cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Patrawidya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya
ISSN : 14115239     EISSN : 25984209     DOI : -
Core Subject : Art, Social,
The Patrawidya appears in a dark gray cover with a papyrus manuscript. The Patrawidya Journal is published three times a year in April, August and December. The study of the Patrawidya Journal article is on the family of history and culture. The Patrawidya name came from a combination of two words "patra" and "widya", derived from Sanskrit, and became an absorption word in Old Javanese. the word "patra" is derived from the word "pattra", from the root of the term pat = float, which is then interpreted by the wings of birds; fur, leaves; flower leaf; fragrant plants fragrant; leaves used for writing; letter; document; thin metal or gold leaf. The word "widya" comes from the word "vidya", from the root vid = know, which then means "science". Patrawidya is defined as "a sheet containing science" ISSN 1411-5239 (print) ISSN 2598-4209 (online).
Arjuna Subject : -
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol. 21 No. 2 (2020): Agustus" : 8 Documents clear
The Elements Of Banyumas Traditional Historiography Sugeng Priyadi
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 21 No. 2 (2020): Agustus
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52829/pw.302

Abstract

The historiographical analysis shows that Babad Pasir and Babad Banyumas have two dominant elements, i.e. genealogy and narrative units. Both have genealogy covering (1) the ancestral genealogy, (2) the main genealogy, (3) the descendant genealogy, and (4) the branch genealogy, as the narrative units tend to dominantly reflect the relation of patron-client and the legitimation of the clan.
Pemanfaatan Situs Cagar Budaya Pelawangan Dalam Pembelajaran Sejarah Lokal Unggul Sudrajat; Mulyadi Mulyadi
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 21 No. 2 (2020): Agustus
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52829/pw.303

Abstract

Pembelajaran sejarah lokal dapat dijadikan sebagai media untuk mengembangkan rasa kepedulian dan ketertarikan peserta didik terhadap kedaerahan mereka. Melalui sejarah lokal, peserta didik dapat belajar tentang keunikan daerahnya, seperti budaya dan kearifan lokal. Salah satu sumber yang dapat dijadikan sebagai pembelajaran sejarah lokal adalah Situs Cagar Budaya Pelawangan, di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis pemanfaatan Situs Cagar Budaya Pelawangan dalam pembelajaran sejarah lokal. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah kualitatif deskriptif. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara mendalam, serta studi pustaka. Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan menjadikan Situs Pelawangan sebagai sumber pembelajaran sejarah lokal, peserta didik memperoleh pengetahuan baru tentang keunikan budaya dan kearifan lokal dari kehidupan masyarakat masa lalu. Keunikan tersebut berwujud pohon tetenger yang menjadi penanda adanya situs yang terpendam.
Medali Belanda Dan Pengaruhnya Bagi Kehidupan Sosial Elit Jawa, Abad Xix-Xx: Studi Kasus Pemberian Medali Kepada Pakubuwana X Siska Nurazizah Lestari; Sumarno Sumarno; Bayu Surindra
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 21 No. 2 (2020): Agustus
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52829/pw.304

