cover
Contact Name
Vida P.R. Kusmartono
Contact Email
jurnal.naditirawidya@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
jurnal.naditirawidya@gmail.com
Editorial Address
Jalan Gotong Royong II, RT 03 RW 06, Banjarbaru 70714, Kalimantan Selatan
Location
Kota banjarbaru,
Kalimantan selatan
INDONESIA
Naditira Widya
ISSN : 14100932     EISSN : 25484125     DOI : https://doi.org/10.55981/nw
Naditira Widya aims to be a peer-reviewed platform and a reliable source of information. Scientific papers published consist of research, reviews, studies, and conceptual or theoretical thinking with regard to Indonesian and/or world archaeology and culture. All papers are double-blind reviewed by at least two peer reviewers. Naditira Widya is issued biannually and publishes articles on archaeology and cultural studies, including using anthropological, ethnographic, historical, language, geological, geographical, biological and other relevant approaches.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Arkeologi
Articles 153 Documents
PEMANFAATAN MUSEUM BALAPUTRA DEWA SEBAGAI IMPLEMENTASI KURIKULUM MERDEKA PADA PEMBELAJARAN SEJARAH DI SMAN 18 PALEMBANG M. Fakhruddin; Made Darme; Wahyu Rizky Andhifani; Luh Suwita Utami
Naditira Widya Vol. 18 No. 1 (2024): Naditira Widya Volume 18 Nomor 1 April Tahun 2024
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penerapan “Kurikulum Merdeka” di sekolah menekankan bahwa pembelajaran sejarah memegang peranan penting dalam menumbuhkembangkan, menilai, dan melatih keterampilan peserta didik. Akan tetapi, pembelajaran sejarah hanya dengan menggunakan buku paket sekolah yang hanya menyajikan narasi dan gambar, sedangkan pemanfaatan seperti koleksi-koleksi di museum kurang begitu maksimal digunakan oleh guru sejarah. Tujuan penelitian ini untuk memahami pemanfaatan Museum Balaputra Dewa oleh guru sejarah sebagai implementasi “Kurikulum Merdeka” pada pembelajaran sejarah di sekolah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif analisis dengan pendekatan studi kasus. Pengumpulan data diperoleh melalui observasi, wawancara, dan studi pustaka melalui jurnal, dan dokumen-dokumen. Analisis menggunakan tiga komponen, yang meliputi kondensasi data, penyajian data, dan kesimpulan atau verifikasi lebih lanjut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa “Kurikulum Merdeka” telah memberikan ruang yang luas bagi guru sejarah untuk menggunakan berbagai sumber belajar sejarah termasuk pemanfaatan museum sebagai media pembelajaran sejarah. Upaya guru memanfaatkan Museum Balaputra Dewa sebagai sumber belajar dilakukan melalui koleksi-koleksi peninggalan sejarah masa lampau di Sumatra Selatan, yakni zaman prasejarah dan pra-Sriwijaya. Hal ini disesuaikan dengan materi sejarah kelas X Ilmu Pengetahuan Sosial di semester ganjil. Peserta didik diajak berkunjung ke museum sebagai upaya untuk mendalami pemahaman belajar sejarah. Setelah kunjungan ke museum, peserta didik lebih antusias belajar Sejarah, karena mereka mendapatkan berbagai informasi sejarah yang tidak ada dalam buku paket sekolah.The “Merdeka Curriculum” implementation in schools emphasizes that history learning plays an important role in developing, assessing, and training students' skills; however, history education only uses textbooks that present narratives and pictures. This research aims to understand history teachers' use of the Balaputra Dewa Museum to implement the "Merdeka Curriculum" in history learning at school. This research uses a qualitative descriptive analysis method with a case study approach. Data was collected through observation, interviews, and literature studies through journals and documents. The analysis uses three components, i.e. data condensation, data presentation, and conclusions or further verification. Research results indicate that the "Merdeka Curriculum" has provided ample space for history teachers to use various history education resources including using museums as a medium for history learning. The history teachers use the Balaputra Dewa Museum as a learning resource and adapt to the history material for class X Social Sciences during the odd semester. After visiting the museum, students became more enthusiastic about learning history, because they received various historical information not provided in school textbooks.
