cover
Contact Name
Sugeng
Contact Email
sugeng@dsn.ubharajaya.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
jurnal.sasana@ubharajaya.ac.id
Editorial Address
Jl. Raya Perjuangan Marga Multa Bekasi Utara Kota Bekasi
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Hukum Sasana
ISSN : 24610453     EISSN : 27223779     DOI : https://doi.org/10.31599/sasana
Core Subject : Social,
Jurnal Hukum Sasana adalah sebuah publikasi ilmiah yang dikelola oleh Prodi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya. Jurnal ini memuat tulisan-tulisan hasil riset, analisa yuridis terhadap sebuah produk perundang-undangan atau kasus hukum, dan studi literatur di bidang hukum. Topik yang paling dominan diperbincangkan dalam jurnal ini adalah isu sektor hukum dan keamanan, negara hukum, demokrasi, reformasi hukum, keadilan sosial, pemerintahan yang baik (good governance), dst.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 13 Documents
Search results for , issue "Vol. 7 No. 2 (2021): Jurnal Hukum Sasana" : 13 Documents clear
Kedudukan Miranda Rules dan Penegakan Hukumnya dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Dwi Seno Wijanarko; Irman Jaya
Jurnal Hukum Sasana Vol. 7 No. 2 (2021): Jurnal Hukum Sasana
Publisher : Faculty of Law, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/sasana.v7i2.671

Abstract

Miranda Rules merupakan salah satu instrument penting dalam peradilan pidana yang mengatur tentang hak-hak tersangka selama proses pemeriksaan (penyelidikan dan penyidikan). Hak-hak tersebut berupa hak untuk diam dalam pemeriksaan dan hak untuk didampingi penasihat hukum selama proses pemeriksaan dan persidangan, apabila ia tidak dapat mendatangkan kuasa hukum, maka menjadi kewajiban bagi instansi terkait untuk mendatangkannya. Tulisan ini berusaha untuk menjawab dua pertanyaan besar terkait Miranda Rules, yakni bagaimana konsepi Miranda Rules dalam mewujudkan proses peradilan yang tetap memberikan perlindungan hak bagi tersangka? Serta bagaimana Miranda Rules diimplementasikan dalam tataran praktis? Tulisan ini menghasilkan dua pembahasa utama: Pertama, Miranda Rule merupakan poin penting dalam peradilan pidana karena menyangkut hak-hak yang dimiliki oleh tersangka selama proses pemeriksaan. Sebagai salah satu negara hukum di dunia, Indonesia secara konsekuen menegakkan Miranda Rule ditandai dengan diadopsinya konsep Miranda Rule kedalam berbagai macam peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan peradilan. Kedua, meskipun Miranda Rule memberi peran besar dalam penegakan hukum, namun pada praktinya masih banyak dijumpai kasus-kasus pelanggaran terhadap Miranda Rule. Pelanggaran terhadap penegakan Miranda Rule membawa akibat hukum berupa tidak absahnya dakwaan yang ditujukan kepada tersangka, karena dakwaan tersebut didasarkan pada penyidikan dan pernyataan yang tidak sah sehingga batal demi hukum. Melihat urgensi Miranda Rule dalam sistem peradilan, maka kedepan diperlukan upaya wajib patuh terhadap penegakan hukum yang ditujukan tidak hanya kepada masyarakat, melainkan juga kepada struktur hukum sebagai anak panah dalam penegakan hukum.
Keadilan Restorative Justice Melalui Kebijakan Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak Edi Saputra Hasibuan
Jurnal Hukum Sasana Vol. 7 No. 2 (2021): Jurnal Hukum Sasana
Publisher : Faculty of Law, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/sasana.v7i2.712