Abstract

Penelitian ini mengkaji penganugrahan berupa bintang jasa oleh Raja Willem I-III dari Belanda kepada elit lokal yang dianggap berjasa kepada Kerajaan Belanda, khususnya Pakubuwana X. Pakubuwana X merupakan Raja Kasunanan Surakarta yang memerintah pada tahun 1893 hingga 1939. Ratu Wilhelmina memberikan bintang kehormatan Sri Maharaja pada tahun 1932 berupa Grootkruis in de Orde van de Nederlandse Leeuw.Adapun permasalahan pada penelitian ini yakni mengapa para elit di Hindia Belanda (salah satunya Pakubuwana X) mendapatkan medali penghargaan Belanda?, serta bagaimana pengaruh penganugrahan medali tersebut khususnya bagi kehidupan sosial Pakubuwana X sebagai elit Jawa? Ruang lingkup penelitian yaitu abad XIX-XX. Tahun 1870 merupakan periode awal diberlakukannya penganugerahan Medaille voor Burgerlijke Verdienste(Medali untuk Prestasi Warga Sipil). Adapun tahun 1930-an dipilih sebagai periode akhir, karena Ster voor Trouw en Verdiensten (Bintang untuk Prestasi Warga Sipil) digantikan oleh beberapa medali yang dikeluarkan oleh kerajaan Jawa, salah satunya di bawah kepemimpinan Pakubuwana X. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yakni pendekatan sejarah sosial budaya, dan menggunakan metode penelitian sejarah. Bintang tanda jasa tersebut hanya bisa didapatkan oleh golongan orang-orang Eropa saja. Oleh karena itu, pemberian penghargaan tersebut kepada orang-orang pribumi merupakan bentuk apresiasi terhadap masyarakat pribumi. Pengaruh penganugerahan tanda jasa tersebut yaitu kedekatan Pakubuwono X dengan Belanda menyebabkan perusahaan partikelir banyak membuka industri perkebunan sehingga terbuka lapangan kerja rakyat. Di sisi lain, pemberian tanda jasa tersebut membuat Pakubuwono tanduk kepada Belanda dan mempengaruhi beberapa kebijakan untuk rakyat.
Makna “Prestise” Sosial Para Ahli Waris Dalam Pelaksanaan Tradisi Slametankematian Di Banyumas Listyana Nur Kholifah; Nugroho Trisnu Brata
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 21 No. 2 (2020): Agustus
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52829/pw.305

Abstract

Penelitian ini memfokuskan pada “prestise” sosial yang muncul dalam pelaksanaan tradisi slametankematian yang dilakukan oleh para ahli waris. Tujuan penelitian ini adalah; (1) mengetahui struktur sosial masyarakat Desa Tlaga (2) mengetahui alasan para ahli waris menjadikan slametan kematian sebagai tradisi yang harus dilaksanakan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Lokasi penelitian berada di Desa Tlaga, Kecamatan Gumelar, Kabupaten Banyumas. Penelitian ini menggunakan teori fungsionalisme struktural serta konsep prestise sosial dari beberapa ahli. Hasil penelitian menunjukkan, (1) adanya perbedaan kelas di masyarakat yang terbagi berdasarkan status sosial yang dimiliki. Kelas sosial di masyarakat dibagi menjadi tiga yakni kelas bawah, kelas menengah, dan kelas atas. Perbedaan kelas di masyarakat juga mengakibatkan perbedaan perilaku dan sikap terhadap anggota masarakat dari masing-masing kelas, (2) masyarakat melakukan slametankematian sebagai wujud tanggung jawab terhadap anggota keluarga yang telah meninggal. Slametankematian dilakukan oleh para ahli waris sesuai dengan pelaksanaan yang ada di masyarakat pada umumnya. Slametan kematian merupakan sebuah bukti dari fungsi keluarga serta dapat memunculkan prestise sosial masing-masing ahli waris berdasarkan kelas sosial di masyarakat untuk mendapatkan pengakuan sebagai bagian di masyarakat.
Pasemon Sebagai Bahasa Kritik Dalam Seni Pertunjukan Masyarakat Madura Akhmad Sofyan; Panakajaya Hidayatullah; Ali Badrudin
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 21 No. 2 (2020): Agustus
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52829/pw.306

