cover
Contact Name
Rahmatul Akbar
Contact Email
rahmatulakbar41090@gmail.com
Phone
+6285358268840
Journal Mail Official
-
Editorial Address
A Building, the Family Law Study Program, Shariah and Law Faculty, Ar-raniry State Islamic University Banda Aceh 23111
Location
Kota banda aceh,
Aceh
INDONESIA
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
ISSN : 26208075     EISSN : 26208083     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal El-Usrah merupakan jurnal ilmiah berbasis Open Journal System (OJS) yang dibina oleh Prodi Hukum Keluarga Fakultas Syari`ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh. Jurnal El-Usrah ini adalah sarana bagi peneliti dan akademisi yang bergelut di bidang hukum keluarga Islam untuk dapat mengembangkan keilmuan dalam rangka mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Jurnal El-Usrah diterbitkan dua kali periode dalam setahun, yaitu periode Januari-Juni dan periode Juli-Desember.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol 2, No 2 (2019): EL-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga" : 8 Documents clear
Penolakan Hakim terhadap Hak Ḥaḍānah Isteri dalam Putusan Nomor: 0056/Pdt.G/2017/Ms.Bna Syarifah Rahmatillah; Diana Fitri
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 2, No 2 (2019): EL-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v2i2.7656

Abstract

Hak pengasuhan atau ḥaḍānah secara normatif maupun yuridis diberikan kepada pihak ibu anak. Artinya, ibu menempati posisi pertama yang mempunyai hak atas pengasuhan anak-anaknya pasca perceraian. Permasalahan yang disoroti dalam penelitian ini adalah putusan Mahkamah Syar’iyyah Banda Aceh Nomor 0056/Pdt.G/2017/MS.Bna. Hakim tidak menerima gugatan hak ḥaḍānah isteri. Pertanyaan yang diajukan adalah bagaimana pertimbangan Hakim Mahkamah Syar’iyyah Banda Aceh dalam menolak hak ḥaḍānah isteri, dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pertimbangan hakim menolak hak ḥaḍānah isteri dalam perkara putusan Nomor 0056/Pdt.G/2017/Ms. Bna? Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pertimbangan hakim Mahkamah Syar’iyyah Banda Aceh dalam menolak hak ḥaḍānah isteri, dan untuk mengetahui tinjauan Hukum Islam terhadap pertimbangan hakim menolak hak ḥaḍānah isteri dalam perkara putusan Nomor 0056/Pdt.G/2017/Ms.Bna. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dikaji dengan menggunakan cara deskriptif-analisis-normatif. Dalam putusan Nomor 0056/Pdt.G/2017/Ms.Bna, hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh tidak memuat apakah anak diberikan kepada pihak isteri sebagai penggugat ataupun kepada suami sebagai tergugat. Hanya saja, karena anak berada di bawah penguasaan tergugat maka hal ini memberi hak ḥaḍānah tetap berada di bawah asuhan tergugat. Alasan suami membantah jawabah tergugat juga menjadi pertimbangan Hakim. Telah cukup bukti pihak ibu tidak memenuhi syarat mengasuh anak, sebab isteri dapat mengganggu pertumbuhan anak, baik secara psikologi maupun kasih sayang. Putusan hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh sudah sejalan dengan ketentuan hukum Islam, karena pihak penggugat atau isteri tidak memenuhi syarat mengasuh anak, yaitu tidak mampu mengasuh anak, juga terlihat dari jawaban dan bantahan dari pihak suami menolak gugatan hak ḥaḍānah isteri. Ketidakmampuan penggugat atau isteri mengasuh anak juga terlihat saat penggugat tidak melanjutkan gugatan hak ḥaḍānah, bahkan menarik kembali tuntutannya semula.
Pembagian Harta Bersama dan Pemenuhan Hak-Hak Perempuan di Aceh menurut Hukum Islam Abidin Nurdin
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 2, No 2 (2019): EL-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v2i2.7652

