cover
Contact Name
Firman Freaddy Busroh
Contact Email
firmanbusroh@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
jurnallexlibrum@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota palembang,
Sumatera selatan
INDONESIA
Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum
ISSN : 24073849     EISSN : 26219867     DOI : -
Core Subject : Social,
Diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda (STIHPADA) Palembang yang bertujuan sebagai sarana media akademik membahas permasalahan ilmu hukum. Berisikan tulisan ilmiah, ringkasan hasil penelitian, resensi buku dan gagasan pemikiran. Redaksi mengundang para dosen, ahli, mahasiswa, praktisi dan masyarakat yang berminat untuk menuangkan hasil pemikirannya kedalam tulisan ilmiah. Jadwal penerbitan setahun 2 (dua) kali pada bulan Juni dan Desember.
Arjuna Subject : -
Articles 161 Documents
Analisis Hukum Perjanjian Kerja sama Investasi antara Persekutuan Komanditer dan Investor Asing menurut Hukum Investasi Di Indonesia Ramadhan, Muhammad Syahri; Laily, Yunial; Irsan, Muhammad Yuniar
Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum Vol 5, No 1 (2018)
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perkembangan investasi asing sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia karena keberadaan negara asing memberikan dampak positif dalam pembangunan bangsa dan negara sehingga pemerintah Indonesia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendatangkan investor asing. Hal inilah kemudian yang melatarbelakangi timbulnya kerjasama investasi antara perusahaan di Indonesia dan investor asing. Permasalahan pun muncul dikarenakan masih ada beberapa perusahaan di daerah tersebut, bukan perusahaan berbadan hukum salah satu contohnya masih ada perusahaan yang berbentuk persekutuan komanditer (CV) yang mengadakan perjanjian kerja sama investasi terhadap investor asing. Hal ini tentunya akan menimbulkan rumusan masalah terkait konsekuensi hukum yang ditimbulkan atas perjanjian kerja sama investasi antara Persekutuan komanditer (CV) dengan investor asing dan proses penyelesaian sengketa yang timbul akibat perjanjian kerja sama investasi antara persekutuan komanditer (CV) dengan investor asing tersebut. Kata kunci : Perjanjian Investasi, Persekutuan Komanditer, Investor Asing. Abstract: The development of foreign investment is needed by indonesian due to the presence of a foreign country a positive impact in this nation development so that the indonesian government would try to the fullest extent possible to bring foreign investors. This is then for the emergence of investment cooperation between between the company in indonesia and foreign investors. The problem occurs because there are still some companies in the area , not firm legal entities one example still there are companies that shaped limited partnership (CV) who do investment agreement to foreign investors. This clearly would give rise to problems related to the formulation of legal consequences which is a cooperative agreement such investment between limited partnership (CV) with investors foreign and the resolutions of disputes that arise due to a cooperative agreement such investment between limited partnership (CV) these foreign with investors. Daftar Pustaka Buku: Ginting, Budiman, 2007, Hukum Investasi Perlindungan Hukum Pemegang Saham Minoritasdalam Perusahaan Penanaman Modal Asing, Pustaka Bangsa, Medan. HS, Salim dan Budi Sutrisno, 2008, Hukum Investasi Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. Jeddawi, Murtir, 2005, Memacu Investasi di Era Otonomi Daerah,Kajian Beberapa PerdaTentang Penanaman Modal, UII Press, Yogyakarta. Margono, Sujud, 2008, Hukum Investasi Asing di Indonesia, Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta. Radjagukguk, Erman, 2005, Hukum Investasi di Indonesia, Fakultas Hukum UI, Jakarta. Sembiring, Sentosa, 2007, Hukum Investasi, Nuansa Aulia, Bandung. Suadi Hamid, Edy, 2005, Ekonomi Indonesia dari Sentralisasi ke Desentralisasi, UII Press, Yogyakarta. Wibawa, Fahmi, 2014, Praktis Perizinan Usaha Terpadu, Grasindo, Jakarta Karya Ilmiah Manik, Martua, Anugrah, Iznilah Hestovani, Novita Kusuma Ningrum, Dewi Sartika Simangunsong, 2015,Strategi Pembangunan Daerah Tertingal Dan Dampaknya Terhadap KeuanganDaerah, Makalah Pengelolaan Daerah Tertinggal, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Jambi. Gayatri, Monica, 2010, Prinsip Keadilan Dan Kepastian Hukum Dalam Undang-UndangNomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Terhadap Pemberian Insentif Bagi Investor Asing (Tinjauan terhadap Kepentingan yang Dilindungi dalam Undang-Undang Penanaman Modal), Penulisan karya Ilmiah, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Internet Budi, Eko, Implikasi UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman modal terhadap Peningkatan Investasi di Provinsi Jambi, didownload melalui laman : http://ditpolairdajambi.blogspot.co.id, diakses tanggal 11 November 2016. Muharyanto, Hukum Penanaman Modal Asing, melalui : http://muharyanto.blogspot.co.id, diakses tanggal 11 November 2016. Sumantoro, 1977, Aspek-aspek Pengembangan Dunia Usaha Indonesia, Bina Cipta, Bandung. www.strategi-bisnis-blogspot.com, diakses tanggal 15 oktober 2010. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan Atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 131 Tahun 2015 Tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019.
Efektifitas Aplikasi Konvensi Tokyo 1963 Dan Protokol Montreal 2014 Terhadap Unruly Passenger Case Dalam Dunia Penerbangan kurniawijaya, aditya; Latifah, Emmy
Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum 2019: Volume 5 Nomor 2 Juni 2019
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (330.725 KB)

