cover
Contact Name
I KETUT MUDITE ADNYANE
Contact Email
adnyane@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
acta.vet.indones@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota bogor,
Jawa barat
INDONESIA
ACTA VETERINARIA INDONESIANA
ISSN : 23373207     EISSN : 23374373     DOI : -
Core Subject : Health,
Acta Veterinaria Indonesiana (Indonesian Veterinary Journal) mempublikasikan artikel-artikel dalam bentuk: penelitian, ulasan, studi kasus, dan komunikasi singkat yang berkaitan dengan berbagai aspek ilmu dalam bidang kedokteran hewan, biomedis, peternakan dan bioteknologi. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris. Acta Veterinaria Indonesiana diterbitkan oleh Fakultas Kedokteran Hewan bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia. Terbit dua kali dalam satu tahun pada bulan Januari dan Juli. [ISSN 2337-3202, E-ISSN 2337-4373]
Arjuna Subject : -
Articles 11 Documents
Search results for , issue "2022: Special Issues" : 11 Documents clear
Komunikasi Singkat: Deteksi Serotipe Avibacterium Paragallinarum Dari Isolat Unggas Ladang Indonesia Menggunakan Hemagglutination Inhibition Test A.E.T.H. Wahyuni; Fadhli Nanda Putra; Low Kar Yee; Tan Yun Ru; Cheng Ern Wei; Yahya Pambudhi; Puteri Nur Natasha
Acta VETERINARIA Indonesiana 2022: Special Issues
Publisher : IPB University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29244/avi...54-58

Abstract

Infectious coryza (IC) is an opportunistic and infectious upper respiratory tract disease in poultry, caused by Avibacterium paragallinarum. This disease has high morbidity but low mortality. The major losses caused by IC are the reduced egg production and increased feed conversion ratio (FCR). There are three recognized Avibacterium paragallinarum serovars, which are serovar A, B, and C. Limited reports regarding the serovars of Avibacterium paragallinarum in Indonesia are available. This research was done to detect the serovar of Avibacterium paragallinarum from Indonesian poultry field isolate using hemagglutination inhibiotion (HI) test. Ten field isolates of Avibacterium paragallinarum were re-identified, then processed into antigen solution using sonication, further on used for hemagglutination (HA) test. After the 4HA unit titer was obtained, the antigens were tested with HI using reference antisera (Strain 221 serovar A, strain Spross serovar B, and strain Modesto, serovar C). The results showed that one isolate had the highest titer with antiserum serovar A which was >5120 HI unit and nine isolates had the highest titer with antiserum serovar B which was >5120 HI Unit. Therefore, it can be concluded that one field isolates of Avibacterium paragallinarum from layer chicken is serovar A and nine field isolates of Avibacterium paragallinarum from layer, broiler, free range chicken, quail field isolates are serovar B.
Penanganan Distokia dengan Sectio Caesarea pada Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis) Afifah Hasna; Khaerul Amru; Mario Damanik; Diah Irawati Dwi Arini
Acta VETERINARIA Indonesiana 2022: Special Issues
Publisher : IPB University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29244/avi...9-14

Abstract

Distokia merupakan kejadian parturisi berkepanjangan yang dapat terjadi pada hewan sehingga diperlukan penanganan oleh tenaga medik veteriner. Distokia umumnya disebabkan oleh gangguan atau kelainan pada komponen utama proses kelahiran yang meliputi kekuatan induk mengejan, kecukupan saluran kelahiran, serta ukuran dan posisi fetus. Seekor anoa berumur delapan tahun di Anoa Breeding Centre Manado menunjukkan tanda-tanda distokia pada Juli 2021. Umur kebuntingan yaitu 310 hari dan induk merupakan betina nulipara. Anoa teramati sudah mengalami anoreksia dan penurunan suhu tubuh satu hari sebelum partus. Proses partus ditandai dengan induk yang merejan kuat, terjadi poliuria, serta keluarnya vaginal discharge dengan frekuensi yang meningkat disertai darah. Setelah lima jam, proses partus terpantau tidak progresif dan induk berhenti mengejan sehingga dilakukan restrain fisik terhadap anoa ke area isolasi. Hasil pemeriksaan palpasi intravaginal mengindikasikan adanya kesalahan postur fetus dengan postur kaki depan menekuk (bilateral carpal flexion) dan ukuran kepala fetus relatif besar dibandingkan pelvis induk (fetopelvic disporportion). Tindakan yang dilakukan yaitu sectio caesarea dengan kombinasi anastesi umum dan anastesi lokal. Insisi dilakukan pada flank kiri secara vertikal. Terapi pasca operasi yang diberikan yaitu sediaan antibiotik, antiinflamasi, hematopoetik, suplemen, anti hemoragik, dan hormon oksitosin. Anoa menunjukkan persembuhan dua minggu pasca operasi dengan kondisi luka jahitan menutup rapat dan mengering tanpa bantuan pelepasan benang jahit. Siklus estrus induk teramati kembali normal dua bulan pasca operasi sehingga memungkinkan untuk dilakukan perkawinan berikutnya.
Kombinasi Penggunaan Butorphanol, Medetomidine dan Midazolam pada Anastesia Badak Sumatera di Sumatran Rhino Sanctuary (SRS) Taman Nasional Way Kambas (TNWK) Ni Made Ferawati; Aprilia Eva Widyawati; Ganis Mustikawati; Vidi Saputra; Zulfi Arsan; Diah Esti Anggraeni
Acta VETERINARIA Indonesiana 2022: Special Issues
Publisher : IPB University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29244/avi...1-8

