cover
Contact Name
Vida P.R. Kusmartono
Contact Email
jurnal.naditirawidya@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
jurnal.naditirawidya@gmail.com
Editorial Address
Jalan Gotong Royong II, RT 03 RW 06, Banjarbaru 70714, Kalimantan Selatan
Location
Kota banjarbaru,
Kalimantan selatan
INDONESIA
Naditira Widya
ISSN : 14100932     EISSN : 25484125     DOI : https://doi.org/10.55981/nw
Naditira Widya aims to be a peer-reviewed platform and a reliable source of information. Scientific papers published consist of research, reviews, studies, and conceptual or theoretical thinking with regard to Indonesian and/or world archaeology and culture. All papers are double-blind reviewed by at least two peer reviewers. Naditira Widya is issued biannually and publishes articles on archaeology and cultural studies, including using anthropological, ethnographic, historical, language, geological, geographical, biological and other relevant approaches.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Arkeologi
Articles 153 Documents
BUDAYA SAGU DI PAPUA DARI MASA PRASEJARAH HINGGA MASA KINI Hari Suroto; Rini Maryone; Marlyn Salhuteru
Naditira Widya Vol. 17 No. 1 (2023): Naditira Widya Volume 17 Nomor 1 April Tahun 2023
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sagu merupakan bahan makanan pokok masyarakat Papua dan banyak ditemukan di lingkungan sekitar permukiman mereka. Aktivitas mengolah sagu tidak memerlukan pengeluaran yang banyak, baik tenaga, biaya, dan waktu serta resikonya kecil, dibandingkan dengan aktivitas berburu atau menangkap ikan. Oleh karena itu, tanaman sagu menjadi salah satu karakteristik kebudayaan Papua sekarang, yaitu sebagai penanda identitas, batas wilayah, bahkan memiliki fungsi dalam aktivitas adat. Sejumlah ahli arkeologi telah membahas tentang eksistensi sagu yang berkaitan dengan wadah-wadah tanah liat. Tujuan penelitian ini adalah memahami perkembangan budaya sagu di Papua sejak masa prasejarah hingga masa kini. Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka, observasi, wawancara dan pendekatan etnoarkeologi. Hasil penelitian menunjukan bahwa sagu merupakan tanaman penting orang Papua. Kebudayaan yang berkaitan dengan sagu di Papua sudah dikenal sejak sekitar 30.000 tahun yang lalu. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya asosiasi antara fragmen forna atau tungku pemanggang, serta fragmen periuk dan tempayan dan pengolahan sagu di situs-situs hunian prasejarah. Budaya sagu juga masih berlangsung hingga saat ini di Papua, hal ini terlihat pada tradisi menokok sagu, rumah gaba-gaba, peralatan sehari-hari berbahan pohon sagu, kuliner sagu, serta ritual yang berkaitan dengan sagu. The environment around the Papuan settlements provides abundant sago for their staple food. Therefore, sago has become one of the characteristics of Papuan culture today, whether as an identity marker and territorial boundaries or a means of traditional activities. This research aims to understand the development of sago culture in Papua from prehistoric periods to the present. This research uses literature study, observation, interviews, and an ethnoarchaeological approach. Research results suggest that the Papuan people have known culture related to sago in Papua since around 30,000 years ago. Archaeologically, this is evident from fragments of ‘forna’ or roasting stoves and sherds of pots and jars found at prehistoric settlement sites. The sago culture continues today in Papua, which can be seen in the tradition of sago felling, ‘gaba-gaba’ houses, daily utensils, sago culinary delights, and rituals related to sago.
