cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota jambi,
Jambi
INDONESIA
Undang: Jurnal Hukum
Published by Universitas Jambi
ISSN : 25987941     EISSN : 25987933     DOI : -
Core Subject : Social,
Undang: Jurnal Hukum merupakan terbitan ilmiah berkala bidang ilmu hukum. Jurnal ini diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Jambi sebagai media pembahasan hukum––yang dalam bahasa Melayu disebut Undang––dalam merespons dinamika dan perubahan sosial. Terbit pertama pada April 2018, Undang: Jurnal Hukum terbit dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan April dan Oktober. Dalam setiap terbitannya, Undang: Jurnal Hukum memuat tujuh artikel hasil penelitian atau pengkajian hukum dan satu artikel ulasan tokoh & pemikiran hukum.
Arjuna Subject : -
Articles 88 Documents
Kedudukan dan Peran Peradilan Adat Pasca-Unifikasi Sistem Peradilan Formal Rikardo Simarmata
Undang: Jurnal Hukum Vol 4 No 2 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.4.2.281-308

Abstract

After the implementation of state policy on the unification of the national justice system in 1951, the customary courts are still functioning and are part of the existing customary law system. In fact, this policy abolished the position of customary court as part of the formal justice system. Customary courts continue to function after that period because the said policies did not aim to abolish the existence of customary courts, yet to negate the binding force of its decisions. Moreover, afterwards the state implemented legislation which recognizes informal forums for dispute resolution, including customary courts. The state even enacted laws and regulations whose provisions to eliminate criminal charges against someone who has been decided and given customary sanctions by the customary court. However, such legislative policies and politics do not aim to provide a strong formal position for customary courts so that they can play an important role as a dispute resolution forum favored by justice-seeking communities. This paper uses two methods to discuss the position and role of customary justice in the national justice system. The first method is by discussing two legal ideas, namely Law and Development and Access to Justice. The second method is to compare the legal politics of customary justice in two countries, namely Eritrea and Papua New Guinea. The discussion through these two methods leads this paper to a proposal regarding the need to reconsider giving binding force to customary court decisions. Abstrak Pasca-pemberlakuan kebijakan unifikasi sistem peradilan nasional pada 1951, peradilan adat tetap hidup dan menjadi bagian dari eksistensi sistem hukum adat. Padahal, kebijakan ini menghapus kedudukan peradilan adat sebagai bagian dari sistem peradilan formal. Peradilan adat tetap berfungsi setelah periode tersebut karena kebijakan unifikasi tidak bermaksud untuk mengakhiri eksistensi peradilan adat, melainkan meniadakan kekuatan mengikat dari putusannya (binding force). Apalagi, setelah itu negara memberlakukan politik legislasi yang mengakui forum-forum informal penyelesaian sengketa, termasuk peradilan adat. Bahkan, dalam perkembangannya, bermunculan peraturan perundang-undangan yang mempunyai ketentuan menghilangkan tuntutan pidana pada seseorang yang sudah diputuskan dan diberikan sanksi adat oleh peradilan adat. Kebijakan dan politik legislasi mengenai peradilan adat yang seperti itu memunculkan pertanyaan mengenai bagaimana sebenarnya kedudukan peradilan adat dalam sistem peradilan nasional. Tulisan ini menggunakan dua metode untuk mendiskusikan bagaimana kedudukan peradilan adat dalam sistem peradilan nasional. Metode pertama dengan mendiskursuskan dua pemikiran hukum yaitu Law and Development dan Access to Justice. Kedua pemikiran ini memiliki tesis-tesis yang diametral mengenai kedudukan peradilan adat. Metode kedua yaitu membandingkan dengan politik hukum terhadap peradilan adat di dua negara yaitu Eritrea dan Papua Nugini. Pembahasan lewat dua metode tersebut membawa tulisan ini pada suatu usulan mengenai perlunya mengembalikan kedudukan peradilan adat sebagai hanya forum perdamaian menjadi pengadilan yang putusannya bersifat mengikat.
Penataan Peraturan Daerah dengan Metode Omnibus Law: Urgensi dan Mekanisme Helmi Helmi
Undang: Jurnal Hukum Vol 4 No 2 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.4.2.441-472