Abstract

Badak Sumatera merupakan salah satu satwa liar yang semakin menurun populasinya dan saat ini terdapat 8 ekor badak Sumatera yang tinggal di habitat semi insitu SRS Tn Way Kambas. Pemeriksaan gigi dan dental floating merupakan salah satu tindakan medis yang rutin dilakukan dalam kondisi teranastesi pada badak Sumatera di SRS. Penelitian bertujuan untuk mengetahui efek pemberian dari kombinasi obat bius Butorphanol, Medetomidine dan Midazolam selama prosedur kegiatan dental floating berlangsung. Pengambilan data dilakukan pada tiga ekor badak jantan dewasa di SRS berumur 10 tahun (jantan 1), 15 tahun (jantan 2), dan 21 tahun (jantan 3) dalam keadaan sehat. Ketiga badak tidak dipuasakan sebelum kegiatan anastesi dilakukan. Metode anastesi dibagi menjadi tiga tahap yaitu pemberian induksi, supplementary drug dan antidota (recovery). Sediaan obat bius sebagai prosedur induksi adalah 40-50 mg Butorphanol, 3-4 mg Medetomidine dan 15 mg Midazolam yang diberikan secara intramuskular (IM). Pengambilan data dilakukan selama prosedur dental floating berlangsung dengan memperhatikan perubahan nilai respirasi, suhu tubuh, dan denyut jantung pada setiap tahapannya. Induksi menggunakan kombinasi obat Butorphanol, Medetomidine dan Midazolam memperlihatkan efek anastesi rata-rata pada 6±2,6 menit dan efek sternal recumbency muncul rata-rata pada 24±16,5 menit. Badak terlihat diam berdiri, hilang kesadaran, penis relaksasi, hipersalivasi, tidak merespon lingkungan, hingga muncul respon sternal recumbency. Pengambilan data parameter fisiologis (suhu tubuh, respirasi, denyut jantung) dan saturasi oksigen dilakukan setelah badak dalam poisisi sternal recumbency pada rentang waktu 3-5 menit. Nilai rata-rata saturasi oksigen adalah 98,5% (jantan 1), 94% (jantan 2), dan 91% (jantan 3), nilai rata-rata pemeriksaan suhu tubuh adalah 36,90c (jantan 1), 36,90c (jantan 2), dan 37,30c (jantan 3), nilai rata-rata frekuensi nafas adalah 13,5x/menit (jantan 1), 12,8x/menit (jantan 2), dan 15,7x/menit (jantan 3), dan nilai rata-rata denyut jantung adalah 46 x/menit (jantan 1), 39x/menit (jantan 2), dan 43,9 x/menit (jantan 3). Obat supplementary yang digunakan selama prosedur berlangsung adalah Ketamine yang memberikan efek sedasi lebih lama. Penggunaan Naltrexone dan Atipamezole sebagai reversal atau antidota memperlihatkan efek yang cukup cepat yaitu 1 menit setelah pemberian secara intravena (IV). Kombinasi Butorphanol, Medetomidine dan Midazolam dapat memberikan efek anastesi yang baik ditandai dengan kondisi relaksasi otot yang baik, respon denyut jantung serta respirasi yang normal.
Operasi Pengangkatan Batu Kandung Kemih Pada Anjing Mini Pomeranian Palestin Djazuli; Hana Cipka Pramudha Wardhani; Era Hari Mudji Restijono; Intan Permatasari Hermawan; Kurnia Desiandura Desiandura; Victor Yulius Sulangi
Acta VETERINARIA Indonesiana 2022: Special Issues
Publisher : IPB University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29244/avi...59-64

