cover
Contact Name
Vida P.R. Kusmartono
Contact Email
jurnal.naditirawidya@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
jurnal.naditirawidya@gmail.com
Editorial Address
Jalan Gotong Royong II, RT 03 RW 06, Banjarbaru 70714, Kalimantan Selatan
Location
Kota banjarbaru,
Kalimantan selatan
INDONESIA
Naditira Widya
ISSN : 14100932     EISSN : 25484125     DOI : https://doi.org/10.55981/nw
Naditira Widya aims to be a peer-reviewed platform and a reliable source of information. Scientific papers published consist of research, reviews, studies, and conceptual or theoretical thinking with regard to Indonesian and/or world archaeology and culture. All papers are double-blind reviewed by at least two peer reviewers. Naditira Widya is issued biannually and publishes articles on archaeology and cultural studies, including using anthropological, ethnographic, historical, language, geological, geographical, biological and other relevant approaches.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Arkeologi
Articles 153 Documents
NAMA DESA BERBAHASA BANJAR DALAM LANSKAP LINGUISTIK DI KALIMANTAN SELATAN Ida Komalasari; Akhmad Humaidi
Naditira Widya Vol. 17 No. 2 (2023): Naditira Widya Volume 17 Nomor 2 Oktober Tahun 2023
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur akan memberikan dampak kepada kawasan di sekitarnya, termasuk Kalimantan Selatan yang diarahkan sebagai penyangga ibu kota negara. Dampaknya, bahasa Banjar selaku bahasa lokal akan menghadapi tantangan pergeseran hingga kepunahan bahasa, karena pemindahan tersebut. Salah satu sarana pelindungan bahasa Banjar agar dapat terus bertahan adalah penamaan desa. Novelty (kebaruan) penelitian ini adalah rendahnya pemahaman masyarakat akan latar histori dan filosofis desanya, dan belum pernah ada penelitian tentang penamaan tempat dari struktur kebahasaan dan makna nama suatu desa. Tujuan penelitian ini adalah memahami struktur kebahasaan dan makna nama desa berbahasa Banjar dalam lanskap linguistik di Kalimantan Selatan. Lanskap linguistik secara teoretis cocok mengkaji hierarki linguistik di ruang publik. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan struktur kebahasaan bentuk kata dasar nama desa cenderung menggunakan nomina daripada jenis lain. Selanjutnya, afiksasi terhadap kata dasar juga memperkaya pemaknaan masyarakat. Selain itu, kata majemuk berupa gabungan nomina + adjektiva dan nomina + nomina adalah bentuk yang paling sering muncul. Di lain pihak, makna nama desa di Kalimantan Selatan menggambarkan kecenderungan pada simbol sejarah, cerita rakyat, flora, fauna, tokoh, perilaku, alat, benda alam, rupa bumi, dan wujud air. Nama desa memiliki kelebihan karena cenderung tidak berubah sehingga nilai bahasa, filosofis, dan historis di dalamnya dapat terus diwariskan ke generasi selanjutnya. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap makna yang terkandung dalam nama desa, sehingga pengaruh bahasa lain dan pergeseran bahasa dapat dikurangi.The move of the national capital from Jakarta to East Kalimantan Province will affect the shift of local languages, including the Banjarese language in South Kalimantan. A means to protect and sustain the Banjarese language is by naming a village. This research aims to understand the linguistic structure and meaning of the Banjarese village names in the linguistic landscape in South Kalimantan. Data was collected by observation and interviews. Research results show that the linguistic structure of the form of basic words of a village name uses nouns. The use of affixes also enriches the meaning of village names. Besides, compound words appear often and form as a combination of noun + adjective and noun + noun. The meaning of village names in South Kalimantan reflects historical symbols, folklore, flora, fauna, characters, behaviour, tools, natural objects, earth, and water. Village names tend not to change, so their linguistic, philosophical, and historical values can be passed on to the next generation.