Abstract

The arrangement of regional regulations in Indonesia has now become an urgent due the fact that those regulations are problematic with regards to their quantity and content. As an effort of encouraging such arrangement, this article proposes the use of omnibus law in making the regulations. Theoretically, the omnibus law is a method or technique of making regulations from which a regulation is formed in order to amend, repeal, or enact many regulations simultiniously. Such the method is worth considerations to be used in the arrangement of regulations as a way out of so many regulations, some of which are problematic in their substances. As long as the regional regulations are concerned, this method is also necessary as a response to the Job Creation Law which has already been established under the method of Omnibus Law. It is an evidence that the Job Creation Law and its implementing regulations require synchronization and harmonization in level of local regulations. The mechanism can be implemented in such a way through inventory and analysis of several regional regulations with similar content, after which they are formed and compiled into one regional regulation. Regional regulations whose contents have been merged shall be declared revoked and invalid in order to be functional in use rather than just amending or revoking some articles and inserting the new ones as in the Job Creation Law. Abstrak Penataan peraturan daerah menjadi perlu dilakukan seiring semakin terungkapnya berbagai permasalahan regulasi di daerah, baik berkenaan dengan jumlah maupun materi muatan. Dalam upaya mendorong penataan regulasi di daerah, artikel ini mengusulkan penggunaan metode omnibus law dalam pembentukan perda melalui bahasan urgensi dan mekanisme penggunaan omnibus law dalam pembentukan perda. Omnibus law sendiri adalah metode atau teknik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dengan cara membentuk satu peraturan untuk mengubah, mencabut, atau mengesahkan beberapa peraturan sekaligus. Metode ini layak dipertimbangkan untuk digunakan dalam penataan perda guna mengatasi jumlah perda yang banyak dan sebagian di antaranya bermasalah secara substansi. Dalam level perda, metode ini juga urgen dalam rangka merespons Undang-Undang Cipta Kerja yang telah terlebih dahulu dibentuk dengan metode omnibus law, mengingat Undang-Undang ini beserta peraturan pelaksanaannya membutuhkan pembenahan pada perda agar sinkron dan harmonis. Mekanisme yang dapat ditempuh adalah inventarisasi dan analisis beberapa perda yang materi muatannya sejenis atau serumpun untuk kemudian dibentuk dan dihimpun dalam satu perda. Berbagai perda yang materi muatannya telah digabung harus dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi, agar memudahkan penggunaannya dibandingkan sekadar melakukan perubahan atau mencabut beberapa pasal dan menyisipkan beberapa pasal baru seperti dilakukan pada Undang-Undang Cipta Kerja.
Perkembangan Kebijakan Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia Ahmad Redi; Luthfi Marfungah
Undang: Jurnal Hukum Vol 4 No 2 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.4.2.473-506

