cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota jambi,
Jambi
INDONESIA
Undang: Jurnal Hukum
Published by Universitas Jambi
ISSN : 25987941     EISSN : 25987933     DOI : -
Core Subject : Social,
Undang: Jurnal Hukum merupakan terbitan ilmiah berkala bidang ilmu hukum. Jurnal ini diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Jambi sebagai media pembahasan hukum––yang dalam bahasa Melayu disebut Undang––dalam merespons dinamika dan perubahan sosial. Terbit pertama pada April 2018, Undang: Jurnal Hukum terbit dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan April dan Oktober. Dalam setiap terbitannya, Undang: Jurnal Hukum memuat tujuh artikel hasil penelitian atau pengkajian hukum dan satu artikel ulasan tokoh & pemikiran hukum.
Arjuna Subject : -
Articles 88 Documents
Pola Penguasaan Tanah Sawah Secara Gilir Ganti dalam Perspektif Hukum Agraria Isran Idris; Taufik Yahya; Windarto Windarto
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (185.247 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.2.245-265

Abstract

Gilir ganti sawah system is model of authority and ownership of land base on adat law in district Kerinci, Jambi. The article analize outhority and ownership model of fild rice land with alternate manner in agrarian law perspective. This research has done by observation, interview, literature study. The result of research point out, sistem gilir ganti sawah is side effect of kinship and legacy/ inheritance system to differentiate between son and dauhtor. The wet rice fild land is done and takken by daughter, but the regulation by tengganai (brother from mother line). More and more heirees, make more and more duration of waiting. For the third level or more, sistem gilir ganti sawah to be ineffective, unproductive, and there is no law certenty and easy conflict. Base on agrarian law perspective, the authority and ownership make difficult to determine the owner, so immposible to register for secticate. But this model stil stand and has been stand up with the reason as be indication that they are one clan. Abstrak Sistem gilir ganti sawah merupakan pola penguasaan dan pemilikan tanah berdasarkan hukum adat di wilayah Kerinci, Jambi. Artikel ini membahas pola penguasaan dan pemilikan tanah sawah secara gilir ganti dalam perspektif hukum agraria. Penelitian ini dilakukan melalui pengamatan, wawancara, dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan, sistem gilir ganti sawah dipengaruhi oleh sistem kekerabatan dan kewarisan yang membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Tanah sawah dikerjakan dan dinikmati oleh anak perempuan, sedangkan pengaturannya oleh tengganai (saudara laki-laki dari pihak ibu). Semakin banyak ahli waris perempuan, maka semakin lama masa tunggu. Pada tingkat lapisan ketiga atau lebih, sistem gilir ganti sawah menjadi tidak efektif, tidak produktif, tidak memiliki kepastian hukum, dan rawan akan konflik. Dari perspektif hukum agraria nasional, pola penguasaan tanah secara demikian menyebabkan sulit untuk menetapkan subjek hukum pemiliknya, sehingga tidak memungkinkan untuk didaftarkan guna mendapatkan sertifikat. Meski begitu, sistem ini masih tetap bertahan dan dipertahankan dengan alasan sebagai penanda satu keturunan keluarga.
Urgensi Perubahan Delik Biasa Menjadi Delik Aduan dan Relevansinya terhadap Perlindungan dan Penegakan Hak Cipta Hanafi Amrani
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (174.788 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.2.347-362

