cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. aceh besar,
Aceh
INDONESIA
Jurnal Magister Ilmu Hukum
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject :
Arjuna Subject : -
Articles 112 Documents
KEBIJAKAN KRIMINAL DALAM PENANGGULANGAN PENYELUNDUPAN MANUSIA DI INDONESIA Evlyn Martha Julianthy, Dahlan Ali, Mujibussalim.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 2, No 3: Agustus 2014
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (245.708 KB)

Abstract

Abstract: Human smuggling is a transnational organized crime and negatively impacts numerous countries, particularly Indonesia as a transit country. In addition, it should be distinguished from human trafficking. Human smuggling in Indonesia continues to increase significantly and should be addressed. Criminal policies on the mitigation of human smuggling in Indonesia are performed by using the penal policy and non-penal facilities. The penal policies are the amendment of immigration laws that criminalize human smuggling, and as the formulation of criminal sanctions towards the perpetrators of human smuggling. In addition, there are also expansion policies of the authority of civil servant investigators (PPNS) in the immigration in dealing with human smuggling, and the application of non-refoulement principles for the victims of human smuggling. The criminal policies with non-penal facilities in the mitigation of human smuggling in Indonesia are done by cooperating with other countries, conducting legal counseling to coastal communities, establishing coast guard by using radar system capable of covering the entire territory of Indonesia, improving the quality of law enforcement agencies in mitigating human smuggling in Indonesia, and increasing the budget to support the mitigation and prevention of human smuggling. Keywords: Criminal policy, mitigation, human smuggling. Abstrak: Penyelundupan manusia merupakan kejahatan transnasional terorganisir dan telah membawa dampak negatif pada berbagai negara khususnya Indonesia sebagai negara transit. Penyelundupan manusia harus dibedakan dengan perdagangan orang. Penyelundupan manusia merupakan isu kemanusiaan di samping isu migrasi, dan masih terus terjadi di Indonesia sehingga dibutuhkan suatu upaya yang rasional untuk menanggulangi kejahatan penyelundupan manusia di Indonesia, atau yang dikenal dengan istilah kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan kriminal dalam menanggulangi penyelundupan manusia dengan menggunakan hukum pidana yakni pembaruan undang-undang keimigrasian yang memuat kriminalisasi terhadap penyelundupan manusia serta rumusan sanksi pidana terhadap pelaku penyelundupan manusia. Selain itu juga terdapat kebijakan perluasan kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Keimigrasian dalam menangani penyelundupan manusia, serta penerapan prinsip non-refoulement bagi korban penyelundupan manusia. Kebijakan kriminal dengan sarana non penal dalam penanggulangan penyelundupan manusia di Indonesia dilakukan dengan cara mengadakan kerjasama dengan negara lain, mengadakan penyuluhan hukum kepada masyarakat pesisir, membentuk penjaga pantai dengan sistem radar yang mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia, peningkatan kualitas aparat penegak hukum dalam menanggulangi penyelundupan manusia di Indonesia, serta peningkatan anggaran untuk menunjang penanggulangan dan pencegahan penyelundupan manusia. Kata Kunci : Kebijakan kriminal, penanggulangan, penyelundupan manusia.
BUKTI ELEKTRONIK DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA Syaibatul Hamdi, Suhaimi, Mujibussalim
Jurnal Ilmu Hukum Vol 1, No 4: November 2013
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (114.532 KB)

