cover
Contact Name
Maria Evvy Yanti
Contact Email
jurnalefata@gmail.com
Phone
+6281312414725
Journal Mail Official
jurnalefata@gmail.com
Editorial Address
Jl. Wijaya I No.29-31, RT.2/RW.4, Petogogan, Kec. Kebayoran Baru, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12170
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Efata: Jurnal Teologi dan Pelayanan
ISSN : 24771333     EISSN : 27228215     DOI : https://doi.org/10.47543
Jurnal EFATA merupakan wadah publikasi online hasil penelitian para dosen di Sekolah Tinggi Teologi Iman Jakarta, pada bidang teologi dan pelayanan Kristiani. Jurnal EFATA diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Teologi Iman Jakarta, dengan Focus and Scope adalah: 1. Teologi Sistematika 2. Teologi Biblika 3. Teologi Pastoral 4. Misiologi 5. Pelayanan Kristiani
Articles 40 Documents
Seberapa Teologiskah Teologi Biblika: Relasi antara Teologi Sistematika dan Teologi Biblika Thio Christian Sulistio
Jurnal EFATA: Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 6, No 2: Juni 2020 (Print in September)
Publisher : STT Iman Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47543/efata.v6i2.28

Abstract

The relationship between biblical theology and systematic theology has been seen as separate disciplines nowadays. Biblical theology only looking for what the text of the Bible meant for the first reader meanwhile systematic theology only attempts to find the meaning of the Bible text for today's people. Biblical theology is an objective study meanwhile systematic theology is a study based on the religious belief of the theologians. This paper, through literature research, tries to give a proposal that biblical theology and systematic theology has a close relationship. Both come directly from the Bible that they have a parallel and dialogical relationship.AbstrakRelasi teologi sistematika dan teologi biblika pada masa kini dipandang sebagai dua bidang ilmu yang terpisah. Teologi biblika hanya berupaya mencari apa makna teks pada masa penulis Alkitab sedangkan teologi sistematika hanya berpusat pada menyampaikan makna teks pada masa kini. Teologi biblika adalah studi obyektif sedangkan teologi sistematika adalah studi yang berdasar pengakuan iman seseorang. Paper ini, melalui penelitian literatur yang ada, mencoba mengusulkan bahwa teologi biblika dan teologi sistematika memiliki relasi yang erat dimana keduanya berakar dari Alkitab dan bersifat pararel dan dialogis.
Strategi Pendidikan Kristiani dalam Mempresentasikan Injil bagi Anak Sekolah Minggu Prasekolah Bulanda Agata; Yonatan Alex Arifianto
Jurnal EFATA: Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 9, No 1: Desember 2022
Publisher : STT Iman Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47543/efata.v9i1.99