Abstract

Peraturan yang berlaku di dalam pesawat penerbangan dimaksudkan agar masyarakat mematuhi hal-hal apa saja yang harus dan tidak boleh dilakukan ketika berada dalam pesawat penerbangan. Peraturan yang sudah ada ini tak terlepas dari pelanggaran terhadap aturan yang berlaku di dalam pesawat. Kasus penumpang yang tidak mematuhi aturan atau dikenal dengan unruly passenger merupakan sebuah contoh pelanggaran terhadap aturan yang berlaku di dalam pesawat. Konvensi Tokyo 1963 menjadi jawaban dalam mengatasi kasus unruly passenger tersebut. Namun, kandungan dari Konvensi Tokyo 1963 pada kenyataannya belum mampu menangani seluruh masalah terkait unruly passenger. Melihat hal tersebut, ICAO mengamandemen Konvensi Tokyo 1963 untuk memperkuat dasar hukum bagi maskapai dalam menangani kasus unruly passenger, hingga akhirnya menghasilkan Protocol to Amend the Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft atau dikenal sebagai Protokol Montreal 2014. Keberadaan Konvensi Tokyo 1963 dan Protokol Montreal 2014 ini diharapkan mampu mengatasi permasalahan terkait unruly passenger dalam dunia penerbangan. Abstract: Regulations in aviation aircraft intended to comply with the community things what should and should not do when the aircraft is in flight. Existing regulations did not in spite of the breach of the rules that apply in the aircraft. The case of passengers who do not comply with the rules or known by the unruly passenger is an example of a breach of the rules that apply in the aircraft. Tokyo Convention 1963 be the answer in addressing the case of unruly passenger. However, the content of the Tokyo Convention 1963 in fact haven't been able to handle the whole issue related unruly passenger. Seeing this, ICAO amending the Tokyo Convention 1963 to strengthen the legal basis for the airline in dealing with the unruly passenger, and the case eventually led to a Protocol to Amend the Convention on Offenses and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft known as the Montreal Protocol 2014. The existence of the Tokyo Convention 1963 and Montreal Protocol 2014 is expected to address the problem of unruly passenger related in the world of aviation. Keywords : Unruly Passenger, Tokyo Convention 1963, Montreal Protocol 2014 Daftar Pustaka Buku Aust, Anthony. 2010. Handbook of International Law (Second Edition). New York: Cambridge University Press. International Air Traffic Association (IATA). 2012. Guidance on Unruly Passenger Prevention and Management. Martono, H.K. 1987. Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa. Bandung: PT Alumni. Martono, H.K. dan Sudiro, Amad. 2012. Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik. Jakarta: PT Raja Grafindo. Mendes de Leon, Pablo. 2012. An Introduction to Air Law (Ninth Revised Edition). Kluwer Law International BV. Sinaga, Bintatar. 