Abstract

Mineral and coal mining activities in Indonesia have been going on for a long time, and because of that, many legal instruments that support them have been established. This article traces the development of mineral and coal mining policies from the colonial period to the current reform, with the aim of capturing in general the dynamics of the existing policy developments. The study of this article shows that mining policies during the colonial period were part of the politics of colonialization, so that they were exploitative and monopolistic in character. For this purpose, a concession/permit management system is applied. After independence, the spirit of nationalism was embodied in a law that allowed for the nationalization of foreign mining companies, as well as closing the meeting for foreign investment. However, since 1967, foreign investment has been widely opened, as well as the introduction and use of an enterprise system based on a contract of work, a work agreement, and a mining authorization. Post-reformation, with the spirit of decentralization and regional autonomy, mining policy was directed to support the authority of mining management by local governments, and at the same time, started to use a system of exploitation based on mining business permits. Recent developments, the authority of this local government was taken over by the central government. The various dynamics of these developments show that mineral and coal mining has always been seen as a strategic commodity so that it deserves to be contested, whether it was formerly by the colonial authorities or later by the central and local governments, and laws were then enacted to support these goals. Abstrak Aktivitas pertambangan mineral dan batubara di Indonesia telah berlangsung sejak lama, dan karena itu, instrumen hukum yang mendukungnya tentu telah banyak pula dibentuk. Artikel ini menelusuri perkembangan kebijakan pertambangan mineral dan batubara dari masa kolonial sampai reformasi saat ini, dengan tujuan memotret secara umum dinamika perkembangan kebijakan yang ada. Kajian artikel ini memperlihatkan kebijakan pertambangan pada masa kolonial merupakan bagian dari politik kolonialisasi, sehingga berwatak eksploitatif dan monopolistik. Untuk kebutuhan tersebut, diberlakukan sistem pengusahaan konsensi/izin. Setelah kemerdekaan, semangat nasionalisme dituangkan dalam hukum yang memungkinkan dilakukannya nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan tambang asing, sekaligus menutup rapat bagi investasi asing. Namun, sejak 1967, investasi asing dibuka lebar, sekaligus mulai diperkenalkan dan digunakan sistem pengusahaan berdasarkan kontrak karya, perjanjian karya, dan kuasa pertambangan. Pasca-reformasi, dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah, maka kebijakan pertambangan diarahkan untuk mendukung kewenangan pengelolaan pertambangan oleh pemerintah daerah, dan pada saat bersamaan, mulai digunakan sistem pengusahaan berdasarkan izin usaha pertambangan. Perkembangan terkini, kewenangan pemerintah daerah ini diambil alih oleh pemerintah pusat. Berbagai dinamika perkembangan tersebut memperlihatkan bahwa pertambangan mineral dan batubara selalu dipandang sebagai komoditas strategis sehingga layak diperebutkan, entah itu dulunya oleh penguasa kolonial maupun belakangan oleh pemerintah pusat dan daerah, dan hukum kemudian diadakan untuk mendukung tujuan-tujuan tersebut.
Pemikiran Hukum Islam Abdurrahman Wahid: Harmonisasi Islam dan Budaya Imam Mustofa; Ahmad Syarifudin; Dri Santoso
Undang: Jurnal Hukum Vol 4 No 2 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.4.2.507-535

Abstract

This article discusses Islamic legal thought of Abdurrahman Wahid. According to this article, Wahid’s fiqh used the contemporary knowledge system as a core paradigm. Wahid used a concept called Pribumisasi Islam to try to unify the cultures where Islam arrived and lived. He attempted to contextualize nash and issue in Indonesia using the pribumisasi Islam idea. Wahid’s fiqh did not modify the nash; rather, it refined and expanded its application, contextualized Islam, and harmonized it within the times to meet the needs of society. Wahid refused to formalize Islamic law in Indonesia in its application. Aside from historical reasons, he claimed that Islam has a universal component that has contributed to the development of human values. Formalizing Islamic law in a multicultural and pluralistic country goes against the universality of Islamic teaching. Furthermore, the formulation of Islamic law based on conventional sources is partially irrelevant in this day. Wahid tended to apply Islamic values to everyday life rather than displaying Islam through numerous symbols. Abstrak Artikel ini membahas pemikiran hukum Islam Abdurrahman Wahid. Penggalian terhadap pemikiran hukum Islam Wahid menemukan bahwa fikih Wahid menggunakan sistem pengetahuan modern sebagai basis paradigma. Wahid mengharmonisasikan antara Islam dan adat di mana Islam datang dan tinggal, konsep yang kemudian dinamakan dengan Pribumisasi Islam. Di dalam Pribumisasi Islam, Wahid menjadikan pemahaman terhadap nash dikontekstualisasikan dengan masalah yang ada di Indonesia. Fikih Wahid tidak mengubah nash, melainkan mengubah dan mengembangkan pengaplikasiannya saja, menginterpretasikan Islam secara kontekstual dan menyelaraskan dengan perkembangan zaman sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam penerapannya, Wahid menolak formalisasi hukum Islam di Indonesia. Wahid mendasarkan pada pertimbangan historis di mana para pendiri bangsa saat itu menyepakati untuk tidak menjadikan Indonesia sebagai negara teokratis, dan karena Islam memiliki dimensi universalisme yang telah memberi sumbangsih dalam membangun nilai-nilai kemanusiaan. Memformalisasikan hukum Islam di dalam negara yang multikultur dan plural tidak sejalan dengan sifat universalitas ajaran Islam. Alasan yang lain, formulasi hukum Islam dalam kitab-kitab klasik sebagian tidak relevan untuk diterapkan pada saat ini, bila coba untuk diaplikasikan tidak menutup kemungkinan justru akan melahirkan masalah-masalah baru. Wahid lebih condong untuk menerapkan Islam secara substantif ketimbang memamerkan Islam melalui beragam simbol.
Evaluasi Performa Legislasi dalam Pembentukan Omnibus Law Cipta Kerja: Kajian Legisprudensi Idul Rishan
Undang: Jurnal Hukum Vol 5 No 1 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.5.1.43-67

