cover
Contact Name
NI NYOMAN MESTRI AGUSTINI
Contact Email
nyoman.mestri@undiksha.ac.id
Phone
+6281933048631
Journal Mail Official
nyoman.mestri@undiksha.ac.id
Editorial Address
Jalan Udayana no 11 Singaraja Bali
Location
Kota denpasar,
Bali
INDONESIA
GANESHA MEDICINA
ISSN : -     EISSN : 27978672     DOI : -
Core Subject : Health,
Ganesha Medicina Journal is open access; double-blinded peer-reviewed journal aiming to communicate high-quality research articles, case report, reviews and general articles in the field. Ganesha Medicina Journal publish articles that encompass all aspects of basic research/clinical studies related to the field of medical sciences. The Journal aims to bridge and integrate the intellectual, methodological, and substantive diversity of medical scholarship, and to encourage a vigorous dialogue between medical scholars and practitioners.
Articles 39 Documents
THE OVERVEW OF SPINAL CORD INJURY I Gede Surya Dinata; Anak Agung Gede Wira Pratama Yasa
Ganesha Medicina Vol. 1 No. 2 (2021)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (384.165 KB) | DOI: 10.23887/gm.v1i2.39735

Abstract

Spinal cord injury (SCI) atau cedera medula spinalis adalah suatu kondisi gangguan pada medula spinalis atau sumsum tulang belakang dengan gejala fungsi neurologis mulai dari fungsi motorik, sensorik, dan otonomik, yang dapat berujung menjadi kecacatan menetap hingga kematian. Menurut WHO, SCI diperkirakan terjadi sebanyak 40-80 kasus per 1 juta penduduk dalam setahun. Kasus traumatis menjadi faktor tersering penyebab SCI (90%) mulai dari kecelakaan lalu lintas, jatuh, rekreasi, dan pekerjaan. Sehingga pasien yang mengalami trauma multipel patut dicurigai terkena SCI. Gejala dapat bervariasi tergantung tingkat lokasi dan keparahan lesi cedera yang dapat berupa gejala neurologis seperti nyeri pada bagian tengah dari punggung, parasthesia, hingga penurunan kesadaran pada pasien. Mekanisme terjadinya SCI dapat terjadi secara langsung atau cedera primer dan apabila pasien tidak diberikan penanganan segera dan adekuat, cedera primer akan berlanjut menjadi cedera sekunder. Informasi yang didapatkan sebelum pasien masuk ke unit gawat darurat penting untuk didapatkan seperti mekanisme dari terjadinya cedera, dan penanganan pre-hospital. Penanganan pasien SCI dapat menggunakan teknik ABCD dan dapat dilakukan tindakan pembedahan darurat apabila pasien memiliki faktor risiko tertentu. Bila pasien tidak mendapat penanganan intensif dan segera, maka cedera dapat berlanjut menjadi defisit neurologis serta kecacatan yang menetap hingga akhir hayat pasien. Maka dari itu, penting bagi kita sebagai seorang klinisi untuk mengetahui dari struktur anatomi dan fisiologi medula spinalis, epidemiologi, etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, tatalaksana, serta prognosis dari SCI, sehingga dapat melakukan pengamatan dan penanganan awal pada pasien yang terindikasi SCI.
DIABETES MELITUS TIPE 2: FAKTOR RISIKO, DIAGNOSIS, DAN TATALAKSANA Kadek Resa Widiasari; I Made Kusuma Wijaya; Putu Adi Suputra
Ganesha Medicina Vol. 1 No. 2 (2021)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (164.605 KB) | DOI: 10.23887/gm.v1i2.40006