2001. Kejahatan Terorisme dalam Jurnal Keadilan. Vol.1 Nomor 4. Shubber, S. 1973. Jurisdiction Over Crimes on Board Aircraft. The Hague: Martinus Nijhoff. Jurnal Aggarwala, N. 1971. “Political Aspects of Hijacking” dalam International Conciliation Vol. 585. Fenello, M.J.1971. “Technical Prevention of Air Piracy” dalam International Conciliation 30 Vol. 585. Gerald, F.F.G.1969. “Development of Intenational Legal Rules for the Repression of the Unlawful Seizure of Aircraft” dalam The Canadian Yearbook of International Law Vol.7. Green, L.C. 1975. “Extradition vs Asylum for Aerial Hijacking” dalam Israel Law Review Vol,10. Ivan, A.E. 1969. “Air Hijacking: its Cause and Cure” dalam American Journal of Intern,ational Law 700 Vol.63. Kieken P.J, Van. 1975.“Hijacking and Asylum” dalam The Netherlands International Law Review 6 Vol. 22. Loy, F.E. 1970. “Some International Approaches to Dealing With Air Hijacking” dalam International Lawyer Vol.4. Rein, B. 1971. “A Government Perspective” dalam Journal of Air Law and Commerce Vol. 37. Samuel A. 1967. “Crimes Committed on Board Aircraft: Tokyo Convention Act” dalam British Yearbook of International Law Vol 42. Samuel A. 1971. “The Legal Problems: An Introduction” dalam Journal of Air and Commerce 163 Vol. 37. Stephen J.E. 1970. “Air piracy and Unlawful With Air Commerce” dalam International Lawyer 442 Vol. 4. Konvensi Internasional Convention on International Civil Aviation, ditandatangani di Chicago pada 7 December 1944. Convention on Offences and Certain Other Act Committed on Board Aircraft, ditandatangani di Tokyo pada 14 September 1963. Convention for the Suppression of Lawful Seizure of Aircraft, ditandatangani di Den Haag pada 16 Desember 1970. Protocol to Amend the Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft, ditandatangani di Montreal pada 4 April 2014. Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1976 tentang Ratifikasi Konvensi Tokyo 1963, Konvensi Den Haag 1970, dan Konvensi Montreal 1971 (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3077). Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Berkaitan dengan Perluasan Berlakunya Terhadap Pesawat Udara. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956. Web Hentje Pongoh, Maskapai Penerbangan Berhak Menurunkan Penumpang Indisipliner, da-lam : https://www.kompasiana.com, diakses pada 11 November 2018 pukul 09.21 WIB. ICAO, Current Lists of Parties to Multilateral Air Law Treaties, dalam : http://www.icao.int, diakses pada 10 November 2018 pukul 19.31 WIB. Icha Rastika, Penumpang Mabuk di Virgin Australia Dipulangkan, dalam : https://nasional.kompas.com, diakses pada 8 November 2018 pukul 22.17 WIB.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM MELALUI RESTORATIF JUSTICE Hartoyo, Nuri
Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum 2020: Edisi Khusus Februari 2020
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (273.017 KB)