PERSEBARAN ARCA BUDDHA ABAD KE-7-9 MASEHI: HUBUNGANNYA DENGAN PERKEMBANGAN KAWASAN AWAL KERAJAAN SRIWIJAYA Eka Asih Putrina Taim
Naditira Widya Vol. 16 No. 2 (2022): Naditira Widya Volume 16 Nomor 2 Oktober Tahun 2022
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pada daerah aliran Sungai Musi dan Batanghari di Sumatera, terdapat sebaran arca-arca Buddha dari abad ke-7 hingga ke-10 Masehi. Berdasarkan karakteristiknya, maka dapat diketahui pengaruh kebudayaan pembuatannya, serta kronologi pembuatannya. Tujuan penelitian ini adalah memahami perkembangan wilayah pengaruh agama Buddha dan kawasan politik dan agama Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7-9 Masehi berdasarkan pengamatan karakteristik arca Buddha. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode seriasi terhadap tipe dan bentuk arca untuk mengetahui pola sebaran situs yang dipengaruhi oleh perkembangan agama Buddha pada masa tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lokasi-lokasi ditemukannya arca-arca Buddha selaras dengan perkembangan kebudayaan dan aktivitas politik masyarakat kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7-9 Masehi. Perkembangan tersebut diawali dari hilir daerah aliran Sungai Musi, dan bergerak ke arah hulu daerah aliran Sungai Batanghari. Pada skala makro, tampak pula perkembangan kawasan pengaruh kebudayaannya mulai dari Sumatera bagian selatan ke Jambi, Sumatera bagian barat, dan Aceh.A number of 7th-9th centuries Buddhist statues are found distributed on the catchment areas of Sungai Musi and Sungai Batanghari, in Sumatera. The characteristics of Buddhist statues may suggest the cultural influence of their manufacture, as well as the technology and chronology. The purpose of this study is to understand the development of the area of influence of Buddhism and the political and religious region of the Sriwijaya Kingdom in the 7th-9th centuries, based on observing the characteristics of Buddha statues. This research was conducted using the seriation method on the type and shape of the statues to determine the distribution patterns of sites that were influenced by the development of Buddhism at that time. The results showed that the locations where the Buddha statues were found were in accord with the cultural developments and political activities of the people of the Sriwijaya kingdom in the 7th-9th centuries. This development began from the downstream regions of the Musi River catchment and moves towards the upstream regions of the Batanghari River catchment. On a macro scale, the regional development of the culture-influenced commenced from southern Sumatra upwards to Jambi, western Sumatra and Aceh.
BENTUK, KRONOLOGI, DAN ASAL TEMBIKAR KUNO DI DATARAN RENDAH LAMPUNG Rusyanti; Iwan Setiawan; Akbar Adhi Satrio
Naditira Widya Vol. 16 No. 2 (2022): Naditira Widya Volume 16 Nomor 2 Oktober Tahun 2022
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tembikar merupakan artefak arkeologi yang dibuat dari tanah liat bakar yang secara umum berfungsi sebagai peralatan sehari-hari. Tembikar banyak ditemukan di situs-situs arkeologi, termasuk di dataran rendah Lampung. Penelitian desk study tahun 2020-2021 melakukan analisis mengenai rekonstruksi bentuk, kronologi, dan asal tembikar Lampung dengan metode gabungan kuantitatif melalui uji laboratorium X-ray fluorescence, X-ray diffraction, Inductively coupled plasma mass spectrometry, Petrografi, dan Thermoluminescence. Metode kualitatif pun digunakan untuk rekonstruksi hasil selective sampling dengan menggunakan Rhinoceros software dan didukung pendekatan sejarah. Tujuan penelitian adalah mengetahui kecenderungan varian bentuk, kronologi, dan asal tembikar Lampung secara umum. Penelitian ini menghasilkan bentuk yang direkonstruksi berupa wadah sehari-hari terbanyak berupa mangkuk, cawan, dan jambangan. Cakupan kronologi tembikar adalah sejak abad ke-12 hingga ke-20 Masehi. Adapun asal produksi tembikar diketahui melalui pendekatan geologis dan sejarah, dan diduga di sekitar kawasan Kayu Agung Palembang dan Bakung Udik, Lampung. Pottery is an archaeological artefact made from baked clay, which functions as a daily tool. Pottery has been found in archaeological sites, including Lampung lowlands. The 2020-2021 desk study analyses were carried out to reconstruct the form of pottery and to understand the chronology as well as the origin of the Lampung pottery using a quantitative combined method through laboratory tests of X-ray fluorescence, X-ray diffraction, Inductively coupled plasma mass spectrometry, Petrography, and Thermoluminescence. Qualitative methods were also used to reconstruct the results of selective sampling using the Rhinoceros software supported by a historical approach. The purpose of this research is to know the favourable varieties of form, chronology, and origin of Lampung pottery in general. This research resulted in reconstructed forms of dominant pottery containers common for daily use such as bowls, cups, and vases. The chronology of pottery covers from the 12th to the 20th century. The origin of pottery production is known through a geological and historical approach and suggested to be manufactured around the Kayu Agung Palembang and Bakung Udik regions, in Lampung.