Abstract

This article discusses two main issues: first, what is the urgency of the change in nature of offences from ordinary offence to be complaint offence in the copyright law; second, how is the relevance of the change in the nature of the offense to protect and enforce copyright. The urgency of changes in offenses is usually an offense against complaints because copyright is an exclusive right that is personal and civil rights. This personal and civil right indicate the absolute right of the creator or the copyright holder to the results of their work, including the right to report or not to infringe their copyright. Therefore conceptually this personal and civilian nature emphasizes the alignment of mindset that the complaint offence is more appropriately applied to copyright infringement. Whereas the relevance of complaint offence for protection and enforcement of copyright can be seen from the significant role of the creator or copyright holder in the law enforcement process. The creator or copyright holder can play an active role in providing information and evidence of copyright infringement so that the law enforcement process becomes more effective and efficient. Abstrak Artikel ini membahas dua permasalahan pokok: pertama, apa urgensi perubahan delik biasa menjadi delik aduan dalam Undang-undang Hak Cipta; kedua, bagaimana relevansi perubahan sifat delik tersebut terhadap perlindungan dan penegakan hukum hak cipta. Urgensi perubahan delik biasa menjadi delik aduan adalah karena hak cipta merupakan hak eksklusif yang bersifat personal dan keperdataan. Sifat personal dan keperdataan ini mengindikasikan adanya hak mutlak dari pencipta atau pemegang hak cipta atas hasil karya ciptanya, termasuk hak untuk melaporkan atau tidak atas pelanggaran hak ciptanya. Oleh karena itu secara konseptual sifat personal dan keperdataan ini lebih mengedepankan keselarasan pola pikir bahwa delik aduan lebih tepat diterapkan terhadap pelanggaran hak cipta. Sedangkan relevansi delik aduan terhadap perlindungan dan penegakan hak cipta dapat dilihat dari peran yang signifikan dari pencipta atau pemegang hak cipta dalam proses penegakan hukum. Pencipta atau pemegang hak cipta dapat berperan aktif dalam memberikan keterangan dan bukti-bukti dari pelanggaran hak cipta tersebut sehingga proses penegakan hukum dapat berjalan lebih efektif dan efisien.
Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusuma-atmadja: Mengarahkan Pembangunan atau Mengabdi pada Pembangunan? M. Zulfa Aulia
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (204.715 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.2.363-392

Abstract

This article discusses Hukum Pembangunan (the Law of Development), a legal thought from Mochtar Kusuma-atmadja. The concept of hukum pembangunaan was beckgrounded with the concern about the role of law that showed malaise in a developing society. In order for the law to have a contribution in development, the law is not sufficiently functioned to maintain the orderliness of people’s lives, a conservative function, but also must be empowered to direct change and development in order. Thus the law can be a tool of social engineering. To carry out such functions, hukum pembangunan encourages the need to legal guidance which includes legal reform in the legal field that is neutral in terms of culture and religion, and legal education directed at improving technical and professional capabilities. This article shows that hukum pembangunan is a legal thought that is practically urgent in the face of increasingly complex social changes and an ongoing development agenda, and therefore will be relevant at all times. However, the unclearly criteria about what changes or developments need to be supported by law, while the character of the legal product is determined by the ongoing political constellation, causes the projection of hukum pembangunan to be easily trapped in the wills of development or power, rather than merely directing development. Abstrak Artikel ini membahas hukum pembangunan, sebuah pemikiran hukum dari Mochtar Kusuma-atmadja. Konsep hukum pembangunan bermula dari keprihatinan Sang Tokoh terhadap peranan hukum yang menunjukkan kelesuan dalam masyarakat yang sedang membangun. Agar punya kontribusi dalam pembangunan, maka hukum tidak cukup difungsikan sebatas menjaga ketertiban kehidupan masyarakat, suatu fungsi yang konservatif, melainkan juga harus diberdayakan untuk mengarahkan perubahan dan pembangunan supaya berlangsung secara teratur dan tertib. Hukum dengan begitu dapat menjadi alat atau sarana dalam pembangunan. Untuk menjalankan fungsi demikian, hukum pembangunan mendorong perlu dilakukannya pembinaan hukum nasional yang meliputi antara lain pembaruan hukum pada bidang yang netral dari segi kebudayaan dan keagamaan, serta pendidikan hukum yang diarahkan pada peningkatan kemampuan teknis dan profesional. Artikel ini menunjukkan, hukum pembangunan merupakan pemikiran hukum yang secara praksis penting dalam menghadapi berbagai perubahan sosial yang semakin kompleks dan agenda pembangunan yang terus berlangsung, dan karenanya akan relevan dalam setiap masa. Namun demikian, ketidakjelasan kriteria perubahan atau pembangunan seperti apa yang perlu didukung dengan bersaranakan hukum, sementara di sisi lain karakter produk hukum itu dipengaruhi oleh konstelasi politik yang tengah berlangsung, menyebabkan proyeksi hukum pembangunan bisa dan mudah terjebak pada kehendak-kehendak pembangunan atau kekuasaan, dan bukan sekadar mengarahkan pembangunan.
Politik Hukum Penyelesaian Konflik Pengelolaan Konservasi yang Humanis Danggur Konradus
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (224.215 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.2.219-243