Abstract

Abstrak Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dengan pendekatan restorative justice membawa dampak yang positif terhadap penanganan perkara anak, adanya pemisahan dan pengaturan yang tegas tentang anak yang berhadapan dengan hukum yang meliputi anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, anak yang menjadi saksi tindak pidana. Penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum selama ini proses penyelesaiannya melalui lembaga peradilan dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak penyelesaian perkara anak dapat diselesaiakan di luar peradilan melalui diversi dengan melibatkan semua pihak untuk duduk bersama baik itu pihak pelaku, korban dan saksi dalam menyelesaikan konflik yang terjadi dengan menggunakan pendekatan restorative justice yang mengutamakan pemulihan keadaan dari pada pembalasan dalam penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum dan mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak demikesejahteraan. Dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012. Maka perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum di wilayah hukum Pengadilan Negeri Sekayu sudah menggunakan proses Diversi, dimana Diversi merupakan adaptasi dan penyesuaian Konvensi internasional sebagaimana diatur dalam konvensi-konvensi internasional. Implementasi Diversi untuk memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia yaitu dengan menerapkan Proses Diversi pada setiap tahapan peradilan Pidana Anak, mulai dari tahap Penyidikan, Penuntutan dan pemeriksaan di depan sidang pengadilan anak, dimana sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012. Implementasi Diversi dan Keadilan Restoratif dimaksudkan untuk menghindari dan menjatuhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Kata Kunci : Anak, Diversi, restorative justice Abstract Protection of children in conflict with the law with a restorative justice approach has a positive impact on the handling of child cases, the existence of strict separation and regulation of children in conflict with the law which includes children in conflict with the law, children who are victims of criminal acts, children who become victims criminal witness. Settlement of cases of children in conflict with the law so far the process of settlement through the judiciary with the Act No. 11 of 2012 concerning the Child Criminal Justice System settlement of cases of children can be resolved outside the court through diversion by involving all parties to sit together both the perpetrators, victims and witnesses in resolving conflicts that occur using a restorative justice approach that prioritizes recovery of the situation rather than retaliation in the settlement of cases of children who are dealing with the law and prioritizes the best interests of the child for the welfare. With Law Number 11 of 2012, the legal protection of children in conflict with the law in the jurisdiction of the Sekayu District Court has used the Diversi process, where Diversi is an adaptation and adaptation of international Conventions as regulated in international conventions. Diversion implementation to provide legal protection guarantees for children in conflict with the law in the Indonesian Child Criminal Justice System, namely by applying the Diversion Process at every stage of the juvenile justice, starting from the Investigation, Prosecution and examination before the juvenile court, which is in accordance with the mandate of the Law Law No. 11 of 2012. Implementation of Diversity and Restorative Justice is intended to avoid and bring children out of the judicial process so as to avoid stigmatization of children in conflict with the law.
HAK IMUNITAS KURATOR DALAM EKSEKUSI HARTA DEBITOR PAILIT Kurniawan, Aan Rizalni
Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum 2020: Edisi Khusus Februari 2020
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (247.316 KB)

Abstract

Abstrak: Kurator memiliki imunitas dalam menjalankan tugasnya karena ia sebagai pihak yang mewakili pengadilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman sudah sepatutnya tidak boleh mendapat campur tangan/intervensi dari luar badan kekuasaan kehakiman, apalagi sampai mendapatkan upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh Pihak Kepolisian atau Kejaksaan yang merupakan domain pemerintah/executive. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan kewajiban pembayaran utang tidak tegas dalam memberikan perlindungan hukum kepada kurator sehingga para kurator rentan menjadi target tuntutan hukum, baik secara pidana maupun perdata. Dengan demikian, para kurator dapat bekerja dengan aman meskipun masih terbuka kesempatan kepada pihak lain yang berkepentinganuntuk menuntut dan menggugat kurator. Kurator dalam menjalankan tugasnya mengeksekusi harta debitor pailit tidak sekedar bagaimana menyelamatkan harta pailit yang berhasil dikumpulkan untuk kemudian dibagikan kepada para kreditor tetap, sedapat mungkin bisa meningkatkan nilai harta pailit tersebut. Pada Pasal 72 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit yang menyebabkan kerugian terhadap harta.Dalam praktiknya, proses lelang harta pailit dapat menimbulkan masalah. Kata Kunci : Kurator, Pailit, Hak Imunitas Abstract: The curator has immunity in carrying out his duties because he as a party representing the court in exercising judicial authority should not be permitted to get interference / intervention from outside the judicial power agency, especially to get criminalization efforts carried out by the Police or Prosecutors which is the domain of the government / executive . Law No. 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of debt repayment obligations are not strict in providing legal protection to the curator so that the curators are vulnerable to being the target of lawsuits, both criminal and civil. Thus, the curators can work safely even though there are still opportunities for other interested parties to sue and sue the curator. Curators in carrying out their duties executing bankrupt debtor assets is not just how to save bankrupt assets that have been collected and then distributed to permanent creditors, as much as possible can increase the value of the bankrupt assets. In Article 72 of the Bankruptcy and Deferral of Obligations for Debt Payment, the Curator is responsible for mistakes or negligence in carrying out the tasks of managing and settling bankrupt assets which cause losses to assets. In practice, the process of auctioning bankrupt assets can cause problems.
TANGGUNG JAWABHUKUM BADAN PENGAWAS PEMILU DALAM MENGAWASI PENYELENGGARAAN PEMILIHAN BUPATI Setiadi, Redhi
Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum 2020: Edisi Khusus Februari 2020
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (194.92 KB)