Abstract

Abstrak: Kemajuan teknologi membuat perkembangan terhadap tindak pidana, seperticyber crime,menggunakan media komunikasi dan komputer, kendati berada di dunia maya tetapi memiliki dampak nyata dalam menjalankan suatu perbuatan hukum. Pengaturan alat elektronik diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, Namun aturan tersebut belum menuntaskan suatu tindak pidana elektronik,karna alat elektronik sebagai alat bukti belum tercantum dalam KUHAP yang merupakan payung hukum utama dalam pidana, sehingga masih beragam penafsiran aparat penegak hukum terhadap bukti elektronik.Penelitian ini menjelaskan pengaturan bukti elektronik dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang menjadi multi tafsir aparat penegak hukum dan menjelaskan kekuatan pembuktian alat bukti elektronik dalam persidangan serta kendala dalam menggunakan alat bukti elektronik pada pembuktian pidana.Metode dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis emperis. Spesifikasi penelitian adalah deskriptif analitis dengan menggunakan data sekunder dan primer,Hasil penelitian menunjukkan pengaturan bukti elektronik belum maksimal, sungguhpun telah terdapat payung hukum yaitu UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE,Juga pengaturan bukti elektronik dicantumkan dalam beberapa perundang-undangan terkait seperti dokumen perusahaan, tindak pidana pencucian uang, kearsipan, dan perbankan serta aturan lainya,dan di tambah dengan masih minimnya sumber daya manusia aparat penegak hukum tentang IT sehingga mempunyai penafsiran yang berbeda terhadap alat elektronik sebagai alat bukti. Kekuatan pembuktian dengan alat bukti elektronik masih belum kuat, oleh karena itu keterangan ahli sangat dibutuhkan untuk menguatkan alat elektronik menjadi alat bukti. Kendala yang terjadi adalah masih kurangnya SDM aparat penegak hukum, belum meratanya polisi cyber, jaksa cyber, hakim dan sarana pendukung yang belum memadai diseluruh Indonesia.Disarankan kepada pemerintah agar memperhatikan secara khusus terhadap pengaturan alat elektronik sebagai alat bukti untuk diatur secara rinci dalam RKUHAP dan RKUHP. Sehingga dalam penegakan hukum tindak pidana cyber crime kedepandapat diselesaikan secara hukum dan penegak hukum dalam penanganan kasus cyber crime, agar mendengarkan keterangan ahli supaya mendapatkan petunjuk yang jelas untuk menguatkan alat elektronik sebagai alat bukti yang sah dan kepada Mabes Polri, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung agar dapat memberikan fasilitas yang memadai kedaerah-daerah supaya aparat penegak hukum diseluruh Indonesia dapat memutuskan kasus yang terdapat bukti elektronik secara tepat dan adil. Kata Kunci: Bukti Elektronik dan Pembuktian Pidana
PENGHAPUSAN BARANG MILIK NEGARA BERDASARKAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50/PMK.06/2014 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PENGHAPUSAN BARANG MILIK NEGARA Penelitian pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Aceh Nola Febriani, Eddy Purnama, M. Saleh Syafei.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 4, No 1: Februari 2016
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (303.898 KB)

Abstract

Abstract: Abolition of state owned goods or known as Barang Milik Negara (BMN) is managed in the Finance Ministry Regulation of the Republic of Indonesia Number 50/PMK.06/2014 regarding the abolition’s management and implementation of state owned goods. The abolition of state owned is an activity aiming to put out or exempt the properties from the list of inventory due to their worthlessness consideration or dysfunction. This abolishment of BMN has the purpose to prevent loss or cost inefficiency by the maintenance, repair, reduce the work-load and responsibilities of inventory supervisor, or provision of free space rather than collection of unused stuffs. Incorrectness in the state finance management, especially in the management of BMN may cause inappropriate purposes and finally, this will lead to state loss. In some cases, the implementation of BMN’s abolishment may face some problems due to the unwillingness or reluctance of some high level authorized person working in the government offices to give back the BMN albeit their end of assignment. Based on the object background, this study applied juristic empirical law.  It is recommended to solve and finish these problems by using the advance technology to support the inventory, which is adjusted with the real condition on the field and to refer the involved person as well during the implementation.Keywords: abolition, state owned goods. Abstrak: Penghapusan Barang Milik Negara (BMN) diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 50/PMK.06/2014 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penghapusan BMN. Penghapusan BMN merupakan suatu proses kegiatan yang bertujuan untuk mengeluarkan atau meniadakan barang-barang dari daftar inventaris dikarenakan pertimbangan bahwa barang tersebut sudah dianggap tidak mempunyai nilai guna atau sudah tidak berfungsi. Penghapusan tersebut memiliki makna yaitu untuk mencegah kerugian  atau pemborosan biaya sehubungan dengan pemeliharaan, perbaikan, pengurangan beban kerja dan tanggung jawab pelaksanaan inventaris, atau pemberian ruang kosong dibandingkan penumpukan barang yang tidak berguna. Kesalahan pengelolaan keuangan negara khususnya pengelolaan BMN dapat menyebabkan peruntukannya tidak tepat sasaran dan pada akhirnya, dapat menimbulkan kerugian negara. Dalam beberapa hal, pelaksanaan penghapusan BMN terkendala beberapa masalah dikarenakan ketidakinginan atau keengganan dari pejabat-pejabat di pemerintahan untuk mengembalikan BMN walaupun masa dinasnya telah berakhir. Berdasarkan objek masalah, penelitian ini menggunakan penelitian hukum empiris. Disarankan untuk penanggulangan dan penyelesaian masalah ini dengan penggunaan teknologi mutakhir yang mendukung inventory, dan disesuaikan dengan kondisi riil di lapangan dan berkoordinasi kdengan pihak terkait dalam proses pelaksanaannya.Kata kunci : penghapusan dan barang milik negara.
KEDUDUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA. Almanar, Husni A. Jalil, Nur Rasyid.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 3, No 2: Mei 2015
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (109.352 KB)