Abstract

Kajian ini membahas tentang pembagian harta bersama dan pemenuhan hak-hak perempuan di Aceh menurut hukum Islam. Harta bersama adalah harta yang diperolah oleh suami dan isteri setelah mereka menikah dan terjadi perceraian. Pembagian harta bersama dalam masyarakat Aceh dilakukan dalam dua cara yaitu melalui gampong secara musyawarah atau dengan cara penyelesaian di Mahkamah Syari’iyah. Kajian ini adalah penelitian kualitatif dengan perspektif hukum Islam. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan studi literatur. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa pembagian harta bersama bertujuan untuk memenuhi hak-hak perempuan. Harta bersama yang diselesaikan pada level gampong nampak bervariasi sehingga terlihat perbedaan porsi suami atau istri di beberapa daerah di Aceh, tergantung tatanan sosial budayanya. Demikian juga para hakim pada Mahkamah Syar’iyah cukup mempertimbangkan seberapa besar kontribusinya para pihak terhadap harta bersama tersebut. Pada konteks Mahkamah Syar’iyah para hakim telah memiliki kepedulian terhadap perlindungan hak-hak perempuan dan sensifitas jender. Kemudian harta bersama dalam perspektif hukum Islam telah diatur dalam UU Perkawinan 1974 dan KHI serta selaras dengan ketentuan fiqih yaitu untuk kemaslahatan (maqasahid syar’iyah).
‘Azl sebagai Pencegah Kehamilan (Studi Perbandingan antara Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i) Mursyid Djawas; Misran Misran; Cut Putrau Ujong
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 2, No 2 (2019): EL-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v2i2.7657

Abstract

‘Azl mungkin metode kontrasepsi tertua di dunia, karena ‘azl cara efektif untuk mencegah kehamilan.’azl berarti menarik penis dari vagina keluarnya sperma. Pastinya orang yang melakukan ‘azl (senggama terputus) ada maksudnya,seperti menunda kehamilan atau menjaga jarak dari anak sebelumnya. Karena Ketika sperma yang dikeluarkan di luar vagina pasti tidak akan terjadi pembuahan sehingga tidak terjadi kehamilan. Dalam konteks kekinian ‘azl mengalami pergeseran, ini dapat kita lihat dari pelaksanaan maksud dan tujuan program keluarga berencana (KB), yaitu mengatur jumlah kelahiran. Pengertian secara khusus KB adalah pencegahan konsepsi atau pencegahan pertemuan sel mani laki-laki dengan sel telur perempuan. Jika dilihat hasilnya nya antara ‘azl dan KB adalah sama, karena tujuannya sama-sama untuk mencegah pembuahan (kehamilan), tapi yang membedakan antara KB dan ‘azl hanya pada proses dan alat yang digunakan, ‘azl tidak mengggunakan alat apapun (secara alami) sendangkan KB mengunakan alat kontrasepsi baik berupa pil kb atau suntikan obat. Berdasarkan hasil istinbath hukum antara mazhab hanafi dan mazhab syafi`i, praktek ‘azl di bolehkan, meskipun berbeda pendapat dari segi pelaksanaanya. Mazhab hanafi membolehkan praktek ‘azl dilakukan oleh pasangan suami istri asal adanya persetujuan dari istri, sedangkan menurut pandangan mazhab syafi`i praktek ‘azl  malah dibebaskan tanpa harus adanya persetujuan dari istri.
Hukum Walīmah Al-‘Urs menurut Perspektif Ibn Ḥazm Al-Andalusī Ali Abubakar; Yuhasnibar Yuhasnibar; Muhamad Nur Afiffuden Bin Jufrihisham
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 2, No 2 (2019): EL-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v2i2.7653

Abstract

Jumhur ulama berpendapat bahwa walīmah al-‘urs hukumnya sunnah mu’akkad. Namun demikian, ada juga sebagian ulama memandang wajib, pendapat ini dipegang oleh Ibn Ḥazm al-Andalusī. Penelitian ini secara khusus menelaah pemikiran hukum Ibn Ḥazm al-Andalusī yang mengatakan hukum wajib melaksanakan walīmah al-‘urs. Dalam konteks ini, Ibn Ḥazm al-Andalusī cenderung memahami dalil-dalil hadis sebagai dasar hukum perintah wajib melaksanakan walīmah al-‘urs. Fokus penelitian ini adalah: Bagaimana pandangan Ibn Ḥazm tentang hukum melaksanakan walīmah al-‘urs?, dan Bagaimana dalil dan metode istinbāṭ yang digunakan Ibn Ḥazm dalam menetapkan hukum walīmah al-‘urs?. Dalam penelitian ini penulis mengunakan penelitian kepustakaan (library research). Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan cara analisis normatif. Setelah melakukan analisa mendalam terhadap fokus penelitian, penulis dapat menyimpulkan menurut Ibn Ḥazm, pelaksanaan walīmah al-‘urs hukumnya wajib dan disesuaikan dengan kemampuan. Dalil yang digunakan Ibn Ḥazm mengacu pada tiga riwayat hadis. Pertama hadis qawliyyah riwayat Muslim dari Yaḥyā bin Yaḥyā al-Tamīmī terkait perintah Rasulullah SAW untuk melaksanakan walīmah al-‘urs walaupun hanya sekadar satu ekor kambing. Kemudian, kedua hadis fi’liyyah riwayat Muslim dari Abī Bakr bin Abī Syaibah dan riwayat al-Bukhārī dari Muḥammad bin Yūsuf terkait Rasulullah SAW melaksanakan walīmah al-‘urs. Terhadap pendapat dan dalil hukum yang digunakan Ibn Ḥazm, pola penalaran yang ia gunakan ialah cenderung pada metode istinbāṭ bayānī, yaitu melihat sisi kaidah kebahasaan pada lafaz “أَوْلِمْ” dalam matan hadis riwayat Muslim “أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ”. Lafaz tersebut menurut Ibn Ḥazm merupakan lafaz amar perintah yang mengandung indikasi hukum wajib. Selain itu, pola penalaran istinbāṭ bayānī juga terlihat pada saat Ibn Ḥazm memandang hadits fi’liyyah Rasul SAW harus didukung dengan petunjuk dalil qawliyyah, sebab perbuatan Rasulullah SAW melaksanakan walīmah al-‘urs tidak dapat dijadikan hujjah wajibnya walīmah al-‘urs, kecuali adanya petunjuk dalil hadis lain yang memerintahkannya. Pola penalaran semacam ini mengarah pada metode istinbāṭ bayānī.
Penganiayaan Berat sebagai Salah Satu Sebab Penghalang Kewarisan dalam KHI 173 Huruf A (Analisis Hukum Islam) Husni A. Jalil; Monica Inmai
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 2, No 2 (2019): EL-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v2i2.7658