Abstract

Abstrak Tanggung jawab hukum petugas Bawaslu dalam Penegakan Hukum terhadap pelanggaran yang terjadi didalam penyelenggaraan Pemilihan Bupati di Kabupaten Lahat yaitu melakukan pengawasan-pengawasan dan menerima serta menindaklanjuti laporan-laporan dan memberikan rekomendasi-rekomendasi terhadap pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh Penyelenggara dan Peserta pemilihan. Tanggung jawab hukum Bawaslu dalam menerapkan hukum pada pemilihan Bupati di kabupaten Lahat yaitu Melakukan Pengawasan-pengawasan pada saat : pencalonan, kampanye dan pemilihan Kata Kunci : Bawaslu, Demokrasi, Pemilu, Abstract The legal responsibility of Bawaslu officers in Law Enforcement of violations that occur in the implementation of Election of Regents in Lahat Regency is to conduct supervision and receive and follow up on reports and provide recommendations for administrative violations committed by the Organizer and Participants in the election. The legal responsibility of Bawaslu in applying the law to the election of the Bupati in Lahat regency is to supervise when: nomination, campaign and election
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA PEREMPUAN DI INDONESIA Hartaty, Sri
Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum 2020: Edisi Khusus Februari 2020
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (217.488 KB)

Abstract

Abstrak Implementasi Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Perempuan Menurut Hukum Posisitif Indonesia diatur dalam : a. Perlindungan Pekerja Perempuan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ; b.Kepmenaker No. 224 tahun 2003 serta Peraturan Perusahaan atau perjanjian kerja bersama perusahaan; c. Perlindungan Pekerja Perempuan Berdasarkan Internasional Labour Organization (Konvensi ILO) ; d. Keputusan Menteri Tenagakerja dan Transmigrasi Nomor : KEP-226/MEN/2000 tentang Upah Minimum Tenaga Kerja Apabila karyawan perempuan memiliki permasalahan/keluh kesah, maka perusahaan wajib memberikan fasilitas untuk menyelesaikan permasalahan tersebut sebagai bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Karyawan Perempuan. Penyelesaian permasalahan/keluh kesah yang dialami karyawan, sebelum sampai kepada tim konseling harus terlebih dahulu disampaikan secara hirarki dan diselesaikan secara berjenjang sebelum diajukan kepada tim konseling. Penyelesaian perselisihan perburuhan terlebih dahulu dilakukan secara musyawarah, namun apabila tidak berhasil maka pihak karyawan ataupun perusahaan diperbolehkan untuk menempuh upaya hukum berdasarkan Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Ada dua Cara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PHI), yaitu : 1Penyelesaian Dengan Cara Non Litigasi adalah penyelesaian perselisihan di luar pengadilan; 2. Penyelesaian Dengan Cara Litigasi adalah penyelesaian perselisihan melalui pengadilan hubungan industrial. Dengan Cara Non Litigasi dapat ditempuh melalui Mediasi ; Konsiliasi ; Arbitrase. Perselisihan antara Pengusaha dan Karyawan, jika sudah tidak bisa diselesaikan dengan jalan musyawarah mufakat, maka dapat diselesaikan dengan menggunakan media Peradilan (litigasi). Kata Kunci : Perempuan , Pekerja, Perlindungan Abstract Implementation of Legal Protection Forms for Women Workers According to Indonesian Positive Law is regulated in: a. Protection of Women Workers Based on Law Number 13 Year 2003 Regarding Employment; Ministry of Manpower No. 224 of 2003 and the Company Regulations or joint work agreements; c. Protection of Women Workers Based on the International Labor Organization (ILO Convention); d. Decree of the Minister of Manpower and Transmigration Number: KEP-226 / MEN / 2000 concerning Minimum Labor Wages If female employees have problems / complaints, the company is obliged to provide facilities to resolve these problems as a form of Legal Protection Against Female Employees. Problem solving / complaints experienced by employees, before reaching the counseling team must first be submitted in a hierarchical manner and resolved in stages before being submitted to the counseling team. Settlement of labor disputes is first carried out by deliberation, but if it is not successful then the employee or the company are allowed to take legal action based on Law Number 2 of 2004 concerning Industrial Relations Dispute Settlement. There are two Ways to Settle Industrial Relations Disputes (PHI), namely: 1. Non-Litigation Settlement is a dispute resolution outside the court; 2. Settlement by Litigation is the settlement of disputes through industrial relations courts. Non-Litigation Method can be reached through Mediation; Conciliation; Arbitration. Disputes between Employers and Employees, if they cannot be resolved by consensus agreement, then they can be resolved using Judicial media (litigation).
UPAH PROSES PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 37/PUU-IX/2011” (STUDI KASUS PERKARA NOMOR 157 K/PDT.SUS-PHI/2018) Melinda, Nora
Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum 2020: Edisi Khusus Februari 2020
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (363.632 KB)

