cover
Contact Name
Brigitta Laksmi Paramita
Contact Email
brigitta.laksmi@uajy.ac.id
Phone
+6282329549978
Journal Mail Official
journal.biota@gmail.com
Editorial Address
Fakultas Teknobiologi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jalan Babarsari No. 44, Sleman, Yogyakarta 55281, Indonesia
Location
Kota yogyakarta,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Biota: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Hayati
ISSN : 25273221     EISSN : 2527323X     DOI : doi.org/10.24002/biota
Biota: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Hayati merupakan jurnal ilmiah yang memuat hasil-hasil penelitian, kajian-kajian pustaka dan berita-berita terbaru tentang ilmu dan teknologi kehayatian (biologi, bioteknologi dan bidang ilmu yang terkait). Biota terbit pertama kali bulan Juli 1995 dengan ISSN 0853-8670. Biota terbit tiga nomor dalam satu tahun (Februari, Juni, dan Oktober).
Articles 16 Documents
Search results for , issue "Vol 18, No 2 (2013): June 2013" : 16 Documents clear
Determinasi Salmonella sp dan Ektoparasit dalam Pupuk Organik dari Kotoran Sapi Potong di Yogyakarta Suwito, Widodo; -, Supriadi; Winarti, Erna; Bimo Bekti, Utomo
Biota : Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Hayati Vol 18, No 2 (2013): June 2013
Publisher : Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (284.19 KB) | DOI: 10.24002/biota.v18i2.388

Abstract

AbstractOne of by products derived from beef cattle farm is manure. The manure can be processed to make organic fertilizer. Salmonella sp is bacterium of the manure origin and harmful for human. Currently, organic fertilizer is mostly used for vegetables and fruits, but the problem is people consume those vegetables. The aim of this study was to determine Salmonella sp and ectoparasite in organic fertilizer which were made from the manure of beef cattle farm in Yogyakarta. A total of 10 manure samples were collected the farms to make organic fertilizer. The manure was fermented with lactic acid bacteria (BAL) for one month. Before and after fermented, the manure was isolated and identified for Salmonella sp based on biochemical reactions and ectoparasite using native method. The study showed that there were no Salmonella sp and ectoparasite in the organic fertilizer made from the manure fermented for one month.Keywords: Organic fertilizer, manure, farm, Salmonella spAbstrakSalah satu hasil sampingan dari peternakan sapi potong adalah kotoran ternak. Kotoran ternak dapat dimanfaatkan untuk dibuat pupuk organik. Salmonella sp merupakan bakteri yang berasal dari kotoran ternak dan dapat membahayakan kesehatan manusia. Saat ini pupuk organik banyak digunakan untuk tanaman sayuran dan buah-buahan, sedangkan sebagian masyarakat mengonsumsi sayuran dalam keadaan mentah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Salmonella sp dan ektoparasit dalam pupuk organik yang dibuat dari kotoran sapi pada peternakan sapi potong di Yogyakarta. Telah dikumpulkan sebanyak 10 sampel kotoran sapi yang akan dibuat pupuk organik dari peternakan sapi potong di Yogyakarta. Kotoran sapi difermentasi dengan bakteri asam laktat (BAL) selama satu bulan. Kotoran sapi sebelum dan sesudah difermentasi dilakukan isolasi dan identifikasi Salmonella sp berdasarkan reaksi biokimia dan ektoparasit dengan metode natif. Penelitian ini menunjukkan bahwa di dalam kotoran sapi yang dibuat pupuk organik dengan fermentasi selama satu bulan tidak ditemukan Salmonella sp.Kata kunci: Pupuk organik, rabuk, peternakan sapi, Salmonella sp
Pemanfaatan Limbah Cucian Beras untuk Pembuatan Makanan Berserat Tinggi Menggunakan Bakteri Acetobacter xylinum Zulkoni, Akhsin
Biota : Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Hayati Vol 18, No 2 (2013): June 2013
Publisher : Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (503.983 KB) | DOI: 10.24002/biota.v18i2.391