Abstract

Kedudukan hak dan kewajiban setiap orang di dalam pengadilan adalah sama, namun sebagai suatu relasi  yang khusus dalam sistem peradilan pidana, anak harus mendapatkan penanganan berbeda, mengingat anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Undang-undang no. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak muncul sebagai bentuk niatan untuk membuat pengadilan ramah anak, bahkan melihat lebih jauh tentang substantsi yang paling mendasar tentang aturan ini, yaitu mengedepankan prinsip keadilan restorative justice dengan maksud untuk mencari penyelesaian perkara tanpa harus melalui persidangan. Namun dalam prakteknya masih ada perkara-perkara anak yang terus menempuh jalur hukum melalui pengadilan. Permasalahan itulah yang kemudian akan dibahas, melihat kebijakan dan realitas, serta tolak ukur tentang kasus seperti apa yang dapat diselesaikan dalam setiap proses penyelesaian perkara anak di pengadilan.
Penerapan Status Pengguna Pada Tindak Pidana Narkotika Dalam Prespektif Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Montana Maruli Pakpahan; Erwin Owan Hermansyah; Lukman Hakim
Jurnal Hukum Sasana Vol. 7 No. 2 (2021): Jurnal Hukum Sasana
Publisher : Faculty of Law, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/sasana.v7i2.725

Abstract

Tujuan penulis meneliti mengenai penerapan hukuman penjara bagi seorang pengguna narkotika dan optimalisasi pemberian hak rehabilitasi bagi pengguna narkotika prespektif Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, adalah untuk mendeskripsikan sejauh mana hukuman bagi pengguna narkotika diterapkan dan hukuman apa yang sesuai dengan peraturan perundang – undangan di Indonesia serta bagaimana upaya optimalisasi pemberian hak rehabilitasi bagi pengguna narkotika di Indonesia dan apa kendala – kendala dalam pemberian hak rehabilitasi tersebut. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif dengan karakteristik deskriptif yang bersumber pada bahn hukum primer dan bahan hukum sekunder. Data sekunder mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan tertier yang dikumpulkan dengan cara studi pustaka. Data disusun dalam bentuk uraian kemudian dianalisis secara kualitatif, artinya data ditafsirkan dan didiskusikan berdasarkan teori-teori (doktrin) dan asas-asas serta peraturan hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan.  Penerapan hukuman penjara bagi seorang pengguna belum cukup sesuai dengan prespektif Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika karena Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur mengenai hak rehabilitasi bagi pengguna narkotika yaitu menempatkan penyalahguna/pengguna narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi melalui putusan hakim sebab hal ini adalah alternatif pemberian sanksi pidana yang sangat baik dalam rangka deferent aspect dan refomaive aspect. Akan tetapi penerapan hak rehabilitasi terhadap pengguna narkotika di Indonesia belum optimal dikarenakan terdapat beberapa kendala baik dari segi internal, eksternal dan regulasi hukum, yang membuat pengguna narkotika masih sering diberikan sanksi pidana penjara daripada pidana rehabilitasi.
Sanksi Pidana Terhadap Oknum Kepala Desa Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dana Desa: Studi Kasus Putusan Pengadilan Nomor 99/Pid.Sus/2013/Pn.Mks Fakhlur; Rochmad
Jurnal Hukum Sasana Vol. 7 No. 2 (2021): Jurnal Hukum Sasana
Publisher : Faculty of Law, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/sasana.v7i2.735