Abstract

The world of children in preschool is when children are again in the phase of having fun and playing with the family and the outside environment. The preschool age, which is 3-6 years old, is when children enjoy playing while learning. This is a time when children need to be introduced to the education that begins with the knowledge of the truth of God's word from Sunday school activities and introduces them to basic education about the truth of the gospel from the Biblical story. The importance of this research is to cultivate spirituality early for children at preschool age; that is, since children are 3-6 years old, they need a good and correct spiritual life through preaching the gospel and presenting the gospel to children of preschool age. The need for Christian religious education for children at an early age where children need to be reached and introduced to the truth from God's word, to Christ, and children really need guidance from educators, whether they be Christian religious educators, Sunday school teachers or parents also need to play an important role in educating by introducing the truth of the stories in the Bible. Evangelism is one good strategy to reach children by presenting the gospel and the great message in preschool Sunday schools. The purpose of this writing is to find out that strategies in learning Christian religious education are very important for educators, especially for Sunday school teachers, to present the gospel and the great message for Sunday school children in ministry, bringing up creative ideas in teaching strategies. through Sunday school preschool.  Abstrak: Dunia anak-anak dimasa prasekolah merupakan masa di mana anak-anak lagi pada fase senang-senang dan bermain dengan lingkungan keluarga dan lingkungan luar. Diusia prasekolah yaitu umur 3-6 tahun ini adalah masa anak-anak senang dalam bermian sambil belajar. Masa ini adalah masa anak-anak perlu untuk dikenalkan akan pendidikan yang dimulai dar pengenalan akan kebenaran dari firman Tuhan dari kegiatan sekolah Minggu dan mengenalkan kepada mereka pendidikan dasar tentang kebenaran injil dari cerita Alkitab. Pentingnya penelitian ini adalah menumbuhkan kerohanian sejak dini bagi anak-anak diusia prasekolah yaitu sejak anak-anak berumur 3-6 tahun, mereka memerlukan kehidupan kerohanian yang baik dan benar melalui pemberitaan injil, mempresentasikan injil bagi anak-anak usia prasekolah. Perlunya pendidikan agama Kristen bagi anak-anak di usia dini di mana anak-anak itu perlu untuk dijangkau dan dikenalkan akan kebenaran dari firman Tuhan, kepada Kristus, dan anak sangat perlu pembinaan dari para pendidik entah itu pendidik agama Kristen, guru sekolah Minggu maupun orang tua juga perlu berperan penting untuk mendidik dengan mengenalkan akan kebenaran dari cerita yang ada didalam Alkitab. Penginjilan adalah salah satu strategi yang baik untuk dilakukan supaya bisa menjangkau anak-anak dengan mempresentasikan injil dan amanat agung disekolah Minggu prasekolah. Tujuan dari penulisan ini adalah mengetahui bahwa strategi dalam pembelajaran pendidikan agama Kristen sangat penting untuk para pendidik terutama bagi guru sekolah Minggu untuk dapat mempresen-tasikan injil dan amanat agung bagi anak-anak sekolah Minggu dalam pelayanan, memunculkan akan ide-ide kreatif dalam strategi pengajaran melalui sekolah Minggu prasekolah. 
Rekonstruksi Misi Hospitalitas Gereja melalui Pembacaan Ulang Kisah Para Rasul 2:41-47 dalam Bingkai Moderasi Beragama di Indonesia Harls Evan R. Siahaan; Handreas Hartono; Yogi Tjiptosari
Jurnal EFATA: Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 8, No 2: Juni 2022
Publisher : STT Iman Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47543/efata.v8i2.62

Abstract

Moderasi beragama menjadi salah satu tema yang sedang digalakkan di lingkungan Kementrian Agama Republik Indonesia; dalam rangka menghadapi berbagai kecenderungan negatif, disruptif, hingga destruktif, yang dibangun atas nama agama. Fundamentalisme, radikalisme, dan terorisme telah meningkat eskalasinya, sehingga membutuhkan penanganan yang serius dari berbagai pihak, termasuk kelompok Kristen. Sentimen kelompok menjadi ekses yang bertumbuh subur seiring polarisasi masyarakat yang juga dipengaruhi oleh praktik politik identitas. Sentimen itu tidak muncul secara instan, namun dapat disinyalir sebagai respon yang terakumulasi oleh, salah satunya, pola beragama yang sarat dengan nuansa kolonial dengan jargon evangelisasi di masa lalu. Pekabaran Injil telah meninggalkan jejak stigma kristenisasi, karena begitu sarat dengan semangat kolonialisme. Itu sebabnya, gereja perlu membangun sebuah konstruksi misi yang ramah dan anti-kolonial, melalui refleksi biblikal, atau pembacaan ulang nas kitab suci yang kerap digunakan sebagai dasar bermisi. Penelitian ini bertujuan untuk mengonstruksi sebuah bentuk misi yang berbasis hospitalitas di kalangan kelompok Pentakostal dan Karismatik, melalui pembacaan ulang Kisah Para Rasul 2:41-47 dengan bingkai moderasi beragama di Indonesia. Penilitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode deskriptif analisis interpretatif. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah teks Kisah Para Rasul 2:41-47, sebagai landasan konseptual misi hospitalitas, dengan membandingkannya terhadap konsep hospitalitas. Hasil rekonstruksi teks menunjukkan bahwa misi yang ditunjukkan melalui Kisah Para Rasul 2:41-47 merupakan misi hospitalitas. Kesimpulannya, Kekristenan perlu membangun doktrin misi yang hospitalitas sebagai bentuk moderasi beragama.
Pelayanan Holistik Melalui Strategi Entrepreneurship bagi Pertumbuhan Gereja Lokal Hardi Budiyana; Yonatan Alex Arifianto
Jurnal EFATA: Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 7, No 2: Juni 2021
Publisher : STT Iman Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47543/efata.v7i2.46