Abstract

Legisprudence is an approach to lawmaking which emphasizes theoretical and practical rationality of legislation. It is used to assess lawmaking by analyzing the accountability of its procedure, openness, and participation. This study is aimed at examining and formulating indicators of legisprudence in the national lawmaking to assess how the the Omnibus Law on Job Creation was made. According to socio-legal study, the indicators are legality, validity, participation, openness, prudence, and acceptability. However, none of them was found during the deliberation of the law. In particular, the omnibus method is not recognized under the prevailing system. It also lacks public participation and accountability. Likewise, proposed changes were approved during the deliberation process. Lastly, the law was unclear and incongruent. In its Verdict Number 91/PUU-XVIII/2020, the Constitutional Court declared the law conditionally unconstitutional due to procedural flaws in its formation. Based on the assessment, the principles of legisprudence should be followed in the national lawmaking. Abstrak Legisprudensi merupakan sebuah pendekatan pembentukan peraturan perundang-undangan yang menitikberatkan pada rasionalitas legislasi secara teori dan praktikal. Cara kerjanya menguji proses pembentukan hukum dengan analisis akuntabilitas prosedur, keterbukaan, dan partisipasi. Artikel ini bermaksud mengkaji dan merumuskan indikator standar legisprudensi dalam pembentukan hukum nasional dan menggunakannya untuk mengevaluasi pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja, suatu undang-undang yang dibentuk dengan teknik omnibus law. Dengan studi sosiolegal, artikel ini mengajukan dan menawarkan enam indikator prinsip legisprudensi dalam pembentukan hukum nasional, yaitu legalitas, validitas, partisipasi, keterbukaan, kehati-hatian, dan akseptabilitas. Pada saat digunakan untuk mengevaluasi pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja, artikel ini tidak menjumpai satu pun dari keenam indikator tersebut yang terpenuhi. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh performa legislasi yang tidak memiliki dasar hukum dalam penggunaan teknik omnibus law, tidak partisipatif dan demokratis, tidak akuntabel, adanya perubahan materi muatan di luar tahapan persetujuan, serta adanya ketidakjelasan dan ketidaksinkronan rumusan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat, sesungguhnya telah mengonfirmasi sekaligus menjustifikasi adanya pelanggaran asas dan prosedur dalam pembentukannya. Dengan evaluasi performa legislasi yang demikian itu, maka artikel ini mendorong penting untuk diadaptasi dan digunakannya prinsip legisprudensi dalam pembentukan hukum nasional.
Geografi Hukum Proyek Strategis Nasional: Studi Kasus Bendungan Bener di Purworejo, Jawa Tengah Agung Wardana
Undang: Jurnal Hukum Vol 5 No 1 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.5.1.1-41