Abstract

Dalam KHI Pasal 173 disebutkan bahwa penganiayaan berat tidak boleh menerima hak warisan, sedangkan dalam literatul fikih, tidak menyebutkan bahwa pelaku penganiayaan itu terhalang mendapatkan warisan. Maka pendapat inilah yang menjadi kontroversi antara Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan Fikih. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 173 huruf a menyatakan bahwa Seorang yang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris. Sedangkan jika dilihat aturan hukum Islam menyatakan bahwa salah satu yang dapat menyebabkan terhalangnya seseorang mendapatkan warisan adalah karena ia membunuh pewaris. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa menurut hukum Islam jika seseorang hanya mencoba membunuh pewaris namun tidak berhasil maka ia tetap dapat mewarisi. Yang mana dalam hal ini bertentangan dengan aturan yang telah ditentukan dalam Pasal 173 huruf a Kompilasi Hukum Islam. Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui mengapa dalam KHI penganiayaan berat menjadi penghalang kewarisan dan untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap penganiayaan berat yang menjadi salah satu penghalang kewarisan dalam pasal 173 Huruf a Kompilasi Hukum Islam. Adapun metode penelitian yang digunakan ialah library research. Adapun hasil penelitian yang dilakukan penulis yaitu mengenai penetapan tindakan penganiayaan berat menjadi salah satu unsur terhalang mewarisi ialah karena kondisi hukum yang berkembang di Indonesia. Kemudian tinjauan Hukum Islam mengenai penganiayaan berat sebagai salah penghalang kewarisan, tidak ada referensi dari fikih yang menyebutkan secara langsung penganiayaan berat dikategorikan sebagai salah satu penghalang kewarisan, sedangkan dalam KHI menyebutkan bahwa penganiayaan berat merupakan salah satu yang menghalangi warisan.
Penyelesaian Perkara Wali Adhal pada Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan Erha Saufan Hadana; Rahmatul Akbar
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 2, No 2 (2019): EL-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v2i2.7654

Abstract

Kajian ini membahas persoalan penyebab wali adhal yang tidak ingin menikahkan anaknya di bawah perwaliannya serta tahapan proses penyelesaian melalui mahkamah syar’iyah. Hal tersebut terjadi disebabkan karena faktor sosial ekonomi sehingga tidak adanya persetujuan dari wali mempelai wanita untuk melaksanakan akad pernikahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidakrelaan kedua orang tua dari calon mempelai wanita kepada calon suami pemohon karena mempelai laki-laki tidak sarjana, orang yang kurang mampu, dan wajahnya tidak rupawan dan lain sebagainya. Serta belum mapan secara ekonomi. Menyangkut pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara wali adhal nomor 49/P/2017/MS. Ttn di Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan adalah dalam suatu pernikahan telah sesuai dengan permohonan pemohon yang mempunyai alasan yang hukum yang cukup, sedangkan keengganan wali pemohon tidak mempunyai landasan hukum, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun syara’. maka oleh karena itu permohonan patut dikabulkan dan apabila tidak segera dilangsungkan pernikahan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
KONSEP ‘URF DAN IMPLEMENTASINYA PADA IHDAD WANITA KARIER Dedisyah Putra
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 2, No 2 (2019): EL-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v2i2.7576