Abstract

AbstractThis research aimed to utilize water used for washing rice as raw material to make high-fiber foods (nata de leri), and to search the optimum sugar levels that can produce the best nata. Laboratory scale experiments were prepared using a factorial design with three repetitions. The treatments tested were four types of rice, such as white rice, brown rice, white and black sticky rice consists of 0, 5, 10, and 15% sugar content. The parameters analyzed were color, thickness, wet weight, fiber content and protein content of nata formed. Observational data were analyzed statistically using analysis of variance with α 1% and 5% followed by DMRT 5% test. Fermentation of various types of rice by the bacterium Acetobacter xylinum took five to seven days. Based on the analysis of variance α 1%, there was significant difference between the type of rice and sugar content to the quality of nata formed. Optimum sugar content that produces the best nata was 5%, which occurs in all types of rice. Excessive sugar in the fermentation medium inhibits the process of medium density allegedly causing bacterial cell lysis. Fermentation derived from white sticky rice produce the thickest and hardest nata, and had the highest fiber content, with values 130 cm, 200 gr, and 75% respectively. This was because the starch content was much in white sticky rice than others. Carbohydrates were used by bacteria as a source of nutrients and energy, which has rich of starch from white sticky rice. While the highest protein content was by nata formed from white rice, which is 1.2%.Keywords: Sugar, Acetobacter xylinum, nata de leriAbstrakPenelitian ini bertujuan memanfaatkan air bekas cucian beras sebagai bahan baku pembuatan makanan berserat tinggi (nata de leri), dan mencari kadar gula optimum yang bisa menghasilkan nata terbaik. Percobaan dilakukan pada skala laboratorium yang disusun menggunakan rancangan faktorial dengan tiga ulangan. Perlakuan yang diuji adalah jenis beras, meliputi beras putih, beras merah, ketan putih dan ketan hitam; serta kadar gula yang terdiri dari 0%, 5%, 10%, dan 15%. Parameter yang dianalisis yakni warna, tebal, berat basah, kadar serat, dan kadar protein nata yang terbentuk. Data pengamatan dianalisis statistik memakai analisis keragaman dengan α 1% dan α 5%, dilanjutkan uji DMRT α 5% bila ada perbedaan yang nyata. Berdasarkan analisis keragaman α 1%, terbukti bahwa ada pengaruh yang sangat signifikan antara jenis beras dan kadar gula dengan kualitas nata de leri yang terbentuk. Kadar gula optimum yang menghasilkan nata terbaik adalah 5% yang terjadi pada semua jenis beras. Gula yang berlebihan dalam medium justru menghambat proses fermentasi karena medium yang pekat menyebabkan sel bakteri lisis. Fermentasi leri yang berasal dari ketan putih menghasilkan nata paling tebal (130 cm), paling berat (200 g) serta mempunyai kadar serat tertinggi (7,5%). Hal ini disebabkan oleh kadar pati dalam leri ketan putih terbanyak dibandingkan dengan lainnya. Kadar protein tertinggi dikandung oleh nata yang dibentuk dari leri beras putih 1,2%.Kata kunci: Leri, gula, Acetobacter xylinum, nata
Kelimpahan Jenis Semut Di Areal Pemukiman Hutan Lindung Sirimau Kota Ambon Latumahina, Fransina Sarah; -, Musyafa; -, Sumardi; Susetya Putra, Nugroho
Biota : Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Hayati Vol 18, No 2 (2013): June 2013
Publisher : Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (423.776 KB) | DOI: 10.24002/biota.v18i2.389

