cover
Contact Name
Suprapto
Contact Email
suprapto@ulm.ac.id
Phone
+62511-3305648
Journal Mail Official
barlev@ulm.ac.id
Editorial Address
Jl. Brigjen. H. Hasan Basry Kayu Tangi, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 70123
Location
Kota banjarmasin,
Kalimantan selatan
INDONESIA
Banua Law Review
ISSN : 27154668     EISSN : 27154742     DOI : https://doi.org/10.32801/balrev.v2i2
Core Subject : Social,
Disiplin ilmu hukum yang mencakup bidang Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Kenotariatan, Hukum Agraria, Hukum Tata Negara, Hukum Internasional, Hukum Administrasi Negara, Hukum Islam, Hukum Kemasyarakatan, Hukum Bisnis, Hukum Asuransi, dan bidang-bidang lainnya terkait sistem-sistem hukum.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 70 Documents
Konsekuensi Hukum Pembatalan Perdamaian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pada Kasus PT. Mopoli Raya Rihold Sihotang
Banua Law Review Vol. 3 No. 2 (2021): October
Publisher : Banua Law Review

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan pada penelitian ini mengetahui dasar pertimbangan hakim Pengadilan Niaga Medan dalam memberikan putusan perkara Nomor 17/Pdt.Sus-PKPU/2020 dan putusan kasasi Nomor 177 K/Pdt.Sus-Pailit/2021, serta sebagai akibat hukum yang ditimbulkan oleh keputusan pembatalan perjanjian perdamaian. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, dengan mempelajari dan menelaah aturan-aturan terkait kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang telah berlaku di Indonesia. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan. Data yang telah diolah, dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dari kedua putusan, terdapat disparitas hakim dalam menimbang dan memutus perkara. Disparitas tersebut dapat dilihat pada Putusan Pengadilan Niaga Medan yang mengesahkan perjanjian perdamaian karena debitur dianggap mampu untuk menyelesaikan perjanjian perdamaian, sedangkan pada tingkat kasasi Mahkamah Agung memberikan putusan pembatalan perjanjian perdamaian karena pengesahan perjanjian tersebut dianggap melanggar persyaratan yang pada akhirnya membuat debitur pailit.
Konsekuensi Hukum Pembatalan Perdamaian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pada Kasus PT. Mopoli Raya Ahmad Ziyad; Mas Anienda Tien F
Banua Law Review Vol. 3 No. 2 (2021): October
Publisher : Banua Law Review

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan pada penelitian ini mengetahui dasar pertimbangan hakim Pengadilan Niaga Medan dalam memberikan putusan perkara Nomor 17/Pdt.Sus-PKPU/2020 dan putusan kasasi Nomor 177 K/Pdt.Sus-Pailit/2021, serta sebagai akibat hukum yang ditimbulkan oleh keputusan pembatalan perjanjian perdamaian. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, dengan mempelajari dan menelaah aturan-aturan terkait kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang telah berlaku di Indonesia. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan. Data yang telah diolah, dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dari kedua putusan, terdapat disparitas hakim dalam menimbang dan memutus perkara. Disparitas tersebut dapat dilihat pada Putusan Pengadilan Niaga Medan yang mengesahkan perjanjian perdamaian karena debitur dianggap mampu untuk menyelesaikan perjanjian perdamaian, sedangkan pada tingkat kasasi Mahkamah Agung memberikan putusan pembatalan perjanjian perdamaian karena pengesahan perjanjian tersebut dianggap melanggar persyaratan yang pada akhirnya membuat debitur pailit.
Eksistensi Kejaksaan dan Relasinya dengan Komnas HAM dalam Penanganan Perkara Pelanggaran Hak Asasi Manusia Ganes Adi Kusuma
Banua Law Review Vol. 3 No. 2 (2021): October
Publisher : Banua Law Review

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Relasi Antara Komnas HAM sebagai penyelidik dengan Kejaksaan sebagai penyidik dan penuntut dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Ham berat mengacu pada Pasal 20 ayat (3) UUPH mengatur dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 hari wajib melengkapi kekurangan tersebut. Eksistensi Kejaksaan yang semestinya dalam penanganan perkara pelanggaran HAM berat dimana kasus pelanggaran HAM Berat di Indonesia cenderung politis. Kejaksaan sebagai alat negara di bidang penegakkan hukum mengalami kesulitan untuk menjalankan fungsinya diakibatkan kecenderungan kasus-kasus pelanggaran HAM berat berada diranah politis.
Penyadapan (Wiretapping) oleh Penyidik dalam Rangka Mengumpul Bukti Menurut Perspektif Kepastian Hukum Deto Adityan Subagja
Banua Law Review Vol. 3 No. 2 (2021): October
Publisher : Banua Law Review

