cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Majalah Anestesia dan Critical Care
ISSN : -     EISSN : 25027999     DOI : -
Core Subject : Health,
Majalah ANESTESIA & CRITICAL CARE (The Indonesian Journal of Anesthesiology and Critical Care) is to publish peer-reviewed original articles in clinical research relevant to anesthesia, critical care, and case report . This journal is published every 4 months (February, June, and October) by Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN).
Arjuna Subject : -
Articles 9 Documents
Search results for , issue " Vol 34 No 1 (2017): Februari" : 9 Documents clear
Pengaruh Eksorotasi Tungkai Bawah terhadap Jarak Saraf Femoralis dan Arteri Femoralis: Observasi dengan Panduan Ultrasonografi Tantri, Aida Rosita; Satoto, Darto; Hirda, Reni
Majalah Anestesia dan Critical Care Vol 34 No 1 (2017): Februari
Publisher : Perdatin Pusat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Teknik blok saraf femoralis menggunakan stimulator saraf merupakan teknik yang sering digunakan di Indonesia. Terdapat perbedaan anatomi antara ras Melayu dengan ras Kaukasoid dan ras Mongoloid sehingga menyebabkan perbedaan landmark jarak saraf femoralis ke arteri femoralis untuk blok saraf femoralis. Penelitian ini mengobservasi pengaruh eksorotasi tungkai bawah terhadap jarak saraf femoralis dan arteri femoralis pada lipatan inguinalis dengan panduan ultrasonografi pada ras Melayu. Studi potong lintang pada pasien bedah elektif di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta dilakukan selama Februari 2016. Ultrasonografi dua dimensi digunakan untuk mendapatkan gambaran saraf femoralis pada empat posisi kedua tungkai bawah yaitu: eksorotasi tungkai bawah 0o, 15o, 30o dan 45o. Jarak saraf ke arteri dan jarak saraf ke kulit pada setiap sudut dibandingkan. Data dianalisis dengan uji T dan uji Anova. Terdapat perbedaan bermakna jarak saraf femoralis dan arteri emoralis pada berbagai derajat eksorotasi 0o, 15o, 30o, dan 45o pada kaki kanan maupun kaki kiri (p<0,001). Tidak ada perbedaan jarak saraf femoralis ke arteri femoralis antara kaki kanan dan kaki kiri pada semua derajat eksorotasi. Tidak ada perbedaan bermakna jarak saraf femoralis ke kulit pada semua sudur eksorotasi tungkai bawah. Pada ras Melayu, semakin besar sudut eksorotasi tungkai bawah semakin jauh jarak saraf femoralis ke arteri femoralis. Kata Kunci: Arteri femoralis, eksorotasi tungkai bawah, saraf femoralis, ras melayu, ultrasonografi The Effect of Lower Extremity Exorotation on the Distance Between the Femoral Nerve and the Femoral Artery an Observational Study Using Ultrasound Guidance   Femoral nerve block with nerve stimulation guidance technique is a common technique in Indonesia. Malayan race has a different landmark anatomy used in femoral nerve block with Caucasian and Mongoloid races, thus Malayan race has a different femoral nerve-femoral artery distance from other races. This study observed the effect of lower extremity exorotation on the femoral nerve-the femoral artery Malayan race. A cross-sectional study on 30 elective surgery patients in Cipto Mangunkusumo Hospital was done in February 2016. Two-dimensional ultrasonographic images of the femoral nerve were obtained by ultrasound guidance in the inguinal crease in four positions of the bilateral lower extremities: 0°, 15°, 30°and 45° exorotation of each extremity. Nerve to artery There were significant differences of the femoral nerve-femoral artery distance at all exorotation angles (0o, 15o, 30o and 45o) in both feet (p<0.001). There was no significant difference of femoral nerve-femoral artery distance between the right foot and the left foot in all measurements. There was no significant difference of femoral nerve-skin distance at all exorotation angles.In Malayan race, the greater the degrees of lower extremity exorotation resulted in the greater  distance of the femoral nerve to the femoral artery. Key words: Femoral artery, femoral nerve, lower extremity exorotation, Malayan race, ultrasonography
Tatalaksana Sulit Jalan Napas pada Pasien dengan Tumor Hipofaring Rahendra, Rahendra
Majalah Anestesia dan Critical Care Vol 34 No 1 (2017): Februari
