most prominent in the legal debate is the matter of treason (makar) charges against political expressions of self-determination. In the case of Papua, many Papuans have been detained, criminalised, and even killed because of their political expression. Interestingly, the Constitutional Court, through its decision Number 7/PUU-XV/2017, provided guidance in its ‘ratio decidendi’ argument, specifically the interpretation of treason phrases in the Criminal Code. Interpretation is given by the Constitutional Court after seeing the reality that law enforcement has been arbitrarily abused by the application of the treason article. This is contrary to the freedom of association, opinion and expression, as guaranteed in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. This article discusses how the application of the phrase treason in law enforcement, especially in connection with the conviction of many Papuans after the Surabaya anti-racism rallies in September 2019. A number of district court decisions on dozens of convicted Papuans show that the legal system that guarantees freedom of political expression has not changed much and law enforcement in fact emphasises the position of racial discrimination and is far below the standard of human rights law. Abstrak Kebebasan ekspresi politik belum sepenuhnya dijamin dalam sistem hukum Indonesia. Salah satu yang paling mengemuka dalam perdebatan hukum adalah soal tuduhan makar terhadap ekspresi politik menentukan nasib sendiri. Dalam kasus Papua, tidak sedikit jumlah warga Papua yang ditahan, dikriminalkan, hingga tewas terbunuh karena soal ekspresi politiknya. Menariknya, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 7/PUU-XV/2017 memberikan panduan dalam argumen ratio decidendinya, khusus interpretasi frasa makar dalam Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana. Penafsiran diberikan oleh Mahkamah Konstitusi setelah melihat realitas penegakan hukum telah banyak disalahgunakan penerapan pasal makar. Hal demikian bertentangan dengan kebebasan berkumpul, berpendapat dan berekspresi, sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Artikel ini membahas bagaimana penerapan frasa makar dalam penegakan hukumnya, khususnya berkaitan dengan dipidananya banyak warga Papua setelah aksi anti rasisme Surabaya pada September 2019. Sejumlah putusan pengadilan negeri atas puluhan warga Papua yang dipidana tersebut memperlihatkan sistem hukum yang menjamin kebebasan ekspresi politik tidak banyak berubah dan penegakan hukum justru menegaskan posisi diskriminasi rasial serta jauh dari standar hukum hak asasi manusia.
Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia Setelah Reformasi: Kesinambungan dan Perubahan Muhammad Bahrul Ulum
Undang: Jurnal Hukum Vol 4 No 2 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.4.2.309-343

Abstract

Election becomes the main feature of liberal democracy and a prerequisite of the working of democracy. After Indonesia’s reformation, an election has played an important role in engaging citizens to participate in the government. It includes the subsequent introduction of elections at the local level that portrays an increasing role of citizens in democracy at the grassroots. Consequently, every position of the regional head, both at the provincial and district/city levels, should involve citizens’ direct intervention to implement “the regional head to be democratically elected”, the norm outlined in Article 18 (4) of the 1945 Constitution. This paper aims to trace the historical trajectory and development of the direct regional head election and analyze the extent to which its continuities and changes in the last two decades have linkages to the performance of Indonesian democracy. By examining the relevance of regional head elections to Indonesia’s contemporary democracy after two decades of reform, this paper specifically reflects on the interpretation of the above constitutional norm through regional head elections, which in practice become problematic because money politics is often unavoidable. This money politics in this local election encourages the regression of the Indonesian democracy because direct regional head elections do not necessarily reduce vote manipulation as had been practiced in regional head votings by members of the Regional People’s Representative Council. Abstrak Pemilu menjadi substansi utama dalam demokrasi liberal dan merupakan prasyarat berfungsinya demokrasi. Setelah reformasi Indonesia, pemilu berperan penting dengan melibatkan warga untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, yang kemudian mencakup dikenalkannya pemilihan tingkat lokal sebagai peningkatan peran warga negara dalam demokrasi di akar rumput. Oleh karena itu, setiap jabatan kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, harus melibatkan intervensi langsung warga negara untuk melaksanakan “kepala daerah dipilih secara demokratis”, norma yang dituangkan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Tulisan ini bertujuan untuk menelusuri lintasan sejarah dan perkembangan pemilihan kepala daerah langsung serta menganalisis sejauh mana kesinambungan dan perubahannya dalam dua dekade terakhir memiliki keterkaitan dengan kinerja demokrasi Indonesia. Dengan mengkaji relevansi pemilihan kepala daerah terhadap demokrasi kontemporer Indonesia setelah dua dekade reformasi, tulisan ini secara khusus merefleksikan interpretasi norma konstitusi di atas melalui pemilihan kepala daerah yang dalam praktiknya menjadi problematik karena sering tidak dapat terhindarkan dari politik uang. Politik uang dalam pemilihan kepala daerah ini mendorong regresi demokrasi di Indonesia karena pemilihan secara langsung tidak serta merta dapat mengurangi praktik manipulasi suara sebagaimana yang pernah dipraktikkan dalam pemilihan kepala daerah oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Pidana di Bawah Minimum Khusus: Studi Perkara Tindak Pidana Narkotika Ari Wibowo; Ivan Agung Widiyasmoko
Undang: Jurnal Hukum Vol 4 No 2 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.4.2.345-369