Abstract

The national strategic projects have been introduced by the Jokowi administration to list several projects that are considered contributing significantly to the nation’s economic growth. Several privileges are given to accelerate the projects including the relaxation of administrative requirements as well as guarantees from financial and political risks. However, as a development project, it is unavoidable that in the implementation they have socio-spatial implications on the ground. This article aims at examining the national strategic project from a legal geography perspective to examine how law works in producing spaces for a new circuit of capital and how spatial justice for local communities living within the spatial unit is implicated. In this regard, a particular attention will be given to the case of the construction of the Bener Dam in Purworejo, Central Java. It argues that the project, including the mining activity in Wadas Village, should be seen as an attempt from the state to produce a space for new circuits of capital, especially for tourism industries. However, such production has created three problems of spatial justice, namely the recognition, participation, and distributive issues. Abstrak Proyek strategis nasional diperkenalkan oleh Pemerintahan Jokowi untuk memasukkan proyek-proyek yang dinilai memiliki kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi ke dalam satu daftar prioritas. Beberapa keistimewaan pun diberikan untuk melakukan percepatan proyek tersebut termasuk di dalamnya kemudahan dalam pengurusan persyaratan administratif hingga jaminan risiko finansial dan politik. Akan tetapi, sebagai proyek pembangunan, dalam pelaksanaannya tidak dapat dihindari bahwa ia memiliki implikasi sosial-keruangan. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji proyek strategis nasional dari perspektif geografi hukum guna membedah bagaimana hukum berperan dalam proses produksi ruang baru untuk sirkulasi kapital dan bagaimana implikasinya terhadap keadilan ruang bagi masyarakat yang mendiami unit ruang tersebut. Dalam hal ini, perhatian akan dikhususkan pada kasus pembangunan Bendungan Bener di Purworejo, Jawa Tengah. Artikel ini berpendapat bahwa proyek pembangunan Bendungan Bener, termasuk penambangan andesit di Desa Wadas di dalamnya, harus dilihat sebagai upaya negara untuk memproduksi ruang sirkulasi baru bagi kapital, utamanya industri pariwisata. Akan tetapi produksi ruang ini telah menciptakan tiga permasalahan keadilan ruang yakni mengenai pengakuan, partisipasi dan distribusi.
Penguatan Regulasi Uji Kelayakan dan Kepatutan dalam Pengangkatan Komisaris BUMN Ayu Kholifah; Fatihani Baso
Undang: Jurnal Hukum Vol 5 No 1 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.5.1.143-180

Abstract

The fit and proper test (FPT) in filling the position of the board of commissioners at State-Owned Enterprises (SOEs) currently only applies to the financial service institution (LJK) cluster, and not to other clusters. Whereas, FPT aims to identify the suitability and properness of candidates, and avoids the impression of candidates filling in on the basis of political closeness to the authorities. This article urges that FPT be applied in filling the positions of the board of commissioners of all SOEs, not limited to the LJK cluster. First, due to the lack of LJK clusters, which are only 19.6 percent of the total 98 SOEs in early 2021. Second, FPT is an important instrument in supporting the application of GCG principles to SOEs, considering the inherent GCG principles on boards must be applied starting from the selection process. Third, FPT is expected to attract professional commissioners. This article encourages the strengthening of FPT regulations for all prospective BUMN commissioners carried out by independent institutions that professionally assess and measure the competence and integrity of candidates, then the FPT guidelines must be stated in a Government Regulation as stipulated in Article 16 paragraph (4) PP No. 45 Year 2005. Abstrak Uji kelayakan dan kepatutan, atau lebih dikenal fit and proper test (FPT), dalam pengisian jabatan dewan komisaris pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saat ini hanya berlaku pada klaster lembaga jasa keuangan (LJK), dan tidak pada klaster lainnya. Padahal FPT bertujuan untuk mengidentifikasi kelayakan dan kepatutan para calon, dan menghindari kesan calon yang mengisi atas dasar kedekatan politik dengan penguasa. Artikel ini mendorong agar FPT diberlakukan dalam pengisian jabatan dewan komisaris seluruh BUMN, tidak terbatas pada klaster LJK. Pertama, hal ini disebabkan karena minimnya klaster LJK yang hanya 19,6 persen dari keseluruhan 98 jumlah BUMN pada awal 2021. Kedua, FPT merupakan instrumen penting dalam mendukung penerapan prinsip GCG pada BUMN, mengingat prinsip GCG yang melekat pada boards sudah harus diterapkan mulai dari proses pemilihan. Ketiga, FPT diharapkan dapat menjaring calon komisaris yang profesional. Artikel ini mendorong penguatan regulasi FPT bagi seluruh calon komsiaris BUMN yang dilakukan oleh lembaga independen yang secara profesional menilai dan mengukur kompetensi dan integritas para calon, kemudian pedoman FPT harus dituangkan dalam Peraturan Menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2005.
Implementasi Demokrasi Lingkungan Hidup sebagai Upaya Mengurangi Timbulan Sampah Plastik di Lautan Indonesia Sapto Hermawan; Winarno Budyatmodjo
Undang: Jurnal Hukum Vol 5 No 1 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.5.1.181-206