Publisher : Perdatin Pusat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tumor pada jalan napas bisa menyebabkan masalah dan bisa juga tidak pada manajemen jalan napas, hal ini tergantung pada lokasi, ukuran, jenis, dan karakteristik tumor tersebut. Kesulitan dalam jalan napas akan sering dihadapi oleh setiap dokter anestesia. American Society of Anestesiologists (ASA) telah membuat algoritma manajemen jalan napas sulit untuk memfasilitasi dokter anestesia dalam menghadapi kondisi ini. Laporan kasus ini membahas tentang pasien wanita berusia 56 tahun dengan tumor hipofaring yang akan menjalani operasi biopsi tumor, kemudian terjadi perdarahan saat akan dilakukan intubasi hingga diperlukan tindakan trakeostomi darurat. Pasien akhirnya dapat diselamatkan dan kembali beraktifitas normal. Perencanaan yang matang dan pelaksanaan yang tepat selama perioperatif terutama berkaitan dengan manajemen jalan napas akan menghasilkan hasil yang baik bagi kesehatan dan keselamatan pasien. Kata kunci : American Society of Anestesiologists (ASA), kesulitan jalan napas, tumor hipofaring   Management of Difficult Airway in Patient with Hypopharyngeal Tumor  Tumors in the airway may or may not cause problems on the airway management. The magnitude of the problems depend on location, size, type, and characteristics of the tumor. Difficulties in the airway are frequently encountered by every anesthesiologist. ASA and DAS have made algorithm of difficult airway management to facilitate anesthesiologist facing these conditions. This case report discusses a 56 years old female patient with hypopharyngeal tumor undergoing a biopsy surgery. Profuse bleeding was encountered during intubation attempt indicating necessary for emergency tracheostomy. Eventually patients can be saved and returned to normal activity. Careful planning and proper execution of every perioperative aspects especially airway management during perioperative period will produce good results for the health and safety of the patients. Key words : American Society of Anestesiologists (ASA), difficult airway, hypopharyngeal tumor
Hubungan antara Kelebihan Cairan dengan Meningkatnya Angka Mortalitas Pasien Sepsis yang Dirawat di Ruang Intensive Care Unit (ICU) Lestari, Mayang Indah; Puspita, Yusni; Zulkifli, Zulkifli; Maas, Endang Melati
Majalah Anestesia dan Critical Care Vol 34 No 1 (2017): Februari
Publisher : Perdatin Pusat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Terapi cairan merupakan landasan penting dalam merawat pasien kritis di intensive care unit (ICU), termasuk pasien sepsis. Terapi liberal dan goal-directed dianjurkan untuk mencapai tekanan arteri rata-rata lebih dari 65 mmHg pada tahap awal syok. Meskipun demikian, resusitasi cairan berlebihan meningkatkan tekanan hidrostatik mikrovaskular dan dapat menyebabkan akumulasi cairan interstitial. Resusitasi cairan yang memanjang berhubungan dengan kelebihan cairan dan meningkatkan mortalitas. Penelitian ini bertujuan untuk menilai seberapa besar hubungan antara kelebihan cairan dan angka mortalitas. Melalui studi case control, data dikumpulkan secara retrospektif dari Desember 2013 berdasarkan rekam medik di ICU RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang sampai jumlah sampel tercukupi. Subjek penelitian adalah pasien sepsis berat dan syok septik yang mendapat resusitasi early goal directed therapy. Enam puluh subjek yang memenuhi kriteria yang dibagi menjadi kelompok survivors dan non-urvivors. Kelompok non survivors ditemukan lebih banyak dengan kelebihan cairan ≥10% (73,3%) dibanding dengan kelebihan cairan <10% (26,7%). Sedangkan pada kelompok survivors ditemukan lebih banyak dengan kelebihan cairan <10% (66,7%) dibanding dengan kelebihan cairan ≥10% (33,3%). Pasien sepsis berat dan syok septik yang memiliki kelebihan cairan ≥10% mempunyai risiko kematian 5,5 kali lebih besar dibanding dengan kelebihan cairan <10%. Kata kunci: Kelebihan cairan, liberal, mortalitas, pasien sepsis Observational Analytic Study: Fluid Overload Increases Mortality Rate of Sepsis Patients in Intensive Care Unit (ICU) Fluid therapy is an important