Abstract

This article discusses two issues, firstly, judges’ considerations (ratio decidendi) in deciding cases of narcotics crimes with punishment below a special minimum, and secondly, the theories of the punishment purpose used by judges in deciding cases of narcotics crimes with punishment below a special minimum. This article concludes that judges' considerations in deciding ten cases of narcotics crimes with punishment below a special minimum are based on certain criteria in the form of conditions related to the crime and the defendant. In addition, the judges' considerations are also based on SEMA No. 3 of 2015 and SEMA No. 4 of 2010. Meanwhile, there are 6 out of 10 court decisions used the relative or utilitarian theory, and others used the absolute or retributive theory. Justice is the basis used by judges in deviating from special minimum provisions, so that the use of relative theory as a punishment purpose shows the inconsistency of judges. This is because justice in punishment is proportionality which is part of modern absolute theory. Judges may use a combined theory of absolute theory and relative theory. Abstrak Artikel ini membahas dua permasalahan, pertama, pertimbangan hukum hakim (ratio decidendi) dalam memutus perkara tindak pidana narkotika dengan pidana di bawah minimum khusus, dan kedua, teori tujuan pemidanaan yang digunakan oleh hakim dalam memutus perkara tindak pidana narkotika dengan pidana di bawah minimum khusus. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap 10 putusan pengadilan diperoleh kesimpulan bahwa pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara tindak pidana narkotika dengan pidana di bawah minimum khusus didasarkan pada kriteria-kriteria tertentu berupa keadaan-keadaan baik yang berhubungan dengan tindak pidana maupun terdakwanya. Selain itu pertimbangan hukum hakim juga didasarkan pada SEMA No. 3 tahun 2015 dan SEMA No. 4 Tahun 2010. Adapun terkait dengan teori tujuan pemidanaan, sebanyak enam dari 10 putusan pengadilan yang di dalamnya digunakan teori relatif atau tujuan, sementara sebanyak lima putusan di dalamnya digunakan teori absolut atau pembalasan. Dasar yang digunakan hakim dalam menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus adalah keadilan, sehingga penggunaan teori relatif sebagai tujuan pemidanaan menunjukkan ketidakkonsistenan hakim. Hal ini karena keadilan dalam pemidanaan adalah proporsionalitas yang merupakan bagian dari teori absolut modern. Hakim bisa saja menggunakan teori gabungan teori absolut dan teori relatif.
Perjanjian Perdamaian pada Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Berulang: Kedudukan dan Implikasi Udin Silalahi; Beatrix Tanjung
Undang: Jurnal Hukum Vol 4 No 2 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.4.2.371-401