Abstract

As a contributor to marine pollution, the existence of marine plastic litter can potentially disrupt sustainable marine ecosystems in the long term. This article intends to offer the implementation of environmental democracy ideas to relieve marine plastic itter. Environmental democracy is a system of government with the highest sovereignty on the people and places human interests side by side and in harmony with environmental (sustainability) interests. Environmental democracy’s idea as an effort to reduce marine plastic litter in Indonesia can be implemented through, i.e. providing reliable, up-to-date, and accessible information about marine plastic litter; providing active public participation in policies or regulations formulation; the availability of access to justice; and strengthening society’s rights to reduce marine plastic litter. These four components, even though they are read as procedural, are essential in reducing marine plastic litter because the elements of environmental democracy have not been entirely appropriately implemented at the practical level. Abstrak Sebagai salah satu kontributor pencemaran lingkungan laut, keberadaan sampah plastik dalam jangka panjang berpotensi mengganggu ekosistem laut secara berkelanjutan. Dalam upaya mengurangi timbulan sampah plastik di lautan Indonesia, artikel ini mendorong diadaptasi dan diimplementasikannya demokrasi lingkungan hidup. Demokrasi lingkungan hidup sendiri merupakan suatu sistem pemerintahan dengan kedaulatan (sovereignty) tertinggi pada rakyat dan menempatkan kepentingan manusia bersanding dan selaras dengan kepentingan (kelestarian dan keberlanjutan) lingkungan hidup. Dalam upaya mengurangi timbulan sampah plastik di lautan Indonesia, implementasi DLH dapat dilaksanakan dengan menempuh empat komponen, yaitu penyediaan akses atas informasi tentang sampah plastik lautan yang akurat, mutakhir, dan mudah diakses; penyediaan ruang partisipasi publik secara aktif dalam perumusan kebijakan/regulasi dalam rangka mengurangi timbulan sampah plastik di lautan; tersedianya akses pada keadilan (access to justice); dan penguatan hak-hak masyarakat dalam rangka mengurangi timbulan sampah plastik di lautan. Keempat komponen ini, sekalipun terbaca sebagai prosedural, penting dalam upaya pengurangan sampah plastik di lautan, disebabkan pada tataran empiris elemen-elemen demokrasi lingkungan hidup tersebut belum sepenuhnya terimplementasi dengan baik.
Prinsip Kehadiran Terdakwa pada Persidangan Pidana Elektronik di Masa Pandemi Covid-19: Perbandingan Indonesia dan Belanda Edwin Ligasetiawan; Febby Mutiara Nelson
Undang: Jurnal Hukum Vol 5 No 1 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.5.1.69-103