Abstract

AbstrakDiabetes melitus menggambarkan sekelompok penyakit metabolik yang temuan umumnya adalah kadar glukosa darah yang meningkat. Pada usia 20-79 tahun, terdapat 463 juta atau setara 9,3% orang di dunia menderita diabetes pada tahun 2019. Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan defisiensi insulin relatif yang disebabkan oleh disfungsi sel pankreas dan resistensi insulin. Faktor risiko penyebabnya dibagi menjadi dua yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Gejala klasik diabetes seperti poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Empat tes diagnostik untuk diabetes yaitu pengukuran glukosa plasma puasa, glukosa plasma 2 jam setelah TTGO 75 g, HbA1c, dan glukosa darah acak dengan adanya tanda dan gejala klasik diabetes. Tatalaksana dibagi menjadi dua, yaitu farmakologi dan non farmakologi. Tatalaksana non farmakologis terdiri atas edukasi, nutrisi medis, dan latihan fisik. Terapi farmakologis terdiri atas obat oral dan bentuk suntikan dalam bentu obat anti hiperglikemik dan insulin. Terapi farmakologi dan non farmakologi ini berjalan beriringan. Penulisan artikel ini menggunakan metode literature review dan diharapkan dapat dijadikan acuan kedepan dalam melakukan tindakan pencegahan dan pengobatan pasien diabetes melitus sehingga prevalensi berkurang dan komplikasi dapat dihindari.   AbstractDiabetes mellitus describes a group of metabolic diseases whose common finding is elevated blood glucose levels. At the age of 20-79 years, there were 463 million or 9.3% of people in the world suffer from diabetes in 2019. Type 2 diabetes mellitus is characterized by relative insulin deficiency caused by pancreatic cell dysfunction and insulin resistance. The risk factors that cause it are divided into two, namely modifiable and non-modifiable risk factors. The classic symptoms of diabetes include polyuria, polydipsia, polyphagia and unexplained weight loss. The four diagnostic tests for diabetes are measurement of fasting plasma glucose, plasma glucose 2 hours after OGTT 75 g, HbA1c, and randomized blood glucose in the presence of classic signs and symptoms of diabetes. Treatment is divided into two, namely pharmacological and non-pharmacological. Non-pharmacological management consists of education, medical nutrition, and physical exercise. Pharmacological therapy consists of oral drugs and injections in the form of anti-hyperglycemic drugs and insulin. Pharmacological and non-pharmacological therapy goes hand in hand. The writing of this article uses the literature review method and is expected to be used as a future reference in carrying out prevention and treatment of diabetes mellitus patients so that prevalence is reduced and complications can be avoided.  
FAKTOR ENABLING PENYEBAB KEMATIAN IBU HAMIL PADA MASA PANDEMIK COVID-19 KECAMATAN AJUNG Astikah; Farida Wahyu Ningtyias; Dewi rokhmah
Ganesha Medicina Vol. 2 No. 1 (2022)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (214.662 KB) | DOI: 10.23887/gm.v2i1.42772

Abstract

Kematian ibu adalah kematian seorang ibu sewaktu hamil atau dalam waktu 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan. Kematian ibu menjadi isu internasional dan menjadi indikator penting dalam mengukur derajat kesehatan masyarakat yaitu menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan penduduk di segala usia. Setiap negara memiliki tanggung jawab untuk mencegah meningkatnya kematian ibu. Penelitian bertujuan untuk mengetahui faktor enabling sebagai penyebab kematian ibu hamil pada masa pandemi COVID-19. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian kualitatif, dengan desain penelitian studi kasus, dilakukan dengan teknik wawancara serta observasi. Faktor enabling terdiri dari protokol kesehatan bagi petugas kesehatan berdasarkan hasil didapatkan semua petugas sudah menerapkan protokol kesehatan sesuai dengan SOP. Jarak/waktu tempuh pelayanan didapatkan semua ibu hamil dapat mengakses pelayanan pemeriksaan tanpa ada kendalan jarak dan waktu tempuh. Sarana kesehatan sudah terpenuhi semua antara lain puskesmas pembantu, pondok kesehatan desa, poli KIA, posyandu dan untuk prasarananya sendiri antara lain laborat, usg, ekg, apd sudah tercukupi untuk pelayanan persalinan difasilitas kesehatan. Jarak/waktu tempuh ibu hamil ke layanan kesehatan rata-rata 10 menit.Kepatuhan ibu dan keluarga dalam melaksanakan protokol Kesehatan didapatkan semua ibu hamil rutin melakukan pemeriksaan dengan tetap mematuhi protokol Kesehatan yang merupakan hal yang wajib dalam memutus mata rantai penyebaran virus COVID-19.
SKIZOFRENIA PARANOID I Komang Gunawan Landra; Kadek Devi Indah Anggelina
Ganesha Medicina Vol. 2 No. 1 (2022)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (180.13 KB) | DOI: 10.23887/gm.v2i1.46314