cornerstone of treating critically ill patients in ICU, including sepsis patients. In early stage of shock, liberal and goal-directed therapy is mandated to achive mean arterial pressure over 65 mmHg. Nevertheless, over resuscitation increases microvascular hydrostatic pressure and may promote interstitial fluid accumulation. Prolonged fluid resuscitation has a close relationship to fluid overload and high mortality rate. The aim of this study was to assess the relationship between fluid overload and mortality rate. The data were retrospectively collected using case control study since December 2013 based on medical records in ICU Dr Mohammad Hoesin General Hospital Palembang until the sample sufficient. Subjects included in this study were those who diagnosed as severe sepsis and septic shock who undergone early goal directed therapy for resuscitation. There were sixty subjects included for both survivors and non-survivors group. Non-survivors group have more fluid overload >10% (73,3%) compared with <10% (26.7%). While survivors group have have more fluid overload <10% (66.7%) compared with >10% (33.3%). Severe sepsis and septic shock patients who have fluid overload >10% has risk 5,5 times to death compared with <10%. Key words: Fluid overload, liberal, mortality, sepsis  
Gambaran Dokumentasi Penilaian Nyeri pada Pasien Anak di Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Afifah, Shofura; Prayoga, Stanza Uga; Yadi, Dedi Fitri
Majalah Anestesia dan Critical Care Vol 34 No 1 (2017): Februari
Publisher : Perdatin Pusat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penilaian nyeri merupakan langkah penting dalam manajemen nyeri, tetapi dokumentasi nyeri yang tidak memadai serta oligoanalgesia pada pasien anak di Instalasi Gawat Darurat (IGD) masih dilaporkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan dokumentasi penilaian nyeri pada pasien anak di IGD Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung serta menggambarkan penggunaan analgesik berdasarkan skor nyeri. Penelitian ini merupakan studi lintang potong retrospektif yang dilakukan pada subjek rekam medis 625 pasien berusia 0–18 tahun yang berkunjung ke IGD RSHS selama periode Januari–Maret 2015. Variabel yang diambil adalah usia, jenis kelamin, jenis kunjungan, alasan kunjungan, status triase, diagnosis pasien, dan pemberian analgesik. Hasil penilaian nyeri menggunakan skala Wong Baker FACES, 61,6% pasien anak didokumentasikan skor nyerinya. Pasien obstetri dan ginekologi (0,8%), pasien klasifikasi darurat (10,4%), pasien bayi (19,7%), dan pasien dengan alasan berkunjung nyeri (24,2%) menunjukkan dokumentasi skor nyeri yang lebih rendah pada kelompok kategorinya. Dari setiap pasien yang didokumentasikan nyerinya, 45,9% menerima analgesik. Pasien yang tidak didokumentasikan penilaian nyerinya menerima analgesik paling sedikit (21,2%). Analgesik yang digunakan di IGD adalah NSAID (41,6%), parasetamol (29,7%), analgesik tidak spesifik (27,6%), dan opioid (1,1%). Dokumentasi penilaian nyeri pada pasien anak IGD RSHS masih suboptimal. Perlu dilakukan peningkatan dokumentasi penilaian nyeri untuk memperbaiki manajemen nyeri. Kata kunci: Analgesia, emergensi, pediatrik, skor nyeri   Pain Assessment Documentation of Pediatric Patients in Emergency Department, Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung Pain is a subjective experience and difficult to quantify in children. Pain assessment is an important step in pain management, but inadequate pain score documentation and oligoanalgesia in Pediatric emergency patients are still reported. The objective of this research was to describe pain score documentation of pediatric patients in the Emergency Department (ED) of Dr. Hasan Sadikin General Hospital and to describe analgesic use based on documented pain score. This was a retrospective cross-sectional study conducted on the medical record of 625 patients aged 0–18 years old who visited the ED during the period of January–March 2015. Variables taken were age, sex, type of visit, reason for visit, triage classification, patient diagnosis, and analgesic use. Based on pain assessment using Wong Baker FACES