cover
Contact Name
Arnis Duwita Purnama
Contact Email
jurnal@komisiyudisial.go.id
Phone
+628121368480
Journal Mail Official
jurnal@komisiyudisial.go.id
Editorial Address
Redaksi Jurnal Yudisial Gd. Komisi Yudisial RI Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Yudisial
ISSN : 19786506     EISSN : 25794868     DOI : 10.29123
Core Subject : Social,
Jurnal Yudisial memuat hasil penelitian putusan hakim atas suatu kasus konkret yang memiliki aktualitas dan kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri dan merupakan artikel asli (belum pernah dipublikasikan). Visi: Menjadikan Jurnal Yudisial sebagai jurnal berskala internasional. Misi: 1. Sebagai ruang kontribusi bagi komunitas hukum Indonesia dalam mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil. 2. Membantu tugas dan wewenang Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam menjaga dan menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 249 Documents
IMPLEMENTASI HUKUM PROGRESIF DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN EKOLOGIS Subarkah Subarkah
Jurnal Yudisial Vol 8, No 3 (2015): IDEALITAS DAN REALITAS KEADILAN
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v8i3.59

Abstract

ABSTRAKKekayaan sumber daya alam di Indonesia mencakup keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya merupakan anugerah Tuhan kepada bangsa Indonesia. Demikian juga dengan keanekaragaman suku, agama, dan ras, dari masyarakat Indonesia sehingga membentuk masyarakat plural, yang di dalamnya terdapat tata nilai, norma-norma adat yang berlaku dalam masyarakat, sehingga kebijakan penataannya secara luas melalui konsep berkelanjutan ekologis untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kajian ini membahas Putusan Nomor 04/G/2009/PTUN.Smg jo. Putusan Nomor 103 K/TUN/2010 yang merupakan hasil perlawanan masyarakat Sedulur Sikep atas kebijakan pembangunan pabrik dari PT. SG yang dianggap akan merusak lingkungan hidup, merusak sistem ekologi, dan menghilangkan hak-hak hidup masyarakat Sedulur Sikep yang selama ini hanya bertani sehingga sangat tergantung pada tanah dan air. Kehidupan masyarakat Sedulur Sikep yang tersebar di Kecamatan SukoliloKabupaten Pati memiliki karakteristik yang unik. Oleh karena itu, hal ini sangatlah menarik untuk dikaji lebih mendalam baik secara doktrinal maupun non doktrinal. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah socio-legal study, yang dalam arti hukum tidak sekedar dikonsepsikan sebagai norma dan sekaligus memaknai hukum sebagai perilaku, sehingga penelusuran realitasyang sesungguhnya diharapkan akan dapat diketahui apakah hukum positif yang ada maupun hukum yang lahir dari pola-pola antar subjek dalam masyarakat itumerupakan hukum yang sudah adil atau tidak.Kata kunci: sumber daya alam, hukum progresif, hukum lingkungan, pembangunan berkelanjutan ekologis.ABSTRACTIndonesia is endowed with abundant natural resources and all of the biological diversity, along with the diversity of ethnicity, religion, and race that make up the plural society with prevailing values and customary norms, so that the development policy is through generally by the concept of ecologically sustainable developmentfor the welfare of the Indonesian People. This is an analysis of Court Decision Number 04/G/2009/PTUN.Smg jo. Number 103 K/TUN/2010, which is the result on opposition of the Sedulur Sikep society against the policy of factory construction of PT. SG, deemed to be harmful to the environment, ecological systems, and threaten the rights of the Sedulur Sikep society, who mostly live on farming, and are highly dependent on the soil and water. Community livelihood in Sedulur Sikep located in Sukolilo District of Pati Regency has unique characteristics. Therefore, it is interesting to do a profound analysis either doctrinally or non-doctrinally. The approach used in this analysis is a socio-legal study, which is in the sense that the law is not merely conceived as the norm and it necessarily interprets the law as a behavior. Thus, the exploration of the true reality, is expected to figure out if the existing positive law, as well the law originated from the pattern among the subjects in society has been impartial, or not. Keywords: natural resources, progressive law, environmental law, ecologically sustainable development.
PERKEMBANGAN KEWENANGAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH DAN PERATURAN KEPALA DAERAH Eka NAM Sihombing
Jurnal Yudisial Vol 10, No 2 (2017): EX FIDA BONA
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v10i2.147