Abstract

The COVID-19 pandemic has caused changes to the criminal justice system in many countries in the world, one of which is the trial methods using electronic devices such as videoconferencing. This change has an impact on the fulfillment of the defendant’s right of presence before the court as regulated in the Indonesia Criminal Procedure Code. The presence of the defendant is one of the basic rights in a trial, which also ensures the implementation of a fair trial because it is related to the evidentiary process. In this article, the principle of the defendant’s presence in electronic criminal trials is discussed by comparing Indonesian and Dutch laws. This study demonstrates that electronic criminal trials in Indonesia are only regulated in a Supreme Court Regulation and they are in conflict with the Indonesia Criminal Procedure Code; whereas in the Netherlands, despite its regulation in the Dutch Criminal Procedure Code, the use of videoconferencing is considered a violation of the provisions of the European Convention on Human Rights. This article argues that an electronic criminal trial requires the defendant’s agreement or provision that guarantees the rights of the defendant, because this trial overrides the defendant’s right of presence before the court. Abstrak Pandemi covid-19 turut memengaruhi perubahan sistem peradilan pidana pada berbagai negara di dunia, salah satunya adalah metode persidangan bersaranakan alat elektronik seperti videoconference. Perubahan ini berdampak pada hak terdakwa untuk hadir di muka pengadilan, yang di Indonesia diatur dalam KUHAP. Kehadiran terdakwa ini merupakan salah satu hak dasar terdakwa dalam suatu persidangan, yang turut menjamin pelaksanaan peradilan yang adil (fair trial) karena berkaitan dengan proses pembuktian. Dalam artikel ini prinsip kehadiran terdakwa dalam persidangan pidana elektronik dibahas melalui perbandingan hukum Indonesia dan Belanda. Hasil kajian menunjukkan, sidang pidana elektronik di Indonesia hanya diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung dan ini berbenturan dengan KUHAP; sedangkan di Belanda, sekalipun telah dituangkan dalam KUHAP, penggunaan videoconference dianggap melanggar ketentuan European Convention on Human Rights. Artikel ini berpendapat, persidangan pidana secara elektronik memerlukan persetujuan terdakwa atau ketentuan yang menjamin seluruh hak-hak terdakwa dapat dipenuhi, sebab persidangan demikian itu mengenyampingkan hak terdakwa untuk hadir di muka sidang.
Penggunaan Hewan dalam Konflik Bersenjata: Kajian Hukum Humaniter Internasional Akbar Kurnia Putra; Eunike Trisnawati; Retno Kusniati; Bernard Sipahutar; Ramlan Ramlan
Undang: Jurnal Hukum Vol 5 No 1 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.5.1.207-230

Abstract

This article discusses the importance of regulating the use of animals in armed conflict considering the uncontrolled use of animals can threaten the lives of humans and animals themselves by determining certain limits that are allowed in war. The use of animals in war demonstrates human limitations and human dependence on other species. International humanitarian law focuses solely on the protection of humans and ignores the issue of how animals join the army in war and can be targeted by the military. In fact, animals are additional actors who contribute to the disputes of mankind today. Although military technology continues to develop with sophisticated equipment, it is undeniable that some of these special abilities can only be possessed by certain species. In essence, humanitarian law regulates two main points, namely regarding the means and methods of warfare (means and methods of warfare). Therefore, the interest of animals to be free from pain and suffering must be recognized as a value in the legal system, where there is a need for consideration of animal welfare and relevant interpretations to develop norms in other ways that refer to situations where suffering is a legal form of animal exploitation. Abstrak Artikel ini membahas mengenai pentingnya pengaturan penggunaan hewan dalam konflik bersenjata mengingat penggunaan hewan yang tidak terkendali dapat mengancam kehidupan manusia dan hewan itu sendiri dengan cara menentukan batas-batas tertentu yang diperbolehkan dalam perang. Penggunaan hewan dalam perang menunjukkan adanya keterbatasan manusia dan ketergantungan manusia pada spesies lain. Hukum humaniter internasional hanya berfokus pada perlindungan manusia dan mengabaikan isu tentang bagaimana hewan ikut serta menjadi prajurit dalam perang serta dapat dijadikan sasaran militer. Padahal, hewan merupakan aktor tambahan yang turut andil dalam sengketa umat manusia dewasa ini. Meskipun teknologi militer terus berkembang dengan peralatan canggih, tidak dimungkiri bahwa beberapa kemampuan khusus tersebut hanya dapat dimiliki oleh spesies tertentu. Pada hakikatnya hukum humaniter mengatur mengenai dua pokok, yakni mengenai alat dan cara atau metode berperang (means and methods of warfare). Oleh karena itu, kepentingan hewan untuk terbebas dari rasa sakit dan penderitaan harus diakui sebagai nilai dalam sistem hukum, di mana perlunya pertimbangan terhadap kesejahteraan hewan dan penafsiran yang relevan untuk mengembangkan norma-norma dengan cara lain yang merujuk pada situasi-situasi di mana penderitaan merupakan bentuk yang sah dari eksploitasi hewan.