Abstract

This article discusses the phenomenon of mutual claims between state law and customary law in resolving conflict management conservation. In the conservation areas are several laws which claim to have the right to control and manage the area, namely state law, customary law, company law and so on. The centralistic legal politic in the Conservation Law now separates humans from their nature and has not yet integrated the local wisdom of indigenous peoples, so that it is far from the conservation law that is pro-indigenous, pro-justice, pro-poverty, and pro-local wisdom. Therefore, the legislative approach is not enough to overcome the complexity of the problem of conservation areas, but rather requires a holistic and progressive approach as an alternative solution. This article builds argumentation that integration of local wisdom in the legal politics of conservation area management is very necessary to maintain and manage human biodiversity and ecosystem areas. Social capital in indigenous law communities such as deliberation, honesty, harmony, not discrimination, is an important capital in overcoming various problems in resolving conflict management conservation. Abstrak Artikel ini membahas fenomena saling klaim antara hukum negara dan hukum adat dalam penyelesaian konflik pengelolaan konservasi. Dalam kawasan konservasi sendiri terdapat beberapa hukum yang saling mengklaim memiliki hak menguasai dan mengelola kawasan tersebut, yaitu hukum negara, hukum adat, hukum perusahaan dan sebagainya. Politik hukum konservasi yang sentralistis dalam UU Konservasi saat ini telah memisahkan manusia dengan alamnya dan belum mengintegrasikan kearifan lokal masyarakat hukum adat, sehingga jauh dari hukum konservasi yang pro masyarakat hukum adat, pro keadilan, pro kemiskinan, dan pro kearifan lokal. Oleh karenanya, pendekatan perundang-undangan saja tidak cukup untuk mengatasi kompleksitas masalah kawasan konservasi, melainkan memerlukan pendekatan holistik dan progresif sebagai alternatif penyelesaian. Artikel ini membangun argumentasi, integrasi terhadap kearifan lokal dalam politik hukum pengelolaan kawasan konservasi sangat diperlukan untuk memelihara dan mengelola kawasan keanekaragaman hayati dan ekosistem yang humanis. Modal sosial pada masyarakat hukum adat seperti musyawarah, kejujuran, rukun, tidak diskriminasi, merupakan modal penting dalam mengatasi pelbagai problem dalam penyelesaian konflik pengelolaan konservasi.
Kinerja Pengadilan dalam Lingkaran Kekuasaan Otoritarian Isharyanto Isharyanto
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (203.185 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.2.267-294