Abstract

ABSTRAKPutusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 menyatakan Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terkait dengan kewenangan pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota tidak lagi bisa dibatalkan Menteri Dalam Negeri atau gubernur. Melengkapi putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 menyatakan pemerintah pusat juga tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan pembatalan peraturan daerah provinsi. Putusan tersebut tidak serta merta menyelesaikan persoalan terkait dengan kewenangan pembatalan peraturan daerah, hal ini dikarenakan putusan Mahkamah Konstitusi hanya berlaku bagi peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota. Rumusan masalah yang akan diurai dalam tulisan ini adalah bagaimana kewenangan pembatalan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah oleh Menteri dan gubernur pasca Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUUXIV/2016. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam negara dengan bentuk kesatuan memang sudah sepatutnya pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap regulasi yang lahir di daerah. Implementasi dari pengawasan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pembinaan kepada daerah melalui penguatan executive preview atau pengujian terhadap suatu norma hukum sebelum sah mengikat secara umum, hal ini sejalan dengan ruh ketentuan Pasal 24A UUD NRI 1945.Kata kunci: pembatalan, peraturan daerah, peraturan kepala daerah. ABSTRACTConstitutional Court Decision Number137/PUUXIII/2015 stated in Article 251 of Law Number 23 of 2014 on Local Government related to the issue if regulatory authority annulment of local and leaders regulations can no longer be withdrawn by the Minister of Home Affairs or Governor. Completing the decision, the Constitutional Court through Decision Number 56/PUU-XIV/2016 stated that the Central Government also no longer has the authority to annul the Provincial Regulation. The Constitutional Court Decision does not necessarily solve the problems related to the authority annulment of the local regulations. This is because the Constitutional Court Decision only applies to the Provincial Regulation and District/City Regulation. The formulation of the problems elaborated through this analysis is how the Authority Annulment of Regional Regulation by the Minister and the Governor after the issuance of Court Decision Number 137/PUUXIII/2015 and Constitutional Court Decision Number 56/PUU-XIV/2016. This analysis makes use of the legal juridical normative research method. The results show that in a state of unity it is appropriate that higher levels of government are given the authority to supervise the regulations set in the regions. The supervision can be implemented by conducting such a guidance to the region through the strengthening of executive preview or legal norm review before it is legally binding in general. This is in line with the spirit of Article 24A of the 1945 Constituition of the Republic of Indonesia.Keywords: annulment, local regulation, regional head regulation.
“PEMBANGKANGAN” TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Fajar Laksono Soeroso
Jurnal Yudisial Vol 6, No 3 (2013): PERTARUNGAN ANTARA KUASA DAN TAFSIR
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v6i3.100

Abstract

ABSTRAKMahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga yang berwenang memutus Perselisihan Hasil Pemilu Kepala Daerah (PHPU Kada). Sifat Putusan MK final dan mengikat sehingga semua pihak wajib menaati dan melaksanakannya. Namun dalam faktanya, terdapat Putusan MK yang tidak ditaati dan dilaksanakan. Artinya, ada dugaan pembangkangan terhadap Putusan MK. Sehubungan dengan hal tersebut, tulisan ini hendak menjawab dugaan bahwa Putusan Nomor 153/G/2011/PTUNJKT merupakan bentuk pembangkangan terhadap Putusan MK Nomor 45/PHPU.D.VIII/2010. Hasil analisis menyatakan bahwa Putusan Nomor 153/G/2011/PTUN-JKT secara faktual merupakan bentuk pembangkangan terhadap Putusan MK. Implikasi pembangkangan tersebut meliputi 3 (tiga) hal, yaitu (1) mengacaukan sistem dan tatanan hukum mengingat tidak seharusnya MA melakukan penilaian terhadap Putusan MK, (2) menimbulkan kebuntuan hukum terkait pengangkatan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kotawaringin Barat, dan (3) membuka kembali ruang wacana mengenai adanya rivalitas MA dan MK. Kata kunci: Pemilukada, Putusan PTUN, Putusan Mahkamah Konstitusi.ABSTRACTThe Constitutional Court has the authority to decide the Dispute of Regional Head Election (PHPU Kada). The final and binding nature of the Constitutional Court’s decision has ruled all the parties to comply with and implement. However, there are some of the decisions which are not adhered to and implemented. There is a notion of disobedience to the decision. This analysis would like to elaborate how the Decision Number 452 K/TUN/2012 factually defied against the Constitutional Court’s Decision Number 45/PHPU.D.VIII/2010. For the most part, this analysis resolves that the Decision Number 153/G/2011/PTUN-JKT is factually such a kind of disobedience to that of the Constitutional Court. The implications cover three points; first, the disruption of system and legal order since the Supreme Court should not assess the Constitutional Court’s decision; second, a legal deadlock for the appointment of Regent and Vice Regent of the region of Kobar; and third, the rivalry discourse between the Supreme Court and the Constitutional Court may eventually resurface. Keywords: Head Regional Election, State Administrative Court’s Decision, Constitutional Court’s Decision.
PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KORBAN Farid Wajdi; Imran Imran
Jurnal Yudisial Vol 14, No 2 (2021): SUMMUM IUS SUMMA INIURIA
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v14i2.445