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis batasan penyidik melakukan penyadapan dalam tahap penyidikan dan Pengujian terhadap keabsahan tindakan penyidik dalam melakukan penyadapan. Jenis penelitian hukum yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif. Penelitian ini adalah penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa Batasan penyidik melakukan penyadapan dalam tahap penyidikan adalah mengacu kepada Standar Operasional Prosedur yang telah diatur dalam undang-undang khususnya masing-masing. Pada pokoknya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010 menyatakan pada pokoknya penyadapan (interception) adalah sebuah perbuatan melawan hukum. Hal ini dikarenakan penyadapan merupakan sebuah tindakan yang melanggar privasi orang lain dan oleh karenanya melanggar hak asasi manusia. Sehingga batasan penyidik dalam melakukan penyadapan harus diawasi dengan ketat dalam aturan yang berlevel undang-undang
Asas Nebis In Idem dalam Putusan Praperadilan dan Pelaksanaan Pengajuan Praperadilan Lebih dari Satu Kali bagi Tersangka dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia Fernandos Pasaribu
Banua Law Review Vol. 3 No. 2 (2021): October
Publisher : Banua Law Review

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pengajuan praperadilan yang diajukan lebih dari satu kali masih diterima oleh hakim. Hal ini terjadi karena tidak adanya aturan yang tegas membahas tentang pengajuan praperadilan lebih dari satu kali di dalam KUHAP. Pelaksanaan praperadilan lebih dari satu kali belum berlandaskan pada hukum positif dan bertentangan dengan asas-asas dan teoriteori hukum seperti keadilan posedural, kepastian hukum, asas legalitas dan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Asas nebis in idem memiliki arti bahwa orang yang sudah diadili atau dijatuhi hukuman yang sudah memiliki kekuatan yang mengikat yang pasti oleh badan peradilan yang berwenang atas suatu kejahatan atau tindak pidana yang dituduhkan kepadanya, tidak boleh diadili atau dijatuhi putusan untuk kedua kalinya atau lebih, atas kejahatan atau tindak pidana, tempat kejadian dan waktu (locus delicti dan tempus) yang sama.
Problematika Penuntutan kepada Anak Berkonflik dengan Hukum berupa Tindakan Pengembalian kepada Orang Tua/Wali berdasarkan Prinsip Restorative Justice Chinta Rosa Reksoputri
Banua Law Review Vol. 3 No. 2 (2021): October
Publisher : Banua Law Review

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kriteria Penuntut Umum dapat menuntut anak yang berkonflik dengan hukum dengan tindakan pengembalian kepada orang tua/wali didasarkan pada tindak pidana yang dilakukan oleh anak tersebut. Sanksi Pengembalian kepada orang tua diutamakan bagi anak yang melakukan tindak pidana ringan. Tindak pidana seperti pelanggaran lalu lintas, maupun perbuatan lain yang tidak menimbulkan kerugian berat bagi orang lain. Menuntut anak yang berkonflik dengan hukum dengan tindakan pengembalian kepada orang tua/wali sudah mencerminkan prinsif restorative justice dalam peradilan pidana khususnya peradilan pidana anak penjatuhan sanksi pidana seperti kurungan hendaknya dilakukan sebagai jalan keluar terakhir (ultimum remedium). Mengingat pemidanaan akan memberikan label kepada anak sebagai pelaku tindak pidana di masyarakat, sehingga anak akan merasa masa depannya sudah hancur.
Kewenangan PPNS Syahbandar dalam Tindak Pidana Pelanggaran Undang – Undang Nomor : 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Simon Ito
Banua Law Review Vol. 3 No. 2 (2021): October
Publisher : Banua Law Review