Abstract

Holistic ministry is a comprehensive Christian ministry, which emphasizes the balance between spiritual and physical ministry. Holistic ministry is a service that is carried out as a whole, through the preaching of the gospel that can answer human needs spiritually and physically. One of the strategies used in the ministry of evangelism is to present Entrepreneurship teaching in Theological Colleges. Through a qualitative approach to literature and descriptive methods, the results show that entrepreneurs can equip and develop businesses or work in service places to be more successful in overcoming various problems faced by God's servants and congregations. In conclusion, Entrepreneurship is given to students with the aim of empowering their abilities and skills to develop natural resource businesses. AbstrakPelayanan holistik merupakan pelayanan Kristen yang bersifat menyeluruh, yang menekankan keseimbangan antara pelayanan rohani dan jasmani atau fisik. Pelayanan holistik merupakan pelayanan yang dilakukan secara utuh, melalui pemberitaan Injil yang dapat menjawab kebutuhan manusia secara rohani dan jasmani. Salah satu strategi yang dipakai dalam pelayanan penginjilan adalah dengan menyajikan pengajaran Entrepreneurship di Pergu-ruan Tinggi Teologi. Melalui pendekatan kualitatif literatur dan metode deskriptif, diperoleh hasil bahwa entrepreneur dapat membekali dan mengembangkan usaha atau kerja di tempat pelayanan agar lebih sukses dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh hamba Tuhan maupun jemaat. Kesimpulannya, Entrepreneurship diberikan kepada mahasiswa dengan tujuan memberdayakan kemampuan dan ketrampilan mengembangkan usaha sumber daya alam sekitar.
Pendekatan Forgiveness Therapy dan Attachment Theory dalam Menangani Masalah Perselingkuhan Pasangan Kristen Joyis Sagala; May Rauli Simamora
Jurnal EFATA: Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 7, No 1 (2020): Desember 2020
Publisher : STT Iman Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47543/efata.v7i1.37

Abstract

The purpose of this study is to determine the effectiveness of Forgiveness Therapy and Attachment Theory which is applied to Christian families who experience infidelity and to improve the relationship between husband and wife to avoid family damage (divorce). Literature review according to the relevant material is used as a data collection method in this study. This study found that attachment theory and forgiveness therapy can be an appropriate inner healing approach for Christian husbands and wives. Forgiveness therapy and incorporating attachment theory can be used for the recovery of Christian married couples with infidelity problems.AbstrakTujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan forgiveness therapy and attachment theory yang diterapkan kepada keluarga kristen yang mengalami perseling-kuhan, serta memperbaiki hubungan antara suami dan istri agar terhindar dari kerusakan keluarga (perceraian). Tinjauan literatur sesuai materi yang relevan digunakan sebagai metode pengumpulan data dalam penelitian ini. Penelitian ini menemukan bahwa Attachment Theory dan Forgiveness therapy dapat menjadi pendekatan inner healing atau pemulihan yang tepat bagi suami-istri kristen. Terapi pemaafan (pengampunan) serta mengikut sertakan teori keterikatan (attachment theory) dapat digunakan untuk pemulihan kembali pasangan suami-istri kristen dengan masalah perselingkuhan.
Gereja Menyikapi Radikalisme di Era Disruptif Yohana Fajar Rahayu; Karyo Utomo; Yonatan Alex Arifianto
Jurnal EFATA: Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 9, No 2 (2022): Juni 2023
Publisher : STT Iman Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47543/efata.v9i2.122