Abstract

Abstrak Merujuk pada pertimbangan hukum Hakim Mahkamah Agung pada Tingkat Kasasi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 dalam Perkara Nomor 157 K/Pdt.Sus-PHI/2018 tanggal 14 Maret 2018 yang memutus upah proses paling banyak 6 (enam) bulan sesuai Yurisprudensi Mahkamah Agung RI adalah berkiblat kepada Kepmenaker Nomor 150 Tahun 2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan. Akibat hukum pelaksanaan upah proses pasca putusan Mahkamah Kontistusi Nomor 37/PUU-IX/2011 dirasakan tidak adil bagi pengusaha. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 tanggal 19 September 2011 itu memastikan tambahan beban keuangan bagi perusahaan terutama bila melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang menyimpang dengan hukum. Bila dalam praktik peradilan terdapat sikap yang berbeda dari para hakim dalam memutus upah proses, kini perbedaan itu telah berakhir apabila semua pihak menghormati putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 tanggal 19 September 2011, putusan itu akan menjadi landasan hakim untuk seragam menghukum pengusaha membayar upah proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sampai putusan berkekuatan hukum tetap. Kata Kunci : Upah Proses, Mahkamah Konstritusi, Uang Pesangon Abstract: Referring to the legal considerations of the Supreme Court Judge at the Cassation Level after the Constitutional Court Decision Number 37 / PUU-IX / 2011 in Case Number 157 K / Pdt.Sus-PHI / 2018 dated March 14, 2018 which decided the process fee at most 6 (six) months in accordance with the Supreme Court Jurisprudence of the Republic of Indonesia is oriented to Kepmenaker Number 150 of 2000 concerning the Termination of Employment Termination and Determination of Severance Pay, Tenure Award and Compensation in the Company. The legal consequences of the implementation of process wages after the decision of the Constitutional Court Number 37 / PUU-IX / 2011 are felt to be unfair to employers. Decision of the Constitutional Court Number 37 / PUU-IX / 2011 dated September 19, 2011 ensures an additional financial burden for companies, especially when terminating work relationships (PHK) that deviates from the law. If in judicial practice there is a different attitude from the judges in deciding the process fee, now the difference has ended if all parties respect the decision of the Constitutional Court Number 37 / PUU-IX / 2011 dated September 19, 2011, that decision will become the basis for judges to uniformly punish The employer pays the wages the Termination of Employment (PHK) process until the decision has final legal force.
REHABILITASI TERHADAP PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI MUSI BANYUASIN Masri, Masri
Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum 2020: Edisi Khusus Februari 2020
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (214.636 KB)