Abstract

Skizofrenia paranoid ditegakkan sesuai kriteria diagnosis dari PPDGJ III yaitu dengan memenuhi kriteria skizofrenia dan ditambah dengan gejala halusinasi dan/atau waham yang menonjol. Gangguan ini memiliki dapat mengganggu fungsi kerja dan sosial. Pada kasus ini, pasien perempuan, 30 tahun, diantar keluarganya dengan keluhan gelisah. Awal keluhan dimulai saat 4 tahun yang lalu pasien memilih-milih makanan yang diberikan tetangga yang mana bisa dimakan dan tidak, sering berbicara sendiri, pasien megatakan pernah melihat Dewa Siwa, dan mendengar bunyi tawa. Sejak 15 hari pasien tidak mau makan, mandi, dan hanya menyendiri di kamar. Status Psikiatri didapatkan kesan umum penampilan tidak wajar, kesadaran jernih, afek tumpul, halusinasi visual dan auditorik, bentuk piker autism, arus piker perseverasi da nisi pikiran waham kejar. Early insomnia dan hipobulia, tilikan 1 dengan pans-ec skor 7. Diagnosis disesuaikan dengan PPDGJ III dan ditegakkan skizofrenia paranoid. Terapi yang diberikan adalah pasien rawat inap di IPCU diberikan injeksi kombinasi olanzapine 10mg intramuskuler dengan diazepam 5mg intravena pelan. Rencana terapi berupa risperidone 1x2mg ditambah dengan psikoedukasi, intervensi keluarga, CBT, dan rehabitasi.
MODALITAS TERAPI PEMBEDAHAN PADA INKONTINENSIA URIN TIPE STRESS BERULANG Aditya Prabawa; I Gede Mega Putra; Jeffy Winarta Wahjudi
Ganesha Medicina Vol. 2 No. 1 (2022)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (447.326 KB) | DOI: 10.23887/gm.v2i1.46458

Abstract

Inkontinensia urin adalah masalah kesehatan yang sering terjadi, terutama terjadi pada wanita. Bukan hanya menggakibatkan masalah fisik, inkontinensia urin juga menyebabkan masalah psikologis, sosial dan ekonomi yang dapat menggangu kualitas hidup pasien. Sampai saat ini belum ada terapi konservatif ataupun medikamentosa yang menimbulkan hasil yang memuaskan oleh karena terapi tersebut tidak memiliki pengaruh signifikan pada leher kandung kemih dan sfingter uretra. Pembedahan direkomendasikan kepada pasien yang telah gagal menjalani terapi konservatif dan bermasalah dengan kualitas hidup. Beberapa tindakan pembedahan adalah kolporafi anterior, retropubic urethropexy dengan metode Marshall-Marchetti-Krantz (MMK) dan metode Burch, periurethral bulking agent injection, tension free vaginal tape (TVT) dan transobturator tape (TOT). Hingga saat ini TVT merupakan metode terbaik dengan efektivitas jangka panjang yang paling tinggi dibandingkan dengan metode lainnya dan telah digunakan secara luas dalam pembedahan inkontinensia urin. Pada inkontinensia urin tipe stres berulang pilihan tatalaksananya berupa operasi TVT ulangan dengan menggunakan sling dari bahan sintetik atau bladder neck sling, disertai dengan latihan otot dasar panggul. Untuk pasien yang tidak menginginkan tindakan operasi dapat dilakukan tindakan periurethral bulking agent injection. Metode TVT direkomendasikan pada keadaan fasilitas kesehatan yang memiliki peralatan dan sumber daya manusia yang memadai.
ANEMIA DEFISIENSI BESI: DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA Putu Arya Nugraha; Anak Agung Gede Wira Pratama Yasa
Ganesha Medicina Vol. 2 No. 1 (2022)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (221.22 KB) | DOI: 10.23887/gm.v2i1.47015