SITUS-SITUS MAHKAMAH DAN LEMBAGA PERADILAN KERAJAAN RIAU-LINGGA PADA ABAD KE-19-20 MASEHI Anastasia Wiwik Swastiwi; Dedi Arman
Naditira Widya Vol. 18 No. 1 (2024): Naditira Widya Volume 18 Nomor 1 April Tahun 2024
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kepulauan Riau memiliki tinggalan budaya berupa situs-situs dan artefak-artefak yang berkaitan dengan keberadaan lembaga mahkamah dan lembaga peradilan masa Kerajaan Riau-Lingga. Penelitian ini memakai metode penelitian sejarah yang tahapannya adalah heuristic, kritik, interpretasi, dan penulisan sejarah (historiografi). Metode taksonomi digunakan pula dalam mendeskripsikan situs, bangunan dan artefak. Sumber primer yang digunakan antara lain Undang-Undang Melaka, Undang-Undang Polisi Kerajaan Riau-Lingga 1893, serta Kitab Tsamarat al Muhimmah, Pedoman Pemerintahan dan Hukum Kerajaan Riau-Lingga karya Raja Ali Haji. Subyek penelitian lainnya berupa situs mahkamah di Daik Lingga, situs kantor mahkamah besar di Pulau Penyengat, gedung hakim di Pulau Penyengat, rumah Hakim Raja Haji Abdullah, dan makam Raja Haji Abdullah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kantor mahkamah besar Kerajaan Riau-Lingga awalnya berada di Daik Lingga kemudian pindah ke Pulau Penyengat. Situs kantor mahkamah juga ada di Midai yang wilayahnya meliputi gugusan Kepulauan Natuna. Fungsi mahkamah pada zaman Kerajaan Riau Lingga tidak hanya mengadili perkara terkait hukum pidana dan perdata saja, namun lembaga tersebut juga yang mengeluarkan surat-surat keputusan Kerajaan Riau-Lingga. Mahkamah juga menerbitkan perizinan di bidang pertanahan, membuka kebun dan perizinan lainnya. Setelah Kerajaan Riau-Lingga dibubarkan secara politis pada tahun 1913, Belanda mendirikan landraad atau kantor pengadilan negeri. Gedung Landraad sampai saat ini masih berfungsi sebagai Kantor Pengadilan Tinggi Agama Kepulauan Riau. Pada masa pendudukan Jepang selama 1942-1945, lembaga pengadilan yang dibangun Belanda dibubarkan. Jepang mendirikan lembaga peradilan sendiri bernama Mahkamah Islam Besar Bintan To yang membawahi Kepulauan Riau. Pada masa Jepang, segala aspek sistem peradilan masa Belanda dihapuskan, termasuk penamaan kelembagaan peradilan. This research focuses on sites and artefacts related to courts and judicial institutions during the sovereignty of the Riau-Lingga Kingdom in the Riau Islands. Therefore, this study uses historical methods consisting of heuristics, criticism, interpretation, and historical writing (historiography). Taxonomic methods are also used to describe sites, buildings, and artifacts. Research results show during the Riau Lingga Kingdom sovereignty, the court acted to adjudicate cases relating to criminal and civil law and issued the kingdom's decrees. The court also issues permits concerning land, plantation establishment, and other concessions. After the Riau-Lingga Kingdom was politically dissolved in 1913, the Dutch established a landraad office or district court. During the Japanese occupation in 1942-1945, the judicial institutions built by the Dutch were dissolved. The Japanese government established its judicial institution called the Bintan To Islamic High Court which oversees the Riau Islands.