Abstract

ABSTRAK Paling tidak ada tiga kewajiban yang harus dilakukan oleh negara dalam hak asasi nanusia, yaitu menghormati, melindungi, dan memenuhi. Ketiga hal ini wajib dilakukan oleh setiap negara agar negara tidak dianggap sebagai negara yang mengabaikan hak asasi manusia. Dari ketiga hal tersebut menuntut negara untuk menyediakan semua hal baik yang bersifat normatif maupun administratif untuk terpenuhinya kewajiban tersebut, dan jika tidak dilakukan maka negara tersebut dianggap telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Dalam perkara ini apa yang dilakukan oleh para tersangka yang dengan sengaja membunuh empat orang dalam rumah tahanan negara serta menganiaya petugas Lembaga Pemasyarakatan Sleman merupakan perbuatan yang telah melanggar hak asasi manusia, dan terlebih lagi para tersangka merupakan anggota TNI aktif yang saat melakukan pembunuhan para tersangka sedang latihan, dan juga menggunakan senjata latihan untuk membunuh para korban. Dalam putusannya hakim menyatakan bahwa tersangka telah melakukan pembunuhan berencana secara bersama-sama dan telah melanggar perintah dinas, oleh karena itu dihukum dan dipecat dari dinas militer. Dalam perspektif pelanggaran hak asasi manusia dan tanggung jawab negara tidak terlihat begitu jelas yang dipertimbangkan hakim tersebut. Sehingga rumusan masalah dalam tulisan ini adalah bagaimanakah pertimbangan hak asasi manusia oleh hakim dalam putusan ini? Dan bagaimanakah tanggung jawab negara terhadap korban dalam putusan perkara ini? Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif yang memfokuskan kajian pada data sekunder, maka akan terlihat bagaimana sesungguhnya pertimbangan hakim dalam putusan ini. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam putusan perkara ini tidak mempertimbangkan hak asasi manusia, baik pelanggaran hak asasi manusia maupun hak-hak korban.Kata kunci: tanggung jawab negara; impunitas; pengadilan militer; hak asasi manusia. ABSTRACT There are at least three obligations that must be carried out by a state in human rights, namely respecting, protecting, and ful lling. These three things must be done by every state so that the state is not considered as a state that ignores human rights. Of these three things, it requires the state to provide all things both normative and administrative in nature to ful ll these obligations and if those things are not applied then the state is considered to have committed human rights violations. In this case, what were done by the suspects who deliberately killed four people in the state detention house and abused the Sleman prison of cers were acts that had violated human rights and moreover the suspects were active members of the Indonesian military (TNI) who were joining a training when carried out the killings and also used training weapons to kill the victims. In his decision the judge stated that the suspects had committed premeditated murder together and had violated the service order, therefore, they were sentenced and dismissed from military service. From the perspective of human rights violations and state responsibility, it is not clear what the judge was considering. Thus, the issues of this study are: how is the human rights consideration from the judge in this case? And how is the state responsibility to the victims in this case? By using a normative legal research method that focuses on studies on secondary data, it will be seen how the judge’s consideration in this decision is. The result of this study indicates that the decision in this case did not consider human rights, both human rights violations and victims’ rights. Keywords: state responsibility; impunity; military court; human rights.
PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA TERHADAP SATWA LIAR Choky Risda Ramadhan
Jurnal Yudisial Vol 14, No 2 (2021): SUMMUM IUS SUMMA INIURIA
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v14i2.471