Abstract

Abstract: Article 22 (1) of the Constitution of Republic of Indonesia of 1945 reads that in emergency time the President entitles to issue a government regulation to substitutes act. The problems are the conditions necessary of making a government regulation to substitute act, and toneed to know the considerations of the Parliament of acceptance or refusal of this government regulation. The research purposes are to analyze the necessery conditions regarding the conditions to marlee this regulation and Parlimentary conciderations to accept or refuse it. The research method applies Juridical-normative concepts by approaching legal drafting technique, document analyzeing by contents analysis technique. Data gathering by analyzing the relevant theoris, legal rule making, opinion of the experts, reading, books. journal and news paper. The research result shows that government regulation to substitute act. as a part of hierarchy of legal rule of Republic of Indonesia and it is equal act.that is needed in emergency time. The conditions for emergency basis of making this government regulation to substitute act, is essential to be stipulated in legal rule hierarchy. The legal basis of the Parliament to accept or refuse government regulation to substitutes act. is the Article 22 of the Constitution of Republic of Indonesia of 1945 and Act No. 12 of 2011 on the making of legal rule (legal drafting), The government regulation to substitutes act must have approval from the Parliament, government regulation to substitutes act is diclared to be approved. It is recommended that the Government and Parliament to emergency situation and to make use Presidential Advisor Board so that issuance of government regulation to subtitute act the meets the principles of democracy rule of law and public accountability. Contitusional Court is not authorized to review this government regulation to subtitute act. Keywords : Government Regulation To Substitute Act, and Legal Rule system. Abstrak: Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa “ dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”, Presiden berhak menerbitkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”, yang menjadi masalah adalah tentang syarat mengenai “kegentingan yang memaksa” sebagai dasar pertimbangan penerbitan Perpu. Dan untuk mengetahui pertimbangan hukum DPR dalam menerima dan menolak. Perpu. Tujuan Penelitian ini adalah untuk menganalisa syarat yang harus ada dalam penerbitan Perpu, dan pertimbangan DPR untuk menerima dan menolak Perpu. Metode penelitian yang digunakan adalah konsep penelitian yuridis normatif dengan pendekatan teknik pembentukan perundang-undangan. Data diperoleh dengan menelaah teori-teori, Peraturan Perundang-undangan, pendapat para pakar, buku, jurnal, majalah dan surat khabar yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan Perpu merupakan bagian dari hirarki dan setara dengan undang-undang. Perpu perlu ada dalam situasi darurat. Adapun syarat “Kegentingan memaksa” sebagai dasar bagi pembentukan Perpu perlu ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Dasar hukum DPR menerima dan menolak Perpu, adalah Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, bahwa Perpu harus mendapatkan persetujuan dari DPR. Perpu dinyatakan diterima atau ditolak. Disarankan untuk Pemerintah dan DPR perlu melakukan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya yang mengatur persyaratan “Kegentingan yang Memaksa”, serta memfungsikan Wantimpres dengan tugas khusus, sehingga penerbitan Perpu memenuhi prinsip demokrasi, negara hukum dan akuntabilitas publik. Mahkamah Konstitusi (MK) tidak berwenang melakukan pengujian Perpu. Kata Kunci : Perpu dan Sistem perundang-undangan.
PENGATURAN MATERI MUATAN MEMORANDUM OF UNDERSTANDING HELSINKI ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN GERAKAN ACEH MERDEKA DALAM UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH Mirja Fauzul Hamdi, M. Nur Rasyid, M. Gaussyah.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 2, No 2: Mei 2014
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (209.289 KB)