scale, 61.6% of visits had documented pain score. Patients visiting theobstetrics and gynecology ED (0,8%), emergency-classified patients (10,4%), infant patients (19,7%), and visits designated as painful (24,2%) exhibited lower pain score documentation in each category. Of every patient who reported pain, 45,9% received analgesics. Patients who presented with no documented pain assessment received the least amount of analgesics (21,2%). Analgesics used in the ED were NSAID (41,6%), paracetamol (29,7%), unspecified analgesics (27,6%), and opioid (1,1%). Pain assessment documentation in Dr. Hasan Sadikin General Hospital ED stands suboptimal. Inadequate analgesic prescription of pediatric patients was found. Pain score documentation needs to be improved. Key words: Analgesia, emergency, pain score, pediatrics
Perbandingan Keberhasilan Insersi Kanul Intravena antara Penggunaan dan Tanpa Penggunaan Penampil Vena pada Pasien Pediatrik Perdana, Aries; Kapuangan, Christopher; Alantas, Anas; Manggala, Sidharta Kusuma; Wardhani, Yosi Dwi
Majalah Anestesia dan Critical Care Vol 34 No 1 (2017): Februari
Publisher : Perdatin Pusat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Insersi kanul intravena pada bayi, balita atau anak-anak cukup sulit karena kecilnya ukuran pembuluh darah vena dan lokasinya yang dalam di jaringan subkutis. Kesalahan insersi kanul intravena cenderung terjadi pada kasus difficult venous access (DVA). Penelitian ini membandingkan keberhasilan insersi kanul intravena dengan atau tanpa penggunaan penampil vena pada pasien pediatrik. Setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik FKUI/RSCM dan konsen dari pasien, dilakukan penelitian uji klinis acak tidak tersamar pada 88 sampel pasien pediatrik. Pasien dirandomisasi menjadi dua kelompok, pada kelompok 1 dilakukan insersi kanul intravena tanpa penampil vena, sedangkan kelompok 2 dilakukan insersi kanul intravena dengan penampil vena. Data yang terkumpul diuji dengan uji Chi-square. Insersi kanul intravena sekali tusuk dengan penampil vena keberhasilannya 3,095 kali lebih besar dibanding dengan tanpa penampil vena (p<0,05). Insersi kanul intravena sekali tusuk pada pasien dengan status gizi kurang-buruk memiliki angka keberhasilan 0,285 kali dibanding dengan status gizi normal lebih (p<0,05). Usia memiliki hubungan signifikan terhadap insersi kanul intravena (p<0,05). Keberhasilan insersi kanul intravena sekali tusuk dengan menggunakan penampil vena lebih baik dibanding dengan tanpa penampil vena. Keberhasilan insersi kanul intravena memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi dan usia. Kata kunci: Difficult venous access, kanul intravena, penampil vena, status gizi Comparison of Successful Vein Cannula Insertion between Using Vein Viewer and without Vein Viewer in Pediatric Patients Vein cannula insertion in infants, toddlers, or children is quite difficult because of the size and location of their veins. Wrong vein cannula insertion are prone to happen in Difficult Venous Access (DVA) cases. This research is comparing the successful vein cannula insertion between using vein viewer and without vein viewer in pediatric patients. After obtained the ethical approval from Ethical Committee of Cipto Mangunkusumo Hospital and informed consent from patients, 88 pediatric patients were enrolled to this randomized controlled trial. Patients were randomized into 2 groups: first group was inserted without vein viewer and second group was inserted using vein viewer. Data was analyzed with Chi-square test. Successful rate in first attempt vein cannula insertion using vein viewer is 3.095 times higher than without vein viewer (p<0.05). First attempt vein cannula insertion in malnutrition patients has successful rate 0.85 times higher than good nutrition-obese patients (p<0.05). Age has significant relationship with vein cannula insertion (p<0.05). Successful rate in first attempt vein cannula insertion using vein viewer is higher than without vein viewer. Successful first attempt in vein cannula insertion has significant relationship with nutrition status and age. Key words: Difficult venous access, nutrition status, vein cannula, vein viewer