Abstract

Artikel ini merupakan hasil penelitian antropologi seni yang membahas perihal pasemon sebagai bahasa kritik dalam seni pertunjukan masyarakat Madura. Secara komprehensif menelaah tentang klasifikasi model pasemon sebagai bahasa kritik dalam seni pertunjukan masyarakat Madura ditinjau secara semiotik. Temuan penelitian menunjukkan bahwa pasemon dalam seni pertunjukan terbagi atas 3 model yakni Model Papareghân/paparèkan; Model sindiran langsung; dan Model penokohan; Model Paparèkan merupakan model kritik yang disampaikan melalui bentuk pantun tradisional berbahasa Madura baik secara langsung maupun melalui kèjhungan(nyanyian). Paparèkan digunakan untuk mengkritik lawan main dalam pertunjukan, maupun untuk mengkritik fenomena sosial masyarakat. Model sindiran langsung, merupakan moda kritik yang diucapkan secara langung dengan kalimat yang lugas oleh aktor/pelawak di atas panggung. Umumnya sindiran diucapkan dengan gaya humor. Sindiran langsung digunakan untuk mengkritik penonton, tuan rumah, situasi sosial maupun perilaku masyarakat hari ini. Model penokohan, adalah moda kritik
Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Kerajaan Mataram Kuno Abad Ix-X M: Kajian Berdasarkan Prasasti Dan Relief Naufal Raffi Arrazaq; Saefur Rochmat
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 21 No. 2 (2020): Agustus
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52829/pw.307

Abstract

Mataram Kuno merupakan salah satu kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang berkembang di Pulau Jawa. Artikel ini bertujuan melakukan kajian kehidupan sosial ekonomi masyarakat Mataram Kuno. Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini ialah historis dengan pendekatan epigrafi. Tahapan penelitian historis terdiri atas pemilihan topik,pengumpulan sumber, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Pendekatan epigrafi dilakukan karena penelitian ini menggunakan data prasasti. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kehidupan sosial masyarakat Mataram Kuno ditandai adanya pembagian golongan masyarakat. Golongan masyarakat tersebut terdiri atas brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Masyarakat Mataram Kuno dalam bidang ekonomi memiliki mata pencaharian di bidang pertanian, perdagangan, kerajinan, dan kesenian. Gambaran aktivitas sosial ekonomi masyarakat dapat diketahui berdasarkan relief Candi Borobudur.
Menelusuri Identitas Simbolik Keindonesiaan Pada Paruh Awal Abad Kedua Puluh Rhoma Dwi Aria Yuliantri
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 21 No. 2 (2020): Agustus
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52829/pw.308

Abstract

Artikel ini mengkaji identitas simbolik ke-Indonesiaan dalam bentuk outfit tampilan sehari-hari pada paruh awal abad ke-20. Terkait hal itu, akan dijabarkan tentang proses terbentuknya identitas keindonesiaan yang disimbolkan dalam tubuh manusia/penampilan fisik dan semua “aksesoris” pada paruh awal abad ke 20. Artikel ini dikaji dengan menggunakan surat kabar sebagai sumber informasi, baik berbentuk artikel, berita, gambar maupun foto dan karya sastra. Dengan konsep identitas sosial kultural, artikel ini menunjukkan bahwa unsur-unsur identitas ke-Indonesiaan disimbolkan melekat pada penampilan fisik menjadi penanda yaitu berupa pakaian, nama diri, dan semua aksesori sebagai strategi dalam memproduksi kualitas-diri yang keindonesiaan.
Review Kritis Genealogi Konseptualisasi Kebudayaan Dan Telaah Pengaturan Kebijakan Kebudayaan Daerah Di Indonesia Nur Rosyid
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 21 No. 2 (2020): Agustus
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52829/pw.309

Abstract

Tulisan ini mencoba membuka implikasi dan tantangan mengenai beragamnya diskursus konsep budaya pada strategi kebudayaan nasional dan daerah. Penelusuran dilakukan melalui penggalian sejarah konseptualisasi kebudayaan untuk mengenali dan memahami apa yang dianggap relevan dan tidak relevan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam penyusunan produk hukum terkait. Penelusuran ulang secara kritis terhadap konseptualisasi kebudayaan dalam sejarah pemikiran di Indonesia diperoleh peta perspektif yang terbagi menjadi dua, yakni: (1) kebudayaan sebagai sistem kognitif berupa konservasi nilai-nilai dan kepribadian, dan (2) kebudayaan sebagai kesenian, dunia kreatif, dan produk pariwisata. Keduanya memiliki implikasi yang cukup jelas terhadap pengelolaan kebudayaan dan redistribusi pengaturan dalam kerangka praktik bernegara di Indonesia.

Page 1 of 1 | Total Record : 8