Abstract

Church and radicalism; An attitude and the role of the church in an era of disruption amid a state of radicalism is to go hand in hand with the church's challenge to rise to light and love. The problem of radicalism is not only a local problem on a small scale but a problem being fought over by world leaders and the church. As part of human life, the church is called out from darkness to become light and as God's mandate amid the world, which naturally fulfills prophecy after prophecy regarding the end times. Where love grows cold, and man becomes selfish. Therefore the church is required to be able to play a role in helping the problem of radicalism by imitating the attitudes and examples of Jesus and his Apostles. For harmony and peace to be the goal of the church to have an impact using descriptive qualitative methods with a literature study approach and looking at the phenomenology of the church's situation in society, it can be concluded that the church exists to side with the truth and prioritize love, so the true church knows the meaning of the essence of the church as light and to be a blessing for humans because the existence of radicalism as a challenge to the church will bring the attitude and responsibility of the church to follow Jesus' example to fight with love and challenge the church in an era of disruption amid radicalism. Abstrak Gereja dan radikalisme; Sebuah sikap dan juga peran gereja dalam era disrupsi di tengah keadaan radikalisme adalah berjalan selaras dengan tantangan gereja untuk bangkit menjadi terang dan kasih. Permasalahan radikalisme bukan hanya menjadi masalah lokal dalam skala kecil, namun menjadi masalah yang digumulkan oleh pemimpin dunia dan gereja. Gereja sebagai bagian dari kehidupan manusia yang dipanggil keluar dari kegelapan untuk menjadi terang dan juga sebagai mandataris Tuhan di tengah dunia yang secara natural menggenapi nubuatan demi nubuatan terhadap akhir zaman. Di mana kasih menjadi dingin dan manusia akan mementingkan dirinya sendiri. Oleh karena itu gereja dituntut untuk dapat berperan dalam membantu masalah radikalisme dengan meneladani sikap dan teladan dari Yesus dan para Rasulnya. Supaya kerukunan dan kedamaian menjadi tujuan gereja berdampak menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi literatur dan melihat fenomenologi keadaan gereja ditengah masyarakat, dapat disimpulkan bahwa gereja hadir untuk berpihak kepada kebenaran dan mengutamakan kasih, maka gereja sejatinya mengetahui arti akan hakikat gereja sebagai terang dan menjadi berkat bagi manusia. Sebab adanya radikalisme sebagai tantangan gereja akan membawa sikap dan tanggung jawab gereja untuk mengikuti keteladanan Yesus memerangi dengan penuh kasih dan tantangan gereja dalam era disrupsi di tengah radikalisme.
Putri Yefta, Korban Perang Sang Ayah: Menafsir Ulang Hakim-Hakim 11:29-40 Agustina Raplina Samosir
Jurnal EFATA: Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 9, No 1: Desember 2022
Publisher : STT Iman Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47543/efata.v9i1.77

Abstract

The interpretation of Jephthah's vows is divided into two major views: pro-life (Jephthah did not sacrifice his daughter as a burnt sacrifice) and counter-life (Jephthah sacrificed his daughter as a burnt sacrifice). These two views have their own arguments. The interpretation of pro-life holds that Jehovah was so opposed to human sacrifice that Jephthah offered his daughter as a man of God in the Temple. On the contrary, the counterlife interpretation considers evidence primarily of the naming of Jephthah's daughter among the daughters of Israel that Jephthah offered his daughter as a burnt sacrifice. According to the author, many interpretations of pro-life ignore the evidence of the sacrifice of Jephthah's daughter. On the other hand, the interpretation of counterlife needs to look at other evidence in favor. The narrative interpretation of Judges 11:29-40 will show that Jephthah's innocent daughter was the victim of her father's war. This research aims to find that Jephthah offered his daughter as a burnt sacrifice because Jephthah had to be responsible for fulfilling his vows. Besides, there was no voice from heaven to prevent his daughter's sacrifice or offer a substitute. Jephthah's daughter fell victim to her father's war. From the beginning, Jephthah risked his entire home to become a victim of the postwar war. Jephthah offered his daughter a burnt sacrifice because Jephthah had to be responsible for fulfilling his vows. There was no voice from heaven to prevent his daughter's sacrifice or offer a substitute. AbstrakTafsiran atas nazar Yefta terbagi menjadi dua pandangan besar yakni prokehidupan (Yefta tidak mengorbankan anak perempuannya sebagai kurban bakaran) dan kontrakehidupan (Yefta mengorbankan anak perempuannya sebagai kurban bakaran). Dua pandangan ini memiliki argumentasi masing-masing. Tafsiran prokehidupan berpandangan bahwa Yahwe sangat menentang kurban manusia sehingga Yefta mempersembahkan anak perempuannya sebagai abdi Allah di Bait Suci. Sementara itu, tafsiran kontrakehidupan mempertimbangkan bukti terutama pengenangan nama anak perempuan Yefta di antara putri-putri Israel bahwa Yefta mempersembahkan anak perempuannya sebagai kurban bakaran. Menurut penulis, tafsiran prokehidupan banyak mengabaikan bukti pengurbanan anak perempuan Yefta. Di sisi lain, tafsiran kontrakehidupan perlu melihat bukti lain yang mendukung. Tafsir ulang atas Hakim-hakim 11:29-40 akan memperlihatkan bahwa anak perempuan Yefta yang tidak bersalah menjadi korban perang ayahnya. Sejak awal Yefta merisikokan seisi rumahnya untuk menjadi korban perang pascaperang. Yefta mempersembahkan anak perempuannya sebagai kurban bakaran sebab Yefta mesti bertanggung jawab untuk memenuhi nazarnya dan tidak ada suara dari surga yang mencegah pengurbanan anak perempuannya tersebut atau menawarkan kurban pengganti.  
Kajian Isu Toxic Masculinity di Era Digital dalam Perspektif Sosial dan Teologi Martina Novalina; Akedka Starde Flegon; Benaya Valentino; For Sukur Iman Gea
Jurnal EFATA: Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 8, No 1: Desember 2021
Publisher : STT Iman Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47543/efata.v8i1.56