DOMESTIKASI TUMBUHAN BERDASARKAN TEMUAN MIKROBOTANI DI SITUS NEOLITIK: STUDI KASUS SITUS KENDENGLEMBU Priyatno Hadi Sulistyarto; Muasomah
Naditira Widya Vol. 17 No. 2 (2023): Naditira Widya Volume 17 Nomor 2 Oktober Tahun 2023
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Situs Kendenglembu di Kabupaten Banyuwangi merupakan salah satu situs budaya neolitik yang karakteristik artefaknya tidak bercampur dengan tradisi litik sebelumnya. Kehidupan pada situs ini didukung oleh populasi penutur bahasa Austronesia yang bermigrasi dari kawasan Cina Selatan, kemudian datang dan menghuni kawasan situs Kendenglembu. Kehadiran populasi penutur bahasa Austronesia tersebut membawa budaya neolitik yang dicirikan dengan berbagai kemampuan antara lain bertani, membuat peralatan tembikar, membuat kapak batu, mengembangkan teknologi kemaritiman, melakukan domestikasi binatang, dan berkehidupan menetap. Novelty (kebaruan) dari penelitian ini adalah belum ada studi mendalam tentang domestikasi tumbuhan di situs Kendenglembu. Tujuan penelitian ini adalah memahami adanya domestikasi tumbuhan yang berkaitan dengan pemanfaatan tumbuhan di situs Kendenglembu. Data yang digunakan merupakan hasil ekskavasi tahun 2008, serta data tahun 2011 berupa Oryza sativa sp. dan data tentang kilap silika yang berasal dari sisa tumbuhan yang mengindikasikan pemanfaatn tumbuhan. Analisis kali ini difokuskan pada data mikrobotani menggunakan protokol Piperno dengan mikroskop polarisasi XP-213 dengan perbesaran 400x. Hasil penelitian menunjukkan sebaran situs arkeologi dengan sumber bahan batuan melimpah yang merupakan lokasi perbengkelan alat-alat batu, lokasi permukiman yang berada di puncak-puncak bukit yang landai, serta lokasi bercocok tanam di dekat aliran sungai. Studi domestikasi tumbuhan ini diharapkan dapat menjadi acuan penelitian lanjutan berkaitan dengan aspek-aspek domestikasi tumbuhan yang terjadi di situs-situs arkeologi.It is suggested that the neolithic open site of Kendenglembu in Banyuwangi Regency has been occupied by a population of Austronesian speakers who are associated with farming. The novelty of this research is that there has been no in-depth study of plant domestication at the Kendenglembu site. Thus, this research aims to understand whether plant domestication occurred which relates to plant use at the Kendenglembu site. The data used was recovered from the 2008 excavations, and 2011 analysis of plant proxies i.e., the Oryza sativa sp. and silica luster from plant remains which indicates plant use. The analysis of the present research focuses on microbotanical remains employing the Piperno protocol with an XP-213 polarizing microscope using 400x magnification. Results show the distribution of archaeological sites with abundant sources of rock materials, which are locations of stone tool workshops, settlement areas on sloping hilltops, and farming locations near river flows.