IDENTIFIKASI DAN PEMANFAATAN TANAMAN MASA JAWA KUNA: STUDI KASUS RELIEF RAMAYANA DAN KRESNAYANA CANDI PRAMBANAN Hari Setyawan
Naditira Widya Vol. 16 No. 1 (2022): Naditira Widya Volume 16 Nomor 1 April Tahun 2022
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah merupakan kerajaan agraris yang berkembang pada masa Jawa Kuno abad ke-8-10 M. Salah satu data arkeologi yang monumental dari masa tersebut adalah Candi Prambanan yang memiliki pahatan relief naturalis dengan tema cerita Ramayana dan Kresnayana. Pada relief tersebut juga digambarkan tanaman yang dapat diidentifikasi jenisnya. Penggambaran tanaman pada relief Ramayana dan Kresnayana dapat digunakan sebagai petunjuk kondisi lingkungan Jawa Kuno di kawasan Prambanan pada masa lalu. Penelitian ini dilakukan dengan metode pengamatan langsung terhadap data yang dijaring secara purposive sampling. Sampel data yang diidentifikasi adalah tanaman-tanaman yang dipahatkan pada relief-relief Candi Prambanan. Hasil identifikasi data selanjutnya diinterpretasikan merujuk pada prasasti-prasasti dan naskah kesusastraan Jawa Kuno yang relevan. Sintesis penelitian ini menunjukkan bahwa pengelompokan dalam pengelolaan tanaman di kawasan Prambanan pada masa Jawa Kuno adalah tanaman pangan, tanaman komersial, tanaman keras, tanaman obat, dan tanaman hias. Lebih lanjut, dipahami pula bahwa pengelolaan tanaman pada masa Jawa Kuno sangat diperhatikan oleh penguasa. Aspek praktis penelitian ini memberikan peluang bagi tanaman-tanaman tersebut untuk dapat dibudidayakan kembali pada masa kini sebagai upaya konservasi lingkungan.
PEDANG PENINGGALAN PRABU SILIWANGI DARI PANJALU, CIAMIS, JAWA BARAT Tendi
Naditira Widya Vol. 16 No. 1 (2022): Naditira Widya Volume 16 Nomor 1 April Tahun 2022
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pedang Sanghyang Borosngora adalah pedang yang diyakini oleh sebagian masyarakat Panjalu sebagai pemberian Sayyidina Ali kepada Prabu Borosngora. Pedang yang sekarang disimpan di Bumi Alit, Panjalu, dan merupakan artefak penting dalam sejarah masyarakat Ciamis dan Sunda, karena memuat nilai-nilai kultural masa lalu yang dapat diidentifikasi sebagai sumber penulisan sejarah. Informasi yang bias tentang Pedang Sanghyang Borosngora adalah masalah utama penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk menarasikan sejarah Pedang Prabu Siliwangi dan bagian-bagiannya secara detail sesuai dengan pakem. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah literatur review dengan menelaah sumber arsip, dan melakukan observasi langsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber-sumber tradisional yang dianggap otoritatif oleh masyarakat terkait narasi sejarah Pedang Sanghyang Borosngora mengalami perubahan sejak awal abad ke-20 Masehi. Hal tersebut terjadi karena sejak masa itu Pedang Sanghyang Borosngora mulai dikenal sebagai Pedang Sayyidina Ali, padahal sebelumnya pedang itu diriwayatkan sebagai pedang pemberian Prabu Siliwangi kepada Raja Panjalu. Selain itu, ditemukan kesamaan yang spesifik dari pedang ini dengan pedang-pedang lain yang berasal dari Kerajaan Sunda. Dengan demikian, Pedang Sanghyang Borosngora lebih cocok untuk disebut sebagai Pedang Prabu Siliwangi.
REFLEKSI IDENTITAS BUDAYA MAKASSAR DARI PENGGUNAAN NISAN ARCA DI KOMPLEKS MAKAM ISLAM DI KAWASAN BANTAENG, JENEPONTO, DAN MAROS Nurul Adliyah Purnamasari
Naditira Widya Vol. 16 No. 1 (2022): Naditira Widya Volume 16 Nomor 1 April Tahun 2022
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Nisan arca adalah salah satu produk budaya material dari masa Islam di wilayah administratif Sulawesi Selatan.Nisan arca di kawasan etnik Makassar, yang berada di Kabupaten Bantaeng, Jeneponto dan Maros, menunjukkan morfologidan ciri antropomorfik yang berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalahperiode penggunaan dan kandungan maknanya. Penelitian ini ditujukan untuk memahami makna yang dikandung oleh nisanarca, dengan menjawab permasalahan-permasalahan mengenai kronologi nisan arca di Kawasan etnik Makassar danidentitas budaya Makassar. Data penelitian ini dilandasi oleh hasil analisis morfologi nisan dari penelitian terdahulu, kemudianpada penelitian ini dilanjutkan dengan analisis historis dan etnografis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaannisan arca dilatarbelakangi oleh tradisi pra-Islam yang masih terpelihara di tengah-tengah masyarakat Makassar, yang dalamperkembangannya mengalami pembauran dengan budaya Islam yang hadir pada periode selanjutnya. Nisan arca budayaMakassar mengandung simbol-simbol budaya sebagai identitas bagi masyarakat penggunanya, yaitu kebangsawanan ataustratifikasi sosial, religiusitas, pengharapan, penghormatan dan kebanggaan, serta intelektualitas.