Abstract

In social life, we are faced with various cultures. One of them is the culture of toxic masculinity. This toxic masculinity culture actually has a significant impact on men's mentality, even though at a glance the main signs such as power, control, and violence at first glance give these men their own prestige. The impact of toxic masculinity is not only felt by men, but also by women as victims. This study wants to examine the issue of toxic masculinity from a social and biblical perspective by using a literature study approach. The results obtained are Toxic masculinity is a culture that must be abolished in social life, both within the scope of social society and the church. The wrong paradigm in society about masculinity certainly cannot be overcome by eliminating the responsibility of men as they should be, and also replacing it with feminism. Gender-based behavior should be avoided and replaced with behavior based on beneficial values. Within the scope of the church itself, may gender-based ministry be eliminated, because God himself has never distinguished His people based on gender differences. AbstrakDalam kehidupan bermasyarakat, kita diperhadapkan dengan beragam budaya. Salah satunya adalah budaya toxic maskulinity. Budaya toxic masculinity ini ternyata memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap mental laki-laki, walaupun secara kasat mata tanda-tanda utama seperti kekuasaan, kontrol, maupun kekerasan sekilas memberikan prestise tersendiri bagi kaum adam tersebut. Dampak dari toxic masculinity ini bukan hanya dirasakan oleh laki-laki, tetapi juga perempuan sebagai korban-nya. Penelitian ini ingin mengkaji isu tentang toxic masculinity dari perspektif sosial dan Alkitab dengan menggunakan pendekatan studi literatur. Hasil yang didapat adalah Toxic masculinity adalah budaya yang harus dihapuskan dalam kehidupan bermasyarakat, baik dalam ruang lingkup masyarakat sosial maupun gereja. Paradigma yang salah dalam masyarakat tentang maskulinitas tentunya tidak bisa diatasi dengan menghilangkan tanggung jawab laki-laki sebagaimana mestinya, dan juga mengganti-nya dengan feminisme. Perilaku berbasis gender sebaiknya dihindarkan dan diganti dengan perilaku berdasarkan nilai-nilai yang bermanfaat. Dalam ruang lingkup gereja sendiri, kiranya pelayanan berba-sis gender dihilangkan, karena Allah sendiripun tidak pernah membedakan umat-Nya berdasarkan perbedaan gender.  
Ajaran tentang Pembenaran menurut Paulus dan Yakobus, serta Signifikansinya bagi Pemahaman Soteriologis Suyadi Tjhin
Jurnal EFATA: Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 7, No 2: Juni 2021
Publisher : STT Iman Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47543/efata.v7i2.43