Abstract

ABSTRAK Tulisan ini merupakan studi terhadap Putusan Nomor 562/Pid.Sus-Lh/2016/PN.Rgt dan Nomor 563/Pid.Sus-Lh/2016/PN.Rgt. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan tindak pidana yang dilakukan mengancam hilangnya kekayaan keanekaragaman hayati di Indonesia sebagai alasan memperberat. Majelis hakim menjatuhkan pidana penjara empat tahun penjara, lebih lama dari tuntutan jaksa berupa pidana penjara tiga tahun penjara, dan pidana denda seratus juta rupiah, subsidair satu bulan kurungan. Beberapa hal dari putusan tersebut yang menarik untuk dibahas dalam tulisan ini apakah penyidik dapat melakukan pembelian terselubung (undercover buy) untuk mengungkap tindak pidana satwa liar? Bagaimana pengaturan dan implikasi penggunaan keterangan saksi yang berasal dari penyidik sebagai alat bukti di persidangan? Serta bagaimana proporsionalitas penghukuman pada kedua putusan tersebut? Secara umum metode penelitian yang digunakan adalah studi putusan pengadilan, dengan melakukan serangkaian focus group discussion dengan mantan hakim dan jaksa, penyidik yang memeriksa perkara, dan peneliti/aktivis lingkungan hidup. Hasil studi atau kajian menemukan bahwa praktik pembelian terselubung dan penggunaan keterangan saksi penyidik dalam penegakan hukum tindak pidana satwa liar tidak memiliki landasan hukum. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya dasar hukum yang memberikan kewenangan pembelian terselubung kepada penyidik. Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya bahkan membebaskan terdakwa yang dalam pemeriksaan di tingkat pertama mendengarkan keterangan saksi penyidik. Selain itu, hukuman yang diberikan kepada pelaku juga belum proporsional. Ketiadaan pedoman berakibat pada terlalu variatif dan tidak proporsionalnya penggantian pidana denda menjadi pidana kurungan.Kata kunci: tindak pidana satwa liar; pembelian terselubung; saksi penyidik. ABSTRACT This paper is a study of the Court Decision Number 562/Pid.Sus-Lh/2016/PN.Rgt and Number 563/Pid. Sus-Lh/2016/PN.Rgt. In the decisions’ deliberation, the judges stated that because the crime threatened biodiversity in Indonesia, it became aggravating circumstances. The panel of judges sentenced the defendant to four years in prison, longer than the prosecutors who charged the defendant to three years in prison and to pay a fine for one hundred million rupiah, subsidiary to one month in jail. Several interesting things from the decisions that need to be discussed in this paper are: can the investigators do undercover buy to reveal wildlife crime? What is the rule and implication of using witness testimony from the investigators as evidence at trial? And how is the proportionality of the sentence in both decisions? Generally, the method used for this research is to study court decisions with former judges and procecutors, investigators who examined the case, and researchers/environmental activists. The study found that the practice of undercover buy and the use of witness testimony from the investigators did not have legal basis. There is no legal basis that gives the authority to the investigators to do the undercover buy. The Supreme Court in several of its decisions even acquitted the defendants who in the examination at the rst level listened to the testimony from investigators. Moreover, the sentence which was given to the defendant is not proportional. The absence of a guideline makes it too varied and disproportionate to the replacement of ne into con nement. Keyword: wildlife crime; undercover buy; investigator as a witness.
MUATAN HAK ASASI MANUSIA DAN MORAL HUKUM PUTUSAN HAKIM DALAM PERSPEKTIF MAQASID AL-SYARI’AH Hanif Fudin Azhar
Jurnal Yudisial Vol 14, No 2 (2021): SUMMUM IUS SUMMA INIURIA
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v14i2.457

Abstract

ABSTRAK Fokus penelitian adalah aktualisasi muatan hak asasi manusia dan keadilan sebagai moral hukum yang diakomodasi melalui perspektif maqāṣid al-syarī’ah, dalam menguatkan anasir pemikiran hakim untuk mewujudkannya melalui putusan hukumnya. Adapun objek riset adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 7P/HUM/2020 terkait judicial review Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Apakah putusan a quo mengakomodasi agenda hak asasi manusia dan keadilan sebagai moral hukum yang notabene terakomodasi oleh perspektif maqāṣid al-syarī’ah? Metode penelitian ini adalah yuridis-normatif, yang bersumber dari bahan primer yaitu putusan a quo dan pemikiran Jasser Auda tentang maqāṣid al-syarī’ah, serta bahan sekunder dari beberapa referensi terkait. Tujuan penelitian adalah upaya aktualisasi muatan hak asasi manusia serta keadilan sebagai moral hukum dalam kerangka maqāṣid al-syarī’ah terhadap putusan a quo. Putusan a quo dinilai nir-signifikasi maqāṣid al-syarī’ah. Hal tersebut mengingat lingkup putusan a quo adalah hukum in concreto yang dinilai sebagai upaya positivasi aktual atas norma moral dalam masyarakat. Karena itu, muatan normanya menjunjung tinggi moral serta memperhatikan nilai-nilai hukum dan prinsip kemanusiaan. Penelitian menyimpulkan bahwa putusan a quo adalah wujud keadilan sebagai moral hukum, karena memuat penjaminan hak asasi manusia sebagai amanat konstitusi, sepanjang mendasarkan pada pertimbangan aspek yuridis, sosiologis, teoritis, dan historis secara inklusif, nilai-nilai hukum, serta ajaran maqāṣid al-syarī’ah. Kata kunci: maqāṣid al-syarī’ah; hak asasi manusia; jaminan kesehatan; moral hukum.  ABSTRACT The study focuses on the actualization of justice and human rights content as the moral basis of law that is accommodated through the maqāṣid al-syarī’ah perspective in strengthening the judges’ thought elements to manifest it through their legal decisions. The research’s object is the Supreme Court Decision Number 7P/ HUM/2020 regarding the judicial review of Presidential Regulation Number 75 of 2019 concerning Health Insurance. Does the decision accommodate the agenda of human rights and justice as the moral basis of law which in fact has been accommodated by the maqāṣid al-syarī’ah perspective? The method used in this research is juridical-normative which originated from primary materials, namely the aforesaid decision and Jasser Auda’s thought on maqāṣid al-syarī’ah, as well as secondary materials that are several related references. The study aims as an effort of the actualization of justice and human rights content as the moral basis of law in the maqāṣid al- syarī’ah framework towards the decision. The decision is considered as inadequate maqāṣid al-syarī'ah. Because the scope of the decision is a concrete law which is perceived as an effort of actual positivism of moral norms in society. Accordingly, its norms content upholds the moral values as well as notice of legal and humanity principle. The research concludes that the decision is a form of justice as moral basis of law because it includes human rights guarantee as a constitutional mandate as long as it depends on considerations of juridical, sociological, theoretical, and historical aspects inclusively, legal principles, also the doctrine of maqāṣid al-syarī’ah. Keywords: maqāṣid al-syarī’ah; human rights; health insurance; legal morality.
URGENSI KEJELASAN RUMUSAN MENGENAI KEMENTERIAN/LEMBAGA YANG MENGELUARKAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA Puteri Anggun Amirillis; Anna Erliyana
Jurnal Yudisial Vol 14, No 2 (2021): SUMMUM IUS SUMMA INIURIA
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v14i2.460