Abstract

Akhir-akhir ini sorotan terhadap korupsi di Indonesia dikaitkan dengan dana pembangunan atau proyek-proyek pengadaan barang dan jasa, karena itu apapun alasannya apakah itu disengaja ataupun tidak disengaja akibat adanya kesalahan prosedur atau sistem tetapi akhirnya berakibat menimbulkan kerugian terhadap negara secara finansial dapat dikatakan suatu tindakan korupsi. Dalam penelitian ini penulis memberikan contoh kasus penyalahgunaan wewenang oleh kepala desa terhadap dana desa yang seharusnya digunakan untuk pembangunan drainase, tetapi digunakan untuk kepentingan pribadi. Kasusnya telah diputus oleh Pengadilan Negeri Makassar dengan putusannya Nomor 99/Pid.Sus/2013/PN Mks, dan terdakwanya telah dijatuhi sanksi pidana dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Rumusan masalah yang dibahas penulis adalah : 1) Bagaimana pengaturan hukum dana desa yang yang dikelola untuk kesejahteraan masyarakat desa ? dan 2) Bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana desa dalam putusan pengadilan Negeri Makassar Nomor : 99/Pid.Sus/2013/PN.Mks ? Adapun metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode yuridis normatif, yaitu menganalisis kaitan antara peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan yang dibahas. Akhirnya penulis menyimpulkan bahwa Pengaturan hukum dana desa yang yang dikelola untuk kesejahteraan masyarakat desa yaitu dengan merujuk kepada Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta Pedoman Penggunaan Dana Desa Tahun 2020 ini dipedomani oleh Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Desa dalam mengelola prioritas penggunaan Dana Desa dengan berdasarkan tata kelola Desa yang demokratis dan berkeadilan sosial.
Pengikatan Jaminan Pesawat Udara Terkait Dengan Ratifikasi Konvensi Cape Town 2001 Untuk Kepentingan Penerbangan Internasional Nanda Dwi Rizkia; Yuhelson; Ramlani Lina S
Jurnal Hukum Sasana Vol. 7 No. 2 (2021): Jurnal Hukum Sasana
Publisher : Faculty of Law, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/sasana.v7i2.749

Abstract

Mahalnya harga sebuah pesawat udara di Indonesia menyulitkan perusahaan penerbangan komersial dalam negeri untuk membelinya secara tunai karena itu perusahaan penerbangan tersebut membutuhkan bank dan lembaga keuangan nonbank yang kuat untuk skema pembiayaan yang berupa pemberian kredit dengan perjanjian sewa guna usaha dengan tanpa hak opsi jarang ditemukan bank atau lembaga keuangan dalam negeri yang bertindak sebagai kreditur atau pemberi sewa karena selain tingginya jumlah pinjaman apalagi terjadi wanprestasi risiko kecelakaanya tinggi. metode penelitian yuridis normatif, suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu-isu hukum yang di hadapi, hasil penelitian perusahaan penerbangan dalam negeri memilih leasing company dari luar negeri untuk mendapatkan kreditur asing, pemerintah republic Indonesia telah meratifikasi konvensi cape town 2001 dengan terbitnya undang-undang no.1 tahun 2009 tentang penerbangan yang mempermudah perusahaan penerbangan komersial dalam negeri untuk pengadaan pesawat terbang dengan perjanjian SGU karena kreditur asing mendapatkan jaminan hukum yang telah disepakati secara internasional dalam konvensi itu diatur bahwa kreditur atau pemilik pesawat dapat langsung menarik dari debitur dan menerbangkan pesawat terbang sebagai objek leasing dengan tanpa hak opsi dan prosedur.
Telaah Kritis Pasal 7 Undang-Undang No.16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan Elfirda Ade Putri
Jurnal Hukum Sasana Vol. 7 No. 2 (2021): Jurnal Hukum Sasana
Publisher : Faculty of Law, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/sasana.v7i2.805

Abstract

Perkawinan juga diatur dalam Pasal 28B Ayat 1 UUD 1945  menyatakan “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan sah”. Dalam Pasal 26 KUHPerdata,  memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata saja. Hal ini berarti bahwa Undang-undangnya mengakui perkawinan perdata ialah perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang memenuhi syarat-syarat atau ketentuan agama tidak terlalu diperhatikan ataupun disampingkan. Sedangkan, menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 menyatakan perkawinan ialah sebuah pernikahan, akad yang sangat kuat atau Miitsaaqan Gholiidhzan yang bertujuan untuk menaati perintah Allah dan menjalankan suatu ibadah. Berdasarkan data statistik dan kajian yang pernah dilakukan, pernikahan dini masih menjadi persoalan sosial di Indonesia. Data BAPPENAS menunjukkan 34.5% anak Indonesia menikah dini. Data ini dikuatkan dengan penelitian PLAN International yang menunjukkan 33,5% anak usia 13 ± 18 tahun menikah pada usia 15-16 tahun. Pernikahan dini menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak, baik secara biologis maupun psikologis. Pernikahan dini berdampak pada tercerabutnya hak anak-anak karena ia dipaksa memasuki dunia dewasa secara instan. Perkawinan usia dini di Indonesia dilatarbelakangi oleh banyak faktor, seperti rendahnya tingkat ekonomi keluarga, rendahnya pendidikan, kurangnya pengetahuan dan edukasi serta yang paling marak yaitu kehamilan di luar nikah.
Kedudukan Kepala Desa Dalam Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi Syahban; Hotma P. Sibuea; Ika Dewi Sartika Saimima
Jurnal Hukum Sasana Vol. 7 No. 2 (2021): Jurnal Hukum Sasana
Publisher : Faculty of Law, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/sasana.v7i2.806