Abstract

AbstractThe experiment was conducted at residential areas Sirimau forest with three sampling methods, which were hand collecting, bait trap (sugar and tuna) and pitfall traps from July to September 2011. The study aims to determine abudance of ants in residential areas in Ambon Sirimau Protected Forest areas. The results of study found 16 species of ants in total reaching 14.913. The most dominant types are Odontoponera denticulata, Pheidole megacephala, Technomyrmex albipes, Tetramorium simillimum, Tetramorium bicarinatum, Tapinoma melanocephalum, Paratrechina longicornis and Anoplolepis gracilipes. Total abudance of ants is 2.789 classified as moderate by spread of number of individual spread and of community stability. The abudance of ants is strongly influenced by light intensity, temperature, humidity, wind, water and season. Difference of temperature micro, light climate, humidit, interspecific competition, availability of variety of food sources, habitat quality and human activities also affect the abudance of ants. Another finding showed invasive ants, they were Soleonopsis geminate, Paratrechina longicornis and Anoplolepis gracilipes. Keywords: Abudance of ants, invasive species, protected areas, settlement areaAbstrakPenelitian dilaksanakan pada areal pemukiman dalam Hutan Lindung Sirimau dengan tiga metode pengambilan sampel yakni hand collecting, bait trap (umpan gula dan  ikan tuna) dan pitfall trap dari bulan Juli hingga september 2011. Penelitian bertujuan mengetahui keragaman semut pada areal pemukiman dalam kawasan Hutan Lindung Sirimau Ambon. Hasil penelitian menemukan adanya 16 jenis semut dengan total individu mencapai  14.913. Jenis–jenis yang sangat dominan dalam kawasan yakni Odontoponera denticulata, Pheidole megacephala, Technomyrmex albipes, Tetramorium simillimum, Tetramorium bicarinatum, Tapinoma melanocephalum, Paratrechina longicornis dan Anoplolepis gracilipes. Total keragaman jenis semut 2.789 tergolong sedang dengan penyebaran jumlah individu semut dan tingkat kestabilan komunitas sedang. Keragaman semut dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, suhu, kelembaban, angin, air dan musim. Diduga perbedaan suhu mikro, iklim, cahaya, kelembaban, pola makan, kompetisi interspesifik, variasi ketersediaan sumber makanan, kualitas habitat dan aktivitas manusia yang memengaruhi keragaman semut dalam areal pemukiman hutan lindung Sirimau Ambon. Ditemukan 3 jenis semut yang invasif yakni Soleonopsis geminate, Paratrechina longicornis dan Anoplolepis gracilipes. Kata kunci: Kelimpahan semut, spesies invasif, hutan lindung, tipe penggunaan lahan pemukiman
Peningkatan Kualitas flakes Ganyong (canna edulis ker.) dan Bekatul Menggunakan Variasi Sayuran Sukamdani, Haryo; Purwijantiningsih, L.M. Ekawati; Pranata, F. Sinung
Biota : Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Hayati Vol 18, No 2 (2013): June 2013
Publisher : Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (319.573 KB) | DOI: 10.24002/biota.v18i2.392