Abstract

ABSTRAK Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 446 K/TUN/2017 mengabulkan permohonan pemohon, di mana putusan kasasi tersebut membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan Nomor 85/B/2017/PT.TUN.MDN (PT TUN Medan) dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi Nomor 20/G/2016/PTUN.JBI (PTUN Jambi). Putusan kasasi menyatakan bahwa objek sengketa berupa Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan bukan merupakan putusan pengadilan tata usaha negara. Sedangkan pada Putusan PTUN Jambi dan Putusan PT TUN Medan tidak mempermasalahkan hal tersebut. Hasil Putusan PTUN Jambi dan PT TUN Medan dicabut oleh Mahkamah Agung. Hal ini tentu merupakan akibat dari ketidakjelasan rumusan mengenai kementerian/lembaga yang mengeluarkan keputusan berupa Keputusan Tata Usaha Negara. Untuk itu rumusan masalah pada penelitian ini yaitu: bagaimanakah urgensi kejelasan rumusan mengenai kementerian/lembaga yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara? Bentuk penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu dengan menganalisis Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 446 K/TUN/2017. Kesimpulan yang didapat adalah merupakan suatu hal yang urgen untuk membuat kejelasan rumusan mengenai kementerian/lembaga yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara pada peraturan perundang-undangan, agar tidak ditemui kembali pencabutan putusan judex facti oleh Mahkamah Agung karena perbedaan penafsiran mengenai kementerian/lembaga yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara. Selama belum ada pengaturan tersebut, permasalahan mengenai objek pemeriksaan pengadilan tata usaha negara akan selalu menjadi bahan perdebatan yang tidak akan pernah berhenti.Kata kunci: keputusan tata usaha negara; laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan; teori spannungsverhaltnis; asas kejelasan rumusan; peraturan perundang-undangan. ABSTRACT The Supreme Court Decision Number 446 K/TUN/2017 granted the Petitioner’s request in which the Decision annulled the Medan State Administrative High Court (PT TUN Medan) Decision Number 85/B/2017/PT.TUN. MDN and the Jambi State Administrative Court Decision Number 20/G/2016/PTUN.JBI (PTUN Jambi). The Decision rules that the object of the dispute in the form of the Supreme Audit Agency Audit Report is not a state administrative court decision. Meanwhile, the PTUN Jambi Decision and the PT TUN Medan Decision do not discuss that issue. The PTUN Jambi and the PT TUN Medan Decisions were revoked by the Supreme Court. Obviously, this is a result of vague regulations regarding a ministry/agency that issues decisions in the form of State Administrative Decision. Accordingly, the formulation of the problem in this study is: how is the urgency the clarity of the formula regarding a ministry/agency that issues State Administrative Decision? This research uses normative juridical method, namely by analyzing the Supreme Court’s Cassation Decision Number 446 K/ TUN/2017. The study concludes that it is urgent to compose the clarity of the formula regarding a ministry/agency that issues State Administrative Decision, so that the Supreme Court will not annul a judex facti decision on the ground of different interpretation about a ministry/agency that issues State Administrative Decision. As long as such regulation does not exist, the issue related to the object of examination by the state administrative courts will always be debatable. Keywords: state administrative decision; the Supreme Audit Agency audit report; spannungsverhaltnis theory; the principle of clarity of formulation; statutory regulation.
EKSISTENSI JALUR NON KARIER DALAM SELEKSI HAKIM AGUNG Tabah Sulistyo
Jurnal Yudisial Vol 14, No 2 (2021): SUMMUM IUS SUMMA INIURIA
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v14i2.478