Abstract

This paper aims to describe socio-juridically the performance of courts in authoritarian circles of power. The court is increasingly demanded attention by academics of constitutional law, along with the expectation of a role in the presence of power. Courts, of course by involving judicial apparatus, especially judges, are controlled by the executive but are able to negotiate their functions to support the government. Courts can provide legitimacy both internally and externally as well as being an effective tool for maintaining power. On this side, every regime of power has an interest of the court. Therefore, the idealita of the court then also related with independence, which is not only for the rule of law, constitutionality and human rights, but also in relation to globalization, free and efficient economic activities. If the judges are independent, they are basically protected from undue influence from those who can damage their impartiality. With variations that are not the same, but working in the same circle of power, courts in Singapore and Pakistan confirm these matters. Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara sosio yuridis kinerja pengadilan dalam lingkaran kekuasaan yang otoritarian. Pengadilan semakin dituntut perhatiannya oleh akademisi hukum tata negara, seiring harapan akan peran di hadapan kekuasaan. Pengadilan, tentu saja dengan melibatkan aparatur peradilan, terutama hakim, dikendalikan eksekutif akan tetapi mampu menempatkan negosiasi fungsi mereka untuk mendukung pemerintah. Pengadilan bisa memberikan legitimasi secara internal maupun eksternal sekaligus menjadi alat efektif untuk mempertahankan kekuasaan. Pada sisi ini, setiap rezim kekuasaan berkepentingan dengan pengadilan. Oleh sebab itu, idealita pengadilan kemudian juga berurusan dengan independensi, yang tidak hanya untuk supremasi hukum, konstitusionalitas, dan hak asasi manusia, tetapi juga dalam kaitannya dengan globalisasi, kegiatan ekonomi yang bebas, dan efisien. Jika hakim independen, mereka pada dasarnya dilindungi dari pengaruh yang tidak semestinya dari pihak-pihak yang dapat merusak ketidakberpihakan mereka. Dengan variasi yang tidak sama, namun bekerja dalam lingkaran kekuasaan yang sama, pengadilan di Singapura dan Pakistan memberikan konfirmasi atas hal-hal tersebut.
Eksistensi dan Konstruksi Yuridis Badan Usaha Milik Daerah Pasca Undang-Undang Pemerintahan Daerah Tahun 2014 Fauzi Syam; Elita Rahmi; Arsyad Arsyad
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (255.058 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.2.295-322

Abstract

This article discusses juridical implications about the regulation of state-owned enterprises (BUMD) after the enactment of the Law Number 23 Year 2014 about Regional Government (Regional Government Law 2014) and the application on regulation of BUMD in Jambi Province. Research methode in this study is normative juridical with law approach. Based on the results of the study are known, the enactment of Regional Government Law 2014 has implications for the existence and regulations of existing and future of BUMD, namely in terms of form and naming of BUMD; organ of BUMD; tenure of directors and councils; and intervention of DRPD (Regional People’s Representative Assembly) on BUMD operations. The result of the study also shows that not one regional government in Jambi Province that followed up on the mandate of the article 402 paragraph (1) Regional Government Law 2014 to adjust the regulation of BUMD, and that’s why it is potentially contradicting with Regional Government Law 2014 and central government policy. Abstrak Artikel ini membahas implikasi yuridis pengaturan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 2014) dan penerapannya pada regulasi BUMD di lingkungan Provinsi Jambi. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Berdasarkan hasil kajian diketahui, berlakunya UU Pemda 2014 berimplikasi terhadap eksistensi dan regulasi BUMD baik yang telah ada maupun yang akan dibentuk, yaitu dalam hal bentuk hukum dan penamaan BUMD; persyaratan pendirian dan kelayakan usaha BUMD; penyertaan modal daerah dan kepemilikan modal dalam BUMD; organ BUMD; masa jabatan Direksi dan Dewas/Deris; dan campur tangan DPRD dalam operasional BUMD. Hasil penelitian juga menunjukkan belum ada satu pun Pemda di lingkungan Provinsi Jambi yang menindaklanjuti amanat Pasal 402 ayat (1) UU Pemda 2014 untuk menyesuaikan regulasi BUMD, dan dengan demikian potensial bertentangan dengan UU Pemda 2014 dan kebijakan pemerintah pusat.
Rekognisi Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Konstitusi Muhammad Dahlan
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (222.394 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.2.187-217