Abstract

AbstractFlakes are ready to eat cereal product in order to provide a high caloric needs for those who consume them. Utilization of ganyong into flakes is one alternative that increases the diversification of processed ganyong prospects in the community. In order to improve the nutritional quality of flakes, especially fiber, other ingredients are added for flakes. Variety of vegetables and rice brand’s is used as the main raw material of flakes. Variety of vegetables is broccoli, spinach and carrots and with the addition of vegetables can be seen the influence of increasing the nutritional value from the resulting flakes. This research used completely randomized design (CRD). The results obtained in this study of flakes product are have variations of water content 0.03-0.36%, ash 2.69-3:09%, protein 5.72-6.36%, 0.96-3.08% fat, carbohydrate 87.47-90.61%, soluble fiber 1.59-4.4%, insoluble fiber 0.01-0.02%, total fiber 1.6-4.42%, texture 3349.8-3687.8 gf and microbiological tests such total plate count, molds and yeasts and Staphylococcus aureus that meets the ISO standard of cereal (SNI 01-4270 -1996). The results showed that the carrot flakes had the highest quality overall and flakes broccoli had the highest fiber content.Key words: Flakes, ganyong, variety of vegetables, rice bran’sAbstrakFlakes adalah produk makanan siap saji untuk menyediakan kalori bagi yang mengkonsumsinya. Pemanfaatan ganyong sebagai produk sereal adalah salah satu cara meningkatkan diversifikasi pangan di masyarakat. Dalam rangka meningkatkan kualitas gizi flakes, terutama serat maka bahan lain ditambahkan dalam pembuatan flakes. Variasi sayuran dan bekatul digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan flakes. Variasi sayuran yang digunakan yakni brokoli, bayam dan wortel. Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL). Hasil yang didapatkan dari penelitian ini yakni kadar air flakes 0,03-0,36%, kadar abu 2,69-3,09%, protein 5,72-6,36%, lemak 0,96-3,08%, karbohidrat 87,47-90,61%, serat larut 1,59-4,4%, serat tidak larut 0,01-0,02%, total serat 1,6-4,42%, tingkat kekerasan/ tekstur 3349,8-3687,8 gf dan tes mikrobiologi seperti angka lempeng total, kapang dan khamir, serta Staphylococcus aureus sesuai standar ISO sereal (SNI 01-4270 -1996). Hasil penelitian menunjukan bahwa flakes wortel mempunyai kualitas gizi tertinggi dan flakes brokoli mengandung serat tertinggi.Kata kunci: Flakes, ganyong, variasi sayuran, bekatul
Amfibi dan Reptil Karst Gunung Sewu Zona Batur Agung, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta Qurniawan, Tony Febri
Biota : Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Hayati Vol 18, No 2 (2013): June 2013
Publisher : Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (346.891 KB) | DOI: 10.24002/biota.v18i2.390

Abstract

An inventory study of amphibians and reptiles from Karst Zone Batur Agung Gunung Kidul, Yogyakarta was carried out for first time. Exploration was conducted in July-August 2007, May-June 2008 and April 2009 at four districts of Patuk, Playen, Ngawen and Gedangsari. The results showed findings of 9 species of amphibians and 22 species of reptiles. Total of those amphibians and reptiles were recorded, the largest species of amphibian was Duttaphrynus melanostictus (Bufonidae) and Fejervarya limnocharis (Dicroglossidae). The largest species of reptile was Hemydactylus frenatus (Gekkonidae), Lygosoma bowringii (Scincidae), Ramphotyphlops braminus (Typhlopidae), Eutropis multifasciata (Scincidae) and Ahaetulla prasina (Colubridae). Keywords: Biodiversity, herpetofauna, Wanagama forest, Wonosadi forest, Bunder forestAbstrakStudi inventarisasi amfibi dan reptil telah dilakukan untuk permata kali di Zona Karst Batur Agung Gunung Kidul Yogyakarta. Penelitian berlangsung dari bulan Juli-Agustus 2007, Mei-Juni 2008 dan April 2009 di empat kecamatan, yaitu Patuk, Playen, Ngawen, dan Gedangsari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan 9 jenis amfibi dan 22 jenis reptil. Total keseluruhan jumlah jenis amfibi dan reptil tersebut, jenis amfibi yang melimpah yaitu Duttaphrynus melanostictus (Bufonidae) dan Fejervarya limnocharis (Dicroglossidae). Jenis reptil yang melimpah yaitu Hemydactylus frenatus (Gekkonidae), Lygosoma bowringii (Scincidae), Ramphotyphlops braminus (Typhlopidae), Eutropis multifasciata (Scincidae) dan Ahaetulla prasina (Colubridae). Kata kunci: Biodiversitas, herpetofauna, hutan Wanagama, hutan Wonosadi, hutan Bunder
Kelimpahan dan Keanekaragaman Jenis Burung di Enclave Lindu Taman Nasional Lore Lindu Setiawan, Heru
Biota : Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Hayati Vol 18, No 2 (2013): June 2013
Publisher : Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (536.416 KB) | DOI: 10.24002/biota.v18i2.393