Abstract

Abstract: Birth of a memorandum of understanding (MoU) between the Government of Indonesia and GAM aims for a peaceful settlement of the conflict in Aceh, comprehensive, sustainable and dignified. In order to create peace in Aceh, the Indonesian government, in this case the President of Indonesia issued Presidential Instruction No. 15 of 2005 on the Implementation of the Memorandum of Understanding between the Government of Indonesia and GAM, which in turn gave birth to the Law No. 11 of 2006 on Governing Aceh. Reality is happening shows that the existence of the MoU Helsniki not recognized as a legal basis, but an option to resolve the conflict. In addition , there are several provisions in the MoU that has not been accommodated in the BAL, and also there are some rules of the implementing regulations. This study aims to analyze the reasons/ MoU chosen by the government of Indonesia and GAM as how to resolve the conflict in Aceh. As well as, to analyze the substance of the MoU has been accommodated or not in the Law on Governing Aceh . This research is normative juridical approach to the study of historical and socio-juridical . Source of data used is through the library (library research) in the form of primary legal materials, legal materials and secondary and tertiary legal materials. In addition, the data field (field research) is also used to support the literature data and to support the analysis of secondary data. Data were analyzed qualitatively that will generate data prescriptive analytical. Keywords : The substance of MoU and LoGA. Abstrak: Lahirnya nota kesepahaman (MoU) Helsinki antara Pemerintah RI dan GAM bertujuan untuk penyelesaian konflik Aceh secara damaidan berkelanjutan. Guna menciptakan perdamaian di Aceh, Pemerintah RI, dalam hal ini Presiden Indonesia mengeluarkan Inpres No. 15 Tahun 2005 Tentang Pelaksanaan Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM, yang pada akhirnya melahirkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh. Realita yang terjadi bahwa keberadaan MoU Helsinki tidak diakui sebagai dasar hukum, sehingga legalitas MoU Helsinki baik materi maupun bentuk, layak diteliti menurut hukum ketatanegaraan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis legalitas materi muatan Memorandum of Understanding Helsinki antara Pemerintah RI dan GAM menurut hukum ketatanegaraan Indonesia dan konsekuensi yuridis dengan berlakunya Undang-undang Pemerintahan Aceh. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan yuridis historis dan penelitian yuridis sosiologis. Sumber data yang digunakan adalah melalui kepustakaan (library research) berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Selain itu, data lapangan (field research) juga digunakan untuk mendukung data kepustakaan dan untuk mendukung analisis terhadap data-data sekunder. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif yang akan menghasilkan data yang bersifat preskriptif analitis. Kata kunci : Materi Muatan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki dan UUPA.
PERLINDUNGAN HUKUM HAK KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN AKIBAT PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DI PROVINSI ACEH Nurdani, Iskandar A. Gani, M.Saleh Sjafei
Jurnal Ilmu Hukum Vol 1, No 3: Agustus 2013
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (121.119 KB)

Abstract

Abstract: Having viewed from several aspects; legal, biological, psychological, and social aspects underage marriage brings loss and endangers children health especially, reproduction health. The problem of women reproduction health during their pregnancy can cause death for the women and also can be justified for committing abortion violating the laws. However, there are cases of underage marriage and the Act Number 23, 2002 regarding Child Protection has not fully protected the interest of the child, especially in terms of reproduction health right. The research aims to determine the legal consequences of underage marriage is based laws in Indonesia and to find a form of legal protection of women's reproductive health rights in underage marriage based Act No. 23 of 2002 on the Protection of Children. This is descriptive, analytical research. In order to obtain data, it is done thorough and systematic description of the legal norms and principles of law contained in the applicable legislation, the normative juridical approach, which focusing on the study of documents in the research literature to study secondary data collected in the form of legal materials relating to the problems studied. The analysis technique used in this study is a qualitative analysis technique. Keywords : Marriage under Age and Reproductive Health Abstrak: Perkawinan anak di bawah umur dari tinjauan berbagai aspek, yaitu aspek hukum, biologis, psikologis dan sosial, sangat merugikan dan membahayakan kesehatan anak terutama masalah kesehatan reproduksi. Permasalahan gangguan kesehatan reproduksi perempuan pada saat kehamilan dapat menyebabkan kematian pada ibu hamil dan juga dapat dijadikan dasar pembenaran dilakukannya aborsi yang bertentangan dengan undang-undang. Namun masih banyak dalam masyarakat yang melakukan perkawinan dibawah umur dan didalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak belum sepenuhnya melindungi kepentingan anak itu sendiri, terutama dalam hal hak kesehatan reproduksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menetukan akibat hukum perkawinan di bawah umur didasarkan peraturan hukum di Indonesia dan untuk menemukan bentuk perlindungan hukum terhadap hak kesehatan reproduksi perempuan dalam perkawinan di bawah umur didasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Metode penelitian thesis ini bersifat deskriptif analitis, guna memperoleh gambaran yang menyeluruh dan sistematis mengenai norma-norma hukum serta asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan hukum yang berlaku, dengan pendekatan yuridis normatif, yaitu dititikberatkan pada studi dokumen dalam penelitian kepustakaan untuk mempelajari data sekunder yang terkumpul berupa bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Adapun teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kualitatif. Kata kunci : Perkawinan di bawah Umur dan Kesehatan Reproduksi.
NARAPIDANA NARKOBA DENGAN NARAPIDANA LAIN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Banda Aceh). Yusri, Mohd. Din, Suhaimi.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 3, No 3: Agustus 2015
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (227.42 KB)