BUKTI AWAL PERSEBARAN BUDAYA AUSTRONESIA DI SESE, SULAWESI BARAT: TINJAUAN BERDASARKAN DATA ARKEOLOGI Nani Somba; Chalid AS; Hasrianti; Andi Muhammad Yusuf; M. Sabri; Ersa Dwi Saputra; Syahruddin Mansyur
Naditira Widya Vol. 17 No. 2 (2023): Naditira Widya Volume 17 Nomor 2 Oktober Tahun 2023
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian terhadap sebaran situs-situs dengan indikasi tinggalan arkeologis dari bangsa penutur bahasa Austronesia di Mamuju selama ini fokusnya di sepanjang daerah aliran sungai Karama. Sejumlah situs di daerah aliran Sungai Simboro juga mengandung data arkeologi semacam, tetapi belum ada penelitian arkeologi yang dilakukan di sini. Penelitian ini bertujuan untuk memahami persebaran budaya Austronesia di daerah aliran Sungai Simboro, terutama di kawasan Sese. Pengumpulan data primer dilakukan dengan survei arkeologi di lima situs terbuka yaitu, Gattungan, Demmanapa, Koronganak, Talopi, dan Kayu Colo, serta perekaman koordinat situs-situs memakai global positioning system. Selanjutnya, titik-titik koordinat diolah untuk membuat peta sebaran situs menggunakan software pemetaan geographic information system. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi pustaka dan arsip, serta wawancara terbuka terhadap tokoh-tokoh masyarakat lokal. Analisis data survei dilakukan secara makroskopis, serta perbandingan analogis dengan data etnografi dan kajian sumber sejarah. Hasil survei di kelima situs terbuka tersebut adalah data arkeologis berupa fragmen gerabah, fragmen keramik, beliung, batu ike (bark-cloth beater), lumpang batu, manik-manik, artefak logam, dan cangkang kerang. Fragmen gerabah ditemukan di kelima situs di Sese. Fragmen keramik ditemukan di empat situs, kecuali situs Koronganak. Alat batu ditemukan di situs-situs Gattungan, Demmanapa, dan Kayu Colo. Perhiasan berupa manik-manik ditemukan di situs-situs Gattungan dan Kayu Colo. Peralatan logam dan cangkang kerang ditemukan di situs-situs Gattungan dan Kayu Colo. Variabilitas data arkeologi dan etnografi menunjukkan karakter budaya neolitik dari masa prasejarah berlanjut hingga ke masa sejarah di kawasan Sese, dan merupakan bukti signifikan kehadiran bangsa penutur bahasa Austronesia di daerah aliran sungai Simboro. Many sites in the Simboro River basin provide potential archaeological remains of the Austronesian-speaking peoples, but no research has been carried out there. This research aims to understand the spread of Austronesian culture in the Simboro River basin, specifically in the Sese region. Primary data collection was carried out by archaeological surveys at five open sites i.e., Gattungan, Demmanapa, Koronganak, Talopi, and Kayu Colo. Secondary data was collected through library and archive studies, and open interviews with local community figures. Archaeological data was analysed macroscopically, supported by analogical comparisons with ethnographic data and historical source studies. The survey yielded potsherds, stone tools including hand adzes, bark-cloth beaters, stone mortars, beads, metal artifacts, and shells. The variability of archaeological and ethnographic data shows that the neolithic cultural characteristics from the prehistoric period continued into the historical period in the Sese area and is significant evidence of the presence of Austronesian-language speakers in the Simboro River basin.
BATU PUN: ARKEOLOGI DAN MITOS DAYAK LUNDAYEH DI LEMBAH KURID DI KRAYAN, NUNUKAN Ulce Oktrivia; Imam Hindarto; Rochtri Agung Bawono; Eko Herwanto
Naditira Widya Vol. 17 No. 2 (2023): Naditira Widya Volume 17 Nomor 2 Oktober Tahun 2023
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tradisi megalitik di kawasan Krayan telah berkembang seiring dengan perubahan zaman. Salah satunya adalah Batu Pun yang berada di lembah Kurid, di Nunukan. Tampaknya masyarakat Lundayeh yang bermukim di lembah Kurid belum memahami sepenuhnya arti keberadaan situs megalitik. Menurut mereka situs Batu Pun sudah ada jauh sebelum mereka memasuki kawasan ini. Pengetahuan umum yang diwariskan secara turun-menurun adalah mitos bahwa Batu Pun merupakan batu-batu megalitik yang terbentuk akibat mesab atau kutukan. Novelty dari penelitian ini adalah belum adanya kajian mitos yang berkaitan dengan tinggalan megalitik. Berdasarkan hal tersebut, tujuan penelitian ini adalah memahami tinggalan megalitik di lembah Kurid dalam perspektif arkeologi dan mitologi. Pengumpulan data dilakukan dengan pembukaan test pit, kajian pustaka, dan studi etnografi dengan wawancara mendalam secara partisipatoris tentang Batu Pun. Analisis dilakukan dengan cara komparasi dengan temuan serupa di kawasan yang sama untuk memahami konteks budaya yang terkait dengan Batu Pun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Batu Pun merupakan salah satu tinggalan budaya megalitik perupun berupa struktur batu yang membukit dengan beberapa menhir di bagian atasnya. Pada konteks arkeologis dan etnohistoris, perupun difungsikan sebagai media kubur, dan tidak berkorelasi dengan mitos masyarakat Lundayeh tentang mesab ”menjadi batu.” Hal tersebut membuktikan bahwa rentang waktu yang memisahkan antara masa pembangunan Batu Pun dengan masa kehidupan msyarakat Lundayeh yang hidup sekarang di Lembah Kurid telah mempengaruhi pemaknaan Batu Pun. Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan gagasan tentang khazanah identitas budaya di kawasan perbatasan, serta menjadi salah satu bahan rujukan awal untuk kepurbakalaan di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Provinsi Kalimantan Utara. The Lundayeh people believe that the megalithic of Batu Pun in the Kurid Valley was formed due to a mesab or a curse.. The novelty of this research is that no study of myths related to the megalithic of Batu Pun has been carried out. Based on this, the present research aims to understand the megalithic remains in the Kurid Valley from an archaeological and mythological perspective. Data collection was carried out by excavating a test pit, literature reviews, and an ethnographic study with participatory in-depth interviews about Batu Pun. The analysis was carried out by comparing similar findings in the area to understand the cultural context of Batu Pun. Research results show that Batu Pun is a perupun or grave that is formed as a mound-structure of stone with several menhirs on top. In archaeological and ethnohistorical contexts, the perupun does not correlate with the Lundayeh people's myth about mesab of petrification. This proves that the time that separates the construction period of Batu Pun and the present-day Lundayeh people who live in the Kurid Valley has influenced the transformation of the meaning of Batu Pun.
PERBANDINGAN KUBUR TEBING TORAUT DAN TORAJA DI PULAU SULAWESI Nasrullah Azis; Sriwigati; Indah Asikin Nurani
Naditira Widya Vol. 17 No. 2 (2023): Naditira Widya Volume 17 Nomor 2 Oktober Tahun 2023
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penguburan atau menempatkan mayat pada suatu tempat yang lebih tinggi adalah bentuk penghormatan serta salahsatu kepercayaan akan adanya kehidupan setelah mati. Di pulau Sulawesi terdapat tradisi menempatkan mayat pada tebingtebingalam yang dipahat menjadi rongga-rongga berbentuk persegi. Tradisi penempatan mayat yang disebut kubur tebingditemukan di dua kawasan yang berjauhan lokasinya, yaitu di Toraut di Sulawesi bagian utara dan di Toraja di Sulawesi bagianselatan. Berdasarkan observasi lapangan dan informasi penduduk setempat, diketahui bahwa tinggalan kubur tebing di Torautsudah tidak digunakan lagi. Masyarakat setempat di Toraut sekarang tidak mengenal lagi penguburan jenazah di tebing-tebing.Berbeda halnya pada masyarakat di Toraja, yang sampai sekarang masih melangsungkan tradisi penguburan di tebing-tebing.Tujuan penelitian ini adalah memahami pemilihan lokasi tebing, bentuk rongga pahatan, dan cara penguburan di tebing diToraut dan Toraja. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif- analitis. Data dikumpulkan melalui tinjauanpustaka terkait kubur tebing di Toraut dan Toraja, identifikasi secara langsung pada rongga-rongga pahatan di tebing, danmelakukan wawancara dengan penduduk di sekitar kubur tebing di Toraut dan Toraja. Hasil penelitian menunjukkan adanyaperbedaaan pada pemilihan lokasi tebing untuk penguburan, pada bentuk rongga pahatan, dan cara meletakkan mayat dalamrongga-rongga pahatan di kubur tebing di Toraut dan Toraja.Burial or placing a cadaver on higher ground is a form of respect and a belief in the existence of life after death. Onthe island of Sulawesi (Celebes), there is a tradition of placing cadavers on natural cliffs carved into square-shaped cavities.Such cliff niches are called cliff tombs and they can be found on two opposite regions of the island, in Toraut in northernSulawesi and Toraja in southern Sulawesi. Based on field observations and information from residents, it is known that the clifftombs in Toraut are no longer used. Local people in Toraut today no longer recognize the tradition of cadaver burials on cliffs.This is different for the people in Toraja, who still carry out the tradition of burial on cliffs. This research aims to understand thechoice of cliff location, the shape of the carving cavity, and the method of burial on cliffs in Toraut and Toraja. The methodused in this research is descriptive-analytic. Data was collected through a literature review regarding cliff graves in Toraut andToraja, direct identification of carved cavities in cliffs, and conducting interviews with residents around cliff graves in Torautand Toraja. The results of the research show that there are differences in the choice of cliff locations for burial, in the shape ofthe carving cavities, and in the way, the body is placed in the carving cavities in cliff graves in Toraut and Toraja.