Abstract

ABSTRAKIslam menempatkan posisi perempuan pada sebaik-baik tempat dan  kedudukan. Perempuan dengan segala keistimewaan yang melekat pada dirinya adalah makhluk sosial yang akan berperan sebagai istri, ibu, dan anak bahkan sebagai anggota kemasyarakatan. Keberadaan dan peran perempuan (khususnya perempuan pekerja) baik karena terpaksa sebab ditinggal wafat oleh suaminya atau kedua orang tuanya atau atas kemauan pribadi sudah tidak dapat dipungkiri lagi, mengingat kesetaraan dan kesamaan hak bagi setiap individu telah diatur sedemikian rupa termasuk hak untuk bekerja tanpa memandang gender. Namun Islam memberikan rambu-rambu dan ketentuan mengenai status seorang wanita pekerja terutama di saat keadaan mengharuskan seorang wanita untuk berkabung atas kematian suaminya yang dikenal dengan istilah ihdad. Dilihat dari konteks kacamata agama dan kehidupan masyarakat pada umumnya, jelas akan memicu problematika sosial keagamaan ketika seorang perempuan harus bekerja di luar rumah, hal ini disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Di antara faktor internal adalah keterbatasan pada penciptaan yang dimiliki oleh seorang perempuan yang membedakan mereka dengan laki-laki, baik dari sisi tenaga yang terbatas dan juga daya tahan. Demikian juga faktor eksternal di saat lingkungan tempat kerja dapat menimbulkan fitnah dan rentan dari segi keamanan. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut terhadap masalah ini dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana ketentuan syariat Islam tentang ihdad, dan bagaimana menerapkan ihdad bagi wanita karier sesuai dengan ketentuan syariat Islam dan kearifan lokal dengan kacamata Maqashid Syariah Islamiyah. Kata kunci: Wanita Karir, Ihdad, ‘Urf, Kearifan Lokal ABSTRACT Islam places the position of women in the best of places and positions. Women with all the privileges inherent in themselves are social creatures who will act as wives, mothers, and children even as members of society. The existence and role of women (especially women workers) either because they are forced to die by their husbands or their parents or on their own will cannot be denied anymore, given the equality and equality of rights for each individual has been regulated in such a way including the right to work regardless of gender . But Islam provides signs and provisions regarding the status of a working woman, especially when circumstances require a woman to mourn for the death of her husband, known as ihdad. Viewed from the context of religious perspectives and community life in general, it will obviously trigger social social problems when a woman has to work outside the home, this is caused by internal and external factors. Among the internal factors is the limitations on the creation of a woman that distinguishes them from men, both in terms of limited energy and endurance. Likewise, external factors when the workplace environment can lead to slander and security. Based on the description above, the author is interested in conducting further research on this issue with the aim of finding out how the provisions of Islamic law on ihdad, and how to apply ihdad for career women in accordance with the provisions of Islamic law and local wisdom with the perspective of Maqashid Syariah Islamiyah. Keywords: Career Woman, Ihdad, ‘Urf, Local Wisdom
Pembatalan Nikah karena Rekayasa oleh Suami (Analisis terhadap Putusan Nomor 053/Pdt.G/2015/Ms-Jth) Riyadhus Salihin; Murtahar Murtahar
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 2, No 2 (2019): EL-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v2i2.7655

Abstract

Pembatalan pernikahan menurut kamus hukum adalah: suatu tindakan pembatalan suatu pernikahan yang tidak mempunyai akibat hukum yang dikehendaki karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum atau Undang-undang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan pembatalan nikah karena adanya rekayasa dan tinjauan hukum Islam terhadap pertimbangan putusan Pembatalan Nikah di Mahkamah Syar’iah Jantho pada putusan Nomor 053/Pdt.G/2015/MS-JTH. Penelitian ini menggunakan metode field research denganpendekatan kualitatif dan jenis penelitiannya bersifat deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi dan studi kepustakaan. Tinjauan hukum terhadap pertimbangan putusan Pembatalan Nikah di Mahkamah Syari’ah Jantho pada putusan  Nomor 053/Pdt.G/2015/MS-JTH tersebut dalam dikategorikan sebagai berikut: Jika dilihat dari fiqh hukum Islam pertimbangan tersebut belum sesuai dengan hukum Islam karena tidak dilakukan hukuman ta’zir kepada pelaku, sedangkan ditinjau dari peraturan perundang-udangan sudah sesuai yakni pencabutan dasar hukum terhadap surat pernikahan rekayasa yang dilakukan oleh termohon I dan termohon 2 karena didasarkan pada ketentuan pasal 24 dan 25 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 71 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam pernikahan tersebut dapat dibatalkan, maka Surat Akta Nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama yang bersangkutan.

Page 1 of 1 | Total Record : 8