Perioperative Management Transposition of The Great Arteries for Arterial Switch Procedure Wahjudi, Andrianto; Cintyandy, R.; Dwijatmiko, Heru
Majalah Anestesia dan Critical Care Vol 34 No 1 (2017): Februari
Publisher : Perdatin Pusat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Transposition of the great arteries (TGA) merupakan kelainan kongenital kardiovaskular berat di mana penegakan diagnosi dilakukan segera setelah bayi lahir. Aliran pembuluh darah balik sistemik akan menuju jantung kanan dan dipompakan ke seluruh tubuh oleh aorta, sedangkan darah yang berasal dari jantung kiri akan dipompakan ke paru-paru. Kelangsungan hidup setelah bayi lahir terjadi apabila terdapat percampuran darah yang adekuat di antara kedua sirkulasi. Percampuran darah dapat terjadi di tingkat atrial melalui atrial septal defect (ASD) atau patent foramen ovale (PFO), melalui defek di ventrikel/ ventricular septal defect (VSD) dan/atau melalui patent ductus arteriosus (PDA). Premedikasi anestesi tidak diperlukan dan induksi anestesi umumnya menggunakan teknik anestesi berbasis narkotik. Pemberian beban volume cairan kadang-kadang dapat memperbaiki keadaan. Kedalaman anestesi yang adekuat berguna menurunkan kebutuhan oksigen. Kata kunci: Anestesia perioperatif, Transposition of the great arteries (TGA) Perioperative Management Transposition of The Great Arteries for Arterial Switch Procedure Transposition of the great arteries (TGA), is the most common severe congenital cardiac abnormality, the diagnosis made shortly after birth. Systemic venous blood return to the right heart and is pumped to body through the transposed aorta, and left heart blood is pumped to the lungs. Survival after birth is possible only if mixing occurs between the two circulations (e.g,ASD,PFO, VSD, PDA). Premedication anesthesia is not necessary, an intravenous induction usually is used with predominant narcotic technique. Volume loading occasionally will improve the situation. Adequacy depth of anesthesia may be helpful to decrease oxygen consumption. Key words: Perioperative anesthesia, transposition of the great arteries (TGA)
Gangguan Tidur pada Peserta Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi dan Terapi Intensif Harijanto, Eddy; Hidayat, Jefferson; Pratiwi, Astrid
Majalah Anestesia dan Critical Care Vol 34 No 1 (2017): Februari
Publisher : Perdatin Pusat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dokter anestesiologi adalah profesi kedokteran yang rentan mengalami kelelahan akibat jam kerja yang panjang, beban kerja dengan tingkat stress pekerjaan yang tinggi. Sebanyak 80% kesalahan medis berhubungan dengan sindrom burnout dengan gangguan tidur sebagai keluhan yang sering dialami dokter anestesiologi. Penelitian ini menggunakan 2 kuesioner yang telah divalidasi di Indonesia; Kuesioner pittsburgh sleep quality index (PSQI) untuk menilai kualitas tidur dan kuesioner epworth sleepiness scale (ESS) untuk menilai skala kantuk berlebih. Setelah mendapatkan izin komite etik dan informed consent, penelitian observasional potong lintang dengan subjek 98 orang peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI dilakukan di RSCM selama April–Mei 2016. Sampel mengisi kedua kuesioner. Analisis deskriptif dilakukan terhadap gangguan kualitas tidur dan skala kantuk, distribusi karakteristik dan data jam kerja. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan terhadap hasil kuesioner PSQI dan ESS. Faktor durasi tidur, keluhan tidur dan skala kantuk berlebih adalah faktor signifikan penyebab kualitas tidur kurang. Skala kantuk memiliki kecenderungan sebesar 132,8 kali sebagai faktor gangguan kualitas tidur. Faktor jumlah hari bebas tugas per bulan, tahap jaga, dan kualitas tidur subjek menjadi faktor signifikan penyebab skala kantuk berlebih. Gangguan kualitas tidur memiliki kecenderungan sebesar 38,73 kali sebagai faktor skala kantuk berlebih.70% subjek memiliki kualitas tidur kurang dan 65% subjek memiliki skala kantuk berlebih. Terdapat hubungan signifikan antara kualitas tidur dengan skala kantuk berlebih. Kata Kunci: dokter anestesiologi, gangguan kualitas tidur, skala kantuk Factors Affecting Sleep Disorder in Trainees of Anesthesiology and Intensive Care Anesthesiologists are very susceptible to fatigue due to long working hours and work load with high levels of job stress. 