JEJAK HUNIAN GUA DUDUMUNIR DI PULAU ARGUNI, DI WILAYAH FAKFAK, PAPUA BARAT Bau Mene
Naditira Widya Vol. 17 No. 2 (2023): Naditira Widya Volume 17 Nomor 2 Oktober Tahun 2023
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Gua Dudumunir memiliki keunikan, karena keletakannya yang berada tidak jauh dari garis Pantai di Pulau Arguni.Telah beberapa kali dilakukan survei di Gua Dudumunir, tetapi belum dilakukan penelitian arkeologis yang intensif yangberkaitan dengan penghunian gua. Survei tahun 2015 menunjukkan bahwa permukaan lantai aktual gua dipenuhi olehcangkang moluska, tulang binatang, dan fragmen gerabah. Oleh karena itu, pada tahun 2018 dilakukan penelitian dengantujuan memahami karakteristik penghunian Gua Dudumunir pada masa lampau berdasarkan tinggalan arkeologisnya.Dengan demikian, sasarn penelitian ini adalah i) temuan arkeologis di situs Gua Dudumunir yang menggambarkan guatersebut sebagai tempat bermukim pada masa lampau, termasuk fungsi artefak-artefaknya; dan ii) pola pemanfaatan guatersebut. Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, dan diawali dengan pengumpulan data melalui studi pustaka, survei, danekskavasi. Ekskavasi dilakukan dengan membuka dua kotak ekskavasi, yaitu U1B1/KT1 dan DDM/FF/KT2. Dari hasilpembukaan dua kotak ekskavasi diketahui keragaman tinggalan arkeologis yang terdiri atas i) alat batu; ii) alat danperhiasan tulang; iii) sisa-sisa fauna vertebrata dan invertebrate, serta tulang manusia; iv) gerabah, v) sisa-sisa arang; vi)bongkahan lepas batu kuarsa, rijang, dan oker, serta vii) tinggalan perang dunia berupa koin mata uang. Keragaman temuanberikut konteksnya mendukung kesimpulan bahwa Gua Dudumunir adalah multicomponent site sebagai tempat hunian pada masa prasejarah, tempat penguburan, dan tempat persembunyian. Gua Dudumunir is unique because it is located not far from the coastline on Arguni Island. Several surveys havebeen conducted at Gua Dudumunir, but no intensive archaeological research has been carried out relating to cave-dwelling.A 2015 survey showed that the cave floor was littered with mollusc shells, animal bones, and potsherds. Therefore, in 2018research was carried out to understand the characteristics of cave-dwelling at Gua Dudumunir in the past based onarchaeological remains. Thus, the targets of this research are i) archaeological items that may illustrate the type of activitieswithin the cave, including the function of the artifacts; and ii) the pattern of cave usage. This research is descriptive-analyticand begins with data collection through literature studies, surveys, and excavations. The excavation was carried out byopening two excavation trenches i.e., U1B1/KT1 and DDM/FF/KT2. The two excavation trenches yielded a diversity ofarchaeological remains consisting of i) stone tools; ii) bone tools and adornment; iii) remains of vertebrate and invertebratefauna, as well as human bones; iv) pottery, v) charcoal remains; vi) chunks of quartz, chert and ochre, and vii) currencycoins from the world war period. The diversity of findings and their context support the conclusion that Gua Dudumunir is amulti-component site as a prehistoric dwelling place, burial place, and hiding place