KAJIAN ELEMEN ESTETIS DAN SIMBOLIS CANDRASENGAKALA PADA TAMANSARI GUA SUNYARAGI DI CIREBON Agus Dody Purnomo; Yasmin Adila Ramdan
Naditira Widya Vol. 16 No. 2 (2022): Naditira Widya Volume 16 Nomor 2 Oktober Tahun 2022
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Candrasengkala atau kronogram sudah dikenal oleh masyarakat di Jawa sejak zaman Hindu di Nusantara.Candrasengkala merupakan tetenger atau pengingat suatu peristiwa penting, seperti kelahiran, kematian, dan sebagainya. Dalam candrasengkala digunakan bentuk visual figur binatang yang diambil dari cerita pewayangan atau mitologi India. Binatang-binatang ditampilkan dengan pengolahan visual berupa gambar, relief, dan patung. Masing-masing figur binatang tersebut mengandung watak angka tahun dan makna simbolis. Hingga sekarang masih sedikit penelitian yang mengkaji candrasengkala di Tamansari Gua Sunyaragi di Cirebon. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui elemen estetis dan simbolis figur binatang pada candrasengkala yang terdapat di Tamansari Gua Sunyaragi, di Cirebon, Jawa Barat. Penelitian ini merupakan kajian deskriptif terhadap aspek tangible Tamansari Gua Sunyaragi berupa figur-figur binatang yang dilandasi mitologi India. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa material batu dan batu karang diolah menjadi karakter-karakter figur gajah, burung garuda, dan ular, sehingga tampilan visualnya membentuk “candrasengkala”, sekaligus sebagai cuplikan kisahdari cerita pewayangan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa candrasengkala merupakan salah satu bentuk seni rupa Nusantara dan kreativitas kearifan lokal. Keberadaanya dapat menjadi sumber inspirasi dalam pengembangan karya seni rupa, desain, dan kriya Nusantara ke depan. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tentang kajian binatang-binatang mitologis dalam candrasengkala di Tamansari Gua Sunyaragi.   The Javanese are familiar with “candrasengkala” or chronogram which developed in Nusantara since the Hindu era.The “candrasengkala” is a “tetenger” or a reminder of important occurrences, such as birth, death, etc. “Candrasengkala” often uses visual forms of animal figures drawn from “wayang” stories or Indian mythology. Animals are featured with visual processing into depictions of figures, reliefs, and sculptures. Each animal figure contains disposition number of years and bears symbolic meanings. Until today there is little research that focuses on “candrasengkala” in Tamansari Gua Sunyaragi in Cirebon. This study aims to determine the aesthetic and symbolic elements of animal figures in “candrasengkala” at Tamansari Gua Sunyaragi, in Cirebon, West Java. This research is a descriptive study of the tangible aspects of Tamansari Gua Sunyaragi in the form of animal figures based on Indian mythology. The study resulted that stone and coral materials are processed into figures of elephants, eagles, and snakes, thus the visual appearance forms a "candrasengkala", as well as snippets of “wayang” stories. Therefore, it is understood that “candrasengkala” is a form of Nusantara art and creativity of local wisdom. Its existence can be a source of inspiration in the future development of Nusantara fine arts, designs and crafts. This research may be used as a reference for further studies of mythological animals in “candrasengkala” at Tamansari Gua Sunyaragi.