Abstract

Anemia merupakan keadaan dimana seseorang memiliki kadar hemoglobin (Hb) <13g/dL pada laki-laki atau <12g/dL pada perempuan. Penyakit ini merupakan penyebab kecacatan tertinggi kedua di dunia dimana sekitar 25% orang di dunia ini terkena anemia. Diperkirakan bahwa setengah dari populasi penderita anemia tersebut terkena Anemia Defisiensi Besi (ADB). ADB merupakan anemia yang timbul akibat berkurangnya cadangan besi dalam tubuh. Penyakit ini dikaitkan oleh kelompok berisiko yaitu wanita, ibu hamil, anak balita-remaja, dan faktor sosio-ekonomi yang rendah. Penyakit ini memiliki gejala klinis seperti anemia pada umumnya dan dapat ditemukan gejala khas seperti kuku sendok, stomatitis angularis, disfagia, dan atropi papil lidah. Diagnosis dapat dilakukan melalui pemeriksaan darah lengkap, apusan darah tepi, dan status besi pada pasien. Prinsip utama dalam penanganan ADB yaitu suplementasi zat besi dan atasi penyebab terjadinya ADB, serta pemberian transfusi darah dengan indikasi tertentu. Apabila ADB tidak ditangani dengan baik, penyakit ini dapat menyebabkan gangguan pada kognitif, penurunan aktivitas, dan perubahan tingkah laku pada pasien.
EPIDEMIOLOGI, FAKTOR RISIKO, KONSELING PRA DAN PASCA FRAKTUR DISTAL RADIUS AKIBAT TRAUMA ENERGI RENDAH Ekanova Dharmapala; I Gusti Agung Mirah Puspitayani
Ganesha Medicina Vol. 2 No. 1 (2022)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (316.192 KB) | DOI: 10.23887/gm.v2i1.47028

Abstract

Fraktur Radius Distal (DRF) merupakan salah satu fraktur yang paling sering terjadi. Epidemiologinya meningkat pada populasi usia tua terutama pada wanita 50 tahun ke atas. DRF terjadi tidak hanya akibat trauma energi tinggi, namun sering kali pada trauma energi rendah, dimana banyak faktor yang berkontribusi terhadap risiko ini, termasuk perubahan struktur pada tulang, peningkatan tingkat aktivitas, dan penyakit tulang metabolik. Osteopenia dan osteoporosis adalah hal yang cukup sering menyebabkan fraktur patologis pada pasien usia lanjut. Kepadatan massa tulang yang mempengaruhi kekuatan tulang tersebut dalam menahan beban yang diberikan. Pasien dengan DRF pada usia lanjut berpotensi mengakibatkan hasil fungsional yang buruk, maka dari itu diperlukan upaya preventif dengan menghindari faktor risiko, terutama faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Pasca kejadian DRF pun masih diperlukan konseling yang intensif kepada pasien karena komplikasi seperti kekakuan tangan yang berkelanjutan, sindrom nyeri regional yang kompleks, malunion, dan keterlambatan kembali bekerja dapat memperpanjang fase rehabilitasi pasca DRF.
KANKER PAYUDARA: DIAGNOSTIK, FAKTOR RISIKO, DAN STADIUM Ketut Suparna; Luh Made Karuni Kartika Sari Sari
Ganesha Medicina Vol. 2 No. 1 (2022)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (276.169 KB) | DOI: 10.23887/gm.v2i1.47032