Abstract

AbstractLindu Enclave area is an area that cannot be separated from the Lore Lindu National Park (TNLL) because it is situated in the TNLL area. Lore Lindu National Park is located in the Wallacea area with high level diversity especially for the bird diversity. The existence of TNLL has an important role as habitat for 80% of Sulawesi endemic birds. This study aimed to determine the diversity of birds in the Lindu Enclave. Data was collected using PIA (Point Index of Abundance) method with 14 observation points which were scattered in two villages: Tomado Village and Anca Village. The results of bird watching analysis showed that as many as 51 species of birds from 25 families were found in the Lindu Enclave. Out of 51 birds, there were 14 species categorized in the protected birds and 15 species were endemic birds. Out of 15 species endemic bird, 4 species were categorized in the protected bird species. The most common bird species was intermediate egret (Egretta intermedia), as many as 86 individuals. Bird diversity index in Lindu Enclave area was 3.23 that categorized on the high diversity level.Keywords: Lindu Enclave, biophysical, bird diversity, Lore Lindu National ParkAbstrakKawasan Enclave Lindu merupakan daerah yang tidak dapat dipisahkan dari Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) karena letaknya yang berada di dalam kawasan TNLL. Taman Nasional Lore Lindu berada dalam kawasan Wallacea dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi khususnya jenis burung. Keberadaan TNLL mempunyai peranan yang penting sebagai habitat burung karena 80% burung endemik Sulawesi terdapat di kawasan  ini. Penelitian ini bertujuan mengetahui keanekaragaman jenis burung di kawasan Enclave Lindu. Pengambilan data menggunakan metode IPA (Indeks Point of Abundance) dengan 14 titik pengamatan yang tersebar di dua desa yaitu Desa Tomado dan Desa Anca. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 51 jenis burung dari 25 famili berhasil ditemukan di kawasan Enclave Lindu. Dari 51 jenis burung tersebut, terdapat 14 jenis yang termasuk dalam jenis burung dilindungi dan 15 jenis burung endemik. Dari 15 jenis burung endemik tersebut terdapat 4 jenis burung yang termasuk dalam jenis burung yang dilindungi. Jenis burung yang paling umum ditemukan adalah Kuntul perak (Egretta intermedia), sebanyak 86 individu. Indeks keanekaragaman jenis burung di kawasan Enclave Lindu adalah 3,23 dengan tingkat keanekaragaman yang tergolong tinggi.Kata kunci: Enclave Lindu, biofisik, keanekaragaman burung, Taman Nasional Lore Lindu
Perbandingan Metode Ekstraksi DNA Collocalia fuciphaga Secara Manual dan Kit dari Berbagai Sumber Material Genetik -, Hendra; Riyanto, Cellica; Heryanto, Aditya Fendy; Yuda, Pramana
Biota : Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Hayati Vol 18, No 2 (2013): June 2013
Publisher : Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (315.336 KB) | DOI: 10.24002/biota.v18i2.394

Abstract

AbstractThe aim of this research was to compare DNA extraction protocols of PCE and extraction kit using different genetic material sources of blood and feathers. Three different extraction buffers of PCE method were used. This study suggested that PCE method was more efficient than the extraction kit method. Meanwhile, extraction buffer of Bello was more efficient for extracting DNA from feather, while extraction buffer of Khosravinia was more efficient for extracting DNA from blood. Wing feather was a suitable sample as genetic source for DNA extraction.Keywords: DNA extraction, phenol-chloroform, Collocalia fuciphagaAbstrakPenelitian ini bertujuan membandingkan metode PCE dengan kit ekstraksi dalam mengekstrak DNA berbagai material sumber genetik, yaitu darah dan bulu Collocalia fuciphaga. Ekstraksi metode PCE menggunakan tiga jenis buffer yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstraksi DNA menggunakan metode PCE lebih efisien dibandingkan kit ekstraksi. Buffer ekstraksi Bello lebih efisien untuk ekstraksi DNA sampel bulu, sedangkan buffer ekstraksi Khosravinia lebih efisien untuk ekstraksi DNA sampel darah. Penelitian ini juga menunjukkan bulu sayap merupakan sumber genetik yang paling baik untuk ekstraksi DNA.   Kata kunci: ekstraksi DNA, phenol-chloroform, Collocalia fuciphaga
Komposisi Jenis dan Struktur Tumbuhan Bawah pada Hutan Tanaman Jati Bertumbuhan Ketela Pohon di KPH Ngawi, Jawa Timur Hasanbahri, Soewarno; Marsono, Djoko; Hardiwinoto, Suryo; Sadono, Ronggo
Biota : Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Hayati Vol 18, No 2 (2013): June 2013
Publisher : Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (441.972 KB) | DOI: 10.24002/biota.v18i2.395