Abstract

This article reviews critically the evolution of the regulation of recognition of the rights of indigenous peoples in the Indonesian Constitution through historical and legal perspective. Using the customary law rights recognition theory as developed by constitutionalists on the experience of the struggle of indigenous peoples in several Latin American countries, this article finds the fact that none of the Constitutions in Indonesia fully recognize and protect the rights of indigenous peoples, although it contains elements of partisanship rhetoric. The weak recognition and protection of the rights of indigenous peoples in the Constitution resulted in the state freely using its power to exclude ancestral rights of indigenous peoples on the pretext of state interests. The interpretation of the articles in the Constitution that recognize and protect the rights of indigenous peoples must be based on the spirit of asserting Indonesian unity in diversity and distinctiveness. Without such enthusiasm, there is will more issues relating to derogation or even the elimination of the rights of indigenous peoples. Abstrak Artikel ini mengulas secara kritis evolusi pengaturan rekognisi hak masyarakat hukum adat dalam Konstitusi Indonesia melalui kacamata sejarah dan perbandingan hukum. Dengan menggunakan teori rekognisi hak masyarakat hukum adat sebagaimana yang dikembangkan oleh kaum konstitusionalis atas pengalaman perjuangan masyarakat hukum adat di beberapa negara Amerika Latin, artikel ini menemukan fakta bahwa tidak satupun Konstitusi di Indonesia secara penuh memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat, meskipun mengandung unsur retorika keberpihakan. Lemahnya pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat dalam Konstitusi mengakibatkan negara dengan leluasa menggunakan kekuasaannya untuk mengenyampingkan hak turun temurun (ancestral domain) masyarakat hukum adat atas dalih kepentingan negara. Interpretasi terhadap pasal-pasal dalam Konstitusi yang mengakui dan memberikan perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat harus didasari oleh semangat menegaskan persatuan Indonesia dalam keberagaman dan kekhasan. Tanpa semangat demikian, persoalan-persoalan yang berkenaan dengan derogasi atau bahkan penghilangan hak-hak masyarakat hukum adat akan terus terjadi.
UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency Sebagai Model Pengaturan Kepailitan Lintas Batas Indonesia dalam Integrasi Ekonomi ASEAN Dicky Moallavi Asnil
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (180.405 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.2.323-346

Abstract

The economic integration program between the members of Association of South East Asian Nations (ASEAN) and surrounding areas that trancends national borders and citizenship potentially creates the cross borders bankrupcy problems. The problem was born when the debtor undergoing bankruptcy process has assets abroad,where the bankruptcy proceedings are hampered by the laws of the country concerned. In adition, Indonesia and ASEAN do not yet a bankruptcy regulation that binds its member states in the settlement of this problems. UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency with Guide to Enactment is a model of cross-border insolvency law made by The United Nations which aims to be a reference of the world countries in the business of modernization and harmonization of national bankruptcy law respectively. This article shows that UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency with Guide to Enactment which adheres to this flexibility principle can be used as a solution to modernize and harmonize bankruptcy law of ASEAN countries, especially Indonesia. Abstrak Program integrasi ekonomi antar negara anggota Association of South East Asian Nations (ASEAN) dan sekitarnya yang melampaui batas-batas negara dan kewarganegaraan saat ini berpotensi melahirkan permasalahan kepailitan lintas batas. Permasalahan itu lahir pada saat debitor yang menjalani proses kepailitan di suatu negara memiliki aset di luar negeri, di mana proses kepailitan terhadap aset pailit itu terhambat oleh hukum yang berlaku di negara bersangkutan. Indonesia dan ASEAN sampai saat ini belum memiliki peraturan kepailitan yang mengikat negara anggotanya dalam penyelesaian permasalahan ini. UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency with Guide to Enactment adalah sebuah model hukum kepailitan lintas batas yang dibuat oleh Persatuan Bangsa-Bangsa yang bertujuan untuk menjadi rujukan negara-negara dunia dalam usaha modernisasi dan harmonisasi hukum kepailitan nasional masing-masing. Artikel ini menunjukkan bahwa UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency with Guide to Enactment yang menganut prinsip fleksibilitas dapat dijadikan solusi dalam upaya melakukan modernisasi dan harmonisasi hukum kepailitan negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia.
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XIV/2016 terhadap Independensi Komisi Pemilihan Umum Allan Fatchan Gani Wardhana
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 1 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (164.716 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.1.1-20