Abstract

ABSTRAK Perbedaan pandangan atas bagian pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XIV/2016 terkait Mahkamah Agung sebagai penentu latar belakang pendaftar yang boleh mengikuti proses seleksi hakim agung, mengerucut pada pertanyaan apakah pertimbangan tersebut merupakan ratio decidendi yang mengikat atau obiter dicta yang dapat dikesampingkan. Dalam surat permintaan Mahkamah Agung, latar belakang pendaftar untuk kamar selain tata usaha negara, dimintakan berasal dari hakim karier. Pada pelaksanaannya Komisi Yudisial tetap menerima jalur non karier untuk semua kamar hakim agung, karena Komisi Yudisial tidak merasa terikat dengan bagian pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi a quo. Diskursus utama dalam kasus a quo adalah permasalahan keberadaan jalur non karier dalam seleksi hakim agung, dalam bingkai civil law yang notabene menganut sistem karier. Permasalahan kedua dari kasus ini adalah kedudukan pertimbangan tersebut, apakah sebagai ratio decidendi atau sebagai obiter dicta. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XIV/2016 dipilih secara sengaja (purposive) dikarenakan putusan tersebut membahas keberadaan jalur non karier dalam proses seleksi hakim agung. Penelitian ini adalah penelitian hukum normative, untuk menghasilkan rekomendasi preskriptif analitis, data sekunder yang digunakan dianalisis secara kualitatif untuk menawarkan solusi atas permasalahan metode seleksi hakim agung, serta memberikan solusi atas permasalahan mengikat atau tidaknya pertimbangan Mahkamah Konstitusi. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa pertimbangan Mahkamah Konstitusi a quo hanya bersifat obiter dicta, karena bukan menyangkut pokok perkara yang diujikan, sehingga pertimbangan Mahkamah Konstitusi itu tidak mengikat, bahkan akibat hukumnya tidak memengaruhi kewenangan Komisi Yudisial baik secara teori maupun praktiknya.Kata kunci: jalur non karier; obiter dicta; ratio decidendi.ABSTRACTPart of the consideration of the Constitutional Court Decision Number 53/PUU-XIV/2016 has led to a dispute regarding the role of the Supreme Court to determine the background of the candidates who can join the selection process for Supreme Court justice. A question then emerges whether this consideration is a binding ratio decidendi or obiter dicta that can be disregarded. In the Supreme Court letters regarding vacancy of Supreme Court justices stated that except for the administrative chamber, the candidates are determined to be from judges (career path). In practice, the Judicial Commission continues to accept candidates from professional/non career paths for all chambers because Judicial Commission does not perceive the consideration as binding. The main problem discussed in this case is the existence of a professional path in the selection for Supreme Court justice within the civil law framework which in fact adheres to a career system. The second issue of this case is whether the consideration is a ratio decidendi or just an obiter dicta. The Decision Number 53/ PUU-XIV/2016 is intentionally chosen since it discusses the existence of a professional path in the Supreme Court justice selection process. This study is a normative legal research to produce prescriptive analytic recommendation, where all secondary data were qualitatively analyzed to offer a solution to a problem in the Supreme Court justice selection method as well as a solution to the question whether the aforementioned consideration is binding or not. The study concludes that the aforesaid consideration of the Constitutional Court Decision is only an obiter dicta since it is irrelevant to the main problem which was reviewed. Therefore, the consideration is not binding, even its legal consequence does not affect the authority of Judicial Commission both theoretically and practically. Keywords: professional path; obiter dicta; ratio decidendi.
PENETAPAN NAFKAH ‘IDDAH MELALUI HAK EX OFFICIO BAGI ISTRI NUSYUZ Mansari Mansari; Zahrul Fatahillah
Jurnal Yudisial Vol 14, No 2 (2021): SUMMUM IUS SUMMA INIURIA
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v14i2.432