Abstract

Kedudukan Kepala Desa sebagai subjek hukum dalam undang-undang nomor 31 tahun 199 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi tidak ditemukan. Dalam undang-undang tersebut subjek hukum diatur dalam Pasal 1, meliputi, korporasi, penyelenggara negara, pegawai negeri sipil dan orang perseorangan. Kekosongan hukum dalam undang-undang tindak pidana korupsi tentu menjadi persoalan, jika kepala desa berbenturan dengan Pasal 5, 11, 12 dan 12 B. Permasalahan dalam penelitian ini adalah tentang; Kepala Desa memiliki status hukum sebagai pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara. Status hukum Kepala Desa yang ideal dalam konteks undang-undang tindak pidana korupsi? Tujuan penelitian ini untuk Meneliti apakah kepala desa dapat dikategorikan sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara seperti dimaksud dalam  undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Kedua, untuk mengetahui status hukum yang ideal kepala desa dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasana tindak pidana korupsi. Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metoda penelitian yuridis normatif. Penelitian ini menunjukkan hasil sebagai berikut. Pertama, kedudukan Kepala Desa tidak dapat dikategorikan memiliki status hukum Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara seperti dimaksud  dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Kedua, status hukum kepala desa yang ideal dalam hubungannya dengan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai penyelenggara negara. Saran yang dapat disampaikan sebagai berikut. Pertama, undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi tidak menjelaskan kedudukan hukum kepala desa, apakah  sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara. Maka, untuk mempertegas kedudukan hukum kepala desa tersebut perlu dilakukan revisi atau perubahan. Kedua, dalam revisi atau perubahan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditambah atau disisipkan satu ayat yang mengatur status kedudukan hukum kepala desa, yaitu sebagai penyelenggara negara.
Rekonstruksi Pasal 66 Ayat (3) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Undang-Undang Praktik Kedokteran Terkait Tata Cara Pengaduan Tindakan Malapraktik Dokter di Indonesia Baby Ivonne Susan Kainde; Ika Dewi Sartika Saimima; Yurnal
Jurnal Hukum Sasana Vol. 7 No. 2 (2021): Jurnal Hukum Sasana
Publisher : Faculty of Law, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/sasana.v7i2.807