Abstract

Urolithiasis is a common disease affecting the urinary tract, including the bladder. This disease is characterized by the presence of formed stones in the urinary tract. A five years old female mini Pomeranian dog with a bodyweight of 5 kg was complaint with anorexia, oliguria, and hematuria. The result of the physical examination by palpation is a distended abdominal area. The supporting examination was carried out in the form of an ultrasound examination (USG). The results of ultrasound examination showed a hyperechoic colored foreign object with an oval shape with smooth edges at the base of the bladder and resulted in acoustic shadowing at the bottom of the calculi. In addition, the hematology analysis exhibited granulocytosis, leukocytosis, and increase Alkaline Phosphatase (ALKP). The dog was diagnosed with urolithiasis with the prognosis of Fausta. The cystotomy surgery was performed to remove the bladder stone. Postoperative therapy is Cefixime, Cystaid®, Fibumin®, dan Coatex®. The healing showed good progress in 5 days.
Asites dan Hypoalbuinemia Pada Kucing Mix Domestic Long Hair Era Hari Mudji Restijono; Palestin Djazuli; Kurnia Desiandura; Hana Cipka Pramuda Wardhani
Acta VETERINARIA Indonesiana 2022: Special Issues
Publisher : IPB University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29244/avi...65-71

Abstract

Ascites is a clinical manifestation of a disease with fluid leaking into the abdominal cavity either transudate or exudate. Cat has symptoms of abdominal distension and pallor of the gingival mucosa but the general condition is still good. Paracentesis is performed to remove fluid and perform fluid checks as well as blood and blood chemistry tests to support the diagnosis. The fluid released is in the form of a transudate (clear and liquid), blood examination reveals anemia, blood chemistry examination only shows a low albumin level (hypoalbuminemia), then the diagnosis is established ascites due to hypoalbuminemia. Mola's cat was hospitalized with diuretic therapy (furosemide), Hematodin® injection, Catosal® injection, albumin supplement (Fibumin), Hepacartine supplement, Amoxicillin and Clavulanate Potassium antibiotics, and anti-inflammatory and antipyretic Tolfenamic Acid and paracentesis (puncture). During the hospitalization showed progress in the cat, the decrease in fluid was marked by a decrease in the size of the abdomen in the cat, although it took a long time. There was no deterioration in the condition during hospitalization. The fever that appears can be controlled by giving tolfenamic acid and the temperature is still normal until now.
Identifikasi Endoparasit pada Sapi Brahman Cross (BX) di Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Tangerang Aminah Aminah; Rahmi Idhatul Setiani; Fitrine Ekawasti
Acta VETERINARIA Indonesiana 2022: Special Issues
Publisher : IPB University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29244/avi...41-48

Abstract

Abattoir (RPH) is very necessary as a place for monitoring and surveillance of animal diseases. RPH routinely monitors and inspects animal health. Diseases in livestock due to endoparasitic infections can be economically detrimental by affecting the health of livestock. This situation resulted in a decrease in production related to the quality of the carcass produced. Parasitic diseases rarely receive attention (neglected diseases) so that it is rarely examined for endoparasitic infections. It is necessary to examine beef cattle at the Tangerang abattoir for the presence of endoparasitic infections, both blood parasites and gastrointestinal parasites. From the results of this study, it is expected to improve the quality of livestock health maintenance and supervision services. Blood and feces samples from 25 Brahman Cross cows from Tangerang City abattoir were identified for endoparasitic infections in the blood and digestive tract. The examination carried out based on the observation of parasite morphology showed 48% blood parasite infection and 72% gastrointestinal parasite including mixed infection. The endemicity of these parasites in Indonesian abattoirs must be considered to carry out early control of pathogenic endoparasitic infections.
Efek Pemberian Ekstrak Oregano (Origanum Vulgare) Terhadap Histomorfometri Ileum Pada Mencit Kolibasilosis Indah Amalia Amri; Vinka Melinda; Fidi Nur Aini EPD; Ida Bagus Gde Rama Wisesa
Acta VETERINARIA Indonesiana 2022: Special Issues
Publisher : IPB University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29244/avi...15-22