JEJAK BUDAYA SAGU DAN TRADISI PENGELOLAAN HUTAN SAGU DI KAWASAN DANAU SENTANI, PAPUA Amurwani Putri; Hari Suroto
Naditira Widya Vol. 17 No. 1 (2023): Naditira Widya Volume 17 Nomor 1 April Tahun 2023
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Hutan sagu dijumpai di kawasan Danau Sentani, di Papua. Tanaman sagu ini sudah ada sejak nenek moyangetnis Sentani tiba pertama kali di kawasan danau ini, dan pengelolaan hutan sagu merupakan identitas masyarakatSentani. Selain sebagai sumber pangan, sagu juga memiliki nilai filosofis dari segi kearifan lokal yang harus dijaga karenamengandung aspek lingkungan dan budaya. Saat ini, hutan sagu ditantang oleh modernisasi. Persoalan mendasar daritantangan tersebut adalah bagaimana masyarakat Sentani mampu mempertahankan tradisi pengelolaan hutan sagu.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keberadaan budaya sagu dan tradisi pengelolaan hutan sagu olehetnis Sentani di kawasan Danau Sentani. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatanetnoarkeologi yang berupaya untuk mengkaji perilaku masyarakat Sentani dalam mendukung kearifan lokal dalampengelolaan sagu dan menjawab permasalahan modernisasi yang terjadi di kawasan Danau Sentani. Metode penelitianyang digunakan adalah studi pustaka, wawancara, survei arkeologi, dan observasi lapangan. Bukti arkeologimenunjukkan bahwa pemanfaatan sagu sebagai bahan makanan sudah ada sejak zaman prasejarah. Artefak terkaitsagu yang ditemukan dari situs-situs di kawasan Danau Sentani adalah pecahan tembikar dan alat tokok sagu.Pembangunan infrastruktur modern akhir-akhir ini mulai merusak hutan sagu. Kondisi tersebut makin diperparah denganpenggunaan mesin pengolah sagu modern yang lebih efisien, tetapi tidak mempertimbangkan laju pertumbuhan pohonsagu sehingga menyebabkan cepatnya kepunahan tanaman sagu. Tanaman sagu sangat bermanfaat bagi masyarakatSentani, oleh karena itu perlu dilakukan pelestarian hutan sagu yang berbasis kearifan lokal.Sago forests grow in the Sentani Lake region, in Papua, and the management of sago forests is known as the identity of the Sentani people. Sago conveys a philosophical value of local wisdom concerning environmental and culturalaspects. This research aimed to understand the sago culture and the sago forest management tradition of the Sentanipeople. An ethnoarchaeological approach and data obtainment was performed through literature study, interviews, archaeological surveys, and field observations. Results show that people have regarded sago as a constituent food since prehistoric periods. Sago-related artifacts recovered from the Sentani sites were potsherds and sago felling tools. Today,the development of modern infrastructure and the use of modern machines have begun to destroy sago forests. Such circumstance causes the rapid extinction of sago plants. Sago plants are beneficial to the people of Sentani. Therefore, it is necessary to preserve sago forests based on local wisdom.