Abstract

Abstrak: Bahwa strategi penegakan hukum terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika di Polres Sekayu adalah dengan penetapan strategi demand reduction and supply reduction, sebagai suatu kebijakan prevensi umum. Dalam upaya untuk mengurangi terjadinya korban penyalahgunaan narkotika, Kepolisian Polresta sekayu melakukan upaya preemtif dan prefentif yaitu sebagai berikut: 1. Preemtif, Melakukan kegiatan pembinaan dan penyuluhan di lingkungan sekolah, masjid, gereja, organisasi masyarakat dan lingkungan masyarakat RT/RW. Dalam hal ini memberikan pengarahan, penjelasan, bahaya dan dampak buruk akibat dari penyalahgunaan narkotika tersebut. 2. Preventif, Melakukan kegiatan-kegiatan razia ditempat hiburan (diskotik), koskosan, asrama, sambil melakukan sosialisasi keterkaitan dengan narkotika dan penyalahgunaan narkotika. Terdapat 3 (tiga) hambatan dalam pelaksanaan Rehabilitasi bagi pelaku penyalah gunaan Narkotika di Musi Banyuasin, yaitu: Belum ada ditetapkannya tempat khusus bagi para pecandu maupun korban-korban penyalah guna narkotika untuk melakukan rehabilitasi; Masalah biaya rehabilitasi bagi terpidana kasus penyalahgunaan narkotika; Belum ada panti rehabilitasi yang ditunjuk oleh Pemerintah. Rumah Sakit Umum Daerah Sekayu dan klinik-klinik yang ditunjuk oleh aparat penegak hukum yang berwenang serta dapat juga dialihkan ke Rumah Sakit Muhammad Hoesin Palembang adalah merupakan tempat penitipan untuk melakukan rehabilitasi terhadap pelaku penyalahgunaan Narkotika. Ke dua tempat ini bukanlah tempat khusus untuk menangani masalah rehabilitasi bagi pengguna narkotika, akan tetapi hanya memperbantukan saja. Kata Kunci : Penegakan Hukum, Narkotika, Rehabilitasi. Abstract: That the strategy of law enforcement against the abuse and illicit trafficking of narcotics and psychotropic substances at the Sekayu Regional Police Station is by establishing a demand reduction and supply reduction strategy, as a general policy of prevention. In an effort to reduce the number of victims of narcotics abuse, the Polresta Police Sekayu make pre-emptive and pre-incentive efforts as follows: 1. Pre-emptive, Conduct coaching and counseling activities in schools, mosques, churches, community organizations and RT / RW communities. In this case provide direction, explanation, danger and adverse effects resulting from the abuse of narcotics. 2. Preventive, conducting raids in entertainment places (discotheques), coscosses, dormitories, while conducting socialization related to narcotics and narcotics abuse. There are 3 (three) obstacles in implementing Rehabilitation for narcotics abusers in Musi Banyuasin, namely: There is no specific place for addicts or victims of narcotics abusers to carry out rehabilitation; The problem of rehabilitation costs for convicted drug abuse cases; There is no rehabilitation institution appointed by the Government. Sekayu Regional General Hospital and clinics appointed by the law enforcement authorities and can also be transferred to the Muhammad Hoesin Hospital in Palembang are places of care for rehabilitation of narcotics abuse offenders. These two places are not special places to deal with rehabilitation issues for narcotics users, but only to help.
OPERASI TANGKAP TANGAN (OTT) KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) TERHADAPANGGOTA DPRD KABUPATEN MUSI BANYUASIN Hermanto, Hermanto
Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum 2020: Edisi Khusus Februari 2020
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (202.274 KB)