Abstract

The General Elections Commission (KPU) is an independent state institution directly regulated in Article 22E of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Its position as an independent state institution affirms that the KPU is not under the influence of the DPR and the government in carrying out its duties and authorities. Article 9 Sub-Article a of Law Number 10 Year 2016 (Regional Head Election Law) stipulates the requirement of the KPU to consult the DPR and the Government in drafting and enacting KPU regulations and technical guidelines for each election stage in forums of hearings whose decisions are binding. The Constitutional Court through Decision Number 92/PUU-XIV/2016 finally canceled the word "binding" it; the existence of the word "binding" is considered contrary to the Constitution and interfere with the independence of the Commission. The research concludes, first, the independence of KPU as an organizer of election is one of the requirements for the realization of free and fair election. Secondly, the juridical implication in Decision 92/PUU-XIV/2016 confirms that the binding word in Article 9 sub-paragraph a of the Regional Head Election Law does not have binding legal force, so that the spirit and independence of KPU as an election organizer can be maintained. Abstrak Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan lembaga negara yang independen yang diatur secara langsung dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945. Posisinya sebagai lembaga negara independen menegaskan bahwa KPU tidak berada di bawah pengaruh DPR dan pemerintah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Pasal 9 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada) mengatur keharusan KPU untuk berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam menyusun dan menetapkan peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusanya bersifat mengikat. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 92/PUU-XIV/2016 akhirnya membatalkan kata ‘mengikat’ tersebut, karena bertentangan dengan Konstitusi dan mengganggu independensi KPU. Penelitian ini menyimpulkan, pertama, independensi KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu merupakan salah satu syarat bagi terwujudnya pemilu yang bebas dan adil. Kedua, implikasi yuridis dalam putusan 92/PUU-XIV/2016 menegaskan bahwa kata ‘mengikat’ dalam Pasal 9 huruf a UU Pilkada bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sehingga marwah dan independensi KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu dapat terjaga.
Rekonstruksi Mekanisme Perencanaan Pembentukan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden Hendra Wahanu Prabandani
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 1 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (149.786 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.1.85-108

Abstract

There are two competing regulatory planning mechanism that currently exist in Indonesia named preparation program on PP and Perpres and Regulatory Framework. The existing regulatory systems are operated by two diference institutions, Ministry of Law and Humand Right and National Development Planning Board. The problems are becoming complicated since there is another possibility to initiate regulatory process outside regulatory planning mechanism called initiative permit from the President through Ministry of State Secretariat or Secretariat Cabinet. The problem of current regulatory planning is highly time consuming and may lead to inefficiency. Using statutes analysis, coordination theory and comparative study with several countries, this study found that in order to deal with the problems, there should be one single authority for regulatory planning in Indonesia, agreed a national tool of analysis to assess draft of regulations proposed by ministries, and promote a public awarness regarding regulatory agenda in Indonesia. Abstrak Saat ini terdapat dualisme mekanisme perencanaan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) yang berlaku di Indonesia yaitu melalui Program Penyusunan PP dan Perpres serta Kerangka Regulasi. Keduanya berjalan dengan dikoordinasi oleh dua institusi yang berbeda yaitu Kementerian Hukum dan HAM dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Selain hal tersebut, masih ada mekanisme di luar program perencanaan penyusunan peraturan, yaitu melalui izin prakarsa kepada Presiden RI yang juga dikoordinasikan oleh instansi pemerintah yang berbeda yaitu Kementerian Sekretariat Negara atau Sekretariat Kabinet. Keberadaan berbagai mekanisme yang harus ditempuh untuk memulai pembentukan PP dan Perpres ini menimbulkan dampak timbulnya inefisiensi serta manambah panjang manajemen pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan menggunakan pendekatan analisa peraturan perundang-undangan, teori koordinasi dan perbandingan dengan beberapa negara lain, tulisan ini mengemukakan beberapa solusi yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan tersebut antara lain membentuk satu otoritas tunggal perencanaan peraturan perundang-undangan, menyepakati mekanisme penilaian terhadap usulan peraturan perundang-undangan dan mendorong partisipasi publik dalam perencanaan perundang-undangan.