Abstract

Escherichia coli termasuk ke dalam bakteri koliform dengan famili enterobacteriaceae, bakteri tersebut mampu bertahan hidup di dalam salurann pencernaan. E. Coli berbentuk batang atau basil yang bersifat gram-negatif, fakultatif anaerob dan tidak mempunyai spora. Pemberian antibiotik streptomisin golongan aminoglikosida dapat bekerja dengan menghambat sintesis protein. Oregano (Origanum vulgare) kandungan yang dimiliki yaitu flavanoid, fenol cravaracol, glikosida fenolik, tanin, timol dan terpenoid. Fenol cravaracol dapat merusak membran sel dan dapat merusak DNA sel bakteri, serta mengurangi kerusakan sel ileum fenol sebagai antioksidan. Timol berfungsi akan meningkatkan permeabilitas membran sel. Penelitian bersifat eksperimental menggunakan mencit Balb/C (Mus musculus) jantan dengan berat badan 20-25 gr berumur 8-10 minggu. Penelitian ini menggunakan rangkaian acak yang terdiri dari K- (Sehat), K+ (induksi antibiotik streptomisin dan diinduksikan Escherichia coli), P1, P2, P3 diberikan antibiotik streptomisin dan induksi E. coli serta pemberian ekstrak origanum vulgare dengan konsentrasi 5 mg/ekor pada P1, 10 mg/ekor pada P2 dan 20 mg/ekor pada P3. Variabel yang diamati histopatologi ileum secara deskriptif dan histomorfometri dengan pengukuran panjang dan lebar vili menggunakan image J, dan dianalisa menggunakan uji One Way ANOVA dengan homogenitas dan normalitas p>0,05. Hasil peneilitian dan kesimpulan pada histopatologi dan histomorfometri menunjukan bahwa kelompok P1 (5 mg/ekor) tidak mengalami penurunan kerusakan pada epitel vili ileum serta tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol positif (K+). Sedangkan kelompok P1 (5 mg/ekor) berbeda nyata (p<0,05) jika dibandingkan dengan kelompok P2 (10mg/ekor) dan P3 (20 mg/ekor).
Survei Ancylostomiasis pada Anjing di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta Gustaf Eifel Silalahi; Ida Tjahajati; Widagdo Sri Nugroho
Acta VETERINARIA Indonesiana 2022: Special Issues
Publisher : IPB University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29244/avi...49-53

Abstract

Selama masa pandemi Covid-19, mayoritas masyarakat Indonesia menghabiskan hampir seluruh waktunya di rumah. Waktu interaksi antara pemilik dan hewan peliharaan di rumah semakin banyak dihabiskan bersama. Namun, di satu sisi terdapat risiko penularan penyakit dari hewan peliharaan seperti anjing ke manusia. Penyakit yang sering dilaporkan pada anjing adalah ancylostomiasis. Ancylostoma spp. umumnya dikenal sebagai "cacing tambang" dari golongan nematoda. Gejala klinis penyakit ancylostomiasis tidak spesifik karena agen infeksi memiliki siklus hidup dan periode infeksi. Hal ini menjadi perhatian karena tidak adanya gejala yang spesifik sehingga ada potensi infeksi yang tidak terdeteksi pada hewan peliharaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi penyakit ancylostomiasis pada anjing yang dipelihara oleh masyarakat di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan survei dengan melibatkan sampel anjing sebanyak 203 ekor anjing. Spesimen yang dikoleksi berupa feses dari anjing jantan dan betina berbagai umur di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemeriksaan sampel feses dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif (metode natif) untuk mengidentifikasi telur dari cacing. Total kasus helminthiasis yang teridentifikasi dari pemeriksaan sampel feses berjumlah 19 dari total 203 anjing. Prevalensi telur Ancylostoma spp. adalah 6,89% (14 dari total 203 anjing). Telur cacing yang teridentifikasi menginfeksi adalah telur cacing spesies Ancylostoma spp. (6,89%) Toxocara spp. (1,97%) dan Dipylidium spp. (0,98%). Proporsi penyakit ancylostomiasis di Daerah Istimewa Yogyakarta pada survei penelitian ini ditemukan 6,89%.
Hubungan Penggunaan Antimikroba terhadap Resistansi pada Peternakan Unggas Broiler Mandiri di Kabupaten Bogor Nofita Nurbiyanti; Imron Suandy; Sunandar; Riana Aryani Arief; Putik Allamanda; Gian Pertela; Budi Purwanto; Hanan Daradjat; Nuraini Triwijayanti; Kanti Puji Rahayu; Oli Susanti; Riska Desitania; Rianna Anwar Sani; David Speksnijder; Tagrid Dinar; Tri Satya Putri Naipospos; Jaap Wagenaar
Acta VETERINARIA Indonesiana 2022: Special Issues
Publisher : IPB University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29244/avi...33-40