Abstract

Abstract: Law No. 12 Year 1995 regarding Correctional, especially those governing the placement of inmates, namely Article 12 paragraph (1) states in order to provide guidance to inmates in prison is done on the basis of the classification of age, sex, length of sentence imposed, the type of crime and criteria another according to the needs or developmental coaching. The purpose of this study was to determine and explain the reality of drug incorporation inmate placement in the statutory provisions in Class IIA Penitentiary Banda Aceh. The formulation of the article is not made clear in the form of sanctions to prison who do not comply with the provisions of article in question. Merger placement drug inmates in prison Class IIA Banda Aceh due to various factors, giving rise to a variety of impacts on the development of inmates, for example, the resedivis and prisonisasi. It is recommended that the placement of inmates in prison are grouped based on certain criteria according to the rules, as well as the limits and system development patterns that differ between specific inmate drug with other common inmates. Keywords: Surviving the placement of prisoners. Abstrak: Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, khususnya yang mengatur tentang penempatan narapidana yaitu Pasal 12 ayat (1) menyatakan dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan penggolongan atas dasar umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan dan kriteria lain sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan kenyataan penggabungan penempatan narapidana narkoba dalam ketentuan perundang-undangan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Banda Aceh. Rumusan pasal tersebut tidak memberikan ketegasan berupa sanksi kepada Lembaga Pemasyarakatan yang tidak memenuhi ketentuan pasal yang dimaksud. Penggabungan penempatan narapidana narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Banda Aceh disebabkan karena berbagai faktor, sehingga menimbulkan berbagai dampak terhadap pembinaan narapidana, contohnya terjadinya resedivis dan prisonisasi. Disarankan agar penempatan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dikelompokkan berdasarkan kriteria tertentu sesuai peraturan, serta memberikan pembatasan dan sistem pola pembinaan yang berbeda antara narapidana khusus narkoba dengan narapidana umum lainya. Kata kunci : Penggabungan penempatan narapidana.
PERCERAIAN DI LUAR PENGADILAN AGAMA MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (Suatu Penelitian di Wilayah Hukum Mahkamah Syar’iyah Aceh Besar). Muhammad Isa .
Jurnal Ilmu Hukum Vol 2, No 1: Februari 2014
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (287.081 KB)