KARAKTERISTIK BENTANGLAHAN ARKEOLOGI DI WILAYAH LASEM, JAWA TENGAH Andi Putranto
Naditira Widya Vol. 16 No. 2 (2022): Naditira Widya Volume 16 Nomor 2 Oktober Tahun 2022
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Studi bentanglahan arkeologi atau bentang arkeologi ditujukan untuk mengetahui bentuk dan pola persebaran data arkeologi pada suatu bentanglahan fisik tertentu. Wilayah Lasem di Jawa Tengah merupakan suatu kawasan yang dikategorikan sebagai suatu bentang arkeologi, yang anasir pembentuknya berupa bentanglahan fisik sebagai lokasi keberadaannya. Dalam upaya mendapatkan variabel-variabel yang dapat menjadi penentu kriteria suatu bentanglahan arkeologi, maka perlu penelitian mendalam tentang karakteristik bentanglahan di kawasan Lasem. Dengan demikian, dapat diketahui sejauh mana keterkaitan variabel-variabel tersebut sebagai faktor pendorong perkembangan budaya di wilayah Lasem. Sintesis penelitian berdasarkan data bentanglahan dan kesejarahan wilayah Lasem menunjukkan bahwa kawasan tersebut mengandung dua karakteristik bentang arkeologi yang dilandasi, a) aspek kronologi atau pendekatan waktu, yaitu periode Klasik, Islam, dan Kolonial; b) aspek ekologi yang berkaitan dengan keletakannya pada suatu topografi dan bentuklahan. Berdasarkan atas fungsinya, karakteristik bentang arkeologi dari tiga periodisasi tersebut, dapat dikelompokkan dalam kategori fungsi-fungsi ekonomi, sosial, politik, dan budaya. The study of archaeological landscapes aims to determine the shape and distribution pattern of archaeological data on a particular physical landscape. The Lasem area in Central Java is a region that is categorized as an archaeological landscape, whose constituent elements are physical landscapes as its location. To obtain variables that can determine the criteria for an archaeological landscape, it is necessary to carry out in-depth research on the characteristics of the landscape in the Lasem area. Thus, to what extent these variables are related to the driving factors of cultural development in the Lasem region can be understood. Based on the landscape and historical data of the Lasem area, the research synthesis shows that this region contains two characteristics of the archaeological landscape which are established by aspects of a) chronology or approach to time, which are the periods of Classic, Islamic and Colonial; and b) ecology, relating to its location in topography and landforms. Based on their functions, the characteristics of archaeological landscapes from the three periods can be grouped into economic, social, political and cultural functions
LEKSIKON, BENTUK DAN FUNGSI RUANG, SERTA MAKNA ORNAMEN RUMAH ADAT BANJAR “BUBUNGAN TINGGI” Eka Suryatin; Derri Ris Riana; Rissari Yayuk; Jahdiah; Budi Agung Sudarmanto
Naditira Widya Vol. 16 No. 2 (2022): Naditira Widya Volume 16 Nomor 2 Oktober Tahun 2022
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Rumah adat Banjar “Bubungan Tinggi” mempunyai bentuk dan bagian-bagian khas yang berbeda dari rumah adat yang lainnya. Meskipun penelitian tentang rumah adat Banjar sudah banyak dilakukan, belum ada yang membahas leksikon-leksikon rumah adat “Bubungan Tinggi” dalam kajian ilmu etnosemantik secara khusus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui deskripsi suatu benda berdasarkan sosial kultural masyarakat penutur bahasa. Secara lebih rinci adalah memahami penggambaran leksikon konstruksi utama bangunan “Bubungan Tinggi” berdasarkan bentuk dan fungsi, wujud leksikon ruangan rumahnya. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dengan teknik wawancara, observasi dan studi pustaka. Pengolahan data dilakukan dengan teknik identifikasi sesuai dengan aspek yang diteliti, menyeleksi data, mengklasifikasi, menyesuaikan data, membahas, dan terakhir menyimpulkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumah “Bubungan Tinggi” bercirikan arsitektur rumah panggung, dengan bubungan atap yang tinggi, serta memiliki dua anjung di bagian kiri dan kanan bangunan. Konstruksi utama bangunan memiliki bentuk dan fungsi masing-masing yang khas yang tampak pada leksikon tihang, lantai, lalungkang, lawang, lis, tawing, tataban, atap, dan tangga. Leksikon lain yang signifikan tampak pada bentuk dan fungsi ruangan-ruangannya, yaitu palatar, panampik, palidangan, anjung, padapuran. Selanjutnya, motif ukiran flora dan kaligrafi yang digunakan dalam ornamen rumah “Bubungan Tinggi” pun mempunyai leksikon, dengan makna simbolis sebagai bagian dari makna semantis yang melambangkan kehidupan sosial budaya masyarakat Banjar. Leksikon”Bubungan Tinggi” perlu diperkenalkan kembali kepada masyarakat khususnya generasi muda, sebagai upaya untuk merevitalisasi kembali rumah adat dan maknanya, agar tidak punah dan tergantikan dengan rumah-rumah modern.The Banjar traditional house "Bubungan Tinggi" has distinctive shapes and parts that are different from other traditional houses. Although much research has been done on Banjar traditional houses, none has discussed the lexicons of “Bubungan Tinggi,” in the study of ethnosemantics particularly. This research aims to determine the description of an object based on the socio-culture of its language speakers. A more elaborate objective is to understand the lexicon depiction of the main construction of the "Bubungan Tinggi" based on the form and function, as well as the lexicon of space within the house. The research uses a qualitative descriptive method, where data collection was carried out by interviews, observation, and literature study. Data processing was carried out using identification techniques according to the aspects studied, selecting data, classifying, adjusting data, discussing, and finally inferring. The study resulted that the "Bubungan Tinggi" house is characterized by the architecture of a stilt house, with a high roof, and has two annexes each on the left and right of the building. The main construction of the building has its distinct form and function which can be seen in the lexicon of pillars, floors, windows, doors, frames, walls, plinths, roofs, and stairs. Other significant lexicons are seen in the form and function of the rooms, which refer to the terrace, small room, family room, annex, and kitchen. Furthermore, the floral and calligraphic carving motifs used in the “Bubungan Tinggi” house ornaments also have lexicons, with symbolic significance as part of the semantic meaning that refers to the socio-cultural life of the Banjar people. The lexicons of "Bubungan Tinggi" of the Banjar traditional house need to be reintroduced to the public, especially the younger generation, as an effort to revitalize the traditional house and its meaning; hence the “Bubungan Tinggi” will not become extinct and is replaced by modern houses.