Abstract

The composition agreement that has been approved or homologated by the commercial court in the process of Suspension of Obligation for Payment of Debt (PKPU), should bind the parties, except for creditors who do not agree to the composition plan. In practice, there are creditors who re-submit a PKPU process, even though there has been a composition agreement, as stated in the decision of the Commercial Court at the Central Jakarta District Court No. 80/Pdt.Sus PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst. Normatively, the law does not prohibit the submission of repeated PKPU applications. In this article will be discussed how is the actual position and legal implication of the composition agreement in the repeated PKPU process, because the composition agreement that has been ratified by the Commercial Court is binding on all creditors; meanwhile, in the recurring PKPU, the Commercial Court issues a new composition agreement. This article concludes, firstly, the composition agreement in the repeated PKPU process remains valid even though the temporary repeated PKPU is granted by the court. Second, the legal consequence of the granting of repeated PKPU, the previous composition agreement remains valid and until the new composition agreement legitimated and the debts of the PKPU Respondent are renewed into the new composition agreement. Abstrak Perjanjian perdamaian yang telah mendapatkan pengesahan atau homologasi pengadilan niaga dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), seharusnya mengikat para pihak, terkecuali kreditor yang tidak menyetujui rencana perdamaian tersebut. Dalam praktiknya, ada kreditor yang mengajukan ulang suatu proses PKPU, sekalipun telah ada perjanjian perdamaian, sebagaimana pada putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 80/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst. Secara normatif, undang-undang tidak melarang pengajuan permohonan PKPU berulang. Dalam artikel ini dibahas, bagaimana sebenarnya kedudukan dan implikasi hukum dari perjanjian perdamaian pada proses PKPU berulang, karena perjanjian perdamaian yang telah disahkan Pengadilan Niaga mengikat kepada semua kreditor, sementara dalam PKPU berulang, Pengadilan Niaga mengeluarkan perjanjian perdamaian baru. Artikel ini menyimpulkan, pertama, perjanjian perdamaian dalam proses PKPU berulang kedudukannya tetap sah walaupun PKPU sementara berulang dikabulkan oleh pengadilan. Kedua, akibat hukum dikabulkannya PKPU berulang, perjanjian perdamaian yang terdahulu tetap sah dan berlaku sampai disahkannya perjanjian perdamaian yang baru dan utang-utang Termohon PKPU berulang diperbarui ke dalam perjanjian perdamaian yang baru.
Perkembangan Konseptual dan Eksistensi Konvensi Ketatanegaraan Pasca-Perubahan Konstitusi Mei Susanto
Undang: Jurnal Hukum Vol 4 No 2 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.4.2.403-439

Abstract

The existence of constitutional conventions in Indonesia after the Amendment of the 1945 Constitution is problematic due to the abolition of the Explanation of the Constitution. Through a conceptual approach, this article answers its problem that constitutional conventions still exist because conventions are sub-systems that are always attached and present in the state constitutional system everywhere, including Indonesia. This article further discusses the development of constitutional conventions starting from the doctrine presented by Dicey in 1885 to current opinions by classifying the development of the term, source/rise, function, binding and obedience, mode of change, and the role of the court. From these developments, the understanding of constitutional conventions in Indonesia cannot be based on old doctrines or examples that tend to be out of date because conventions adapt like 'amoeba', not only in the context of carrying out the constitutional process but also filling in the gaps to complete the constitutional law supposed to be filled in by written law. Therefore, there are two important urgencies: first, academic urgency in the form of enrichment and deepening of conventions through teaching and research; second, the urgency of the constitutional practice of the Indonesian constitutional system, especially conventions that strengthen the principle of the constitution, democracy, and political accountability, both in executive institutions, the legislature, including the courts. The constitutional practice is not enough just to look at the written constitutional law, but also the principles, ethics, and morality accompanying the Indonesian constitutional system. Abstrak Eksistensi konvensi ketatanegaraan di Indonesia Pasca-Perubahan Konstitusi UUD 1945 kerap dipersoalkan sebagai dampak dihapuskannya bagian Penjelasan. Melalui pendekatan konseptual, artikel ini menjawab persoalan tersebut bahwa konvensi ketatanegaraan tetaplah eksis karena konvensi merupakan sub-sistem yang selalu melekat dan hadir pada sistem ketatanegaraan negara di mana-pun termasuk Indonesia. Artikel ini lebih jauh membahas perkembangan konvensi ketatanegaraan mulai dari doktrin yang disampaikan Dicey pada 1885 sampai dengan pendapat-pendapat kontemporer, dengan mengelompokkan pada perkembangan istilah, awal mula terbentuk, fungsi, daya ikat dan kepatuhan, cara perubahan, serta peranan pengadilan. Dari perkembangan tersebut, maka pemahaman terhadap konvensi ketatanegaraan di Indonesia tidak dapat disandarkan pada doktrin maupun contoh-contoh lama yang cenderung out of date, karena konvensi beradaptasi layaknya ‘amoeba’, tidak hanya dalam rangka menjalankan proses ketatanegaraan, namun juga mengisi kekosongan guna menyempurnakan hukum ketatanegaraan yang seharusnya diisi oleh hukum tertulis. Karena itu, terdapat dua urgensi penting: pertama urgensi akademik berupa pengayaan dan pendalaman konvensi melalui pengajaran dan penelitian; kedua, urgensi praktik penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia khususnya konvensi yang memperkuat sendi konstitusi, demokrasi dan akuntabilitas politik, baik pada lembaga ekskekutif, legislatif, termasuk pengadilan. Penyelenggaraan negara sejatinya tidak cukup hanya dengan melihat hukum ketatanegaraan tertulis semata, melainkan dibutuhkan juga prinsip, etika dan moralitas yang membersamai ketatanegaraan Indonesia.