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji mengenai kewenangan Syahbandar dan PPNS dalam melaksanakan tindak pidana pelanggaran undang – undang nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran. Yuridiksi dan kewenangan PPNS Syahbandar dalam menyelsaikan kasus tindak Pidana Pelanggaran Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2008 telah di atur dalam pasal 207, 208, 209, dan 210 sementara dalam hal koordinasi kegiatan pemerintahan di pelabuhan terdapat pasal 211, 212. Sedangkan fungsi dan kewenangan PPNS telah diatur dalam pasal 282, 283, dan ketentuan pidananya terdapat dalam pasal 284 sampai pasal 336. Beberapa contoh kasus kecelakaan kapal, dan kapal tidak memiliki SPB ( surat persetujuan berlayar dari Syahbandar) pemeriksaan awal nya di lakukan oleh instansi lain atau bukan Syahbandar, merupakan pemandangan yang dapat membingungkan masyarakat, kedudukan Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran sama dengan undang – undang lain yakni, sebagai hukum positif di indonesia. Sebagai aturan yang bersifat lex specialist, undang - undang nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran di dalamnya semuanya telah di atur semua hal terkait dengan pelayaran , termasuk tentang siapa dan bagaimana tata cara pemeriksaan dan penyidikan tindak pidana yang di langgar oleh masyarakat dalam pasal 245 undang – undang nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran telah di sebutkan tentang terancamnya kecelakaan kapal dan jiwa manusia. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa : Syahbandar merupakan pejabat pemerintah tertinggi di pelabuhan atau dengan kata lain Otoritas pelabuhan yang berwenang memeriksa setiap kapal yang masuk di pelabuhan maupun kapal yang akan berangkat ke pelabuhan lainnya. Baik pelabuhan yang di usahakan maupun pelabuhan yang tidak di usahakan, setiap kapal yang akan berangkat wajib memiliki surat persetujuan berlayar dari Syahbandar, bengitu juga kapal yang tiba di pelabuhan wajib memiliki surat persetujuan berlayar yang di keluarkan oleh syahbandar di pelabuhan asal, jika kapal yang datang tidak di lengkapi dengan surat persetujuan berlayar dan tidak memiliki dokumen lain yang di wajibkan sesuai dengan aturan yang berlaku, maka PPNS kesyabandaran berhak untuk memeriksa kapal tersebut dan menahan kapal tersebut. Hal yang membingungkan dalam Undang – Undang nomor 17 tahun 2008 nyaitu terdapat dalam pasal 220 dimana pemeriksaan pendahuluan di lakukan oleh Syahbandar, kemudian pemeriksaan lanjutan di lakukan oleh Mahkama Pelayaran. Kewenangan yang dilakukan oleh Makamah Pelayaran terdapat dalam pasal 250 undang – undang nomor 17 tahun 2008. Hasil pemeriksaan Mahkamah pelayaran hanya bersifat rekomendasi yang tidak memiliki kekuatan hukum, pasal inilah yang membingungkan bagi peneliti karena di dalam pasal 207 undang – undang nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran, syahbandar memilki fungsi, tugas dan wewenang syahbandar. Kenapa pemeriksaan lanjutan di serahkan ke Makamah Pelayaran, kenapa tidak di serahkan kepada PPNS Syahbandar yang di berikan kewenangan untuk memproses tindak pidana pelanggaran undang – undang nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran
Legalitas Hukum Pihak Penggugat Dalam Mengajukan Gugatan Di Pengadilan Dengan Akta Pengikatan Jual Beli Ahmad Mubarak; Mulyani Zulaeha; Anang Shophan Tornado
Banua Law Review Vol. 4 No. 1 (2022): April
Publisher : Banua Law Review

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/balrev.v4i1.32

Abstract

Penelitian ini menjelaskan adanya perbedaan aturan yang saling bertentangan mengenai peralihan hak atas tanah antara ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2016 sehingga menimbulkan konflik hukum yang menjadi adanya ketidakpastian terhadap status hukum peralihan hak atas tanah melalui jual beli berdasarkan akta perjanjian pengikatan jual beli. Sehingga ketika timbulnya sengketa tanah pihaknya merasa haknya dirugikan oleh orang lain yang telah menguasai tanah sebagai objek sengketa tersebut tanpa adanya persetujuan dari orang yang mempunyai hak atas tanah tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan. Jadi penelitian bertujuan untuk menganalisis kepastian hukum dan perlindungan hukum mengenai peralihan terhadap pihak pembeli selama masih dalam perjanjian pengikatan jual beli dan kuasa menjual sebelum membuat akta jual beli yang dibuat oleh PPAT yang berwenang dan juga menganalisis legal standing yang dimiliki penggugat/pihak pembeli dalam mengajukan gugatan di pengadilan berdasarkan jual beli dan kuasa menjual. Hasil Penelitian ini menjelaskan pada dasarnya tunduk pada ketentuan peraturan mengenai pendaftaran tanah yang mengatur bahwa peralihan hak atas tanah kecuali lelang hanya dapat dibuktikan dengan Akta dari IPPAT dan didaftrkan ke Kantor Pertanahan. Dalam melakukan dan apabila dalam penyelesaian sengketa ketika mengajukan gugatan seorang penggugat harus memiliki syarat formil dan syarat materil. Jadi langkah hukum yang dapat ditempuh dalam penyelesaian sengketa ini dapat dilakukan dengan non-litigasi. Jika tidak tercapai juga dalam penyelesaian sengketa nya maka langkah terahkir yang dilakukan menggunakan jalur litigasi
Tanggung Jawab Calon Notaris Magang pada Kantor Notaris dalam Prespektif Undang-Undang Jabatan Notaris Hasna Shofiya; Abdul Halim Barkatullah; Ahmad Syaufi
Banua Law Review Vol. 4 No. 1 (2022): April
Publisher : Banua Law Review