Abstract

AbstractThe existence of Cassava under the Teak stand, in Ngawi Forest District, have change the undergrowth species composition and their ecological structure. Based on the research results of the different age class of teak plantation forest (II – V) could be concluded that the species composition of undergrowth tend to decrease either species number or individual number of each species. Only 4 species from 21 species of undergrowth that were found in all of the research compartments those are Hoplismenus burmani, Clitoria ternatea, Eupatorium odoratum and Synedrela nudiflora; and their distribution were horizontally aggregated. For vertical structure of the undergrowth community were not different for each compartment with Cassava. The nutrients rate information of the soil under teak stand with cassava showed low enough.Key words: Undergrowth, cassava, ecological structure, teak standAbstrakKeberadaan tanaman Ketela pohon di bawah tegakan hutan tanaman Jati di KPH Ngawi telah mengakibatkan terjadinya perubahan komposisi jenis tumbuhan bawah dan struktur ekologisnya. Berdasarkan hasil penelitian pada petak hutan tanaman Jati dengan kelas umur yang berbeda (KU II-V) dapat disimpulkan bahwa komposisi jenis tumbuhan bawah cenderung menurun baik dalam jumlah jenis maupun jumlah individu setiap jenis. Hanya ada 4 jenis dari 21 jenis tumbuhan bawah yang dijumpai dari seluruh petak hutan tanaman Jati yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu Hoplismenus burmani, Clitoria ternatea, Eupatorium odoratum dan Synedrela nudiflora; dan sebaran horizontalnya mengelompok. Untuk struktur vertikal komunitas tumbuhan bawah pada petak hutan tanaman Jati bertumbuhan Ketela pohon ternyata tidak jauh berbeda antara satu petak dengan petak yang lainnya dari kelas umur yang berbeda. Kandungan hara dalam tanah dibawah tegakan hutan tanaman Jati bertumbuhan Ketela pohon berada pada tingkat yang rendah.Kata kunci: Tumbuhan bawah, ketela pohon, struktur ekologis, tegakan Jati  
Determinasi Salmonella sp dan Ektoparasit dalam Pupuk Organik dari Kotoran Sapi Potong di Yogyakarta Widodo Suwito; Supriadi -; Erna Winarti; Utomo Bimo Bekti
Biota : Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Hayati Vol 18, No 2 (2013): June 2013
Publisher : Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24002/biota.v18i2.388