80% of medical errors are associated with burnout syndrome; with sleep disorders as the most common complaint from anesthesiologists. This study investigated sleep quality and sleepiness scale using 2 validated questionnaires in Indonesia; Pittsburgh Sleep Quality Indexto (PSQI) assess sleep quality and Epworth Sleepiness Scale (ESS) to assess excessive daytime sleepiness. This was an observational cross sectional study of Anesthesiology and Intensive Therapy residents in Faculty of Medicine Universitas Indonesia. After obtaining permission from ethics committee and informed consent, this study was done in Cipto Mangunkusumo Hospital during April–May 2016 on 98 residents as the sample. Subjects filled PSQI and ESS questionnaires. Descriptive analysis included sleep quality and sleepiness scale, distribution characteristics and working hour. The bivariate and multivariate analysis assessed the questionnaires score results. Results, sleep duration, sleep complaints of participants and excessive daytime sleepiness caused sleep quality disorder significantly. Excessive daytime sleepiness hds 132.8 times tendency to impair the quality of sleep. Offduty days number per month, the academic level, and sleep quality caused excessive daytime sleepiness significantly. Impaired quality of sleep had 38.73 times tendency as a factor of excessive daytime sleepiness. 70% subjects had sleep quality disorder and 65% subjects had excessive daytime sleepiness. There was a significant relationship between sleep quality disorder and excessive daytime sleepiness. Key words: Anesthesiologist, excessive daytime, impaired quality of sleep, sleepiness scale
Indeks Cadangan Oksigen Sucandra, I Made Agus Kresna
Majalah Anestesia dan Critical Care Vol 34 No 1 (2017): Februari
Publisher : Perdatin Pusat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pulse oximetry (PO) telah dipergunakan secara luas untuk pemantauan oksigenasi pada pasien terutama pasien dengan sakit kritis. Dengan memberikan peringatan lebih awal kepada klinisi terhadap hipoksemia, PO memberikan kesempatan tata laksana lebih cepat terhadap hipoksemia yang berat dan kemungkinan komplikasi yang menyertai. Perkembangan terbaru dari analisis signal dan teknologi reflektan meningkatkan kinerja PO pada keadaan adanya artefak gerakan dan perfusi yang rendah. Oximeter dengan panjang gelombang multipel juga terbukti berguna dalam mendeteksi dishemoglobinemia. Keuntungan lain dari oximeter panjang gelombang multipel ini adalah adanya fitur oxygen reserve index (ORI). ORI merupakan indikator relatif dari PaO2 pada rentang 100–200 mmHg. Penambahan pemantauan ini pada PO membuka peluang baru untuk pemantauan status oksigenasi yang kontinu dan non-invasif pada pasien yang mendapatkan terapi oksigen. ORI berpotensi memberikan kontrol yang lebih baik pada saat dilakukan preoksigenasi, memberikan peringatan terjadinya penurunan oksigenasi sebelum terjadi penurunan SpO2, memungkinkan titrasi oksigen yang lebih akurat, mengidentifikasi terjadinya hiperoksia dan memberikan informasi terhadap perubahan status oksigen pada rentang PaO2 100–200. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat potensi fungsi lebih luas dari ORI untuk tatalaksana pasien sakit kritis yang memerlukan suplementasi oksigen. Kata kunci: Multiple wavelength, oxygen reserve index, pulse oximetry   Oxygen Reserve Index Pulse oximetry (PO) is ubiquitously used for monitoring oxygenation in the critical care setting. By forewarning the clinicians about the presence of hypoxemia, pulse oximeters may lead to a quicker treatment of serious hypoxemia and possibly circumvent serious complications. Recent advances in signal analysis and reflectance technology improved the performance of pulse oximetry under conditions of motion artifact and low perfusion. Multiple wavelength oximetry may prove to be useful in detecting dyshemoglobinemia. Another benefitial value of this newer