IDENTIFIKASI EKOFAK MOLUSKA BIVALVA DARI SITUS BENTENG TABANIO, DI KABUPATEN TANAH LAUT Restu Budi Sulistiyo; Laila Abdul Jalil; Badruzsaufari; Dharmono
Naditira Widya Vol. 16 No. 1 (2022): Naditira Widya Volume 16 Nomor 1 April Tahun 2022
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pada ekskavasi arkeologi di situs Benteng Tabanio yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Banjarmasin ditemukan berbagai artefak dan ekofak. Ekofak yang banyak ditemukan adalah cangkang moluska. Namun demikian, cangkang moluska hasil penelitian tersebut belum diidentifikasi secara taksonomis. Pelabelan koleksi ditulis sebagai kerang, cangkang kerang, atau fragmen cangkang kerang, padahal dalam koleksi tersebut terdapat cangkang moluska bivalvia dan cangkang gastropoda. Kerancuan identitas ini berakibat pada kesalahan informasi. Pada penelitian ekskavasi situs Benteng Tabanio, tinggalan ekofaktual moluska bivalvia belum dibahas secara komperehensif. Penelitian ini ditujukan untuk memahami keberadaan cangkang moluska bivalvia di situs Benteng Tabanio. Identifikasi 101 sampel cangkang marin dilakukan sampai dengan tingkat genus atau spesies dilakukan menggunakan analisis komparasi morfologi dengan cangkang bivalvia marin yang didapatkan di luar zona situs. Hasil penelitian menunjukkan terdapat empat ordo dengan tujuh famili dan empat belas genera atau spesies yang dapat diidentifikasi. Keempat belas genera atau spesies tersebut dapat dikonsumsi, tetapi sisa-sisa cangkang yang ditemukan di situs Benteng Tabanio menunjukkan tidak adanya pemanfaatan moluska bivalvia sebagai bahan pangan ataupun bahan bangunan.
GEOLOGI SITUS CIOMAS DI KABUPATEN SUKABUMI: KAJIAN SUMBER BATUAN UNTUK BAHAN LITIK M. Fadhlan S.I.; Frandus Manurung
Naditira Widya Vol. 16 No. 1 (2022): Naditira Widya Volume 16 Nomor 1 April Tahun 2022
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Situs terbuka Ciomas mengandung tinggalan budaya dari masa Neolitik. Dalam penelitian arkeologi di situs Ciomas ditemukan litik dari masa Neolitik berupa serpih, mata panah, beliung, dan beliung setengah jadi, yang dibentuk dari batuan chert, jasper, kalsedon, dan batugamping kersikan. Namun demikian, aspek lingkungan geologi situs tersebut belum pernah diteliti secara detail. Tujuan penelitian ini adalah memahami karakteristik geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, dan menentukan lokasi sumber batuan untuk bahan alat-alat Neolitik. Penelitian ini diawali dengan kajian pustaka dan survei lapangan, lalu dilanjutkan dengan analisis petrologi, dan interpretasi data lapangan. Situs Ciomas termasuk ke dalam Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat dan kelompok Endapan Vulkanik Pleistosen. Hidrogeologinya termasuk kelulusan rendah sampai sedang. Hasil penelitian ini adalah data tentang bentang alam situs yang terdiri atas morfologi dataran dan bergelombang lemah. Karakteristik sungai di kawasan penelitian memiliki pola trellis dan rectangular, stadia sungai tua, sungai periodik dan sungai episodik. Batuan penyusun kawasan situs Ciomas adalah endapan aluvial, endapan undak tua, andesit, napal, breksi vulkanik, dan tufa. Struktur geologi kawasan ini berupa sesar normal dan antiklin. Berdasarkan data geologis tersebut, dapat disimpulkan lokasi pengambilan bahan baku batuan untuk pembuatan alat-alat litik berasal dari sekitar dataran situs dan di sepanjang Sungai Cikaso yang mengalir melewati situs.