Abstract

Kerancuan cara pelaporan tindakan Malapraktik dokter yang diatur Pasal 66 Undang-undang Praktek Kedokteran dipicu ayat 3 Pasal 66 Undang-undang Praktik Kedokteran (UUPK). Ayat ini memberi celah cara pelaporan kecurigaan malapraktik dokter secara multitafsir. Sekalipun jelas bahwa di ayat 1 pasal 66 (UUPK) bahwa Pelanggaran Kepentingan Hak adalah pelanggaran Perdata dan belum tentu ada unsur ada Pidananya dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) ditunjuk sebagai jalur pertama pelaporan. MKDKI yang akan menilai kasus itu sebagai kesengajaan dan kelalaian berat (unsur Pidana) atau suatu Resiko Medis. Tapi fakta di lapangan amanat UU tidak dilaksanakan karena banyak kasus malapraktik dokter langsung dibawa ke jalur Hukum (Kepolisian dan Pengadilan) dan ini terjadi karena diakomodir di ayat 3 pasal 66 UUPK. Konflik antar norma Hukum Penelitian ini ada pada ayat 1 dan 3 pasal 66 UUPK. Multitafsir cara pelaporan bagi profesi Dokter yang diduga melakukan malapraktek Profesi dokter sangat rentan tuntutan berlapis dan tidak ada perlindungan hukum bagi dokter. Oleh karena itu tulisan ini adalah untuk melihat bagaimanakah tata cara pengaduan kasus malapraktik dokter yang benar menurut Undang-undang Praktek Kedokteran. Metode penelitian adalah Yuridis Normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti Bahan Hukum Primer, sekunder dan tersier. Alternatif penyelesaian yang ditawarkan dalam penelitian ini berbentuk rekonstruksi (menata ulang) ayat 3 pasal 66 Undang-undang Praktik Kedokteran.
RETRACTED: Upaya Hukum Cessionaris Terhadap Hak Tagih Atas Jaminan Hak Tanggungan Berdasarkan Pengalihan Hutang (Cessie) Diana Fitriana; Abdul Wahid
Jurnal Hukum Sasana Vol. 7 No. 2 (2021): Jurnal Hukum Sasana
Publisher : Faculty of Law, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/sasana.v7i2.808

Abstract

This article has been retracted at the request of publisher. Reason: This article is virtually identical to the previously published article "Upaya Hukum Cessionaris Terhadap Hak Tagih Atas Jaminan Hak Tanggungan Berdasarkan Pengalihan Hutang (Cessie), Lex jurnalica, Volume 18 No. 3 (2021), 246-257 authored by Diana Fitriana, Abdul Wahid, Urip Giyono.
Polemik Pencatatan Anak Dari Nikah Siri Agus Manurung; Lusia Sulastri
Jurnal Hukum Sasana Vol. 7 No. 2 (2021): Jurnal Hukum Sasana
Publisher : Faculty of Law, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/sasana.v7i2.858

Abstract

Pasangan nikah siri saat ini bisa memiliki KK baru dengan syarat melengkapi data formulir Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) adalah mengacu Permendagri No. 9/2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran. Dokumen SPTJM sendiri terdiri dari dua hal. Pertama, SPTJM Kebenaran Data Kelahiran yang dibuat orang tua kandung/wali/pemohon dengan tanggung jawab penuh atas kebenaran data kelahiran seseorang dengan diketahui oleh dua orang saksi. Kedua, SPTJM Kebenaran Sebagai Pasangan Suami Istri yang dibuat oleh orang tua kandung/wali/pemohon dengan tanggung jawab penuh atas status hubungan perkawinan seseorang dengan diketahui dua orang saksi. Pencatatan anak hasil nikah siri melalui Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) adalah mengacu Permendagri No. 9/2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran masih menimbulkan permasalahan hukum, tidak terpenuhinya akta nikah/kutipan akta perkawinan dan status hubungan keluarga pada KK yang tidak menunjukkan status hubungan perkawinan sebagai suami istri, maka data yang dicatat dalam kutipan akta kelahiran sang anak hanya nama ibu kandungnya saja. Tidak sekaligus mencantumkan nama bapaknya sebagaimana halnya dalam perkawinan yang sah. Sehingga sang anak masih memerlukan pembuktian siapakah bapaknya apabila diperlukan di kemudian hari. Disamping dalam upaya pembuktian akan banyak mengalami hambatan karena keberadaan KK baru melalui dokumen SPTJM memiliki kekuatan pembuktian yang lemah karena sebatas pengakuan sepihak penandatangan. Serta halangan halangan lain yang sengaja ditimbulkan para pihak yang berperkara. Kedudukan istri siri sendiri sangat rentan terhadap perlindungan hukumnya pula. Tidak adanya status kedudukan hukum sebagai istri yang sah maka belum timbul hubungan hukum timbal balik hak dan kewajiban sebagai pasangan suami istri. Pemenuhan hak dan kewajiban masing masing belum dapat menggunakan dasar tuntutan pemenuhan hukum melainkan hanya sebatas tahapan iktikad baik masing masing pihak.

Page 1 of 2 | Total Record : 13