KAJIAN GAYA EKLEKTIK PADA INTERIOR RUMAH TJONG A FIE Agus Dody Purnomo; Anisah Maulidya Hasibuan
Naditira Widya Vol. 17 No. 1 (2023): Naditira Widya Volume 17 Nomor 1 April Tahun 2023
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Gaya eklektik merupakan gaya dalam bidang seni rupa dan desain yang berkembang pada pertengahan abadke-19 Masehi, dan muncul kembali pada akhir abad ke-20-an. Gaya tersebut menggunakan motif dari berbagai periodegaya yang digabungkan dengan gaya lainnya. Salah satu bangunan cagar budaya di Medan yakni rumah Tjong A Fiemenerapkan gaya eklektik. Beragam gaya pada rumah Tjong A Fie menjadi unsur penting dalam gaya eklektik sehinggamenjadi bangunan yang unik. Tujuan penelitian ini untuk memahami penerapan gaya eklektik pada interior bangunancagar budaya, termasuk mebel sebagai pelengkap interior. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatifdengan pendekatan deskriptif. Data yang diperoleh kemudian dianalisis terkait penerapan ambience dan gaya interiorbangunannya. Nama rumah Tjong A Fie diambil dari nama pemiliknya. Beliau adalah seorang mayor etnis Tionghoa danpengusaha yang dermawan yang beretnis Tionghoa. Gaya eklektik diterapkan pada pengolahan dinding, lantai,langit-langit, mebel, dan perlengkapan interior lainnya. Beberapa gaya dihadirkan dalam interior yang berbeda tema danambience. Hal ini menjadi suatu keunikan yang ada pada rumah Tjong A Fie. Gaya eklektik rumah Tjong A Fiemerefleksikan pemiliknya yang menghargai keberagaman dan berwawasan luas. Rumah Tjong A Fie sebagai bangunancagar budaya perlu adaptif terhadap tuntutan jaman, dan gaya eklektik menjadi alternatif untuk pengembangan desaininteriornya.The eclectic style is a fashion in art and design that flourished in the mid-19th century and resurged in the late20th century. The Tjong A Fie mansion is a cultural heritage building in Medan that implemented such a style whichmade it unique. This research aimed to understand the eclectic style application to the interior of cultural heritagebuildings. This research used a qualitative method with a descriptive approach. The discussion was concerned with theambience and interior design of the Tjong A Fie mansion. Results show that elements of styles of different themes andambience were recognized and applied to walls, floors, ceilings, interior fittings, and complementing furniture. Theeclectic style of Tjong A Fie mansion reflected the owner's appreciation of diversity and broad outlook on arts. Such style may also be an alternative solution in redesigning the interior of a revived cultural heritage building with altered functions.
KOMPLEKS PERCANDIAN BATUJAYA: POTENSI WISATA PASCA PANDEMI DI KARAWANG Soni Sadono; Catur Nugroho; Topik Mulyana
Naditira Widya Vol. 17 No. 1 (2023): Naditira Widya Volume 17 Nomor 1 April Tahun 2023
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tulisan ini dibuat dengan dasar keunikan yang terdapat pada candi yang ada di Karawang, Jawa Barat. Kawasancandi yang saat ini menjadi destinasi wisata memiliki daya tarik yang unggul di wilayah Karawang. Meskipun demikian,selama pandemi seluruh aktivitas dibatasi begitu pula dalam ranah pariwisata. Hal ini juga mempengaruhi jumlahkunjungan ke Kompleks Percandian Batujaya, Karawang. Sementara candi peninggalan masa Kerajaan Tarumanegaraini berpotensi untuk memajukan pariwisata di Karawang karena keunikan bangunannya yang tidak kalah menarikdibandingkan dengan bangunan candi yang berada di wilayah Jawa lainnya. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji potensiwisata pada Kompleks Percandian Batujaya sehingga dapat meningkatkan kembali minat pengunjung pada objek candiini. Metode menggunakan pendekatan sejarah dan arkeologis dengan metode kualitatif. Aspek yang dibahas mengenaisejarah singkat dari Kompleks Percandian Batujaya, tempat wisata Kompleks Percandian Batujaya selama masa pandemidan pascapandemi, dan bagaimana potensi yang dapat dikembangkan di area kompleks percandian agar dapat menarikminat pengunjung. Hasil dari penelitian menjelaskan adanya dampak yang terjadi selama pandemi menuju pasca-pandemidalam pariwisata yang ada di Kompleks Percandian Batujaya, baik dari segi fasilitas, infrastruktur maupun peraturan saatmengunjungi area percandian bagi para wisatawan. The uniqueness of the Batujaya Temples has the potential to increase the attractiveness of the Karawang areaas an excellent tourist destination. However, the impact of the pandemic which has caused restrictions on activities,including tourism, has affected the number of visits to the Batujaya Temples. This research aimed an in-depthunderstanding of the tourism potential of the Batujaya Temples to increase the number of visitors. A historical andarchaeological approach was used and discussion was focused on the brief history of the Batujaya Temples, the conditionof the Batujaya Temple during the pandemic and post-pandemic period, as well as the cultural potential that can bedeveloped further. The results of the research show that the impact of the pandemic and post-pandemic conditions at thetourist location of the Batujaya Temples was the improvement of public facilities and infrastructure, as well as adjustingtourist visit regulations to post-pandemic conditions.