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/balrev.v4i1.33

Abstract

Tujuan dari penelitian ini Untuk mengetahui dan memahami serta menganalisis mengenai apa saja tanggung jawab calon notaris yang magang pada kantor notaris dan memahami calon notaris magang dapat menjalankan tugas magangnya dengan tepat di masa magangnya pada kantor notaris. Hasilnya dengan diadakannya program notaris magang calon notaris dapat melihat secara langsung bagaimana kegiatan sehari-hari Notaris lakukan dam Pada pasal 16 A Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang jabatan notaris seharusnya berkewajiban menjaga kerahasiaan segala yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh Notaris, bukan calon notaris magang, perlu adanya ketentuan tersendiri yang mengatur calon notaris magang
Pengaturan terhadap Perubahan Status Jenis Kelamin di Indonesia Muhammad Rifqi Anshari; Erlina Erlina; Lena Hanifah
Banua Law Review Vol. 4 No. 1 (2022): April
Publisher : Banua Law Review

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/balrev.v4i1.34

Abstract

Seiring berkembangnya zaman dengan kemajuan teknologi di dunia Kedokteran khusunya dalam bidang Operasi Jenis Kelamin biasanya keinginan untuk melakukan perubahan jenis kelamin yang dilakukan disebabkan karena ketidaknyamanan yang dialami oleh orang tersebut dengan jenis kelamin yang dibawanya sejak lahir. dalam hukum positif Indonesia tidak adanya aturan khusus yang mengatur tentang perubahan jenis kelamin. Pasal 56 Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan secara tidak langsung memberikan kesempatan untuk seorang Transeksual mengajukan perubahan status kelaminnya melalui putusan pengadilan. Dalam Putusan Pengadilan Negeri No 9/Pdt.P/2021/PN Wat menurut keterangan saksi ahli bahwa tujuan dari Transgender pada dasarnya ada 2 yaitu penyesuaian terhadap fisik dan penyusuaian data secara hukum. Jadi yang kita pahami disini apakah “pencatatan” dan “perubahan jenis kelamin” merupakan dua hal yang dapat dipisah, ataukah keduanya merupakan suatu rangkaian dari peristiwa kejiwaan selanjutnya diikuti dengan tindakan medis lainnya yang kemudian berakhir dengan peristiwa hukum yaitu adanya pencatatan tersebut? Apabila pencatatan perubahan jenis kelamin tidak dapat dipisah, dan merupakan satu kesatuan rangkaian peristiwa hukum, bukankah seharusnya majelis hakim menolak seluruhnya permohonan tersebut dikarenakan pemohon belum melakukan tindakan medis berupa operasi penggantian alat kelamin? Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk menganalisa apa yang mendasari hakim dalam menetapkan status seorang Transeksual di Indonesia dan bagaimana pengaturan yang ideal terhadap perubahan jenis kelamin sesorang di Indonesia. Hasil Penelitian ini menjelaaskan pada putusan Nomor No 9/Pdt.P/2021/PN Wat majlis hakim mengabulkan permohonan dengan berlandaskan hukum. Tapi apabila di analisis lebih mendalam seharusnya majelis hakim menolak permohonan tersebut karena dalam keterangan pemohon tidak menerangkan bahwa sudah melakukan operasi perubahan alat kelamin. Yang kedua karena di indonesia status hukum nya legal terkait praktik operasi kelamin maka perlu dibuat aturan khusus tentang perubahan jenis kelamin yang jelas agar mengisi kekosongan hukum dan tidak terjadi disparitas dalam penetapan oleh majelis hakim terkait perubahan jenis kelamin