Abstract

One of by products derived from beef cattle farm is manure. The manure can be processed to make organic fertilizer. Salmonella sp is bacterium of the manure origin and harmful for human. Currently, organic fertilizer is mostly used for vegetables and fruits, but the problem is people consume those vegetables. The aim of this study was to determine Salmonella sp and ectoparasite in organic fertilizer which were made from the manure of beef cattle farm in Yogyakarta. A total of 10 manure samples were collected the farms to make organic fertilizer. The manure was fermented with lactic acid bacteria (BAL) for one month. Before and after fermented, the manure was isolated and identified for Salmonella sp based on biochemical reactions and ectoparasite using native method. The study showed that there were no Salmonella sp and ectoparasite in the organic fertilizer made from the manure fermented for one month. Keywords: Organic fertilizer, manure, farm, Salmonella sp Abstrak Salah satu hasil sampingan dari peternakan sapi potong adalah kotoran ternak. Kotoran ternak dapat dimanfaatkan untuk dibuat pupuk organik. Salmonella sp merupakan bakteri yang berasal dari kotoran ternak dan dapat membahayakan kesehatan manusia. Saat ini pupuk organik banyak digunakan untuk tanaman sayuran dan buah-buahan, sedangkan sebagian masyarakat mengonsumsi sayuran dalam keadaan mentah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Salmonella sp dan ektoparasit dalam pupuk organik yang dibuat dari kotoran sapi pada peternakan sapi potong di Yogyakarta. Telah dikumpulkan sebanyak 10 sampel kotoran sapi yang akan dibuat pupuk organik dari peternakan sapi potong di Yogyakarta. Kotoran sapi difermentasi dengan bakteri asam laktat (BAL) selama satu bulan. Kotoran sapi sebelum dan sesudah difermentasi dilakukan isolasi dan identifikasi Salmonella sp berdasarkan reaksi biokimia dan ektoparasit dengan metode natif. Penelitian ini menunjukkan bahwa di dalam kotoran sapi yang dibuat pupuk organik dengan fermentasi selama satu bulan tidak ditemukan Salmonella sp. Kata kunci: Pupuk organik, rabuk, peternakan sapi, Salmonella sp
Kelimpahan Jenis Semut Di Areal Pemukiman Hutan Lindung Sirimau Kota Ambon Fransina Sarah Latumahina; Musyafa -; Sumardi -; Nugroho Susetya Putra
Biota : Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Hayati Vol 18, No 2 (2013): June 2013
Publisher : Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24002/biota.v18i2.389

Abstract

AbstractThe experiment was conducted at residential areas Sirimau forest with three sampling methods, which were hand collecting, bait trap (sugar and tuna) and pitfall traps from July to September 2011. The study aims to determine abudance of ants in residential areas in Ambon Sirimau Protected Forest areas. The results of study found 16 species of ants in total reaching 14.913. The most dominant types are Odontoponera denticulata, Pheidole megacephala, Technomyrmex albipes, Tetramorium simillimum, Tetramorium bicarinatum, Tapinoma melanocephalum, Paratrechina longicornis and Anoplolepis gracilipes. Total abudance of ants is 2.789 classified as moderate by spread of number of individual spread and of community stability. The abudance of ants is strongly influenced by light intensity, temperature, humidity, wind, water and season. Difference of temperature micro, light climate, humidit, interspecific competition, availability of variety of food sources, habitat quality and human activities also affect the abudance of ants. Another finding showed invasive ants, they were Soleonopsis geminate, Paratrechina longicornis and Anoplolepis gracilipes. Keywords: Abudance of ants, invasive species, protected areas, settlement areaAbstrakPenelitian dilaksanakan pada areal pemukiman dalam Hutan Lindung Sirimau dengan tiga metode pengambilan sampel yakni hand collecting, bait trap (umpan gula dan  ikan tuna) dan pitfall trap dari bulan Juli hingga september 2011. Penelitian bertujuan mengetahui keragaman semut pada areal pemukiman dalam kawasan Hutan Lindung Sirimau Ambon. Hasil penelitian menemukan adanya 16 jenis semut dengan total individu mencapai  14.913. Jenis–jenis yang sangat dominan dalam kawasan yakni Odontoponera denticulata, Pheidole megacephala, Technomyrmex albipes, Tetramorium simillimum, Tetramorium bicarinatum, Tapinoma melanocephalum, Paratrechina longicornis dan Anoplolepis gracilipes. Total keragaman jenis semut 2.789 tergolong sedang dengan penyebaran jumlah individu semut dan tingkat kestabilan komunitas sedang. Keragaman semut dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, suhu, kelembaban, angin, air dan musim. Diduga perbedaan suhu mikro, iklim, cahaya, kelembaban, pola makan, kompetisi interspesifik, variasi ketersediaan sumber makanan, kualitas habitat dan aktivitas manusia yang memengaruhi keragaman semut dalam areal pemukiman hutan lindung Sirimau Ambon. Ditemukan 3 jenis semut yang invasif yakni Soleonopsis geminate, Paratrechina longicornis dan Anoplolepis gracilipes. Kata kunci: Kelimpahan semut, spesies invasif, hutan lindung, tipe penggunaan lahan pemukiman