ERA BARU DALAM KEMITRAAN PENGELOLAAN CAGAR BUDAYA: STUDI KASUS KALIMANTAN Bambang Sugiyanto
Naditira Widya Vol. 16 No. 2 (2022): Naditira Widya Volume 16 Nomor 2 Oktober Tahun 2022
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perubahan nomenklatur terutama pada instansi penelitian arkeologi di Indonesia dan instansi pengelolaan cagar budaya berpengaruh pada pengelolaan cagar budayanya. Dengan bergabungnya Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi ke dalam struktur organisasi Badan Riset dan Inovasi Nasional, maka nomenklatur lembaga penelitian arkeologi pun berubah. Nomenklatur baru tersebut adalah Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra yang mempunyai tujuh pusat riset, yaitu tiga menyelenggarakan penelitian arkeologi, dan empat melaksanakan penelitian bahasa, sastra, dan manuskrip. Sementara perubahan yang terjadi di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi adalah penggabungan dua unit pelaksana teknis, yaitu Balai Pelestarian Cagar Budaya dan Balai Pelestarian Nilai Budaya, menjadi Balai Pelestarian Kebudayaan. Perubahan di atas berpengaruh pada pengelolaan cagar budaya di Indonesia. Bagaimana pengaruhnya dan bagaimana kemitraan pengelolaan yang akan datang merupakan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Tujuan penelitian adalah mendorong percepatan pemahaman kemitraan pengelolaan cagar budaya. Penelitian ini diakukan secara induktif-deskriptif melalui studi pustaka dengan fokus kasus-kasus di Kalimantan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen pengelolaan cagar budaya di Kalimantan secara umum memang belum berjalan dengan baik. Dengan demikian, disimpulkan bahwa harus dibangun skema kemitraan pengelolaan antarpemangku kepentingan, dari tingkat perencanaan sampai dengan pemanfataannya. Skema kemitraan ini harus melibatkan dinas pendidikan dan kebudayaan serta dinas kebudayaan dan pariwisata setempat, kemudian membangun sinergi dan kolaborasi yang baik dengan pihak terkait seperti kepolisian, kejaksaan, lembaga sosial masyarakat budaya, dinas pertambangan, dinas pekerjaan umum, akademisi, dan masyarakat. Kerja sama dan koordinasi tersebut dimulai dengan menyamakan visi dan misi dalam memelihara dan melestarikan cagar budaya, sehingga diharapkan akan terbentuk satu rencana aksi pengelolaan cagar budaya yang terpadu di bawah arahan walikota atau bupati atau gubernur. Changes in nomenclature, especially at archaeological research institutions in Indonesia and cultural heritage management agencies, affect the management of their cultural heritage. The merger of the Pusat Penelitian Arkeologi Nasional and its ten institutes of archaeology into the organizational structure of Badan Riset dan Inovasi Nasional has also affected the change of their nomenclature. Their present nomenclature is the Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa dan Sastra, which has seven research centres, i.e. three manage archaeological research, and four operate research regarding language, literature, and manuscripts. Meanwhile, a change of organizational structure also occurred within the Direktorat Jenderal Kebudayaan of the Ministry of Education, Culture, Research and Technology, which was affected by the merger of two technical units, i.e. Balai Pelestarian Cagar Budaya and Balai Pelestarian Nilai Budaya and become Balai Pelestarian Kebudayaan. These changes affect the management of cultural heritage in Indonesia. How it affects and how the future management partnership will be is the question discussed here. The research aims to accelerate the understanding of cultural heritage management partnerships. This research was conducted inductively and descriptively through literature studies with a focus on cases in Kalimantan. The results of the study show that the cultural heritage in Kalimantan in general has not been well managed. Thus, it can be inferred that a management partnership scheme between stakeholders had to be built, from the planning level to its utilization. Such partnership scheme must involve the education and culture office as well as the local culture and tourism office, then build good synergy and collaboration with related parties such as the police, prosecutors, cultural community social institutions, mining agency, public works agency, academia, and the community. This cooperation and coordination must be commenced by aligning the vision and mission in maintaining and preserving cultural heritage; therefore, an integrated cultural heritage management action plan can be formed under the direction of the mayors or regent authorities or governors.