NILAI PENTING SUMBER DAYA BUDAYA KOTAWARINGIN LAMA Muhammad Wishnu Wibisono; Daud Aris Tanudirjo; Imam Hindarto
Naditira Widya Vol. 16 No. 1 (2022): Naditira Widya Volume 16 Nomor 1 April Tahun 2022
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Historiografi Kabupaten Kotawaringin Barat tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Kerajaan Kotawaringin abad ke-17-19 Masehi. Kerajaan Kotawaringin tumbuh dan berkembang sebagai kawasan multietnis Bugis, Dayak dan Jawa. Beberapa sumber daya budaya Kerajaan Kotawaringin, di Kotawaringin Lama, yang masih tersisa adalah Astana Al-Nursari, Makam Kuta Tanah, Masjid Kyai Gede, dan Danau Masoraian. Hasil wawancara menunjukkan bahwa Astana Al-Nursari akan dikembangkan menjadi museum yang berintegrasi dengan ketiga sumber daya budaya lainnya. Rencana pengembangan tersebut diinisiasi oleh keturunan Kerajaan Kotawaringin, yang didukung oleh Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat. Namun demikian, sampai sekarang penelitian mengenai sumber daya budaya Kerajaan Kotawaringin yang menjadi langkah awal rencana pengembangan tersebut masih sebatas studi aspek sejarahnya. Penelitian kali ini ditujukan untuk memahami nilai penting sumber daya budaya Kerajaan Kotawaringin berdasarkan kondisi aktual masa kini. Pemahaman akan nilai penting tersebut diharapkan dapat menggambarkan karakter dan potensi Kotawaringin Barat yang dapat menjadi landasan dalam pengelolaan sumber daya budaya Kerajaan Kotawaringin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber daya budaya di Kotawaringin Lama, di Kalimantan Tengah, memiliki nilai penting yang dapat menjadi fondasi pengelolaan kawasan cagar budaya yang berintegrasi dengan kawasan lindung geologi. Integrasi pengelolaan dua kawasan lindung tersebut merupakan suatu langkah awal sebelum kawasan tersebut dapat dimanfaatkan secara praktis dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, khususnya masyarakat di sekitar kawasan dan Indonesia secara umum.
RAGAM TUMBUHAN DALAM KONTEKS PERMUKIMAN DI SITUS KUTA BAGINDA, BERAU, KALIMANTAN TIMUR M. Dziyaul F. Arrozain; Anggraeni Anggraeni; Mahirta Mahirta
Naditira Widya Vol. 18 No. 1 (2024): Naditira Widya Volume 18 Nomor 1 April Tahun 2024
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Situs Kuta Baginda merupakan situs hunian komunitas Dayak di Berau yang dimulai pada abad ke-14 Masehi. Selain temuan artefaktual, di situs tersebut terdapat jejak-jejak pemanfaatan sumber daya alam yang melimpah, terutama tulang ikan dan cangkang kerang, serta adanya sejumlah kecil tulang hewan darat. Sementara itu, potensi sumber daya lain, khususnya tumbuhan belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ragam tumbuhan di situs Kuta Baginda dalam kaitannya dengan penghunian situs tersebut. Dalam upaya menjawab permasalahan penelitian dan mencapai tujuan tersebut, dilakukan analisis terhadap mikrofosil tumbuhan berupa fitolit yang diperoleh dari sisa tanah (loose dirt) yang masih melekat pada fragmen gerabah. Hasil analisis fitolit menunjukkan bahwa ragam tumbuhan dalam konteks awal hunian komunitas Dayak di situs Kuta Baginda didominasi oleh jenis tumbuhan berkayu atau semak, disusul jenis palem dan jenis rumput-rumputan yang tidak begitu banyak. Hal ini berbeda dari kondisi tumbuhan pada fase penghunian setelah abad ke-14 Masehi yang menunjukkan peningkatan dan dominasi palem, yang disertai berkurangnya secara signifikan tumbuhan berkayu atau semak, serta rumput-rumputan. Perubahan dominasi tumbuhan tersebut terkait dengan campur tangan manusia sejak fase awal penghunian dan fase selanjutnya di situs Kuta Baginda. Beberapa jenis tumbuhan, seperti kelapa, sagu, dan tumbuhan berkayu, diperkirakan telah dimanfaatkan untuk menunjang kehidupan penghuni situs, baik untuk konsumsi maupun konstruksi. Dominasi tumbuhan palem pada fase penghunian setelah abad ke-14 Masehi sepadan dengan peningkatan intensitas penghunian yang ditunjukkan oleh kuantitas artefak dan sisa-sisa fauna.The Kuta Baginda Site in Berau was a Dayak community settlement dating back to the 14th century. The site was abundant in traces of utilization of natural resources such as fish bones, shells, and terrestrial animal bones. The variety of plant species at the site was unknown until phytolith analysis was conducted. The analysis revealed that woody plants or shrubs dominated the early occupation phase, followed by a small quantity of palm and grass species. However, the post-14th century occupation phase showed increased dominance of palm trees, with a significant reduction in woody plants, shrubs, and grasse, with a significant reduction in woody plants or shrubs and grasses. This change in the dominance of plants is related to human intervention. Some plant species, such as coconut, sago, and woody plants, were utilized for consumption and construction. The increase in palm trees corresponds to the intensity of occupation growth, as indicated by the number of artefacts and faunal remains.