Abstract

ABSTRAK Istri yang nusyuz terhadap suami atau tidak melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai istri bagi suaminya, tidak berhak mendapatkan nafkah ‘iddah. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 149 huruf b jo. Pasal 152 Kompilasi Hukum Islam. Berbeda halnya dengan Putusan Nomor 6/Pdt.G2020/MS.Lsm yang memberikan nafkah ‘iddah bagi istri yang nusyuz. Bagaimana tinjauan yuridis terhadap pemberian nafkah bagi istri nusyuz dalam Putusan Nomor 6/Pdt.G2020/MS.Lsm, dan bagaimana konsekuensi yuridis terhadap dari Putusan Nomor 6/Pdt. G2020/MS.Lsm? Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara komprehensif terkait pemberian nafkah ‘iddah kepada istri nusyuz, dan menganalisis dalam perspektif yuridis terhadap putusan tersebut. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif yang bertujuan menganalisis terhadap persoalan dalam kajian ini, dengan menggunakan asas-asas hukum, norma, dan doktrin dalam ilmu hukum. Hasil penelitian menunjukkan pemberian nafkah ‘iddah dalam Putusan Nomor 6/Pdt.G2020/MS.Lsm tidak tepat, karena dalam kasus tersebut nusyuz, sehingga gugur haknya memperoleh nafkah ‘iddah. Selain itu, bertentangan pula dengan Kompilasi Hukum Islam karena memberikan nafkah ‘iddah bagi istri nusyuz. Putusan tersebut tidak menguraikan pertimbangan membebankan nafkah ‘iddah terhadap suami secara sistematis dan logis. Konsekuensi yuridis dari putusan tersebut adalah dapat diajukan banding oleh suami. Bila tidak mengajukannya, maka putusan tersebut wajib dijalankan karena setiap putusan wajib dengan dianggap benar sesuai dengan prinsip res judicata pro veritate habetur.Kata kunci: nafkah ‘iddah; nusyuz; kewajiban suami istri. ABSTRACT A nusyuz wife or a wife who doesn’t carry out her duties and obligations to her husband is not entitled to earn ‘iddah alimony. This is con rmed in Article 149 letter b jo. Article 152 of the Compilation of Islamic Law. It is contrary to the judge’s Decision Number 6/Pdt.G2020/MS.Lsm, which provides iddah alimony for the nusyuz wife. How is the juridical perspective to the alimony given to the nusyuz wife in the Decision Number 6/Pdt. G2020/MS.Lsm, and how is the juridical consequence from the Decision Number 6/Pdt.G2020/MS.Lsm? This study aims to analyze comprehensively regarding a distribution of ‘iddah alimony to the nusyuz wife, and to analyze the juridical perspective of the aforementioned decision. This study uses normative juridical research which aims to analyze the problems in this study by using legal principles, norms, and doctrines of legal science. The result of the study shows a giving of ‘iddah alimony on the Decision Number 6/Pdt.G2020/MS.Lsm is inappropriate, because of nusyuz, the wife’s rights to earn ‘iddah alimony has vanished. In addition, it also contradicts with the Compilation of Islamic Law by giving ‘iddah alimony to the nusyuz wife. The decision doesn’t decipher the systematic and logical consideration to stipulate that the husband must give ‘iddah alimony. The juridical consequence of the decision is it can be appealed by the husband. If he doesn’t appeal, accordingly the decision must be enforced because it is an obligation to perceive every decision as correct in accordance with res judicata pro veritate habetur principle. Keywords: ‘iddah alimony; nusyuz (desertion); obligation as husband and wife.
NEGARA: ANTARA PENGUSAHA TAMBANG DAN TAMBANG RAKYAT Derita Prapti Rahayu; M Shidqon Prabowo; Faisal Faisal
Jurnal Yudisial Vol 14, No 2 (2021): SUMMUM IUS SUMMA INIURIA
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v14i2.492