VARIASI PERHIASAN KEPALA ARCA PARWATI KOLEKSI MUSEUM NASIONAL DI INDONESIA Waridah Muthi’ah; Agus Sachari; Pindi Setiawan
Naditira Widya Vol. 15 No. 2 (2021): Naditira Widya Volume 15 Nomor 2 Oktober Tahun 2021
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pemujaan terhadap Parwati mendapatkan tempat yang penting pada era Hindu-Buddha di nusantara, sehubungan dengan kedudukan Parwati sebagai śakti dari dewa tertinggi dalam Śiwaisme, Dewa Śiwa. Hal ini ditunjukkan oleh keberadaan arca-arca dewi dan arca perwujudan ratu, yang beberapa di antaranya menjadi koleksi Museum Nasional di Indonesia. Akan tetapi, asal waktu dan identitas tokoh pada kebanyakan arca ini belum dapat diidentifikasi. Mahkota atau hiasan kepala sebagai bagian dari atribut (lakṣana) arca dapat digunakan sebagai sumber informasi melalui kajian terhadap gaya atau langgam estetika. Penelitian ini merupakan upaya untuk memahami variasi mahkota arca Parwati yang berasal dari era Majapahit, khususnya abad ke-14 M dan 15 M, berdasarkan identifikasi gaya seni dan kecenderungan penggambaran pada masa tersebut. Penelitian dilakukan menggunakan metode deskriptif-komparatif dengan pendekatan ikonografi dan morfologi estetis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada dua kecenderungan penggambaran mahkota Parwati. Patung dari Kediri dan Blitar cenderung menggambarkan mahkota Parwati dengan bentuk yang mendekati langgam Klasik Awal (Jawa Tengah), dengan menampilkan mahkota semata-mata sesuai kanon Manasara, seperti jatāmakuta, kesabandha, dan kuntala. Kecenderungan kedua menampilkan Parwati mengenakan kirīṭamakuta, yang merupakan atribut Wisnu, dan penyejajaran sifat dan kedudukannya sebagai sosok pemelihara. The worship of Parvati has an important place in the Hindu-Buddhist era in the Indonesian archipelago, with regard to Parvati's position as the spouse of the supreme god in Shivaism, Shiva. This is indicated by the presence of goddess statues and statues of the embodiment of a queen, which some are in the collections of the National Museum in Indonesia. However, the chronology and identity of the National Museum statues collection have not been distinguished. Information on both aspects of a statue can be achieved by means of the study of style or aesthetic of a crown or headdress as a feature of lakṣana (statue attribute). This research is an attempt to understand the varieties of the crowns of the Parwati statue from the Majapahit era, especially the 14th and 15th centuries, based on the identification of the art style and depiction tendencies during this period. This research was conducted using a descriptive-comparative method with approaches of iconography and aesthetic morphology. The results indicate that there are two trends in depicting Parwati’s crown. The statues from Kediri and Blitar tend to depict Parvati's crown in a form similar to those of the Early Classical (Central Javanese) style, by displaying the crown solely according to the scripture of Manasara, such as jatāmakuta, kesabandha, and kuntala. The second trend presents Parvati wearing the kirīṭamakuta, which is an attribute of Vishnu, which correlates to her nature and position as a guardian.
JEJAK AKULTURASI BUDAYA JAWA DAN KALIMANTAN DI TAMAN PURBAKALA CANDI AGUNG DI AMUNTAI, KALIMANTAN SELATAN Soni Sadono; Didit Endriawan
Naditira Widya Vol. 15 No. 2 (2021): Naditira Widya Volume 15 Nomor 2 Oktober Tahun 2021
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tulisan ini membahas situs-situs Candi Agung, Tiang Mahligai Junjung Buih, dan Pertapaan Pangeran Suryanata di Taman Purbakala Candi Agung, Provinsi Kalimantan Selatan. Tujuan penelitian ini adalah memahami akulturasi budaya asli dan asing yang telah terjadi pada ketiga situs tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan arkeologi dan semiotika budaya dengan mengelaborasi aspek-aspek kualitatif datanya. Aspek-aspek yang dibahas adalah bentuk dan fungsi candi, nama dan fungsi situs pemandian dan pertapaan, nama-nama tokoh legenda yang terkait dengan keberadaan candi, dan peristiwa-peristiwa dalam legenda. Subjek kajian terdiri atas dua aspek dokumentasi, yaitu visual (foto-foto situs) dan verbal (legenda). Subjek visual berupa dokumentasi pribadi pada tahun 2010. Subjek verbal terdiri atas buku-buku dan jurnal-jurnal yang membahas subjek penelitian, yaitu Hikayat Banjar, Hikayat Lambung Mangkurat, dan Tutur Candi. Hasil penelitian menunjukkan adanya akulturasi budaya Jawa dan Kalimantan, baik dalam bentuk bangunan candi, keberadaan situs pertapaan, nama-nama tokoh legenda, dan juga peristiwa.This paper discusses the sites of Candi Agung, Tiang Mahligai (bathing) Junjung Buih, and Pertapaan (hermitage) Pangeran Suryanata in the Archaeological Park of Candi Agung, South Kalimantan Province. The purpose of this study is to understand the acculturation between native and foreign cultures that had occurred at the three sites. This research uses the archaeological and cultural semiotics approach by elaborating the qualitative aspects of the data. The aspects discussed are the form and function of the temple, the name and function of the bathing and hermitage sites, the names of the legendary figures associated with the existence of the temple, and the events mentioned in the legend. The subject of the study consists of two aspects of documentation, i.e. visual (photos of the site) and verbal (legends). Visual subjects were of personal documentation obtained in 2010. Verbal subjects consist of books and journals that discuss the research subject, i.e. Hikayat Banjar, Hikayat Lambung Mangkurat, and Tutur Candi. Research results showed the occurrence of acculturation of Javanese and Kalimantan cultures, both in the form of temple buildings, the existence of hermitage sites, names of legendary figures, and cultural events.