multiwavelength oximetry is the feature of oxygen reserve index (ORI). The ORI is a relative indicator of the PaO 2 in the range of 100–200mmHg. Its addition to conventional pulse oximetry opens new opportunities in the continuous, non-invasive monitoring of the oxygenation status of patients who receiving oxygen. The ORI may potentially allow better control of pre-oxygenation, provide an alarm of decreasing oxygenation, before any decrease in SpO2, allow a more adequate titration of oxygen therapy, identify unintended hyperoxia, and provide information about changes in the oxygenation status in the PaO 2 range of 100–200mmHg. Further studies are needed to determine the potential role of the ORI in the management of acutely ill patients who are in need of oxygen supplementation. Key words: Multiple wavelength, oxygen reserve index, pulse oximetry
Hubungan antara Klorheksidin 0,2% dan Povidone Iodine 1% dengan Ventilator-Associated Pneumonia (VAP): Studi Kohort Lestari, Mayang Indah; Puspita, Yusni; Zainal, Rizal; Theodorus, Theodorus
Majalah Anestesia dan Critical Care Vol 34 No 1 (2017): Februari
Publisher : Perdatin Pusat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ventilator-associated pneumonia (VAP) adalah infeksi nosokomial tersering di ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUP Dr. Moh. Hoesin (RSMH) Palembang, angka kejadiannya pada bulan Juli 2011–Juni 2012 cukup tinggi (31,69%) dengan angka mortalitas 54,7%. Mekanisme utama dalam patogenesis VAP ialah aspirasi bakteri gram positif dan negatif patogenik yang berkoloni di daerah orofaring. Tindakan modulasi kolonisasi tersebut sangat bermakna dalam mencegah VAP. Pemberian povidon iodin 1% dan klorheksidin 0,2% sudah sering dilakukan namun belum ada penelitian mengenai hubungannya terhadap kejadian VAP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara klorheksidin 0,2% dan povidoneiodine 1% terhadap kejadian VAP. Studi kohort telah dilakukan di ICU RSMH pada bulan Februari – Juli 2014. Terdapat 32 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu yang mendapatkan klorheksidin 0,2% dan povidoneiodine 1%. Dilakukan uji χ2 menggunakan statistical program and service solution (SPSS) versi 21.0. Karakteristik umum subjek penelitian yang meliputi usia, jenis kelamin, skor APACHE II, diagnosis, dan lama intubasi antara dua kelompok tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p>0,05). Terdapat hubungan antara povidoneiodin 1% dan klorheksidin 0,2% terhadap kejadian VAP (RR 1,286) namun hubungan tersebut tidak bermakna (p=0,48). Kata kunci: Klorheksidin 0,2%, kolonisasi, orofaring, povidoneiodin 1%, ventilator associated pneumonia Relationship between Chlorhexidine 0.2% And Povidone Iodine 1% with Ventilator-Associated Pneumonia: Cohort Study Ventilator-associated pneumonia (VAP) is the most common nosocomial infection in intensive care unit (ICU) in RSUP Dr. Moh. Hoesin (RSMH) Palembang, its incidence from July 2011 to June 2012 is quite high (31.69%) with mortality rate as high as 54.7%. Major mechanism in VAP pathogenesis is oropharygeal positive and negative pathogenic colonization aspiration. Colonization modulating intervention is signifantly important in VAP prevention. Povidoneiodine 1% and chlorhexidine 0.2% has been frequently used but there is no study yet about their correlation with VAP. This study was determined the correlation is between chlorhexidine 0.2% and povidone iodine 1% to VAP. Cohort study was conducted in ICU RSMH since February to July 2014. There was 32 subjects included and divided into two groups, chlorhexidine 0,2% and povidon iodine 1%. Analysis has been done with χ2 test by using SPSS® version 21.0. General characteristics among subjects in both groups including age, sex, APACHE II score on admission, diagnosis, and duration of intubation were not significantly different (p>0.05). There was a correlation between Povidoneiodine 1% and chlorhexidine 0.2% with VAP incidence (RR 1.286) but was not statistically significant (p=0.48).  Key words: Chlorhexidine 0.2%, colonization, oropharyngeal, povidon iodine 1%, ventilator-associated pneumonia

Page 1 of 1 | Total Record : 9