Page 1 of 2 | Total Record : 16


Filter by Year

2013 2013


Filter By Issues
All Issue Vol 8, No 3 (2023): October 2023 Vol 8, No 1 (2023): February 2023 Vol 7, No 3 (2022): October 2022 Vol 7, No 2 (2022): June 2022 Vol 7, No 1 (2022): February 2022 Vol 6, No 3 (2021): October 2021 Vol 6, No 2 (2021): June 2021 Vol 6, No 1 (2021): February 2021 Vol 5, No 3 (2020): October 2020 Vol 5, No 2 (2020): June 2020 Vol 5, No 1 (2020): February 2020 Vol 4, No 3 (2019): October 2019 Vol 4, No 2 (2019): June 2019 Vol 4, No 1 (2019): February 2019 Vol 4, No 1 (2019): February 2019 Vol 3, No 3 (2018): October 2018 Vol 3, No 2 (2018): June 2018 Vol 3, No 1 (2018): February 2018 Vol 3, No 1 (2018): February 2018 Vol 2, No 3 (2017): October 2017 Vol 2, No 2 (2017): June 2017 Vol 2, No 1 (2017): February 2017 Vol 2, No 1 (2017): February 2017 Vol 1, No 3 (2016): October 2016 Vol 1, No 2 (2016): June 2016 Vol 1, No 1 (2016): February 2016 Vol 1, No 1 (2016): February 2016 Vol 19, No 1 (2014): February 2014 Biota Volume 19 Nomor 1 Tahun 2014 Biota Volume 13 Nomor 2 Tahun 2014 Vol 18, No 2 (2013): June 2013 Vol 18, No 1 (2013): February 2013 Biota Volume 18 Nomor 1 Tahun 2013 Vol 17, No 3 (2012): October 2012 Vol 17, No 2 (2012): June 2012 Vol 17, No 1 (2012): February 2012 BIOTA Volume 17 Nomor 3 Tahun 2012 Vol 16, No 2 (2011): June 2011 Vol 16, No 2 (2011): June 2011 Vol 16, No 1 (2011): February 2011 Vol 16, No 1 (2011): February 2011 Vol 15, No 3 (2010): October 2010 Vol 15, No 2 (2010): June 2010 Vol 15, No 1 (2010): February 2010 Vol 14, No 3 (2009): October 2009 Vol 14, No 2 (2009): June 2009 Vol 14, No 1 (2009): February 2009 Vol 13, No 3 (2008): October 2008 Vol 13, No 2 (2008): June 2008 Vol 13, No 1 (2008): February 2008 Vol 12, No 3 (2007): October 2007 Vol 12, No 2 (2007): June 2007 Vol 12, No 1 (2007): February 2007 Vol 11, No 3 (2006): October 2006 Vol 11, No 2 (2006): June 2006 Vol 11, No 1 (2006): February 2006 Vol 10, No 3 (2005): October 2005 Vol 10, No 2 (2005): June 2005 Vol 10, No 1 (2005): February 2005 Vol 9, No 3 (2004): October 2004 Vol 9, No 2 (2004): June 2004 Vol 9, No 1 (2004): February 2004 Vol 8, No 3 (2003): October 2003 Vol 8, No 2 (2003): June 2003 Vol 8, No 1 (2003): February 2003 More Issue