Abstract

ABSTRAKTulisan ini dilatarbelakangi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010, yang merupakan putusan mengenai uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Substansi yang krusial dalam putusan tersebut adalah telah membatalkan bunyi Pasal 52 ayat (1) yang mengatur mengenai luas wilayah izin usaha pertambangan seluas 5.000 hektare tidak berlaku lagi, di mana konsekuensinya untuk wilayah izin usaha pertambangan tidak memiliki luas minimal untuk ditambang. Permasalahan yang akan dibahas adalah pertama, bagaimanakah akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010? Kedua, bagaimanakah arah keberpihakan negara melalui putusan ini? Permasalahan akan dianalisis menggunakan metode hukum normatif, dengan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum tersier. Hasil analisis menemukan bahwa akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 antara lain, menjadi tidak ada bedanya antara luas wilayah minimal bagi wilayah izin usaha pertambangan dan wilayah pertambangan rakyat. Arah keberpihakan negara melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 dinilai lebih berpihak pada pengusaha tambang, karena melalui putusan ini ada ketidakcermatan hakim terkait kata “rakyat” yang dimaksud lebih mengarah pada pengusaha tambang, bukan penambang rakyat. Putusan ini posisi negara membingungkan, membela hak rakyat atau membela hak pengusaha. Dengan tidak adanya minimal luas wilayah untuk usaha pertambangan. akan semakin menjadi tidak jelas perbedaan tambang rakyat dan usaha pertambangan, di luar juga terkait dampak lingkungan.Kata kunci: wilayah izin usaha pertambangan; izin pertambangan rakyat; wilayah pertambangan rakyat; tambang timah inkonvensional. ABSTRACT This writing is inspired by the Constitutional Court Decision Number 25/PUU-VIII/2010, which is the decision towards the judicial review of Law Number 4 of 2009 concerning Mineral and Coal Mining. The crucial substance in the decision is it annuls Article 52 paragraph (1) which regulates the range of the concession area of mining business for 5,000 hectares is invalid. As a result, the concession area of mining business doesn’t have a minimum range area for mining activities. The problems that will be discussed are rst, what are the legal consequences from the Constitutional Court Decision Number 25/PUU-VIII/2010? Second, what direction does the state stand through this decision? The problems will be analyzed using normative legal methods with secondary data consisting of primary and tertiary legal materials. The analysis nds that the legal consequences of the Constitutional Court Decision Number 25/PUU-VIII/2010, among others, there is no distinction between the minimum range area for the concession area of mining business and the people mining area. The state position tendency through the Constitutional Court Decision Number 25/PUU-VIII/2010 is considered more likely in favor of mining entrepreneurs. There is a judge’s inaccuracy in the decision regarding the word “people” which tends to point to the mining entrepreneurs, not the people miners. The state position in this decision is ambiguous, whether it stands for the people’s rights or the entrepreneurs’ rights. With the absence of the minimum range area requirement for mining business, it becomes more obscure of the difference between people mining and corporate mining, likewise the environmental impact. Keywords: concession area of mining business; concession of people mining; area for people mining; unconventional stannary.

Filter by Year

2010 2023


Filter By Issues
All Issue Vol. 16 No. 1 (2023): - Vol 15, No 3 (2022): BEST INTEREST OF THE CHILD Vol 15, No 2 (2022): HUKUM PROGRESIF Vol 15, No 1 (2022): ARBITRIO IUDICIS Vol 14, No 3 (2021): LOCUS STANDI Vol 14, No 2 (2021): SUMMUM IUS SUMMA INIURIA Vol 14, No 1 (2021): OPINIO JURIS SIVE NECESSITATIS Vol 13, No 3 (2020): DOCUMENTARY EVIDENCE Vol 13, No 2 (2020): VINCULUM JURIS Vol 13, No 1 (2020): REASON AND PASSION Vol 12, No 3 (2019): LOCI IMPERIA Vol 12, No 2 (2019): ACTA NON VERBA Vol 12, No 1 (2019): POLITIK DAN HUKUM Vol 11, No 3 (2018): PARI PASSU Vol 11, No 2 (2018): IN CAUSA POSITUM Vol 11, No 1 (2018): IUS BONUMQUE Vol 10, No 3 (2017): ALIENI JURIS Vol 10, No 2 (2017): EX FIDA BONA Vol 10, No 1 (2017): ABROGATIO LEGIS Vol 9, No 3 (2016): [DE]KONSTRUKSI HUKUM Vol 9, No 2 (2016): DINAMIKA "CORPUS JURIS" Vol 9, No 1 (2016): DIVERGENSI TAFSIR Vol 8, No 3 (2015): IDEALITAS DAN REALITAS KEADILAN Vol 8, No 2 (2015): FLEKSIBILITAS DAN RIGIDITAS BERHUKUM Vol 8, No 1 (2015): DIALEKTIKA HUKUM NEGARA DAN AGAMA Vol 7, No 3 (2014): LIBERTAS, JUSTITIA, VERITAS Vol 7, No 2 (2014): DISPARITAS YUDISIAL Vol 7, No 1 (2014): CONFLICTUS LEGEM Vol 6, No 3 (2013): PERTARUNGAN ANTARA KUASA DAN TAFSIR Vol 6, No 2 (2013): HAK DALAM KEMELUT HUKUM Vol 6, No 1 (2013): MENAKAR RES JUDICATA Vol 5, No 3 (2012): MERENGKUH PENGAKUAN Vol 5, No 2 (2012): KUASA PARA PENGUASA Vol 5, No 1 (2012): MENGUJI TAFSIR KEADILAN Vol 4, No 3 (2011): SIMULACRA KEADILAN Vol 4, No 2 (2011): ANTINOMI PENEGAKAN HUKUM Vol 4, No 1 (2011): INDEPENDENSI DAN RASIONALITAS Vol 3, No 3 (2010): PERGULATAN NALAR DAN NURANI Vol 3, No 2 (2010): KOMPLEKSITAS PUNITAS Vol 3, No 1 (2010): KORUPSI DAN LEGISLASI More Issue