MANFAAT METODE PENGAYAKAN BASAH BAGI ANALISIS FAUNA DARI SITUS KUTA BAGINDA, KALIMANTAN TIMUR Muhammad Abizar Algifary; Mahirta; Anggraeni
Naditira Widya Vol. 17 No. 1 (2023): Naditira Widya Volume 17 Nomor 1 April Tahun 2023
Publisher : National Research and Innovation Agency (BRIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ekskavasi untuk memperoleh temuan pada situs arkeologi kadang kala mengabaikan aktivitas pengayakan (sieving). Padahal, penggunaan metode pengayakan dalam suatu ekskavasi ditujukan untuk memaksimalkan temuan dan menjawab kelimpahan data. Aktivitas dry dan wet sieving kebanyakan dilakukan dalam penelitian di situs-situs prasejarah, sedangkan di situs-situs masa historis kurang menjadi perhatian. Situs Kuta Baginda abad ke-14 Masehi yang terletak di Kalimantan Timur merupakan situs yang dijadikan contoh bahwa penggunaan ayakan dengan ukuran saringan kecil pada proses ekskavasi berhasil memperoleh temuan yang dapat mengungkap karakteristik pemukiman secara lebih detail. Salah satu temuan arkeologis yang didapatkan dari penggunaan metode pengayakan adalah temuan ekofak fragmen tulang. Proxy tersebut dapat memberikan informasi penting dan komprehensif tentang suatu situs, seperti jenis kegiatan yang telah terjadi dan pola makan penghuni situs. Tujuan penelitian ini adalah pemahaman tentang sumber protein yang mendukung subsistensi masyarakat pada masa pra kerajaan Berau. Penelitian ini memaparkan pentingnya akuisisi data fauna melalui pengayakan basah (wet sieving) dan analisis sisa-sisa osteologi hewan dari hasil ekskavasi Kuta Baginda tahun 2019 dan 2021. Proxy fauna diidentifikasi berdasarkan bentuk dan taksonnya. Kemudian analisis dimulai dengan tabulasi silang number of identified specimens berdasarkan spesies hewan dan bagian kerangka yang paling umum ditemukan dari setiap spesies di situs Kuta Baginda. Interpretasi data terhadap temuan hasil penerapan metode ayakan kering dan basah menunjukkan bahwa sisa-sisa fauna sumber protein yang dikonsumsi komunitas pada masa tersebut berupa babi, unggas, kerang, ikan laut, dan ikan payau, serta pemanfaatan bagian-bagian tubuh fauna untuk kepentingan lain seperti racun ikan.The sieving method is used in an excavation to maximize data collection and to manage the abundance of data. This research aims to understand the protein sources that supported community subsistence during the pre-Berau kingdom period. This research explains the importance of faunal data acquisition through wet sieving and analysis of animal osteological remains from the 14th-century Kuta Baginda site. Faunal proxies are identified based on their shape and taxon. Further, the analysis begins with a cross-tabulation of the number of identified specimens based on animal species and the most common skeletal parts found from each species at Kuta Baginda. Data interpretation of proxies obtained with dry and wet sieve methods in the 2019 and 2021 excavations shows that the remains of animal sources of protein consumed by the community at that time were pigs, poultry, shellfish, saltwater fish, and brackish fish, as well as the use of their parts for other purposes such as fish poison.

Page 2 of 16 | Total Record : 153