Abstract

Penggunaan antimikroba di peternakan mengakselerasi proses resistansi antimikroba pada sektor peternakan dan berpotensi mengancam kesehatan manusia. Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan penggunaan antimikroba dengan kejadian resistansi pada bakteri komensal Escherichia coli di peternakan unggas broiler. Data penggunaan antimikroba dikumpulkan selama 4-6 periode produksi (97 siklus) dan periode siklus akhir diambil 1 sampel litter dengan boot swab dari 19 peternakan broiler mandiri di Kabupaten Bogor selama 2019-2022, dan 25 strain E. coli diisolasi dari tiap peternakan. Sebanyak 475 isolat bakteri E. coli diuji Susceptibility dengan metode microdilution (Sensititre®) untuk resistansi fenotipik. Hubungan frekuensi pemberian antimikroba (Treatment Frequency Used Daily Dose/TFUDD) jangka panjang (97 siklus) dan jangka pendek (siklus akhir dimana diambil sampel, 19 siklus) dengan proporsi isolat resistan dianalisis menggunakan regresi linear. Peternakan paling sering menggunakan antimikroba yang termasuk dalam kategori Highest Priority Critically Important Antimicrobials/HPCIA for human medicine (WHO, 2019). Dari 475 isolat E. coli yang diisolasi, terlihat bahwa tingginya persentase populasi E. coli non-wild type (‘resistan’). Resistansi tertinggi terhadap antimikroba ciprofloksasin (93%), ampisilin (88%), tetrasiklin (83%), sulfametoksazol (75%), dan trimethoprim (71%). Dari 5 kelas antimikroba yang dianalisa, didapatkan hubungan signifikan antara frekuensi pemberian antimikroba dan proporsi isolat resistan pada penggunaan jangka panjang terhadap kuinolon dan tetrasiklin (p<0.05), serta pada penggunaan jangka pendek terhadap makrolida (p<0.05) dan tetrasiklin (p<0.01).
Penanganan GSD (German Sheperd) yang Terinfeksi CPV (Canine Parvovirus) dan Parasit Darah Babesia sp. serta Anaplasma Sp. di Antasari Pet Clinic Samarinda Silvana Arpin; Intan Purwa Dewantari
Acta VETERINARIA Indonesiana 2022: Special Issues
Publisher : IPB University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29244/avi...23-28

Abstract

Canine Parvovirus (CPV) merupakan penyakit virus pada anjing yang menyebabkan penyakit pencernaan akut pada anak anjing. Penyakit ini sangat menular dan menjadi penyebab kematian paling tinggi terutama menyerang anak anjing umur 2–6 bulan. Babesia dan Anaplasma merupakan suatu penyakit parasit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler gram negatif akibat infeksi protozoa yang ditularkan melalui vektor caplak. Seekor anjing ras german sheperd dengan kondisi lemas, anorexia, serta diare berdarah. Pemeriksaan Klinis menunjukkan terdapat infestasi ektoparasit sekitar 30 %, dan mukosa mulut pucat. Pengujian CPV Antigent rapid test menunjukkan garis dua yang berarti positif terinfeksi Parvo Virus. Hasil pemeriksaan darah lengkap menunjukkan ada penurunan WBC yang menunjukkan adanya infeksi virus, dan ada kenaikkan di nilai SGOT yang menunjukkan adanya kerja berat pada organ hati. Dan dari hasil ulas darah ditemukan parasite darah yaitu babesia sp. dan anaplasma sp. Terapi yang diberikan berupa terapi cairan ringer laktat, doxycycline 20mg/kg BB sebagai antiparasit. Antibiotic menggunakan Gentamicin injeksi 5 mg/kg BB atau 0.005 ml/kg BB, pemberian vitamin k3 (hemostop k) injeksi 0,1 ml/kg BB sebagai antipendarahan, hematofos 0,1 ml/kg BB untuk mengatasi anemia.dan pemberian promax sebagai probiotik, serta pakan khusus gastrointestinal. Pada hari pertama terapi, anjing sudah menunjukkan progress, berupa nafsu makan yang telah kembali, dan pada hari yang ketiga sudah tidak diare lagi dan feses sudah normal.

Page 1 of 2 | Total Record : 11