Abstract

This article intends to provide Christian insight regarding the teachings of Paul's and James' justification, and its significance for Christian understanding. The main data of this research is literature study with qualitative methodology through Integrative Critical Analysis (ICA) approach, and descriptive exegesis analysis. The ICA's approach is carried out in connection with the many issues on this topic, for that it is analyzed according to context, doubted, justified, and looking for objectivity by referring to exegesis and descriptive Scripture. The results found by Paul and James are not contradictory, each writing is based on context, Paul writes because of the teachings (Judaism), James writes for Christians who claim to believe without deeds. Its significance is to remember that many Christians have non-Christian backgrounds before with the concept of salvation through good works; the existence of a church teaching salvation through faith plus spiritual gifts, sacraments, or rituals; a Christian person who knows salvation through faith but in certain circumstances doubts his salvation because of the feeling of the consequences of mistakes that occur in his life. AbstrakArtikel ini bermaksud memperlengkapi wawasan umat Kristiani berkenaan ajaran  pembenaran Paulus maupun Yakobus, dan signifikannya bagi  pemahaman umat Kristiani.  Data utama penelitian ini ialah studi pustaka dengan metodologi kualitatif melalui pendekatan Integrative  Critical  Analysis  (ICA),  dan analisis deskriptif interpretatif. Pendekatan ICA dilaku-kan sehubungan banyaknya isu tentang topik ini, untuk itu  dianalisis sesuai konteks, diragukan, dijustifikasi, dan mencari objektifitas  dengan mengacu pada eksegesis dan deskripsi  Alkitab. Hasil yang ditemukan Paulus dan Yakobus tidaklah kontradiktif, masing-masing menulis berdasarkan konteks, Paulus menulis karena adanya ajaran (Yudaisme), Yakobus menulis untuk umat Kristen yang mengklaim beriman tanpa adanya perbuatan. Signifikansinya ialah meng-ingat umat Kristiani banyak yang berlatarbelakang non Kristen sebelumnya dengan konsep keselamatan via perbuatan baik; adanya gereja mengajarkan keselamatan melalui iman plus karunia rohani, sakramen, atau ritual; pribadi umat Kristiani yang tahu keselamatan melalui iman namun dalam keadaan tertentu meragukan keselamatannya karena perasaan dari akibat kesalahan yang terjadi dalam hidupnya.
Bangkitnya Islam Radikal dan Nasionalisme: Studi tentang Gerakan Islam Wahabi Arthur Aritonang
Jurnal EFATA: Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 6, No 2: Juni 2020 (Print in September)
Publisher : STT Iman Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47543/efata.v6i2.29

Abstract

This article describes the contemporary phenomenon in which Muslims in Indonesia since the reform era have been indicated by the ideology of Wahhabism from the Middle East. From the beginning, one of the goals of NU's presence as the largest moderate Islamic organization in Indonesia and the world was to anticipate the inclusion of Wahhabism, which at that time was already widespread in the Middle East. During the new order radical Islamic character organizations did not have a place in this country but after the fall of the new order regime and then entered the era of reform (democracy and freedom of expression) radical-colored Muslims see this as a great opportunity whose basis is as governed by the Law namely the right to establish community organizations or political parties. This opportunity is used to build organizations in the name of Islam and then spread the doctrine of Wahhabism in Indonesia by building mosques, entering several pesantren, and even some Universitas in Indonesia have been exposed to radicalism. The activity was entirely sponsored by Saudi Arabia but not by the Saudi Arabian government. Therefore, the ideology of Wahhabism is clearly contrary to Pancasila and the spirit of nationalism because it actually endangers the existence of fellow Muslims, Christianity and other religions in Indonesia.AbstrakArtikel ini menguraikan fenomena kontemporer dimana umat Islam di Indonesia sejak era reformasi telah terindikasi oleh faham wahabisme dari Timur Tengah. Sejak semula, salah satu tujuan dari kehadiran NU sebagai organisasi Islam moderat terbesar di Indonesia maupun dunia, yaitu mengantisipasi masuknya faham wahabisme yang ketika itu sudah menyebar luas di Timur Tengah. Semasa orde baru organisasi Islam berwatak radikal tidak mendapat tempat di negeri ini, namun setelah tumbangnya rezim orde baru dan kemudian memasuki era reformasi (demokrasi dan kebebasan bereskpresi) umat Islam yang berwatak radikal melihat ini sebagai peluang besar yang dasarnya ialah sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang, yaitu hak untuk mendirikan organisasi kemasyarakat atau pun partai politik. Peluang ini dimanfaatkan untuk membangun organisasi yang mengatasnamakan Islam, kemudian menyebarkan doktrin wahabisme di Indonesia dengan cara membangun masjid, masuk ke beberapa pesantren, bahkan beberapa Universitas di Indonesia sudah terpapar radikalisme. Kegiatan tersebut seluruhnya disponsori oleh Arab Saudi, tetapi bukan berasal dari pemerintah Arab Saudi. Oleh karenanya, faham wahabisme jelas bertentangan dengan Pancasila dan semangat nasionalisme, sebab ini justru membahayakan bagi eksistensi sesama Islam, kekristenan dan agama-agama lainnya di Indonesia.

Page 2 of 4 | Total Record : 40