Abstract

Abstract: Permasalahan perceraian merupakan masalah yang cukup pelik dan sangat dilematis dalam kehidupan masyarakat sekarang ini. Walau kita semua tahu Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 telah diundangkan dan diberlakukan 39 tahun lalu, namun pada kenyataannya masalah perceraian belum sepenuhnya ditaati oleh sebagian masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut, karena praktek perceraian yang dilakukan oleh suami tidak di depan sidang pengadilan agama masih saja berlangsung hingga dewasa ini, sebagaimana terdapat dibeberapa kasus perceraian yang terjadi dalam gampong Blang Krueng Kecamatan Baitussalam Aceh Besar. Dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yang berwenang setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak dapat mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan hidup rukun lagi sebagai suami isteri. Ketentuan ini jelas bahwa untuk melakukan perceraian harus ada alasan yang cukup, dan perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan, namun kenyataannya di wilayah hukum mahkamah syar’iyah Jantho masih ada yang melakukan perceraian di luar mahkamah syar’iyah. Tujuan penulisan tesis ini untuk menjelaskan apakah sah perceraian yang dilakukan di luar mahkamah syar’iyah dan akibat hukum yang ditimbulkannya menurut Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia. Metode penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris. sumber data yaitu data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Untuk melengkapi data-data digunakan data primer, dilakukandengan metode wawancara terhadap informan yang dipilih. Setelah data dikumpulkan, diklasifikasi dan diolah maka akan disusun sebuah karya ilmiah secara kualitatif Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor penyebab terjadinya perceraian di luar Mahkamah Syar’iyah adalah faktor ekonomi, faktor Pengetahuan hukum masyarakat, faktor yuridis, faktor sosiolongis, dan faktor adat. Pelaksanaan perceraian dilakukan secara talak lisan, pernyataan tertulis yang disampaikan kepada isteri, dan secara diam-diam tanpa memberikan nafkah hidup kepada isteri. Akibat hukum yang timbul adalah akibat terhadap isteri sulit melakukan perkawinan baru melalui Kantor Urusan Agama, tidak bisa menuntut biaya hidup melalui Mahkamah Syar’iyah, sulit akan mendapat harta bersama, dan anak sulit mendapat harta warisan. Dalam wawancara penulis dengan keuchik dan imam Mesjid/Meunasah di wilaya hukum Aceh Besar terungkap beberapa kasus perceraian yang dilakukan oleh sebagian masyarakat tidak melalui Mahkamah Syar’iyah . Adapun penyebab masih berlangsungnya praktek perceraian yang tidak mengikuti prosedur Perundang-Undangan yang berlaku, salah satunya adalah pemahaman masyarakat yang menganggap perceraian tersebut tidak mesti di depan siding pengadilan, yang penting sah hukumnya menurut agama, mengikuti atau berdasarkan mazhab yang dianut. Kata Kunci: Perceraian diluar Pengadilan Agama serta UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI.
TANGGUNG JAWAB PRIBADI DIREKSI TERHADAP PERBUATAN HUKUM PERSEROAN YANG MERUGIKAN PIHAK KETIGA Haspan Yusuf Ritonga; Azhari Yahya; Dahlan Ali
Jurnal Ilmu Hukum Vol 4, No 4: November 2016
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (180.997 KB)

Abstract

Abstract: Article 1 clause 1 of the Limited Company Act (UUPT) Number 40 Year 2017 states that the Limited Company is a legal entity. It is given a legal subject status who is responsible for any legal actions. However, based on the empirical reality, personal directors have been given responsibilities on the risk of legal action of the Limited Company. Duality reponsibilities in UUPT has created a responsibility repel between the Limited Company and the personal directors against whom a third party losses charged. This research was aimed to examine and explain how personal directors were responsible for the company legal act. The research method used was a juridical normative method including the law principles, the act legislation and the court decisions. The results showed that the decisions of judges who apply the imposition of personal directors’ liability against the act of legal company have been found with breakthroughs in the law and the basic principles of directors’ liability such as fiduciary duties, doctrine ultra vires and business judgment rule principles have been applied. However, for the uniformity of law application in society, UUPT should be updated by emphasizing personal directors’ liability against legal actions of the company which prejudice the third party so the UUPT could protect both the Limited Company and community equally and fairly.Keywords: Legal entity, Limited Company Act (UUPT), personal directors’ responsibility, third party. Abstrak: Pasal 1 angka 1 (satu) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT) menyebut “perseroan” adalah badan hukum, ia diberi status subjek hukum yang bertanggung jawab atas setiap perbuatannya. Namun pada kenyataan empiris, direksi telah dibebani tanggung jawab terhadap resiko perbuatan hukum perseroan. Dualisme pertanggungjawaban dalam UUPT telah menimbulkan tolak menolak tanggung jawab perseroan dengan direksi terhadap siapa kerugian pihak ketiga dibebankan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji dan menjelaskan bagaimana semestinya direksi bertanggung jawab terhadap perbuatan hukum perseroan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, meliputi kaidah-kaidah hukum, peraturan perundang-undanga serta putusan-putusan pengadilan. Dari hasil penelitian, ditemukan putusan-putusan hakim yang menerapkan pembebanan tanggung jawab pribadi direksi terhadap perbuatan hukum perseroan dengan terobosan-terobosan hukum serta menerapkan asas-asas dasar pertanggung jawaban direksi seperti prinsip fiduciary duties, doktrin ultra vires dan prinsip bussiness judment rule. Namun demikian, untuk keseragaman penerapan hukum dalam masyarakat, UUPT perlu diperbaharui dengan mempertegas pengaturan tanggung jawab pribadi direksi terhadap perbuatan hukum Perseroan yang merugikan pihak ketiga, sehingga produk hukum UUPT tersebut akan melindungi perseroan dan melindungi masyarakat secara berimbang dan berkeadilan.Kata Kunci: badan hukum, UUPT, tanggung jawab pribadi direksi, pihak ketiga.
PENJATUHAN PIDANA PERCOBAAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI. Shira Thani, Mohd. Din, Dahlan Ali.
Jurnal Ilmu Hukum Vol 3, No 1: Februari 2015
Publisher : Jurnal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (154.638 KB)