SURVEI SIDE SCAN SONAR DALAM PENELITIAN ARKEOLOGI BAWAH AIR DI PERAIRAN SUNGAI: STUDI KASUS PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS Agni Sesaria Mochtar; Firman Setiawan; Shinatria Adityatama
Naditira Widya Vol. 15 No. 2 (2021): Naditira Widya Volume 15 Nomor 2 Oktober Tahun 2021
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Aplikasi metode geofisika menggunakan side scan sonar dalam penelitian arkeologi bawah air belum banyak dilakukan di Indonesia. Tulisan ini memaparkan penggunaan side scan sonar untuk pemetaan dasar sungai dan identifikasi tinggalan arkeologi di dasar sungai dalam penelitian “Sungai Brantas dalam Perspektif Lanskap Kultur Maritim”, serta interpretasi hasil survei side scan sonar tersebut dalam konteks kesejarahan. Selain itu, dalam tulisan ini akan dibahas potensi pengembangan penggunaan side scan sonar dalam penelitian arkeologi bawah air di Indonesia, terutama di perairan sungai. Akuisisi data dilakukan dengan menggunakan side scan sonar Starfish 450H dengan sistem posisi GNSS Trimble R8s. Sementara itu, interpretasi diperoleh dengan melakukan analisis terhadap data peta dan arsip Belanda untuk memahami konteks temporal dari objek yang dideteksi oleh alat side scan sonar. Survei berhasil menunjukkan sedimen di dasar sungai berupa lempung dan lanau, serta beberapa objek yang diduga sebagai bangkai kapal, yang diperkirakan berasal dari pasca abad ke-19 Masehi. Hasil survei side scan sonar menunjukkan tingkat akurasi cukup hingga tinggi dan dapat menjadi pendukung penelitian arkeologi bawah air yang efisien, terutama di perairan yang keruh.Side scan sonar survey as one of the geophysics methods is still scarcely applied in underwater archaeological research in Indonesia. This paper describes the application of side scan sonar survey in mapping riverbed and identifying underwater archaeological remains in the “Sungai Brantas in the Perspective of Maritime Cultural Landscape” project, as well as interpreting its historical context based on survey results. This paper also explores the development of utilizing side scan sonar in underwater archaeological research in Indonesia, particularly in rivers. Data was acquisitioned by using the side scan sonar Starfish 450H and GNSS Trimble R8s positioning system. The interpretation was drawn by analysing related Dutch old maps and archives to understand the historical context of the survey findings. The result shows clay and silt sediment covering most of the riverbed and a number of objects, possibly shipwrecks, estimated as from the nineteenth century. The survey result has a medium to high accuracy. Thus, this method is able to serve as an efficient instrument for underwater archaeological research, especially in the low-visibility waters.

Page 3 of 16 | Total Record : 153