ATAP TUMPANG TIGA MASJID DI KALIMANTAN SELATAN: KAJIAN STRUKTUR MORFOLOGI ATAP Laila Abdul Jalil
Naditira Widya Vol. 18 No. 1 (2024): Naditira Widya Volume 18 Nomor 1 April Tahun 2024
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Budaya dan masyarakat Banjar identik dengan budaya Islam. Kalimantan Selatan memiliki masjid kuno dengan arsitektur khas masjid kuno di Indonesia, yaitu menggunakan atap tumpang bersusun tiga. Struktur seperti itu menciptakan atap berbentuk kerucut bertingkat tinggi yang unik. Arsitektur masjid kuno di Kalimantan Selatan juga menampilkan unsur budaya asing dan lokal. Budaya Banjar yang dominan terlihat pada penggunaan warna dan ornamen pada dinding dan tiang masjid. Masjid kuno di Kalimantan Selatan tidak hanya memiliki nilai penting bagi etnis Banjar, namun juga memiliki nilai sakral bagi etnis Dayak Meratus yang menganggap bahwa etnis Banjar adalah saudara sedarah mereka. Bentuk atap yang menjulang tinggi menjadi penanda kehadiran agama Islam di kawasan tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif-analisis. Penelitian ini bertujuan untuk memahami proses silang budaya dan perpaduan unsur budaya lokal dengan budaya asing yang menghasilkan corak budaya baru pada arsitektur masjid kuno di Kalimantan Selatan. Berdasarkan hasil observasi terhadap masjid Banua Halat, Su’ada Wasah, dan masjid Pusaka Banua Lawas ditemukan bukti terjadinya hibridasi budaya yang tampak pada bentuk atap masjid dengan bentuk menjulang tinggi. Hibridasi budaya ini terjadi sebagai respon terhadap kondisi lingkungan dan masyarakat Kalimantan Selatan pada masa-masa masih tergantung pada transportasi sungai.Banjar culture and society are identical to Islamic culture. South Kalimantan has an ancient mosque with the typical architecture of ancient mosques in Indonesia, which use three tiers overlapping roofs. Such a structure creates a unique high-rise cone-shaped roof. The architecture of South Kalimantan's ancient mosques also shows elements of both foreign and local culture. The dominant Banjar culture can be seen in the use of colours and ornaments on the walls and pillars of the mosque. The ancient mosques in South Kalimantan not only have important value to the Banjar ethnic group but also have sacred value to the Dayak Meratus ethnic group who consider the Banjarese to be their blood relatives. The towering shape of a mosque roof is a sign of the presence of Islam in the region. The research method used is descriptive analysis. This research aims to understand the cross-cultural process and the combination of local and foreign cultural elements that produce new styles in the architecture of ancient mosques in South Kalimantan. Based on the results of a study of mosques of the Banua Halat, Su'ada Wasah, and Pusaka Banua Lawas, it is evident that cultural hybridization is present in the towering shape of the mosque's roof. This cultural hybridization occurred as a response to environmental conditions and the people of South Kalimantan at a time when they still depended on river transportation.

Page 1 of 16 | Total Record : 153