Abstract

Abstract: In the law of corruption included the death penalty as punishment highest principal and also determine the minimum specific threat and the existence of a higher criminal penalties. However, in some of the district court on appeal to judge dropping the criminal trial against the perpetrators of corruption. aims to clarify the application of the experiment in notaben corruption that it is an extraordinary crime, describes considerations in dropping the criminal trial judge against the perpetrators of corruption and mechanisms to control the perpetrators of corruption sentenced to probation. The study used in this thesis are normative legal research. Imposition of criminal trial against the perpetrators of corruption has been at odds with provisions that have been set in legislation combating corruption, Article 14 a paragraph (1) and (2) of the Criminal Code, the decision of the judge who dropped criminal trials considering fairness convict and disregard the public sense of justice and supervise the implementation of the criminal trial corruption is not necessary, because the arrangement The legislation combating corruption. It is recommended that the judge impose criminal sanctions in corruption case attention back on the provisions set out in legislation combating corruption, in making a decision the judge should not only be based on juridical aspects alone but a judge must consider nonyudisnya aspects and mechanisms to control the enforcement of criminal trials specific to corruption cases should be eliminated because regulation of the criminal trial was not in legislation combating corruption. Keywords : Probation, Corruption. Abstrak: Dalam undang-undang tindak pidana korupsi dicantumkan pidana mati sebagai pidana pokok tertinggi dan menentukan juga ancaman minimum khusus serta adanya pidana denda yang lebih tinggi. Namun, di beberapa pengadilan negeri hingga pada tingkat kasasi hakim menjatuhkan pidana percobaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi. bertujuan untuk menjelaskan penerapan pada percobaan dalam tindak pidana korupsi yang notabennya merupakan kejahatan luar biasa, menjelaskan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana percobaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi dan mekanisme pengawasan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dijatuhi pidana percobaan. Penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum normatif. Penjatuhan pidana percobaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi telah bertentangan dengan ketentuan yang sudah diatur di dalam Undang-undang Tipikor, Pasal 14 a ayat (1) dan (2) KUHP, putusan hakim yang menjatuhkan pidana percobaan lebih mempertimbangkan rasa keadilan terpidana dan mengenyampingkan rasa keadilan masyarakat serta pengawasan terhadap pelaksanaan pidana percobaan dalam tindak pidana korupsi tidak diperlukan, karena memang pengaturan mengenai pidana percobaan sudah jelas bertentangan dan tidak ada pengaturannya di dalam Undang-undang Tipikor. Disarankan agar hakim menjatuhkan sanksi pidana dalam perkara korupsi memperhatikan kembali mengenai ketentuan-ketentuan yang sudah diatur dalam Undang-undang Tipikor, dalam membuat suatu putusan hakim jangan hanya berpatokan pada aspek yuridis saja tetapi seorang hakim harus mempertimbangkan aspek nonyudisnya dan mekanisme pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana percobaan khusus terhadap perkara tindak pidana korupsi semestinya ditiadakan karena pengaturan tentang pidana percobaan pun tidak ada di dalam Undang-undang Tipikor. Kata kunci : Pidana Percobaan, Korupsi.

Page 2 of 12 | Total Record : 112