Abstract

Kanker payudara merupakan kanker yang paling sering ditemukan pada wanita. Salain itu merupakan penyebab kematian terkait kanker paling sering setelah kanker paru. Kanker payudara (Carcinoma Mammae) adalah tumor ganas yang tumbuh dalam jaringan payudara, yang dapat menyebar ke organ tubuh lain. Kanker payudara merupakan penyakit dengan prognosis yang buruk, karena sering ditemukan pada stadium yang sudah lanjut. Diagnosis dini dengan teknik yang tepat dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat penyakit ini. Teknik untuk diagnosis kanker payudara meliputi triple diagnostic yaitu: klinis, imaging, dan sitologi. Kanker payudara adalah penyakit multifaktorial yang meliputi faktor usia, genetik dan riwayat keluarga, reproduksi dan hormonal, serta gaya hidup. Dengan mengetahui faktor risiko, maka kita akan lebih waspada untuk memeriksakan diri dan dapat didiagnosis pada stadium sedini mungkin. Penentuan stadium kanker payudara dilakukan dengan menggunakan indikator TNM yang dikeluarkan oleh American Joint Committee on Cancer (AJCC). Kanker payudara dibedakan dalam 8 stadium yang meliputi: stadium 0, stadium I, stadium IIA/B, stadium IIIA/B/C, dan stadium IV.
EPIDEMIOLOGI DAN TERAPI PADA FRAKTUR COLLES I Gusti Ngurah Kusuma Yadnya; I Made Adi Santi Wijaya
Ganesha Medicina Vol. 2 No. 1 (2022)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (177.263 KB) | DOI: 10.23887/gm.v2i1.47041

Abstract

Fraktur Radius Distal (DRF) merupakan salah satu fraktur yang paling sering terjadi di masyarakat. Di antara fraktur radius distal, mayoritas adalah fraktur ekstra artikular. Fraktur Colles adalah fraktur radius ekstra articular distal bentuk kelainannya seperti 'garpu makan malam' (dinner fork deformity), dengan menonjol di bagian belakang pada pergelangan tangan. Epidemiologinya pada laki-laki lebih rendah dibandingkan perempuan. Arah cedera ini lebih sering mempengaruhi dewasa muda (terutama laki-laki) melalui mekanisme energi tinggi dan orang dewasa atau lanjut usia (terutama wanita) melalui mekanisme energi rendah. Fraktur Colles yang ditangani dengan baik bergantung pada tiga komponen, pengurangan fraktur yang terjadi, kemampuan untuk mempertahankan kesejajaran tulang yang tepat dan pada pasien dapat menggerakkan bahu dan tangan selama proses penyembuhan. Terapi yang diberikan dapat operatif maupun non operatif tergantung dari derajat trauma. Fraktur radius ekstra-artikular distal (Colles') yang terapi dengan fiksasi K-wire perkutan bersama dengan gips di bawah siku memberikan stabilitas tambahan dan hasil radiologis yang baik dibandingkan dengan pasien yang terapi dengan reduksi tertutup dan gips di bawah siku
INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI SEGMEN ST (IMA-EST) ANTERIOR EKSTENSIF: LAPORAN KASUS I Ketut Susila; Putu Kiki Wulandari; Anak Agung Gede Wira Pratama Yasa
Ganesha Medicina Vol. 2 No. 1 (2022)
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (577.562 KB) | DOI: 10.23887/gm.v2i1.47058

Abstract

Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan penyakit kardiovaskular utama yang memiliki tingkat mortalitas yang tinggi dan menjadi penyebab kematian utama di seluruh dunia. Bedasarkan data dari Kemenkes Tahun 2013, SKA menempati posisi ke-7 sebagai penyakit tidak menular tertinggi di Indonesia, dimana terdapat sekitar 1,5% penduduk atau 2.650.340 orang yang terdiagnosis oleh dokter bedasarkan gejala yang mengalami SKA di Indonesia. Selain itu, diperkirakan kematian yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskular akan terus meningkat mencapai 23,3 juta kematian pada tahun 2030. IMA-EST merupakan kejadian oklusi total pada pembuluh darah arteri koroner yang dapat menyebabkan infark luas pada miokardium dan ditandai dengan peningkatan segmen ST persisten minimal 2 sadapan yang bersebelahan pada elektrokardiogram. Klinis yang dapat ditemukan pada pasien adalah nyeri dada iskemik yang berkepanjangan pada saat istirahat. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi segera untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard. Terapi reperfusi dapat dilakukan dengan intervensi koroner perkutan atau melalui terapi fibrinolitik. Kata kunci: Sindrom Koroner Akut, IMA-EST, Terapi Reperfusi

Page 2 of 4 | Total Record : 39