Abstract

Abstrak: Penegakan Hukum Kasus Korupsi oleh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kabupaten Musi Banyuasin. Berdasarkan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor : DAK-33/24/9/2015 atas nama terdakwa BK dan AM dan surat dakwaan Nomor: DA:-30/24/06/2016 atas nama terdakwa UA, JI, PH, DI, DFA dan IP selaku pegawai negeri atau penyelenggara negara yaitu selaku Anggota DPRD Kabupaten Musi Banyuasin. Dalam perkara ini para terdakwa telah dilakukan penahanan di Rumah Tahanan Negara Rutan kelas 1 Jakarta Timur Cabang KPK masing-masing sejak tanggal 26 April 2016 s/d tanggal 15 Mei 2016. Kemudian di lakukan perpanjangan penahanan masing-masing tanggal 16 Mei 2016 s/d 24 Juni 2016, kemudian oleh penuntut umum para terdakwa di tahan di Rutan Kelas 1 Palembang masing-masing sejak tanggal 15 Juni 2016 s/d tanggal 04 Juli 2016. Perbuatan para terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 Huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberanasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Korupsi menghambat pembangunan, maka penerapan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi harus diambil hukuman maksimal. Korupsi di nilai dari sudut manapun ialah tetap suatu pelangaran mengakibatkan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap penyelengara Negara, maka upaya preventif merupakan upaya yang efektif untuk diterapkan. Kata Kunci : DPRD, Korupsi, Musi Banyuasin Abstract: Law Enforcement of Corruption Cases by Members of the Regional Representative Council (DPRD) of Musi Banyuasin Regency. Based on the Indictment of Public Prosecutor's Corruption Eradication Commission (KPK) Number: DAK-33/24/9/2015 on behalf of defendants BK and AM and indictment Number: DA: -30/24/06/2016 on behalf of defendants UA, JI , PH, DI, DFA and IP as civil servants or state administrators, namely as Members of the Musi Banyuasin District Parliament. In this case the defendants have been detained in East Jakarta Class 1 Detention Center Detention Center of the KPK, respectively from April 26, 2016 to May 15, 2016. Then, the detention extension was extended on May 16, 2016 through June 24, 2016, then by the public prosecutors the defendants were detained in the Palembang Class 1 Detention Center each from June 15, 2016 to July 4, 2016. The acts of the defendants as regulated and threatened with criminal penalties in Article 12 Letter a of Law Number 31 of 1999 concerning Eradication of Corruption Acts as amended by Law Number 20 of 2001 concerning Amendment to Law number 31 of 1999 concerning eradication of corruption in Jo Article 55 Paragraph (1) of the 1st KUHP jo Article 64 paragraph ( 1) Criminal Code. Corruption hinders development, so the application of Law Number 31 Year 1999 jo. Law Number 20 of 2001 concerning Eradication of Corruption Crimes must be taken as a maximum sentence. Corruption from any point of view is still a violation resulting in a lack of public confidence in the administration of the State, so preventive measures are effective efforts to be implemented.
SISTEM PEMBUKTIAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK Darmawan, Darmawan; Busroh, Firman Freaddy; Utoyo, Marsudi
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum 2020: Edisi Khusus Februari 2020
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (193.145 KB) | DOI: 10.46839/lljih.v0i0.153

Abstract

Abstrak Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat esensial dalam upaya penemuan kebenaran materiil suatu perkara pidana, sehingga dalam proses pembuktian perkara di pengadilan diperlukan alat bukti dan barang bukti yang benar-benar dapat membuat terang suatu tindak pidana yang disangkakannya. Untuk menemukan kebenaran materiil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu peristiwa sehingga akan membuat terang tindak pidana apa yang terjadi dan siapa pelakunya, maka masalah pembuktian menduduki tempat yang sangat penting. Kata Kunci : Alat Bukti, Pembuktian, Pidana. Abstract Proof is one of the processes that is essential in the effort to find the material truth of a criminal case, so that in the process of proving a case in a court, evidence and evidence that really can make the light of a crime that is suspected. To find material truth, that is, the truth as complete as possible from an event so that it will make light of what crime happened and who did it, then the issue of proof occupies a very important place.

Page 1 of 17 | Total Record : 161